Film yang bagus itu yang gimana sih?
Ayo kita ngobrolin soal film bagus. What is a good movie? What
is a bad movie?
Soal bagus atau tidak di mana-mana pasti relatif. Ini juga
berlaku umum di jenis seni manapun. Musik, lukisan, batu akik? (itu masuk seni
bukan ya?)
Kita mulai dari tolok ukurnya dulu. Konon sih (entah kata
siapa) film bagus adalah film yang diakui dalam festival-festival film katakanlah
Academy Awards, Cannes, Golden Globe, FFI dan semacamnya. Tapi mengapa film
yang dikategorikan bagus, menyabet banyak nominasi atau menang di Best Picture
kok nggak seru? Udah gitu filmnya sepi penonton pula…
Banyak juga yang nanya kenapa kok jarang film silat, film superhero, film drama valentine (pokoke film seru lah) jarang bisa dapet penghargaan?
Banyak juga yang nanya kenapa kok jarang film silat, film superhero, film drama valentine (pokoke film seru lah) jarang bisa dapet penghargaan?
Nah, festival film memang punya “politik”-nya
sendiri dalam meng-hegemoni selera. Jadi penyelenggaranya memang punya semacam
standar buat menentukan kualitas sebuah karya. Mirip-mirip kurasi buat lukisan
yang bisa masuk pameran gitu lah. Film dikategorikan bagus, setidaknya jika
film tersebut memenuhi beberapa kriteria universal. Kalau menurut pemahaman
saya, iki mbuh bener opo ora lho ya
hehehehe…film bagus (untuk kategori fiksi) itu antara lain:
- Apakah menyajikan visi artistik yang baru, belum pernah ada sebelumnya
- Apakah cara bertuturnya unik, menyinggung tema-tema besar tanpa terkesan preachy atau menggurui
- Apakah akting para aktornya begitu menghanyutkan sehingga penonton tanpa sadar telah “dibawa” masuk ke alam fiksi sebuah film.
- Apakah film itu menawarkan “taste” atau citarasa tertentu yang memukau dewan juri.
- Apakah film itu mencapai sebuah hal secara teknis dan artistik yang mampu memberi standar baru dalam perfilman terkini
Tentunya dalam menilai 5 poin ini dibutuhkan orang-orang
yang kompeten dalam perfilman. Mereka mustinya orang yang sudah berpengalaman
dan paham selukbeluk film. Juga mesti diingat bahwa festival film itu hanya mencakup "geografi kreativitas" (cieee istilahnya) di wilayah tertentu. Hollywood? Bollywood? Wlingiwood (manaaa pula ini)?
Terus adil nggak sih menilai film berdasar selera segelintir
orang semacam itu?
Kalo menurut saya sih ini bukan soal adil atau nggak adil. Ini
cuma salah satu pengkategorian selera saja. Lagipula selain festival yang
mainstream, ada banyak festival khusus yang memberi penghargaan terhadap selera
film jenis tertentu. Kriteria mereka pun spesifik untuk genre tertentu itu. Misalnya
ada festival film horror, festival film laga dll.
Nggak pernah ada sebuah kesimpulan fixed soal film apa yang bagus atau tidak. Kita nggak bisa membuat
selera itu sama. Semua punya seleranya sendiri-sendiri. film yang kamu anggap kelas
dewa bisa jadi cuma film kacrut di hadapan para pecinta film lainnya. Tenang aja…kamu
nggak salah.
Terus yang salah apa?
Yang salah adalah kalau kamu maksain diri nonton film yang
emang bukan genre kamu. “Maksa” ama rela mengapresiasi beda lho. Soalnya ada
orang yang fanatik ama genre tertentu menganggap genre lain sampah. Dia nggak
mau menengok “kebenaran” di luar genre filmnya. Dia fundamentalis satu genre
film tertentu. Ada juga yang kayak gitu.
Jadi yang fanatik horror ala Suster Ngesot kemungkinan ya
bakal mumet suruh nonton The Sixth Sense, yang fundamentalis Twilight Saga
jangan nonton The Raid, yang suka Tree of Life bakal mencret nonton CJR, yang
suka nonton film baku pukul ala Flash Point mungkin bakal sembelit nonton The
Red Belt.
Ada juga orang yang pluralis dalam menonton film. Dia cukup
kuat mencerna film “berat” macam 12 Monkeys namun juga bisa nonton blockbuster
movie macam Final Destination. Ngerti film macam Bourne Trilogy tapi tak
menganggap Machete kacrut dll.
Nggak ada urusan ama bener dan salah. Toh nonton film
intinya adalah terhibur.
Jadi bedakanlah film yang kamu mau tonton.
Mau terhibur? Tercerahkan? Mendapat wacana baru? Mendapat referensi
baru?
Kamu mewakili genre kamu masing-masing. You have
your own taste.
Lantas bagaimana menjadi penonton yang baik?
Ya jadilah penonton yang apresiatif di genre kamu sendiri. Tulislah
review yang bertanggungjawab untuk mengkritisi maupun memuji. Itu penting bagi
filmmaker untuk membuat karya yang lebih memuaskan kalian.
Kami para filmmaker sering lho dihujat bikin film jelek
hanya karena penontonnya salah genre (cieeee curhat).
Jadi inget kata Joko Anwar:
Bikin film itu ribet. Banyak energi dan modal yang
dikeluarkan untuk mewujudkan sebuah karya.
Nonton film itu juga nggak selalu gampang. Kita udah kadung
ekspektasi tinggi, bayar tiket nonton eh yang bikin film nggak niat. Jadi?
Jangan salah ama genre kamu.
Genre kamu dan cara kamu mengapresiasinya adalah selera dan
kapasitas otakmu wahahahahaah
Ayo kita ngobrolin soal film bagus. What is a good movie? What
is a bad movie?
Soal bagus atau tidak di mana-mana pasti relatif. Ini juga
berlaku umum di jenis seni manapun. Musik, lukisan, batu akik? (itu masuk seni
bukan ya?)
Kita mulai dari tolok ukurnya dulu. Konon sih (entah kata
siapa) film bagus adalah film yang diakui dalam festival-festival film katakanlah
Academy Awards, Cannes, Golden Globe, FFI dan semacamnya. Tapi mengapa film
yang dikategorikan bagus, menyabet banyak nominasi atau menang di Best Picture
kok nggak seru? Udah gitu filmnya sepi penonton pula…
Banyak juga yang nanya kenapa kok jarang film silat, film superhero, film drama valentine (pokoke film seru lah) jarang bisa dapet penghargaan?
Banyak juga yang nanya kenapa kok jarang film silat, film superhero, film drama valentine (pokoke film seru lah) jarang bisa dapet penghargaan?
Nah, festival film memang punya “politik”-nya
sendiri dalam meng-hegemoni selera. Jadi penyelenggaranya memang punya semacam
standar buat menentukan kualitas sebuah karya. Mirip-mirip kurasi buat lukisan
yang bisa masuk pameran gitu lah. Film dikategorikan bagus, setidaknya jika
film tersebut memenuhi beberapa kriteria universal. Kalau menurut pemahaman
saya, iki mbuh bener opo ora lho ya
hehehehe…film bagus (untuk kategori fiksi) itu antara lain:
- Apakah menyajikan visi artistik yang baru, belum pernah ada sebelumnya
- Apakah cara bertuturnya unik, menyinggung tema-tema besar tanpa terkesan preachy atau menggurui
- Apakah akting para aktornya begitu menghanyutkan sehingga penonton tanpa sadar telah “dibawa” masuk ke alam fiksi sebuah film.
- Apakah film itu menawarkan “taste” atau citarasa tertentu yang memukau dewan juri.
- Apakah film itu mencapai sebuah hal secara teknis dan artistik yang mampu memberi standar baru dalam perfilman terkini
Tentunya dalam menilai 5 poin ini dibutuhkan orang-orang
yang kompeten dalam perfilman. Mereka mustinya orang yang sudah berpengalaman
dan paham selukbeluk film. Juga mesti diingat bahwa festival film itu hanya mencakup "geografi kreativitas" (cieee istilahnya) di wilayah tertentu. Hollywood? Bollywood? Wlingiwood (manaaa pula ini)?
Terus adil nggak sih menilai film berdasar selera segelintir
orang semacam itu?
Kalo menurut saya sih ini bukan soal adil atau nggak adil. Ini
cuma salah satu pengkategorian selera saja. Lagipula selain festival yang
mainstream, ada banyak festival khusus yang memberi penghargaan terhadap selera
film jenis tertentu. Kriteria mereka pun spesifik untuk genre tertentu itu. Misalnya
ada festival film horror, festival film laga dll.
Nggak pernah ada sebuah kesimpulan fixed soal film apa yang bagus atau tidak. Kita nggak bisa membuat
selera itu sama. Semua punya seleranya sendiri-sendiri. film yang kamu anggap kelas
dewa bisa jadi cuma film kacrut di hadapan para pecinta film lainnya. Tenang aja…kamu
nggak salah.
Terus yang salah apa?
Yang salah adalah kalau kamu maksain diri nonton film yang
emang bukan genre kamu. “Maksa” ama rela mengapresiasi beda lho. Soalnya ada
orang yang fanatik ama genre tertentu menganggap genre lain sampah. Dia nggak
mau menengok “kebenaran” di luar genre filmnya. Dia fundamentalis satu genre
film tertentu. Ada juga yang kayak gitu.
Jadi yang fanatik horror ala Suster Ngesot kemungkinan ya
bakal mumet suruh nonton The Sixth Sense, yang fundamentalis Twilight Saga
jangan nonton The Raid, yang suka Tree of Life bakal mencret nonton CJR, yang
suka nonton film baku pukul ala Flash Point mungkin bakal sembelit nonton The
Red Belt.
Ada juga orang yang pluralis dalam menonton film. Dia cukup
kuat mencerna film “berat” macam 12 Monkeys namun juga bisa nonton blockbuster
movie macam Final Destination. Ngerti film macam Bourne Trilogy tapi tak
menganggap Machete kacrut dll.
Nggak ada urusan ama bener dan salah. Toh nonton film
intinya adalah terhibur.
Jadi bedakanlah film yang kamu mau tonton.
Mau terhibur? Tercerahkan? Mendapat wacana baru? Mendapat referensi
baru?
Kamu mewakili genre kamu masing-masing. You have
your own taste.
Lantas bagaimana menjadi penonton yang baik?
Ya jadilah penonton yang apresiatif di genre kamu sendiri. Tulislah
review yang bertanggungjawab untuk mengkritisi maupun memuji. Itu penting bagi
filmmaker untuk membuat karya yang lebih memuaskan kalian.
Kami para filmmaker sering lho dihujat bikin film jelek
hanya karena penontonnya salah genre (cieeee curhat).
Jadi inget kata Joko Anwar:
Bikin film itu ribet. Banyak energi dan modal yang
dikeluarkan untuk mewujudkan sebuah karya.
Nonton film itu juga nggak selalu gampang. Kita udah kadung
ekspektasi tinggi, bayar tiket nonton eh yang bikin film nggak niat. Jadi?
Jangan salah ama genre kamu.
Genre kamu dan cara kamu mengapresiasinya adalah selera dan
kapasitas otakmu wahahahahaah