(Bagian I - III) (Bagian IV - V) (Bagian VI - VII) (Bagian VIII)
(Bagian IX) (Bagian X) (Bagian XI) (Bagian XII - XIII)
==================================================================
XI.
RESPON TERHADAP GERAKAN FILM INDEPENDEN INDONESIA
Respon
atas ramainya pergerakan film independen direspon setidaknya oleh 4 pihak:
Pemerintah, Lembaga Pendidikan (negeri dan swasta) beserta anggotanya, Industri
dan Masyarakat. Saya mendapat banyak informasi dari buku seri wawasan sinema
terbitan DKJ dan juga tulisan-tulisan di Cinema Poetica.
PEMERINTAH
Yang
paling jelas teramati adalah masalah perundang-undangan. Lembaga Sensor tak
lagi seketat dulu, birokrasi izin produksi sudah tak lagi melewati departemen
penerangan dan Pangkopkamtib. Pemerintah mengakomodir perkembangan gerakan film
dengan pembukaan jurusan baru film di beberapa perguruan tinggi. Sebelum
reformasi, jurusan film cukup langka. Institut Kesenian Jakarta menjadi lembaga
yang paling terkemuka karena masih satu-satunya. Perlombaan seni yang
diselenggarakan pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga mulai
membuka cabang film pendek, misalnya FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional)
yang berlangsung di tingkat kabupaten, propinsi hingga nasional.
Merespon
maraknya perkembangan perfilman di masyarakat, Cinema Poetica mencatat bahwa
negara mencoba hadir melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm). Unit
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu mengadakan sejumlah program
dukungan bagi komunitas film, mulai dari pendanaan produksi, penyelenggaraan
kegiatan, suplai film, hingga pengembangan kapasitas. Lembaga nonkementerian
seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) turut membuka pintu untuk komunitas film. BEKRAF
bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengadakan forum pendanaan
film bernama Akatara, yang menerima proposal film pendek dan festival film
milik komunitas. Sementara KPK menyelenggarakan Anti-Corruption Film Festival
(ACFF), yang salah satu programnya adalah penyediaan dana produksi film bertema
antikorupsi bagi komunitas-komunitas film.
Sejumlah
pemerintahan daerah juga mendukung dengan melibatkan komunitas film dalam
perhelatan tingkat lokal atau regional, sebagaimana yang terjadi dalam
penyelenggaraan Festival Film Malang dan Festival Film Jawa Barat. Pemerintah
Provinsi Yogyakarta, berkat Dana Keistimewaan, bahkan menyediakan dana khusus
untuk produksi film fiksi dan dokumenter pendek—pembuat film bisa mengajukan
proyeknya melalui forum pitching yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2016.
Contohnya film "Tilik" yang viral itu mendapatkan bantuan dari Dinas
Kebudayaan Yogyakarta.
Akan
tetapi perkembangan di tiap daerah tak sama. Perkembangan film di Aceh agak
menemui kesulitan karena beberapa faktor. Aceh menerapkan hukum berdasarkan
syariat Islam yang membatasi pertemuan lelaki dan perempuan bukan muhrim dalam
satu ruang tertutup. Dari sini akibatnya adalah ketiadaan bioskop. Meski begitu
pada suatu kesempatan Walikota Kota Banda Aceh, Aminullah Usman mendukung penuh
dunia perfilman Aceh. Dikatakan bahwa koordinasi terus dilakukan oleh
pemerintah dengan pihak-pihak terkait agar bioskop dapat hadir dengan nuansa
Islami. Aminullah mengatakan, pemerintah Banda Aceh akan mengadakan pembicaraan
terkait pembuatan bioskop dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Rencananya bioskop Banda Aceh akan dibuat dalam konsep yang berbeda, sesuai
syariat. Hingga tulisan ini dibuat, bioskop syariah yang dibicarakan tersebut
tidak kunjung hadir karena belum ada qanun yang mengatur tentang itu.
Selain
itu respon dari pemerintah tak selalu menggembirakan. Dalam amatan saya
pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam melindungi kegiatan perfilman
misalnya ketika pemutaran film diancam oleh organisasi masyarakat tertentu.
Pemutaran film semacam "Jagal (The Act of Killing)" (Joshua
Oppenheimer, 2012) dan "Pulau Buru Tanah Air Beta" (Rahung Nasution,
2016) selalu dibiarkan diintimidasi oleh kelompok tertentu. Beberapa acara
festival seperti yang diselenggarakan CLC Purbalingga pun sering berurusan
dengan aparat pemerintah.
LEMBAGA
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, pada
tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur
Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk mendukung pengembangan kesenian di
wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh
Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Anggota DKJ
terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6
komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari
dan Komite Teater. Meski DKJ bekerjasama lembaga-lembaga nirlaba, perusahaan
yang memiliki kepedulian terhadap seni-budaya, dan dengan dewan kesenian
kabupaten/kota/provinsi lainnya, namun pengelolaan organisasi dilakukan secara
otonom. Kegiatan DKJ antara lain penelitian, pendokumentasian karya dan
kegiatan, kajian seni-budaya, festival, penyediaan wahana apresiasi
(pertunjukan seni, pemutaran film, pameran/gelar karya) dan lain-lain.
Sebagai
ruang apresiasi film, di DKJ didirikan Kine Klub DKJ pada tahun 1969, tak lama
setelah Ali Sadikin selaku gubernur DKI Jakarta meresmikan Taman Ismail Marzuki
pada 10 November 1968. Dalam Cinema Poetica disebutkan bahwa di masa jayanya,
Kine Klub DKJ rutin mengadakan acara pekan pemutaran film sekali dalam sebulan
di Teater Tertutup TIM. Mereka bekerja sama dengan berbagai pusat kebudayaan
dan juga sineas-sineas lokal dalam prosesnya. Usai pemutaran, para penonton
bisa berinteraksi langsung dengan para tokoh dunia film tersebut. Menurut
Marselli Sumarno, kritikus film sekaligus anggota Komite Film DKJ 2009-2015,
Kine Klub DKJ bahkan pernah kedatangan dua sutradara besar dari Jerman, yaitu
Wim Wenders dan Volker Schlöndorff.
Menurut
Marselli, animo masyarakat terhadap Kine Klub DKJ mencapai puncaknya pada
1980an. Para penonton datang dari beragam latar belakang, entah mahasiswa,
pekerja kantoran, hingga seniman. Mereka yang mendaftar jadi anggota hanya
diwajibkan membayar setengah harga tiket masuk dalam sebuah pemutaran. Itu saja
sudah cukup untuk menutupi biaya operasional sehari-hari.
Hingga
tahun 1990, tumbuh banyak kine klub atau inisiatif sejenis di berbagai lembaga
pendidikan dan kebudayaan. Dalam catatan Cinema Poetica, pertumbuhan kine klub
lantas berujung pada penyelenggaraan Musyawarah Besar Kine Klub Indonesia di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19–22 September 1990. Difasilitasi oleh
DKJ, musyawarah tersebut mempertemukan 42 kine klub dan berpuncak pada
pembentukan Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) sebagai induk
kegiatan kine klub di Indonesia. Selaras dengan kine-kine klub yang menghidupinya,
kegiatan SENAKKI lebih banyak berkutat pada penayangan dan apresiasi film.
Dalam beberapa kesempatan, SENAKKI bermitra dengan perusahaan-perusahaan swasta
seperti 21 Cineplex dan Fuji Film untuk mengadakan program-program pelatihan.
Semangat kegiatannya: pembinaan masyarakat.
Menjelang
akhir 1990an industri film nasional merosot. Ditambah dengan kemunculan
beberapa televisi swasta, krisis moneter dan kekisruhan politik mengakibatkan aktivitas
Kine Klub DKJ menurun dan akhirnya bubar. Apalagi pada awal 2000an, Teater
Tertutup yang kerap jadi lokasi pemutaran harus disingkirkan untuk pembangunan
dua gedung pertunjukan baru di TIM: Teater Besar dan Teater Kecil.
Gotot
Prakosa (yang tadi kita singgung di segmen sejarah awal) menjabat sebagai Ketua
Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2002-2006. Ia mencoba menggagas
sebuah wadah bagi film-film independen yang ia istilahkan sebagai “film
pinggiran”. Bersama dengan Ratna Sarumpaet, Ketua DKJ 2003-2006, dan beberapa
kawan lainnya, Gotot melakukan negosiasi dengan pihak 21 Cineplex untuk memberi
sebuah ruang bagi film-film non-komersial dalam bioskop mereka di kompleks
Taman Ismail Marzuki. Permintaan itu disetujui. Mulai 29 Juni 2005, berdirilah
Art Cinema yang rutin memutarkan film-film alternatif selama dua minggu tiap
bulannya di studio 1 bioskop 21 Cineplex TIM dengan kapasitas 130 kursi.
Pemutaran dilakukan sesuai program yang dirancang oleh Komite Film DKJ saat
itu.
Setahun
kemudian, terjadi pergantian kepengurusan di mana Marco Kusumawijaya diangkat
sebagai Ketua DKJ dan untuk Ketua Komite Film ditunjuklah Farishad Latjuba.
Sejak itu, Art Cinema berganti nama jadi Kineforum. Program pun tak lagi
dirancang langsung oleh Komite Film. Lisabona Rahman (yang nanti akan kita
sebut sebagai salah seorang yang aktif di filmindonesia.or.id) dijadikan
Manajer Program pertama.
Dalam
wawancara dengan Jurnal Footage pada Agustus 2008, Lisabona Rahman menyebut
bahwa perbedaan antara Art Cinema dengan Kineforum adalah bahwa Art Cinema
lebih mirip ke ruang pameran, dalam arti mereka memutar film-film yang dianggap
kuratornya sebagai “film seni”. Sedangkan, Kineforum tidak membatasi diri pada
film-film seni saja, melainkan film-film apapun selama ada keterkaitan dengan
tema yang sudah diprogram. Dengan demikian Kineforum menjadi sebuah ruang
pemutaran alternatif.
Perguruan
tinggi memang lazim menjadi ruang tumbuhnya para mahasiswa pegiat film.
Kegiatan film di kampus biasanya diorganisir dalam Lembaga Semi Otonom (LSO),
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau oleh himpunan mahasiswa jurusan tertentu.
Tak melulu dari jurusan film atau sejenis, kegiatan film dilakukan oleh
mahasiswa jurusan apapun. Pasca reformasi fenomena menjamurnya kine klub
menjalar ke seluruh Indonesia, baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
Kiprah mereka ini mewarnai jejaring perfilman dengan terselenggaranya
festival-festival film independent.
Di
wilayah Jakarta misalnya ada UCIFEST - UMN Animation & Film Festival adalah
sebuah festival film pendek yang diselenggarakan oleh Universitas Multimedia
Nusantara sejak tahun 2010. Sasarannya adalah mahasiswa dan pelajar SMA/SMK
se-Indonesia. UCIFEST juga menyelenggarakan program diskusi, pitching forum,
hingga pemaparan materi dari filmmakers profesional.
Ada
lagi UI Film Festival (UIFF) merupakan festival film yang dibesut oleh UKM
Sinematografi UI. UIFF pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014 dan
berfokus pada literasi, apresiasi, kompetisi, juga diskusi film pendek
mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Bandung
malah lebih awal lagi. Ganesha Film Festival, atau yang biasa disingkat
Ganffest, merupakan sebuah festival film pendek independen yang diselenggarakan
oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB sejak 2008. Acara ini diadakan setiap dua
tahun sekali.
Kita
coba telusuri kprah-kiprah kine klub sejenis di Jawa Tengah dan Jogja.
Kine
Klub FISIP UNS sudah mengadakan pemutaran besar sejak akhir tahun 1990 – 2016.
Sejak 2016, Pesta Film Solo digelar dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting
perfilman Indonesia sebagai pembicara untuk kegiatan diskusi usai pemutaran
film. Pesta Film Solo selalu mengajak kurator di luar komunitas mereka untuk
memilih film-film yang akan ditampilkan. Di kota yang sama, Solo Documentary
Festival (SODOC) sejak 2015. Festival film khusus dokumenter ini
diselenggarakan oleh para mahasiswa ISI Surakarta di kota Solo. Sesuai dengan
namanya, festival film ini hanya menerima film dengan kategori dokumenter.
Sodoc juga menjalankan program diskusi dan lokakarya film dokumenter.
Di
Jogja kegiatan film di kampus tak selalu dari institut seni. Di UGM sejak awal
tahun 2000an sudah ada program pemutaran film dan diskusi di Fakultas Teknik.
Saat itu saya masih mahasiswa dan pernah menghadirinya. Namun sayangnya belum
mencakup pemutaran film independen lokal. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM kadang
juga ada pemutaran film dari luar. Saya pernah menghadiri pemutaran film
"Reinkarnasi" (Dede Yusuf, 1997). Mungkin yang cukup terkemuka di kalangan
kampus adalah Sewon screening. Sewon Screening adalah salah satu program kerja
himpunan Mahasiswa Jurusan Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Yogyakarta
yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015, program ini berbentuk ekshibisi film.
Festival ini mengusung semangat "Angin Segar dari selatan" (karena
Sewon terletak di bagian selatan Yogyakarta) dengan sub tema yang berbeda
setiap tahun.
Di
Jawa Timur, misalnya. di Universitas Muhammadiyyah Malang berdiri Kine Klub UMM
sejak tahun 1999. Kine Klub UMM memulai kegiatan produksinya sejak tahun 2003
dan merupakan penyelenggara Malang Film Festival (MAFI). Sementara itu di
Universitas Brawijaya Malang, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
pada tahun 2006 berdiri Societo Sineklub. Dari 2006 sampai 2011, Societo
Sineklub sibuk dengan program-program produksi film pendek dan beberapa
pemutaran untuk meluncurkan film-film produksi tersebut.
Di
Makassar, gerakan film kampus dipelopori oleh para mahasiswa jurusan Komunikasi
Universitas Hasanuddin yang kemudian diikuti oleh kampus lain seperti
Universitas Muhammadiyah Makassar, Stikom Fajar Makassar dan lain-lain. Di
tahun 2008, sekitar 20 kelompok film berkumpul dan menggagas pembentukan Forum
Film (FOR FILM) Makassar. Secara rutin, mereka bertemu dan berdiskusi perihal
perencanaan dan manajemen produksi film, bagaimana meningkatkan kualitas film,
distribusi, penayangan dan lain-lain. FOR FILM Makassar menggagas Antologi Film
Pendek untuk Makassar di tahun 2009 sebagai program pertamanya.
Di
tahun 2008, Institut Kesenian Makassar (IKM) didirikan. Salah satu program
studi yang dibentuk adalah Film dan Televisi. Kehadiran IKM beserta program
studi Film dan Televisi-nya memberi angin sejuk bagi pekerja film di Makassar
yang selama ini hanya mempelajari film secara otodidak, juga bagi mereka yang
berminat menjadi pekerja film. Ada 2 film yang dikerjakan oleh
mahasiswa-mahasiswa IKM yang mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat,
yaitu film "Memburu Harimau" dan "Jejak-jejak Kecil". Film
Memburu Harimau diproduksi dan ditayangkan dengan swadaya. Sebuah ruang di
Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie diubah menjadi semirip mungkin
dengan bioskop pada lazimnya. Bioskop tersebut hanya berkapasitas 20 kursi.
Film Memburu Harimau mendapat sambutan yang luar biasa. Selama 5 hari
penayangan sekira 700 penonton hadir. Film terakhir yang dikerjakan
mahasiswa-mahasiswa IKM adalah "Jejak-Jejak Kecil" yang berdurasi 75
menit, diproduksi oleh Tetta Production bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Makassar. Film ini telah diproduksi dalam bentuk DVD dan
terjual hingga 2.500 keping.
Di
Lampung penggerak perfilman juga dari kalangan kampus. UKM Darmajaya Computer
& Film Club (DCFC) yang merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang
Penalaran & Keilmuan di Institut Informatika & Bisnis Darmajaya serta
bergerak di bidang komputer dan perfilman menyelenggarakan Festival Film Indie Darmajaya (FFI Darmajaya)
di tahun 2009. Di tahun 2015 FFI Damarjaya berganti nama menjadi FFI Lampung.
Baru di tahun 2018 berganti nama menjadi Festival Film Lampung (FFL) hingga
sekarang.
Setelah
menjamur di kampus, klub film juga hadir di sekolah menengah. Di kota saya saja
yang notabene cuma kecamatan, ada 2 sekolah yang memiliki kegiatan ekstra
kurikuler film yakni di SMAN 1 Talun (sejak 2009) dan SMK PGRI Wlingi (sejak
2015). Saya dan komunitas membina dua klub tersebut. Mirip dengan pengalaman
saya (dan saya menilainya istimewa) adalah sosok Aris Prasetyo. Dia adalah guru
SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol Purbalingga. Mas Aris aktif mengajar
ekstrakurikuler film dan muridnya banyak meraih penghargaan nasional. “Gendut”
karya Eko Junianto, muridnya Mas Aris mengalahkan saya di Lomba Film Pendek HKN
Kementrian Kesehatan 2015. Eko dapat juara 1, saya juara 2. Mas Aris dan timnya
berkarya di tengah keterbatasan dan minimnya penghargaan dari lingkungan. Meski
begitu muridnya banyak menjuarai lomba di luar lingkungannya.
INDUSTRI
Banyaknya
festival film yang melahirkan para sutradara baru memudahkan industri dalam
merekrut bakat. Beberapa sutradara berawal dari jalur independen hingga masuk
industri mayor. Hanung Bramantyo misalnya. Ia berangkat dari film pendek
berjudul "Tlutur" (1998) yang dibuat saat ia masih kuliah di Institut
Kesenian Jakarta. Tlutur berhasil menjadi juara pertama di Festival Film
Alternatif Dewan Kesenian Jakarta 1998. Beberapa rumah produksi pun berawal
dari komunitas independen, misalnya Fourcolours dan Studio Antelope. Rumah
produksi ini saat ini sudah menjadi bagian dari industri film nasional.
Saat
ini antara pelaku independen dan non independen menjadi berbaur di dalam
industri. Inilah yang di bagian awal cukup merepotkan saya dalam memberikan
batasan atau definisi. Sejauh pengamatan saya, setelah reformasi sebagian besar
filmmaker pernah mengawali lewat jalur independen.
Sementara
itu bersamaan dengan makin tenarnya platform layanan menonton Over The Top
(OTT) terutama Netflix, banyak OTT serupa muncul di Asia dan Indonesia. Ada
yang membuka peluang untuk mengajukan ide cerita misalnya oleh Viu yang
berbasis di Hongkong. Viu Indonesia membuka acara Viu Pitching Forum dan
serangkaian pelatihan. Akan tetapi menurut saya terobosan terbaru adalah ketika
ada kategori film pendek secara khusus pada aplikasi berbayar. Goplay Indonesia
(perusahaan milik Gojek) misalnya melakukan kerjasama dengan para filmmaker
film pendek untuk memasang film mereka di bawah fitur “Goplay Indie”. Terbosan
semacam ini juga diikuti dengan munculnya beberapa platform baru yang
mengkhususkan pada film independen dan atau film pendek. Saya pribadi
setidaknya dihubungi oleh 4 platform baru yang meminta film saya diunggah pada
platform mereka.
MASYARAKAT
Maraknya
film independen juga menumbuhkan golongan penonton baru. Mereka ini jadi melek
film karena edukasi dari komunitas dan terselenggaranya pemutaran alternatif.
Di platform online, istilah subscriber Youtube menjadi sebuah komoditas yang
penting. Lalu muncul pula para penonton "khusus", saya sebut demikian
karena mereka memang bukan masyarakat yang menonton film secara biasa. Mereka
ini mengapresiasi secara kritis, memiliki metode dan juga menyebarkan
gagasannya. Mereka adalah para kritikus film seperti JB Kristanto, Ekky Imanjaya,
Hikmat Dharmawan, Eric Sasono, Adrian Jonathan Pasaribu dan lain-lain.
Sebelum
reformasi rata-rata kritikus menulis untuk media yang sudah mapan, baru bisa
dibaca masyarakat. Dengan berkembangnya ragam media misalnya blog di internet,
kritikus bisa mempublikasikan tulisannya secara langsung dan independen. JB
Kristanto, senior kritikus penulis buku Katalog Film Indonesia, yang berisi
data tentang film Indonesia sepanjang masa yang diperbaharui secara berkala,
turut memprakarsai berdirinya situs filmindonesia.or.id, pusat data mengenai
film dan perfilman Indonesia. Kemudian ada Eric Sasono dan kawan-kawan yang memprakarsai
rumahfilm.org (sudah tak bisa diakses). Eric juga menulis di website pribadinya
ericsasono.com. Yang lebih muda ada Rasyid Rahman Harry yang mempublikasikan
tulisannya di blog movreak.blogspot.com dan tulisannya pernah mendapat nominasi
kritik terpilih Piala Maya 2018. Piala Maya sendiri yang konon disetarakan
dengan Piala Citra FFI juga lahir dari interaksi online para kritikus film
yakni Hafiz Husni yang mengawalinya di Twitter sebelum kemudian menjadi
perayaan offline. Perkembangan teknologi media ini memang membuat para kritikus
film bisa lebih independen.
Yang
paling terkemuka pasca reformasi menurut saya adalah Cinema Poetica. Media kritik
film ini bermula setelah Adrian Jonathan Pasaribu, Windu Jusuf dan Makbul
Mubarak sering berdiskusi di Kinoki Jogjakarta. Kinoki adalah ruang putar
alternatif terkemuka pada masa itu di Jogja. Cinema Poetica juga terlibat dalam
proyek penulisan buku Seri Wacana Sinema yang disponsori oleh Dewan Kesenian
Jakarta. Buku tersebut menjadi sumber penting saya dalam menulis tulisan ini.
Perkembangan
berikutnya adalah kritikus yang memuat kritiknya dalam format lebih ringan
yakni berbentuk video blog atau vlog. Misalnya kelompok Cine Crib yang
mempunyai kanal di Youtube. Kehadiran mereka ini menjadikan kritik film terasa
lebih tercerna untuk masyarakat yang malas membaca. Adapun soal kedalaman
kritik yang mereka lontarkan bisa menjadi wilayah kritik tersendiri. Cine Crib
juga memproduksi film, antara lain "Merangkul Jarak" (Gerry Fairus,
2020) berkolaborasi dengan Kinovia.
(Kembali ke Bagian X) (Bersambung ke Bagian XII - XIII)
(Bagian I - III) (Bagian IV - V) (Bagian VI - VII) (Bagian VIII)
(Bagian IX) (Bagian X) (Bagian XI) (Bagian XII - XIII)
==================================================================
XI.
RESPON TERHADAP GERAKAN FILM INDEPENDEN INDONESIA
Respon
atas ramainya pergerakan film independen direspon setidaknya oleh 4 pihak:
Pemerintah, Lembaga Pendidikan (negeri dan swasta) beserta anggotanya, Industri
dan Masyarakat. Saya mendapat banyak informasi dari buku seri wawasan sinema
terbitan DKJ dan juga tulisan-tulisan di Cinema Poetica.
PEMERINTAH
Yang
paling jelas teramati adalah masalah perundang-undangan. Lembaga Sensor tak
lagi seketat dulu, birokrasi izin produksi sudah tak lagi melewati departemen
penerangan dan Pangkopkamtib. Pemerintah mengakomodir perkembangan gerakan film
dengan pembukaan jurusan baru film di beberapa perguruan tinggi. Sebelum
reformasi, jurusan film cukup langka. Institut Kesenian Jakarta menjadi lembaga
yang paling terkemuka karena masih satu-satunya. Perlombaan seni yang
diselenggarakan pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga mulai
membuka cabang film pendek, misalnya FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional)
yang berlangsung di tingkat kabupaten, propinsi hingga nasional.
Merespon
maraknya perkembangan perfilman di masyarakat, Cinema Poetica mencatat bahwa
negara mencoba hadir melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm). Unit
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu mengadakan sejumlah program
dukungan bagi komunitas film, mulai dari pendanaan produksi, penyelenggaraan
kegiatan, suplai film, hingga pengembangan kapasitas. Lembaga nonkementerian
seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) turut membuka pintu untuk komunitas film. BEKRAF
bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengadakan forum pendanaan
film bernama Akatara, yang menerima proposal film pendek dan festival film
milik komunitas. Sementara KPK menyelenggarakan Anti-Corruption Film Festival
(ACFF), yang salah satu programnya adalah penyediaan dana produksi film bertema
antikorupsi bagi komunitas-komunitas film.
Sejumlah
pemerintahan daerah juga mendukung dengan melibatkan komunitas film dalam
perhelatan tingkat lokal atau regional, sebagaimana yang terjadi dalam
penyelenggaraan Festival Film Malang dan Festival Film Jawa Barat. Pemerintah
Provinsi Yogyakarta, berkat Dana Keistimewaan, bahkan menyediakan dana khusus
untuk produksi film fiksi dan dokumenter pendek—pembuat film bisa mengajukan
proyeknya melalui forum pitching yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2016.
Contohnya film "Tilik" yang viral itu mendapatkan bantuan dari Dinas
Kebudayaan Yogyakarta.
Akan
tetapi perkembangan di tiap daerah tak sama. Perkembangan film di Aceh agak
menemui kesulitan karena beberapa faktor. Aceh menerapkan hukum berdasarkan
syariat Islam yang membatasi pertemuan lelaki dan perempuan bukan muhrim dalam
satu ruang tertutup. Dari sini akibatnya adalah ketiadaan bioskop. Meski begitu
pada suatu kesempatan Walikota Kota Banda Aceh, Aminullah Usman mendukung penuh
dunia perfilman Aceh. Dikatakan bahwa koordinasi terus dilakukan oleh
pemerintah dengan pihak-pihak terkait agar bioskop dapat hadir dengan nuansa
Islami. Aminullah mengatakan, pemerintah Banda Aceh akan mengadakan pembicaraan
terkait pembuatan bioskop dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Rencananya bioskop Banda Aceh akan dibuat dalam konsep yang berbeda, sesuai
syariat. Hingga tulisan ini dibuat, bioskop syariah yang dibicarakan tersebut
tidak kunjung hadir karena belum ada qanun yang mengatur tentang itu.
Selain
itu respon dari pemerintah tak selalu menggembirakan. Dalam amatan saya
pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam melindungi kegiatan perfilman
misalnya ketika pemutaran film diancam oleh organisasi masyarakat tertentu.
Pemutaran film semacam "Jagal (The Act of Killing)" (Joshua
Oppenheimer, 2012) dan "Pulau Buru Tanah Air Beta" (Rahung Nasution,
2016) selalu dibiarkan diintimidasi oleh kelompok tertentu. Beberapa acara
festival seperti yang diselenggarakan CLC Purbalingga pun sering berurusan
dengan aparat pemerintah.
LEMBAGA
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat
seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, pada
tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur
Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk mendukung pengembangan kesenian di
wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh
Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Anggota DKJ
terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6
komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari
dan Komite Teater. Meski DKJ bekerjasama lembaga-lembaga nirlaba, perusahaan
yang memiliki kepedulian terhadap seni-budaya, dan dengan dewan kesenian
kabupaten/kota/provinsi lainnya, namun pengelolaan organisasi dilakukan secara
otonom. Kegiatan DKJ antara lain penelitian, pendokumentasian karya dan
kegiatan, kajian seni-budaya, festival, penyediaan wahana apresiasi
(pertunjukan seni, pemutaran film, pameran/gelar karya) dan lain-lain.
Sebagai
ruang apresiasi film, di DKJ didirikan Kine Klub DKJ pada tahun 1969, tak lama
setelah Ali Sadikin selaku gubernur DKI Jakarta meresmikan Taman Ismail Marzuki
pada 10 November 1968. Dalam Cinema Poetica disebutkan bahwa di masa jayanya,
Kine Klub DKJ rutin mengadakan acara pekan pemutaran film sekali dalam sebulan
di Teater Tertutup TIM. Mereka bekerja sama dengan berbagai pusat kebudayaan
dan juga sineas-sineas lokal dalam prosesnya. Usai pemutaran, para penonton
bisa berinteraksi langsung dengan para tokoh dunia film tersebut. Menurut
Marselli Sumarno, kritikus film sekaligus anggota Komite Film DKJ 2009-2015,
Kine Klub DKJ bahkan pernah kedatangan dua sutradara besar dari Jerman, yaitu
Wim Wenders dan Volker Schlöndorff.
Menurut
Marselli, animo masyarakat terhadap Kine Klub DKJ mencapai puncaknya pada
1980an. Para penonton datang dari beragam latar belakang, entah mahasiswa,
pekerja kantoran, hingga seniman. Mereka yang mendaftar jadi anggota hanya
diwajibkan membayar setengah harga tiket masuk dalam sebuah pemutaran. Itu saja
sudah cukup untuk menutupi biaya operasional sehari-hari.
Hingga
tahun 1990, tumbuh banyak kine klub atau inisiatif sejenis di berbagai lembaga
pendidikan dan kebudayaan. Dalam catatan Cinema Poetica, pertumbuhan kine klub
lantas berujung pada penyelenggaraan Musyawarah Besar Kine Klub Indonesia di
Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19–22 September 1990. Difasilitasi oleh
DKJ, musyawarah tersebut mempertemukan 42 kine klub dan berpuncak pada
pembentukan Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) sebagai induk
kegiatan kine klub di Indonesia. Selaras dengan kine-kine klub yang menghidupinya,
kegiatan SENAKKI lebih banyak berkutat pada penayangan dan apresiasi film.
Dalam beberapa kesempatan, SENAKKI bermitra dengan perusahaan-perusahaan swasta
seperti 21 Cineplex dan Fuji Film untuk mengadakan program-program pelatihan.
Semangat kegiatannya: pembinaan masyarakat.
Menjelang
akhir 1990an industri film nasional merosot. Ditambah dengan kemunculan
beberapa televisi swasta, krisis moneter dan kekisruhan politik mengakibatkan aktivitas
Kine Klub DKJ menurun dan akhirnya bubar. Apalagi pada awal 2000an, Teater
Tertutup yang kerap jadi lokasi pemutaran harus disingkirkan untuk pembangunan
dua gedung pertunjukan baru di TIM: Teater Besar dan Teater Kecil.
Gotot
Prakosa (yang tadi kita singgung di segmen sejarah awal) menjabat sebagai Ketua
Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2002-2006. Ia mencoba menggagas
sebuah wadah bagi film-film independen yang ia istilahkan sebagai “film
pinggiran”. Bersama dengan Ratna Sarumpaet, Ketua DKJ 2003-2006, dan beberapa
kawan lainnya, Gotot melakukan negosiasi dengan pihak 21 Cineplex untuk memberi
sebuah ruang bagi film-film non-komersial dalam bioskop mereka di kompleks
Taman Ismail Marzuki. Permintaan itu disetujui. Mulai 29 Juni 2005, berdirilah
Art Cinema yang rutin memutarkan film-film alternatif selama dua minggu tiap
bulannya di studio 1 bioskop 21 Cineplex TIM dengan kapasitas 130 kursi.
Pemutaran dilakukan sesuai program yang dirancang oleh Komite Film DKJ saat
itu.
Setahun
kemudian, terjadi pergantian kepengurusan di mana Marco Kusumawijaya diangkat
sebagai Ketua DKJ dan untuk Ketua Komite Film ditunjuklah Farishad Latjuba.
Sejak itu, Art Cinema berganti nama jadi Kineforum. Program pun tak lagi
dirancang langsung oleh Komite Film. Lisabona Rahman (yang nanti akan kita
sebut sebagai salah seorang yang aktif di filmindonesia.or.id) dijadikan
Manajer Program pertama.
Dalam
wawancara dengan Jurnal Footage pada Agustus 2008, Lisabona Rahman menyebut
bahwa perbedaan antara Art Cinema dengan Kineforum adalah bahwa Art Cinema
lebih mirip ke ruang pameran, dalam arti mereka memutar film-film yang dianggap
kuratornya sebagai “film seni”. Sedangkan, Kineforum tidak membatasi diri pada
film-film seni saja, melainkan film-film apapun selama ada keterkaitan dengan
tema yang sudah diprogram. Dengan demikian Kineforum menjadi sebuah ruang
pemutaran alternatif.
Perguruan
tinggi memang lazim menjadi ruang tumbuhnya para mahasiswa pegiat film.
Kegiatan film di kampus biasanya diorganisir dalam Lembaga Semi Otonom (LSO),
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau oleh himpunan mahasiswa jurusan tertentu.
Tak melulu dari jurusan film atau sejenis, kegiatan film dilakukan oleh
mahasiswa jurusan apapun. Pasca reformasi fenomena menjamurnya kine klub
menjalar ke seluruh Indonesia, baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta.
Kiprah mereka ini mewarnai jejaring perfilman dengan terselenggaranya
festival-festival film independent.
Di
wilayah Jakarta misalnya ada UCIFEST - UMN Animation & Film Festival adalah
sebuah festival film pendek yang diselenggarakan oleh Universitas Multimedia
Nusantara sejak tahun 2010. Sasarannya adalah mahasiswa dan pelajar SMA/SMK
se-Indonesia. UCIFEST juga menyelenggarakan program diskusi, pitching forum,
hingga pemaparan materi dari filmmakers profesional.
Ada
lagi UI Film Festival (UIFF) merupakan festival film yang dibesut oleh UKM
Sinematografi UI. UIFF pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014 dan
berfokus pada literasi, apresiasi, kompetisi, juga diskusi film pendek
mahasiswa dari seluruh Indonesia.
Bandung
malah lebih awal lagi. Ganesha Film Festival, atau yang biasa disingkat
Ganffest, merupakan sebuah festival film pendek independen yang diselenggarakan
oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB sejak 2008. Acara ini diadakan setiap dua
tahun sekali.
Kita
coba telusuri kprah-kiprah kine klub sejenis di Jawa Tengah dan Jogja.
Kine
Klub FISIP UNS sudah mengadakan pemutaran besar sejak akhir tahun 1990 – 2016.
Sejak 2016, Pesta Film Solo digelar dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting
perfilman Indonesia sebagai pembicara untuk kegiatan diskusi usai pemutaran
film. Pesta Film Solo selalu mengajak kurator di luar komunitas mereka untuk
memilih film-film yang akan ditampilkan. Di kota yang sama, Solo Documentary
Festival (SODOC) sejak 2015. Festival film khusus dokumenter ini
diselenggarakan oleh para mahasiswa ISI Surakarta di kota Solo. Sesuai dengan
namanya, festival film ini hanya menerima film dengan kategori dokumenter.
Sodoc juga menjalankan program diskusi dan lokakarya film dokumenter.
Di
Jogja kegiatan film di kampus tak selalu dari institut seni. Di UGM sejak awal
tahun 2000an sudah ada program pemutaran film dan diskusi di Fakultas Teknik.
Saat itu saya masih mahasiswa dan pernah menghadirinya. Namun sayangnya belum
mencakup pemutaran film independen lokal. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM kadang
juga ada pemutaran film dari luar. Saya pernah menghadiri pemutaran film
"Reinkarnasi" (Dede Yusuf, 1997). Mungkin yang cukup terkemuka di kalangan
kampus adalah Sewon screening. Sewon Screening adalah salah satu program kerja
himpunan Mahasiswa Jurusan Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Yogyakarta
yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015, program ini berbentuk ekshibisi film.
Festival ini mengusung semangat "Angin Segar dari selatan" (karena
Sewon terletak di bagian selatan Yogyakarta) dengan sub tema yang berbeda
setiap tahun.
Di
Jawa Timur, misalnya. di Universitas Muhammadiyyah Malang berdiri Kine Klub UMM
sejak tahun 1999. Kine Klub UMM memulai kegiatan produksinya sejak tahun 2003
dan merupakan penyelenggara Malang Film Festival (MAFI). Sementara itu di
Universitas Brawijaya Malang, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
pada tahun 2006 berdiri Societo Sineklub. Dari 2006 sampai 2011, Societo
Sineklub sibuk dengan program-program produksi film pendek dan beberapa
pemutaran untuk meluncurkan film-film produksi tersebut.
Di
Makassar, gerakan film kampus dipelopori oleh para mahasiswa jurusan Komunikasi
Universitas Hasanuddin yang kemudian diikuti oleh kampus lain seperti
Universitas Muhammadiyah Makassar, Stikom Fajar Makassar dan lain-lain. Di
tahun 2008, sekitar 20 kelompok film berkumpul dan menggagas pembentukan Forum
Film (FOR FILM) Makassar. Secara rutin, mereka bertemu dan berdiskusi perihal
perencanaan dan manajemen produksi film, bagaimana meningkatkan kualitas film,
distribusi, penayangan dan lain-lain. FOR FILM Makassar menggagas Antologi Film
Pendek untuk Makassar di tahun 2009 sebagai program pertamanya.
Di
tahun 2008, Institut Kesenian Makassar (IKM) didirikan. Salah satu program
studi yang dibentuk adalah Film dan Televisi. Kehadiran IKM beserta program
studi Film dan Televisi-nya memberi angin sejuk bagi pekerja film di Makassar
yang selama ini hanya mempelajari film secara otodidak, juga bagi mereka yang
berminat menjadi pekerja film. Ada 2 film yang dikerjakan oleh
mahasiswa-mahasiswa IKM yang mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat,
yaitu film "Memburu Harimau" dan "Jejak-jejak Kecil". Film
Memburu Harimau diproduksi dan ditayangkan dengan swadaya. Sebuah ruang di
Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie diubah menjadi semirip mungkin
dengan bioskop pada lazimnya. Bioskop tersebut hanya berkapasitas 20 kursi.
Film Memburu Harimau mendapat sambutan yang luar biasa. Selama 5 hari
penayangan sekira 700 penonton hadir. Film terakhir yang dikerjakan
mahasiswa-mahasiswa IKM adalah "Jejak-Jejak Kecil" yang berdurasi 75
menit, diproduksi oleh Tetta Production bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Kota Makassar. Film ini telah diproduksi dalam bentuk DVD dan
terjual hingga 2.500 keping.
Di
Lampung penggerak perfilman juga dari kalangan kampus. UKM Darmajaya Computer
& Film Club (DCFC) yang merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang
Penalaran & Keilmuan di Institut Informatika & Bisnis Darmajaya serta
bergerak di bidang komputer dan perfilman menyelenggarakan Festival Film Indie Darmajaya (FFI Darmajaya)
di tahun 2009. Di tahun 2015 FFI Damarjaya berganti nama menjadi FFI Lampung.
Baru di tahun 2018 berganti nama menjadi Festival Film Lampung (FFL) hingga
sekarang.
Setelah
menjamur di kampus, klub film juga hadir di sekolah menengah. Di kota saya saja
yang notabene cuma kecamatan, ada 2 sekolah yang memiliki kegiatan ekstra
kurikuler film yakni di SMAN 1 Talun (sejak 2009) dan SMK PGRI Wlingi (sejak
2015). Saya dan komunitas membina dua klub tersebut. Mirip dengan pengalaman
saya (dan saya menilainya istimewa) adalah sosok Aris Prasetyo. Dia adalah guru
SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol Purbalingga. Mas Aris aktif mengajar
ekstrakurikuler film dan muridnya banyak meraih penghargaan nasional. “Gendut”
karya Eko Junianto, muridnya Mas Aris mengalahkan saya di Lomba Film Pendek HKN
Kementrian Kesehatan 2015. Eko dapat juara 1, saya juara 2. Mas Aris dan timnya
berkarya di tengah keterbatasan dan minimnya penghargaan dari lingkungan. Meski
begitu muridnya banyak menjuarai lomba di luar lingkungannya.
INDUSTRI
Banyaknya
festival film yang melahirkan para sutradara baru memudahkan industri dalam
merekrut bakat. Beberapa sutradara berawal dari jalur independen hingga masuk
industri mayor. Hanung Bramantyo misalnya. Ia berangkat dari film pendek
berjudul "Tlutur" (1998) yang dibuat saat ia masih kuliah di Institut
Kesenian Jakarta. Tlutur berhasil menjadi juara pertama di Festival Film
Alternatif Dewan Kesenian Jakarta 1998. Beberapa rumah produksi pun berawal
dari komunitas independen, misalnya Fourcolours dan Studio Antelope. Rumah
produksi ini saat ini sudah menjadi bagian dari industri film nasional.
Saat
ini antara pelaku independen dan non independen menjadi berbaur di dalam
industri. Inilah yang di bagian awal cukup merepotkan saya dalam memberikan
batasan atau definisi. Sejauh pengamatan saya, setelah reformasi sebagian besar
filmmaker pernah mengawali lewat jalur independen.
Sementara
itu bersamaan dengan makin tenarnya platform layanan menonton Over The Top
(OTT) terutama Netflix, banyak OTT serupa muncul di Asia dan Indonesia. Ada
yang membuka peluang untuk mengajukan ide cerita misalnya oleh Viu yang
berbasis di Hongkong. Viu Indonesia membuka acara Viu Pitching Forum dan
serangkaian pelatihan. Akan tetapi menurut saya terobosan terbaru adalah ketika
ada kategori film pendek secara khusus pada aplikasi berbayar. Goplay Indonesia
(perusahaan milik Gojek) misalnya melakukan kerjasama dengan para filmmaker
film pendek untuk memasang film mereka di bawah fitur “Goplay Indie”. Terbosan
semacam ini juga diikuti dengan munculnya beberapa platform baru yang
mengkhususkan pada film independen dan atau film pendek. Saya pribadi
setidaknya dihubungi oleh 4 platform baru yang meminta film saya diunggah pada
platform mereka.
MASYARAKAT
Maraknya
film independen juga menumbuhkan golongan penonton baru. Mereka ini jadi melek
film karena edukasi dari komunitas dan terselenggaranya pemutaran alternatif.
Di platform online, istilah subscriber Youtube menjadi sebuah komoditas yang
penting. Lalu muncul pula para penonton "khusus", saya sebut demikian
karena mereka memang bukan masyarakat yang menonton film secara biasa. Mereka
ini mengapresiasi secara kritis, memiliki metode dan juga menyebarkan
gagasannya. Mereka adalah para kritikus film seperti JB Kristanto, Ekky Imanjaya,
Hikmat Dharmawan, Eric Sasono, Adrian Jonathan Pasaribu dan lain-lain.
Sebelum
reformasi rata-rata kritikus menulis untuk media yang sudah mapan, baru bisa
dibaca masyarakat. Dengan berkembangnya ragam media misalnya blog di internet,
kritikus bisa mempublikasikan tulisannya secara langsung dan independen. JB
Kristanto, senior kritikus penulis buku Katalog Film Indonesia, yang berisi
data tentang film Indonesia sepanjang masa yang diperbaharui secara berkala,
turut memprakarsai berdirinya situs filmindonesia.or.id, pusat data mengenai
film dan perfilman Indonesia. Kemudian ada Eric Sasono dan kawan-kawan yang memprakarsai
rumahfilm.org (sudah tak bisa diakses). Eric juga menulis di website pribadinya
ericsasono.com. Yang lebih muda ada Rasyid Rahman Harry yang mempublikasikan
tulisannya di blog movreak.blogspot.com dan tulisannya pernah mendapat nominasi
kritik terpilih Piala Maya 2018. Piala Maya sendiri yang konon disetarakan
dengan Piala Citra FFI juga lahir dari interaksi online para kritikus film
yakni Hafiz Husni yang mengawalinya di Twitter sebelum kemudian menjadi
perayaan offline. Perkembangan teknologi media ini memang membuat para kritikus
film bisa lebih independen.
Yang
paling terkemuka pasca reformasi menurut saya adalah Cinema Poetica. Media kritik
film ini bermula setelah Adrian Jonathan Pasaribu, Windu Jusuf dan Makbul
Mubarak sering berdiskusi di Kinoki Jogjakarta. Kinoki adalah ruang putar
alternatif terkemuka pada masa itu di Jogja. Cinema Poetica juga terlibat dalam
proyek penulisan buku Seri Wacana Sinema yang disponsori oleh Dewan Kesenian
Jakarta. Buku tersebut menjadi sumber penting saya dalam menulis tulisan ini.
Perkembangan
berikutnya adalah kritikus yang memuat kritiknya dalam format lebih ringan
yakni berbentuk video blog atau vlog. Misalnya kelompok Cine Crib yang
mempunyai kanal di Youtube. Kehadiran mereka ini menjadikan kritik film terasa
lebih tercerna untuk masyarakat yang malas membaca. Adapun soal kedalaman
kritik yang mereka lontarkan bisa menjadi wilayah kritik tersendiri. Cine Crib
juga memproduksi film, antara lain "Merangkul Jarak" (Gerry Fairus,
2020) berkolaborasi dengan Kinovia.
(Kembali ke Bagian X) (Bersambung ke Bagian XII - XIII)