HOW TO BE A KABUPATEN FILMMAKER: SEGRONJAL DEMI SEGRONJAL
Ini buat teman-teman yang tinggal di kabupaten yang ingin atau sedang berkarya film mungkin hal-hal berikut ini boleh jadi pertimbangan.
1. KONDISI PERFILMAN KABUPATEN
- Mentok di jargon lokalitas. Tidak terbuka pada kemungkinan baru.
- Dibebani jargon menampilkan budaya dan kearifan lokal.
- Mandeg di distribusi. Abis diputar di komunitas, masuk harddisk selamanya.
Menurut saya, masalah perfilman kabupaten antara lain:
- Ketiadaan skema pendanaan eksternal yang konsisten. Biasanya filmmaker cenderung dibebani dengan hal-hal tipikal yang saya tulis di atas tadi.
- Ketersediaan talenta yang mumpuni. Meski banyak orang berbakat, nyatanya cukup sulit menemukan talent yang bersedia menyesuaikan dengan sistem kerja film yang standar. Dengan kata lain, maunya langsung syuting.
- Keberadaan skema distribusi yang minim. Belum ada entitas yang mengelola agar film diputar merata di wilayahnya sendiri. Kalau mau dibebankan di filmmaker, biasanya udah kecapekan duluan sehabis produksi.
- Banyak orang yang nggak ngerti soal ekosistem perfilman nasional dan pembuatnya nggak terhubung ke sana. Contohnya anak-anak SMA mentoknya ke FLS2N, jarang yang ke festival utama.
- Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai value budaya dari film. Pada nggak mau mbayar kalau dikasih tontonan. Ini mungkin sejak era Ken Arok adu pitik. Setahu saya nonton adu pitik jaman Ken Arok nggak bayar.
Dengan menyadari kondisi ini, maka anda bisa mengambil langkah-langkah yang perlu.
2. MELURUSKAN NIAT
Pertama-tama ketahui dulu tujuanmu berkarya, mau amatir apa profesional. Amatir artinya kamu cuman hobi aja, gak ada rencana terlalu jauh selain berkarya demi kepuasan batin. Profesional artinya kamu memiliki rencana bisnis yang diharapkan sustainable untuk pekerjaan jangka panjang. Kemungkinan kamu akan melibatkan banyak orang dengan kerjaan spesifik.
Untuk amatir. Jaman gini semua dimungkinkan dengan teknologi. Bikin film pakai HP doang juga udah dimungkinkan. Nggak ada kru? Bikin film yang dibintangi diri sendiri juga bisa. Untuk amatir namun lebih serius, ada baiknya membangun komunitas. Saya waktu pulang ke kabupaten dulu nggak ada teman bikin film. Lalu saya dan seorang teman membangun komunitas yang mengajari bikin film ke remaja-remaja SMA. Setelah karya pertama disusul lagi karya berikutnya yang membuat kita makin banyak belajar. Orang-orang yang dulu jadi murid lama-lama jadi kolaborator. Ko-Produser saya saat ini dulunya adalah murid saya.
Untuk profesional. Jangan dulu bayangin proyek-proyek besar di mana anda akan duduk di kursi sutradara dan peralatan syuting yang berat-berat. Jangan bayangin film anda diputer di bioskop-bioskop besar macam XXI atau CGV. Jika anda membayar kru dengan standar UMR, itu sudah langkah bagus menuju profesional. Juga ketika anda menghitung biaya makan saat syuting, transport dll.
Untuk jadi profesional di kabupaten sangat berat karena ekosistemnya belum ada. Makanya banyak orang kabupaten hijrah ke Jakarta. Kabar baiknya desentralisasi sekarang sedang berjalan. Aktivitas film mulai menyebar. Jogja adalah Mekkah baru untuk perfilman nasional. Purbalingga adalah the ndesopolitan of cinema. Makassar wah jangan ditanya ya. Banyak filmmaker hebat dari sana. Tapi gimana kalau kamu tinggal di kabupaten yang jalan propinsinya gronjal-gronjal kayak nasib percintaanku?
3. CARA JADI FILMMAKER KABUPATEN
Untuk masuk ke perfilman itu umumnya ada 3 cara:
- Sekolah film. Di sini kamu dapat privilege berupa jejaring. Kamu juga akan dapat akses ke teknologi standar industri. Lulus dari sini peluang kamu masuk industri agak lebih mudah karena modal jejaring itu. Kalaupun tidak lulus dan udah duluan diajak proyekan, kamu udah masuk circle.
- Orang dalam. Ada beberapa cerita orang yang gak sengaja masuk industri. Mungkin diajakin temennya, mungkin karena bapaknya produser atau jika kamu punya duit untuk masuk ke circle produksi tertentu.
- Festival. Ini cara merangkak dari bawah. Karyamu harus masuk festival sehingga mendapat kesempatan untuk masuk ke circle produksi. Festival adalah cara yang cukup fair namun sangat susah karena memilih yang terbaik di antara terbaik. Kamu bersaing dengan yang udah pro maupun orang-orang yang punya latar sekolah film.
Saya tidak sekolah film. Saya masuk ke perfilman lewat cara terakhir. Prosesnya ada selama 10 tahunan. Pertama bikin film 2006, masuk festival 2015, masuk profesional 2019.
4. MEMBENTUK EKOSISTEM DI KABUPATEN
Ekosistem artinya hadirnya sejumlah pihak yang berkepentingan dengan perfilman terutama kabupaten untuk bersinergi. Ekosistem yang sesungguhnya kompleks namun untuk level kabupaten kita bikin sederhana aja deh. 3 Ekosistem penting yang harus ada adalah:
1. Penonton. Penonton di sini idealnya yang juga sadar value dari film. Untuk itu perlu diedukasi. Edukasi bisa dilakukan oleh komunitas dengan menggelar diskusi selesai pemutaran.
2. Ruang putar. Idealnya ada pihak yang khusus menyediakan ruang putar entah di dalam ruang atau layar tancap keliling. Pembuat film tak selalu punya resource untuk ini. Kenyataannya sering dirangkap juga. Distribusi ideal kabupaten bisa dibagi berdasarkan satuan administratif. Jadi misal ketika film jadi, ada baiknya sudah direncanakan diputar di kecamatan mana saja.
3. Pembuat film. Ini meliputi sutradara, produser, talent dan kru. Di kabupaten biasanya hal ini dikerjakan secara komunal.
Kalau film cuma diputer di kabupaten, biasanya tipikalnya abis film diputer langsung ngendon di harddisk. Atau juga seringkali diupload di Yutub (ini ada plus minusnya). Bagaimana agar distribusi film hidup lebih lama?
Saatnya mikir sustainability.
5. SUSTAINABILITY DI KABUPATEN
Overview. Distribusi film independen saat ini masih berada pada tahap balita dan jumlah penonton film Indonesia belum cukup signifikan untuk membiayai balik modal yang dikeluarkan untuk produksi film independen. Untuk sustain di kabupaten nggak ada rumus pastinya. Tapi kalau mau ngeyel dengan tetap di kabupaten mungkin hal-hal ini bisa dipertimbangkan.
- Harus(nya) punya bisnis lain yang cukup buat hidup sehari-hari.
- Mengelola komunitas dan mengedukasinya.
- Berfestival dan berjejaring dengan filmmaker seindonesia.
- Mengkomersilkan intellectual property dari proyek film anda.
- Jadi bounty hunter. Ikut kompetisi film demi duit.
Ada juga hal-hal yang dilakukan beberapa orang untuk tetap berkarya namun saya tak menyarankan seperti mendekati pejabat yang mau nyaleg, terlalu bergantung pada kepedulian pemda dan semacamnya. Sebaiknya jangan berhutang untuk berkarya karena apa yang kita andalkan untuk membayarnya seringkali tidak pasti.
Ini buat teman-teman yang tinggal di kabupaten yang ingin atau sedang berkarya film mungkin hal-hal berikut ini boleh jadi pertimbangan.
1. KONDISI PERFILMAN KABUPATEN
- Mentok di jargon lokalitas. Tidak terbuka pada kemungkinan baru.
- Dibebani jargon menampilkan budaya dan kearifan lokal.
- Mandeg di distribusi. Abis diputar di komunitas, masuk harddisk selamanya.
Menurut saya, masalah perfilman kabupaten antara lain:
- Ketiadaan skema pendanaan eksternal yang konsisten. Biasanya filmmaker cenderung dibebani dengan hal-hal tipikal yang saya tulis di atas tadi.
- Ketersediaan talenta yang mumpuni. Meski banyak orang berbakat, nyatanya cukup sulit menemukan talent yang bersedia menyesuaikan dengan sistem kerja film yang standar. Dengan kata lain, maunya langsung syuting.
- Keberadaan skema distribusi yang minim. Belum ada entitas yang mengelola agar film diputar merata di wilayahnya sendiri. Kalau mau dibebankan di filmmaker, biasanya udah kecapekan duluan sehabis produksi.
- Banyak orang yang nggak ngerti soal ekosistem perfilman nasional dan pembuatnya nggak terhubung ke sana. Contohnya anak-anak SMA mentoknya ke FLS2N, jarang yang ke festival utama.
- Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai value budaya dari film. Pada nggak mau mbayar kalau dikasih tontonan. Ini mungkin sejak era Ken Arok adu pitik. Setahu saya nonton adu pitik jaman Ken Arok nggak bayar.
Dengan menyadari kondisi ini, maka anda bisa mengambil langkah-langkah yang perlu.
2. MELURUSKAN NIAT
Pertama-tama ketahui dulu tujuanmu berkarya, mau amatir apa profesional. Amatir artinya kamu cuman hobi aja, gak ada rencana terlalu jauh selain berkarya demi kepuasan batin. Profesional artinya kamu memiliki rencana bisnis yang diharapkan sustainable untuk pekerjaan jangka panjang. Kemungkinan kamu akan melibatkan banyak orang dengan kerjaan spesifik.
Untuk amatir. Jaman gini semua dimungkinkan dengan teknologi. Bikin film pakai HP doang juga udah dimungkinkan. Nggak ada kru? Bikin film yang dibintangi diri sendiri juga bisa. Untuk amatir namun lebih serius, ada baiknya membangun komunitas. Saya waktu pulang ke kabupaten dulu nggak ada teman bikin film. Lalu saya dan seorang teman membangun komunitas yang mengajari bikin film ke remaja-remaja SMA. Setelah karya pertama disusul lagi karya berikutnya yang membuat kita makin banyak belajar. Orang-orang yang dulu jadi murid lama-lama jadi kolaborator. Ko-Produser saya saat ini dulunya adalah murid saya.
Untuk profesional. Jangan dulu bayangin proyek-proyek besar di mana anda akan duduk di kursi sutradara dan peralatan syuting yang berat-berat. Jangan bayangin film anda diputer di bioskop-bioskop besar macam XXI atau CGV. Jika anda membayar kru dengan standar UMR, itu sudah langkah bagus menuju profesional. Juga ketika anda menghitung biaya makan saat syuting, transport dll.
Untuk jadi profesional di kabupaten sangat berat karena ekosistemnya belum ada. Makanya banyak orang kabupaten hijrah ke Jakarta. Kabar baiknya desentralisasi sekarang sedang berjalan. Aktivitas film mulai menyebar. Jogja adalah Mekkah baru untuk perfilman nasional. Purbalingga adalah the ndesopolitan of cinema. Makassar wah jangan ditanya ya. Banyak filmmaker hebat dari sana. Tapi gimana kalau kamu tinggal di kabupaten yang jalan propinsinya gronjal-gronjal kayak nasib percintaanku?
3. CARA JADI FILMMAKER KABUPATEN
Untuk masuk ke perfilman itu umumnya ada 3 cara:
- Sekolah film. Di sini kamu dapat privilege berupa jejaring. Kamu juga akan dapat akses ke teknologi standar industri. Lulus dari sini peluang kamu masuk industri agak lebih mudah karena modal jejaring itu. Kalaupun tidak lulus dan udah duluan diajak proyekan, kamu udah masuk circle.
- Orang dalam. Ada beberapa cerita orang yang gak sengaja masuk industri. Mungkin diajakin temennya, mungkin karena bapaknya produser atau jika kamu punya duit untuk masuk ke circle produksi tertentu.
- Festival. Ini cara merangkak dari bawah. Karyamu harus masuk festival sehingga mendapat kesempatan untuk masuk ke circle produksi. Festival adalah cara yang cukup fair namun sangat susah karena memilih yang terbaik di antara terbaik. Kamu bersaing dengan yang udah pro maupun orang-orang yang punya latar sekolah film.
Saya tidak sekolah film. Saya masuk ke perfilman lewat cara terakhir. Prosesnya ada selama 10 tahunan. Pertama bikin film 2006, masuk festival 2015, masuk profesional 2019.
4. MEMBENTUK EKOSISTEM DI KABUPATEN
Ekosistem artinya hadirnya sejumlah pihak yang berkepentingan dengan perfilman terutama kabupaten untuk bersinergi. Ekosistem yang sesungguhnya kompleks namun untuk level kabupaten kita bikin sederhana aja deh. 3 Ekosistem penting yang harus ada adalah:
1. Penonton. Penonton di sini idealnya yang juga sadar value dari film. Untuk itu perlu diedukasi. Edukasi bisa dilakukan oleh komunitas dengan menggelar diskusi selesai pemutaran.
2. Ruang putar. Idealnya ada pihak yang khusus menyediakan ruang putar entah di dalam ruang atau layar tancap keliling. Pembuat film tak selalu punya resource untuk ini. Kenyataannya sering dirangkap juga. Distribusi ideal kabupaten bisa dibagi berdasarkan satuan administratif. Jadi misal ketika film jadi, ada baiknya sudah direncanakan diputar di kecamatan mana saja.
3. Pembuat film. Ini meliputi sutradara, produser, talent dan kru. Di kabupaten biasanya hal ini dikerjakan secara komunal.
Kalau film cuma diputer di kabupaten, biasanya tipikalnya abis film diputer langsung ngendon di harddisk. Atau juga seringkali diupload di Yutub (ini ada plus minusnya). Bagaimana agar distribusi film hidup lebih lama?
Saatnya mikir sustainability.
5. SUSTAINABILITY DI KABUPATEN
Overview. Distribusi film independen saat ini masih berada pada tahap balita dan jumlah penonton film Indonesia belum cukup signifikan untuk membiayai balik modal yang dikeluarkan untuk produksi film independen. Untuk sustain di kabupaten nggak ada rumus pastinya. Tapi kalau mau ngeyel dengan tetap di kabupaten mungkin hal-hal ini bisa dipertimbangkan.
- Harus(nya) punya bisnis lain yang cukup buat hidup sehari-hari.
- Mengelola komunitas dan mengedukasinya.
- Berfestival dan berjejaring dengan filmmaker seindonesia.
- Mengkomersilkan intellectual property dari proyek film anda.
- Jadi bounty hunter. Ikut kompetisi film demi duit.
Ada juga hal-hal yang dilakukan beberapa orang untuk tetap berkarya namun saya tak menyarankan seperti mendekati pejabat yang mau nyaleg, terlalu bergantung pada kepedulian pemda dan semacamnya. Sebaiknya jangan berhutang untuk berkarya karena apa yang kita andalkan untuk membayarnya seringkali tidak pasti.