Generasi
kelahiran tahun 80-90an adalah generasi terakhir yang dibesarkan oleh TVRI.
Tiap akhir September, TVRI punya ritual: memaksa orang-orang nonton film
propaganda rejim (Suharto) yang berjudul Pengkhianatan G 30S PKI. TV swasta
yang mulai makin mendominasi tontonan publik saat itu juga diwajibkan
bersama-sama memutar film yang diproduksi pada tahun 1984 tersebut. Walhasil
tak ada tontonan alternatif pada malam 30 september selain itu. Kami yang saat
itu masih SD, diwajibkan menonton dan menulis rangkuman isi filmnya. Tugas ini
diberikan setiap tahun yang filmnya sama.
Hasilnya,
film ini sukses memberikan versi tunggal sejarah di benak masyarakat yang
sekaligus membawa trauma psikologis bagi pribadi saya. Di tempat lahir saya,
Blitar yang juga salah satu basis komunis pada masanya, orang-orang tua masih
mengingat peristiwa 1965 seakan baru terjadi beberapa bulan saja. Ibu saya
masih lancar menceritakan detail peristiwa yang ia alami di masa-masa itu. Hingga
beberapa dekade Film Pengkhianatan G 30S PKI menjadi referensi utama mengenai
sejarah resmi peristiwa 1965 di masyarakat.
Yang
menarik bagi saya, negara yang diwakili oleh PPFN dengan produser G. Dwipayana,
sutradara Arifin C. Noer dan ko-penulis Nugroho Notosusanto memilih genre horor
untuk media propaganda. Meski resminya adalah sebuah dokudrama, namun tanpa
ragu bahwa ini adalah film horor dengan beberapa elemen lazimnya: adegan
berdarah, kematian, teror dan hantu. Secara spesifik saya menyebutnya sebagai
genre horor politik kosmik. Kenapa kosmik?
Selama
era Orde Baru dan bahkan beberapa tahun setelahnya, keterlibatan dengan komunis
akan membawa sial hingga keturunan. Konsekuensinya bisa meluas tak hanya
pribadi tapi juga anak dan keturunannya. Lingkungannya juga bakal diawasi
aparat negara. Menyebut nama PKI bahkan seakan menyebut hantu yang tak boleh
disebut nama. Tak heran “PKI” juga menjadi salah satu umpatan tabu. “Dasar PKI!”
waktu itu lazim digunakan di lingkungan masa kecil saya untuk menggambarkan
orang tak bermoral dan jahat. Lingkungan yang merupakan basis PKI mendapat citra
buruk, misalnya Blitar Selatan pada masa itu. Jadi kehadiran komunis bahkan
hanya dalam lambang saja dianggap sebagai ancaman gaib. Komunisnya runtuh tapi
ideologinya dianggap sebagai hantu, bergentayangan secara kosmik. Maka negara
(rejim Orde Baru) masa itu perlu melanggengkan kesadaran akan hadirnya hantu
yang disebut bahaya laten itu dalam media propaganda.
Film
dimulai dimulai dengan adegan penggambaran merajalelanya intimidasi oleh PKI
kepada lawan politiknya, krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat kecil dan
rapuhnya pemerintahan Sukarno. Gambar-gambar yang mencekam dirajut dengan music
score gubahan Embie C. Noer yang meneror secara subliminal. Adegan penyerbuan
sebuah masjid pada subuh dan Al Quran yang dibacoki pakai celurit dan slideshow
potongan koran yang memberitakan seorang dicangkul kepalanya menegaskan bahwa
PKI adalah agen jahat yang meneror masyarakat. Awal-awal kemunculan karakter
D.N. Aidit yang diperankan Syu’bah Asa disorot dengan teknik pencahayaan dari
bawah, memperlihatkan pupil matanya seakan binatang buas nokturnal yang disorot
senter. Adegan Sukarno yang diperankan Umar Kayam, tengah sakit disorot dengan pacing yang sangat lambat. Ia berdiri di depan jendela lalu menoleh dengan
sangat lambat menyampaikan bahwa aura kematian semakin mendekat.
Puncak
horornya tentu adegan subuh di Lubang Buaya. Adegan penyiksaan digambarkan
seolah sekte pemuja iblis sedang mempersembahkan korban. Para jenderal diculik
pada pagi buta, dibawa ke sebuah area terpencil untuk disiksa sebelum dibunuh.
Di antara itu para PKI menari dan menyanyi dalam penerangan obor dan api unggun.
Lagu “Genjer-Genjer” yang awalnya cuma lagu folk biasa seakan jadi lagu
pemujaan setan, terlarang untuk diperdengarkan di publik seakan ditakutkan
mengundang hantu komunis. Semua orkestrasi macabre itu pun ditandai
dengan sebuah ungkapan paling ikonik dalam sejarah sinema Indonesia, “Darah itu
merah, Jendral!”.
Horor
tak lengkap rasanya tanpa comic relief. Ini ada juga dalam film Pengkhianatan G
30 S PKI. Adegan ikonik close up shot mulut seorang bapak sedang bicara
menampikan suasana yang lucu dan absurd. Sayangnya adegan ini dipotong pada
versi VCD-nya. Adegan latihan baris berbaris di Lubang Buaya juga berisi dialog
yang agak menggelitik. “Baris saja tidak becus kok mau mengganyang Nekolim?”
Tensi
teror dan horor menurun pada babak akhir ketika angkatan bersenjata mulai
bergerak menangkapi anggota PKI. Film ini sejenak berubah sedikit menjadi film
action. Semesta yang suram oleh ancaman hantu komunisme mulai jadi cerah. Meski
7 jendral korban peristiwa itu diangkat sebagai pahlawan resmi negara, tumpasnya
para hantu itu tidak dikatakan karena peran satu atau dua tokoh, bukan juga
karena angkatan bersenjata (Angkatan Darat) melainkan karena Pancasila.
Meski
ini film pesanan, tokoh Suharto (diperankan Amoroso Katamsi) sebagai pendiri
Orde Baru tidak serta merta gamblang digambarkan sebagai pahlawan. Bukan juga
Angkatan Darat di mana sentra konflik bermula. Jika musuh utama adalah bukan
manusia yakni ideologi komunisme maka lawan sebandingnya harusnya juga
sama-sama gaib. Film ini mengajukan satu entitas non-manusia dan non-organisasi
yakni Pancasila. Sementara dalam alam pertarungan ideologi dunia lawan
komunisme adalah kapitalisme, di Indonesia lawannya adalah Pancasila.
Pancasila
(yang entah bagaimana cara implementasinya oleh para penguasa) seakan menjadi
entitas kosmik penyelamat semesta. Para pahlawan revolusi menaruh percaya
padanya dan seharusnya seluruh bangsa juga. Itulah yang disampaikan di akhir
film. Namun tidak lantas film ini berubah jadi bernuansa heroisme. Sorotan
patung pahlawan revolusi berlatar Garuda Pancasila alih-alih menimbulkan rasa
nasionalisme malah terasa mencekam. Maka bisa dipahami jika bukan lagu “Garuda
Pancasila” ciptaan Sudharnoto yang heroik nasionalis dipilih untuk membawa aura
film ini melainkan “Gugur Bunga” karya Ismail Marzuki yang terasa pilu dan
horor.
Pancasila
digambarkan sebagai entitas kekuatan yang sakti telah menolong bangsa ini dari
cekaman teror dan horor komunis di Indonesia. Bisa dibilang tanpa adanya film
ini, propaganda anti komunisme tak akan sesukses itu hingga beberapa dekade.
Mungkin itu prestasi (jika bisa diistilahkan demikian) tersukses yang bisa
dicapai film Pengkhianatan G 30 S PKI jika dibandingkan dengan raihan Piala Citra
atau film terlaris yang karena memang dipaksa. Ini sebuah film yang tak hanya
horor dalam mise en scene-nya namun juga di realita.
Generasi
kelahiran tahun 80-90an adalah generasi terakhir yang dibesarkan oleh TVRI.
Tiap akhir September, TVRI punya ritual: memaksa orang-orang nonton film
propaganda rejim (Suharto) yang berjudul Pengkhianatan G 30S PKI. TV swasta
yang mulai makin mendominasi tontonan publik saat itu juga diwajibkan
bersama-sama memutar film yang diproduksi pada tahun 1984 tersebut. Walhasil
tak ada tontonan alternatif pada malam 30 september selain itu. Kami yang saat
itu masih SD, diwajibkan menonton dan menulis rangkuman isi filmnya. Tugas ini
diberikan setiap tahun yang filmnya sama.
Hasilnya,
film ini sukses memberikan versi tunggal sejarah di benak masyarakat yang
sekaligus membawa trauma psikologis bagi pribadi saya. Di tempat lahir saya,
Blitar yang juga salah satu basis komunis pada masanya, orang-orang tua masih
mengingat peristiwa 1965 seakan baru terjadi beberapa bulan saja. Ibu saya
masih lancar menceritakan detail peristiwa yang ia alami di masa-masa itu. Hingga
beberapa dekade Film Pengkhianatan G 30S PKI menjadi referensi utama mengenai
sejarah resmi peristiwa 1965 di masyarakat.
Yang
menarik bagi saya, negara yang diwakili oleh PPFN dengan produser G. Dwipayana,
sutradara Arifin C. Noer dan ko-penulis Nugroho Notosusanto memilih genre horor
untuk media propaganda. Meski resminya adalah sebuah dokudrama, namun tanpa
ragu bahwa ini adalah film horor dengan beberapa elemen lazimnya: adegan
berdarah, kematian, teror dan hantu. Secara spesifik saya menyebutnya sebagai
genre horor politik kosmik. Kenapa kosmik?
Selama
era Orde Baru dan bahkan beberapa tahun setelahnya, keterlibatan dengan komunis
akan membawa sial hingga keturunan. Konsekuensinya bisa meluas tak hanya
pribadi tapi juga anak dan keturunannya. Lingkungannya juga bakal diawasi
aparat negara. Menyebut nama PKI bahkan seakan menyebut hantu yang tak boleh
disebut nama. Tak heran “PKI” juga menjadi salah satu umpatan tabu. “Dasar PKI!”
waktu itu lazim digunakan di lingkungan masa kecil saya untuk menggambarkan
orang tak bermoral dan jahat. Lingkungan yang merupakan basis PKI mendapat citra
buruk, misalnya Blitar Selatan pada masa itu. Jadi kehadiran komunis bahkan
hanya dalam lambang saja dianggap sebagai ancaman gaib. Komunisnya runtuh tapi
ideologinya dianggap sebagai hantu, bergentayangan secara kosmik. Maka negara
(rejim Orde Baru) masa itu perlu melanggengkan kesadaran akan hadirnya hantu
yang disebut bahaya laten itu dalam media propaganda.
Film
dimulai dimulai dengan adegan penggambaran merajalelanya intimidasi oleh PKI
kepada lawan politiknya, krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat kecil dan
rapuhnya pemerintahan Sukarno. Gambar-gambar yang mencekam dirajut dengan music
score gubahan Embie C. Noer yang meneror secara subliminal. Adegan penyerbuan
sebuah masjid pada subuh dan Al Quran yang dibacoki pakai celurit dan slideshow
potongan koran yang memberitakan seorang dicangkul kepalanya menegaskan bahwa
PKI adalah agen jahat yang meneror masyarakat. Awal-awal kemunculan karakter
D.N. Aidit yang diperankan Syu’bah Asa disorot dengan teknik pencahayaan dari
bawah, memperlihatkan pupil matanya seakan binatang buas nokturnal yang disorot
senter. Adegan Sukarno yang diperankan Umar Kayam, tengah sakit disorot dengan pacing yang sangat lambat. Ia berdiri di depan jendela lalu menoleh dengan
sangat lambat menyampaikan bahwa aura kematian semakin mendekat.
Puncak
horornya tentu adegan subuh di Lubang Buaya. Adegan penyiksaan digambarkan
seolah sekte pemuja iblis sedang mempersembahkan korban. Para jenderal diculik
pada pagi buta, dibawa ke sebuah area terpencil untuk disiksa sebelum dibunuh.
Di antara itu para PKI menari dan menyanyi dalam penerangan obor dan api unggun.
Lagu “Genjer-Genjer” yang awalnya cuma lagu folk biasa seakan jadi lagu
pemujaan setan, terlarang untuk diperdengarkan di publik seakan ditakutkan
mengundang hantu komunis. Semua orkestrasi macabre itu pun ditandai
dengan sebuah ungkapan paling ikonik dalam sejarah sinema Indonesia, “Darah itu
merah, Jendral!”.
Horor
tak lengkap rasanya tanpa comic relief. Ini ada juga dalam film Pengkhianatan G
30 S PKI. Adegan ikonik close up shot mulut seorang bapak sedang bicara
menampikan suasana yang lucu dan absurd. Sayangnya adegan ini dipotong pada
versi VCD-nya. Adegan latihan baris berbaris di Lubang Buaya juga berisi dialog
yang agak menggelitik. “Baris saja tidak becus kok mau mengganyang Nekolim?”
Tensi
teror dan horor menurun pada babak akhir ketika angkatan bersenjata mulai
bergerak menangkapi anggota PKI. Film ini sejenak berubah sedikit menjadi film
action. Semesta yang suram oleh ancaman hantu komunisme mulai jadi cerah. Meski
7 jendral korban peristiwa itu diangkat sebagai pahlawan resmi negara, tumpasnya
para hantu itu tidak dikatakan karena peran satu atau dua tokoh, bukan juga
karena angkatan bersenjata (Angkatan Darat) melainkan karena Pancasila.
Meski
ini film pesanan, tokoh Suharto (diperankan Amoroso Katamsi) sebagai pendiri
Orde Baru tidak serta merta gamblang digambarkan sebagai pahlawan. Bukan juga
Angkatan Darat di mana sentra konflik bermula. Jika musuh utama adalah bukan
manusia yakni ideologi komunisme maka lawan sebandingnya harusnya juga
sama-sama gaib. Film ini mengajukan satu entitas non-manusia dan non-organisasi
yakni Pancasila. Sementara dalam alam pertarungan ideologi dunia lawan
komunisme adalah kapitalisme, di Indonesia lawannya adalah Pancasila.
Pancasila
(yang entah bagaimana cara implementasinya oleh para penguasa) seakan menjadi
entitas kosmik penyelamat semesta. Para pahlawan revolusi menaruh percaya
padanya dan seharusnya seluruh bangsa juga. Itulah yang disampaikan di akhir
film. Namun tidak lantas film ini berubah jadi bernuansa heroisme. Sorotan
patung pahlawan revolusi berlatar Garuda Pancasila alih-alih menimbulkan rasa
nasionalisme malah terasa mencekam. Maka bisa dipahami jika bukan lagu “Garuda
Pancasila” ciptaan Sudharnoto yang heroik nasionalis dipilih untuk membawa aura
film ini melainkan “Gugur Bunga” karya Ismail Marzuki yang terasa pilu dan
horor.
Pancasila
digambarkan sebagai entitas kekuatan yang sakti telah menolong bangsa ini dari
cekaman teror dan horor komunis di Indonesia. Bisa dibilang tanpa adanya film
ini, propaganda anti komunisme tak akan sesukses itu hingga beberapa dekade.
Mungkin itu prestasi (jika bisa diistilahkan demikian) tersukses yang bisa
dicapai film Pengkhianatan G 30 S PKI jika dibandingkan dengan raihan Piala Citra
atau film terlaris yang karena memang dipaksa. Ini sebuah film yang tak hanya
horor dalam mise en scene-nya namun juga di realita.