Pernah baca legenda Doctor Faust?
Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi.
Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.
Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.
Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.
Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan.
Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.
Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia?
Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"
Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?
Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:
Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!
Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.
Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?
Faust: Apa yang kau mau?
Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.
Faust: Ambilah semua!
Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."
Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.
Pernah baca legenda Doctor Faust?
Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi.
Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.
Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.
Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.
Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan.
Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.
Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia?
Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"
Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?
Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:
Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!
Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.
Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?
Faust: Apa yang kau mau?
Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.
Faust: Ambilah semua!
Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."
Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.