Sepanjang tahun 2000-an ini muncul fenomena baru dalam dunia film laga. Inovasi koreografi laga kini tidak melulu didominasi oleh Hongkong yang memang pusatnya film laga terbaik. 2 negara yang mulai menjadi pusat baru kebangkitan film laga adalah Thailand dan Indonesia. Saya akan fokus pada 2 film fenomenal dari kedua negara tersebut yaitu Ong Bak (Prachya Pinkaew 2003) dan The Raid (Gareth Evans 2011). Tak dapat dipungkiri bahwa Ong Bak yang lebih sukses duluan memicu reaksi berantai demam film laga dunia. The Raid (yang diproduksi belakangan) dalam beberapa sisi juga ikut "kecipratan" demam tersebut.
Ong Bak
Ong Baik adalah film yang melejitkan beladiri Muay Thai ke dalam budaya populer. Sejak film ini konon kelas-kelas Muay Thai menjadi laris. Jika ditilik sebenarnya apa yang ditampilkan oleh Tony "Panom Yeerum" Jaa adalah sebuah racikan kreatif antara Muay Boran, Tricking, Wushu, Taekwondo dan Muay Thai. Jadi tidak betul-betul murni Muay Thai. Namun dalam film, kesan adalah yang utama. Kita tentu tahu bahwa Muay Thai tradisional tidak mengandung akrobat-akrobat semasif dalam Ong Bak. Beberapa gerakan itu sesungguhnya tidak asing dalam tricking art yang dilakukan praktisi Taekwondo, Capoeira maupun Wushu. Ada aerial, backflip, backhandspring dll.![]() |
Ong Bak (2003) |
Tony pun mengakui bahwa ia sangat mengidolakan Jackie Chan dan Jet Li. Ia ingin menciptakan sesuatu yang "seindah" idolanya lakukan tetapi dengan cita rasa Thailand. Jika Jackie Chan dan Jet Li merepresentasikan keindahan Wushu, ia ingin dunia mengenal kedahsyatan Muay Thai. Namun Muay Thai yang original terlalu "combat oriented". Tony pun nampaknya meramu unsur-unsur Muay Boran (predesor Muay Thai), Wushu, Taekwondo, Gymnastic dll. agar menjadi adonan baru yang ia mau. Bagaimanakah melakukannya?
Tony Jaa menggunakan gerakan khas Muay Thai sebagai "bumbu dasar". Gerakan itu adalah serangan sikut dan lutut dengan berbagai variasinya. Meskipun dalam sekuens pertarungan Tony mencampur-campur semua pengaruh yang ada, namun Tony akan menutup setiap gerakan dengan pose Muay Boran yang khas. Jadilah "Muay Thai gaya baru". Meskipun hampir setiap beladiri jenis "stand up martial art" memiliki serangan sikut dan lutut, akan tetapi gaya sikut dan lutut ala Muay Thai (atau Muay Boran) cukup berbeda. Tony memperkuat kekhasan ini dengan "melebihkan" porsinya. Ia melakukannya dengan berbagai variasi (sambil lompat, sambil berputar dll). Jika laga ala Hongkong terlihat cepat dan indah, Tony membuat "neo-Muay Thai" style-nya terlihat keras dan dahsyat. Makanya ia banyak mengulang adegan yang sama dari berbagai angle secara slow-motion.
Ia juga ingin memperlihatkan bahwa impact setiap serangan terlihat nyata. Kita lihat pukulan maupun tendangan diperlihatkan benar-benar menghantam sasaran tanpa trik. Dalam film laga pada umumnya, kamera diletakkan pada posisi tertentu sehingga pukulan tak terlihat betul kena apa tidaknya ke sasaran. Dalam Ong Bak, hal ini dieksploitasi. Pukulan atau tendangan yang menghantam sasaran diputar dalam slow-motion. Sebenarnya ini makin lama terkesan berlebihan. Nampaknya Tony CS ingin agar penonton tercengang, seolah ingin mengatakan: Ini lho pukulannya kena beneran!. Ternyata ia sukses.
Ong Bak memiliki kekuatan dari segi style visual. Kesan orang akan Muay Thai yang keras dan dahsyat dieksploitasi secara artistik dalam film ini. Tak lupa Tony juga melakukan tricking gila-gilaan. Beberapa pengamat membandingkan bahwa ia hanya mengulang apa yang telah dilakukan idolanya, Jackie Chan. Memang betul, Jackie Chan sudah melakukan hal-hal berbahaya tanpa peran pengganti ketika Tony Jaa masih anak-anak. Tapi Tony bukan sekadar peniru. Ia membuat pembaharuan kreatif! Ia ingin melakukan Jackie Chan-Jet Li yang berbau Thailand! Ia tambahkan adonan Muay Thai ke dalam setiap gerakan. Ia sukses. Sekarang ini hampir kita lihat banyak orang ingin meniru-niru apa yang ia lakukan. Ada sikut dan lutut "berterbangan" ditambah banyak salto!
Apa yang sebenarnya ingin diperlihatkan lewat Ong Bak? Muay Thai gaya sinematik? Itu sudah jelas. Tapi yang sebenarnya tersampaikan dalam Ong Bak adalah kesan bahwa Tony Jaa melakukannya tanpa trik kamera! Ong Bak yang "mentah" (dalam artian positif), kasar dan keras! Beladiri yang bertenaga tanpa polesan. Itulah "rasa" yang sampai pada kita. Kalau kepukul ya kena beneran kalau salto ya tak tanggung-tanggung. Ong Bak yang keras, hebat, kasar, mentah namun indah.
Tony Jaa tidak sendiri dalam membuat semua itu. Ada Panna Rittikrai yang merupakan mentornya sejak muda dan tim Bangkok Muay Thai Stunt yang mau-maunya ditonjok sampai nyonyor demi film. Kerja kolaboratif, dedikasi, keberanian dan kemauan menampilkan sesuatu yang beridentitas (Thailand) membuat suksesnya film Ong Bak. Tampaknya sukses ini hanya berlangsung "lokal". Saya lihat selain produksi Sahamongkol Pictures (rumah produksi yang bikin Ong Bak), tak ada film laga Thailand yang racikannya sedahsyat mereka.
Tony Jaa menggunakan gerakan khas Muay Thai sebagai "bumbu dasar". Gerakan itu adalah serangan sikut dan lutut dengan berbagai variasinya. Meskipun dalam sekuens pertarungan Tony mencampur-campur semua pengaruh yang ada, namun Tony akan menutup setiap gerakan dengan pose Muay Boran yang khas. Jadilah "Muay Thai gaya baru". Meskipun hampir setiap beladiri jenis "stand up martial art" memiliki serangan sikut dan lutut, akan tetapi gaya sikut dan lutut ala Muay Thai (atau Muay Boran) cukup berbeda. Tony memperkuat kekhasan ini dengan "melebihkan" porsinya. Ia melakukannya dengan berbagai variasi (sambil lompat, sambil berputar dll). Jika laga ala Hongkong terlihat cepat dan indah, Tony membuat "neo-Muay Thai" style-nya terlihat keras dan dahsyat. Makanya ia banyak mengulang adegan yang sama dari berbagai angle secara slow-motion.
Ia juga ingin memperlihatkan bahwa impact setiap serangan terlihat nyata. Kita lihat pukulan maupun tendangan diperlihatkan benar-benar menghantam sasaran tanpa trik. Dalam film laga pada umumnya, kamera diletakkan pada posisi tertentu sehingga pukulan tak terlihat betul kena apa tidaknya ke sasaran. Dalam Ong Bak, hal ini dieksploitasi. Pukulan atau tendangan yang menghantam sasaran diputar dalam slow-motion. Sebenarnya ini makin lama terkesan berlebihan. Nampaknya Tony CS ingin agar penonton tercengang, seolah ingin mengatakan: Ini lho pukulannya kena beneran!. Ternyata ia sukses.
Ong Bak memiliki kekuatan dari segi style visual. Kesan orang akan Muay Thai yang keras dan dahsyat dieksploitasi secara artistik dalam film ini. Tak lupa Tony juga melakukan tricking gila-gilaan. Beberapa pengamat membandingkan bahwa ia hanya mengulang apa yang telah dilakukan idolanya, Jackie Chan. Memang betul, Jackie Chan sudah melakukan hal-hal berbahaya tanpa peran pengganti ketika Tony Jaa masih anak-anak. Tapi Tony bukan sekadar peniru. Ia membuat pembaharuan kreatif! Ia ingin melakukan Jackie Chan-Jet Li yang berbau Thailand! Ia tambahkan adonan Muay Thai ke dalam setiap gerakan. Ia sukses. Sekarang ini hampir kita lihat banyak orang ingin meniru-niru apa yang ia lakukan. Ada sikut dan lutut "berterbangan" ditambah banyak salto!
Apa yang sebenarnya ingin diperlihatkan lewat Ong Bak? Muay Thai gaya sinematik? Itu sudah jelas. Tapi yang sebenarnya tersampaikan dalam Ong Bak adalah kesan bahwa Tony Jaa melakukannya tanpa trik kamera! Ong Bak yang "mentah" (dalam artian positif), kasar dan keras! Beladiri yang bertenaga tanpa polesan. Itulah "rasa" yang sampai pada kita. Kalau kepukul ya kena beneran kalau salto ya tak tanggung-tanggung. Ong Bak yang keras, hebat, kasar, mentah namun indah.
Tony Jaa tidak sendiri dalam membuat semua itu. Ada Panna Rittikrai yang merupakan mentornya sejak muda dan tim Bangkok Muay Thai Stunt yang mau-maunya ditonjok sampai nyonyor demi film. Kerja kolaboratif, dedikasi, keberanian dan kemauan menampilkan sesuatu yang beridentitas (Thailand) membuat suksesnya film Ong Bak. Tampaknya sukses ini hanya berlangsung "lokal". Saya lihat selain produksi Sahamongkol Pictures (rumah produksi yang bikin Ong Bak), tak ada film laga Thailand yang racikannya sedahsyat mereka.
The Raid
The Raid alias Serbuan Maut adalah film yang sukses mengangkat Silat dalam mainstream koreografi laga. Meskipun tim Iko Uwais CS (lewat Tim Silat Harimau Edwell Yusri) sudah mengawalinya lewat Merantau, baru lewat The Raid inilah penonton internasional bisa terpana: "Wow silat memang keren!".
![]() |
The Raid (2011) |
Yang dominan dalam aksi The Raid adalah penggunaan senjata tajam dengan cukup memikat. Lihatlah ketika pisau merobek paha, menusuk tubuh, menggorok leher dll. Kesan yang terlihat betapa gerakan Silat itu indah namun mematikan. Kalau dalam film-film aksi Barat, orang melihat pertarungan pisau secara tersendat-sendat. Petarung biasanya akan saling mencengkram pergelangan, berebut pisau agar bisa lebih dulu membunuh. Biasanya kedua petarung akan jatuh ke lantai dan mulai grappling menentukan nasib.
Tidak demikian halnya dalam The Raid. Pertarungan berlangsung bertubi-tubi. Kedua petarung harus lincah berkelit dan membabat kalau tidak ususnya terburai robek oleh belati. Darah-darah muncrat juga diperlihatkan jelas. Tak ada slow motion sehingga penonton hampir kehabisan napas menerka siapa yang akan bertahan. "Indahnya", pertarungan ini tak cuma melibatkan dua orang melainkan dilakukan keroyokan dalam ruang sempit. Tak cuma pisau, golok dan kapak juga dilibatkan dalam keasyikan bacok-bacokan ini. Sepertinya, unsur berdarah yang tak tanggung-tanggung inilah yang berhasil memikat penonton. Bahkan konon kabarnya, film teranyar Teenage Mutant Ninja Turtles ingin mengadopsi style tarung ala The Raid ini. Ingat film Expendables 2? Saya kok merasa tarungnya mulai berbau The Raid ya...
Selain senjata tajam, The Raid juga melakukan inovasi dalam pertarungan tangan kosong. Yang paling nampak adalah membenturkan kepala ke benda keras dalam berbagai variasi. Ada kepala dibenturkan dinding, kepala dibenturkan meja, kepala dibenturkan tiang dll. Beberapa pengaruh Ong Bak kadang muncul seperti serangan sikut dan lutut. Beberapa bahkan agak repetitif. Yayan Ruhian (ko-koreografer bersama Iko Uwais) pun sempat menyinggung bahwa yang namanya memukul juga pakai tangan dan menendang memakai kaki maka kesamaan gerakan tak bisa dihindari. Namun polesan gerakan Silat bisa menyamarkannya.
Secara cerita plot The Raid biasa saja, beberapa bilang bahkan terlalu flat, namun The Raid kuat secara style. The Raid secara cerdas berhasil keluar dari jebakan kesuksesan Ong Bak. Tak ada slow-motion lebay. Tak terlalu peduli bahwa gerakannya terlihat kena beneran ke sasaran. The Raid mengeksplorasi sisi lain; tusukan menembus daging, benturan yang membuat kepala pecah dan pertarungan yang intens nyaris tanpa jeda. Pertarungan dalam The Raid berlangsung cepat dan berdarah-darah. Lebih sadis daripada Ong Bak.
Selain itu alasan berkelahi pakai tangan kosong cukup realistis; karena pelurunya udah habis, atau memang sengaja mau njajal keahlian (seperti Mad Dog Vs Jaka). Beda dengan film laga umumnya yang secara "gegabah bin nekad" melawan pistol dengan tendangan.
Kalau reaksi saya terhadap Ong Bak adalah "Wowww!" maka pada The Raid reaksi saya adalah "Hiiii..." (ngeri). Tampaknya para pembuat The Raid mengetahui apa yang ingin mereka sampaikan daripada sekadar membuat laga baku hantam yang style-nya comot sana comot sini. Salut kepada trio Gareth Evans, Yayan Ruhian dan Iko Uwais, koki utama racikan ini.
Post a Comment