Pernah nggak kamu kesulitan mengajak orang buat bikin film
bareng?
Pernah nggak kamu merasa bahwa anggotamu susah diarahkan di lapangan?
Awal-awal bikin film indie, saya dulu berhadapan dengan
hal-hal seperti itu. Kalau mau bikin film saya ngajak siapa? Kalau bikin film
bisa nggak kru-kru yang sama nubie-nya ama saya itu diatur? Begitu kelakon
bikin film, di lapangan kenapa kok sepertinya anggota nggak inisiatif?
Dulu saya cuman bisa dongkol alias mangkel.
Bagaimanapun saya butuh orang lain untuk mewujudkan karya.
Dalam bikin film yang penuh keterbatasan dan ketidaktahuan,
sokongan komunal sungguh berguna bagi saya. Ketika mulai berkarya di
Wlingiwood, hal pertama yang saya lakukan adalah melibatkan diri dalam
komunitas. Untunglah saya punya teman yang memiliki akses terhadap beberapa
calon anggota. Kami pun mewujudkan komunitas film kami yang pertama.
Dengan berinteraksi dalam komunitas, saya tak hanya mendapatkan
talent dan kru gratis. Dari interaksi komunal juga saya membangun skill
penyutradaraan saya. Secara bertahap
saya pun semakin belajar mengontrol banyak aspek kreatif dalam produksi. Karena
saya seringkali berhadapan dengan para nubie, saya juga mengadakan semacam “program
edukasi” untuk mentransfer visi kreatif saya. Jadi proses bikin film bisa
menjadi semacam “sekolah”.
![]() |
Kelas sharing akting |
![]() |
Latihan stunt fighting |
![]() |
Kelas apresiasi film klasik |
Saya kasih
anggota apa yang saya punya, dan dari reaksi timbal balik dengan mereka saya
mendapatkan ilmu “berkomunikasi kreatif”. Komunikasi kreatif adalah istilah
saya untuk cara berbagi gagasan, transfer visi serta membangun kepercayaan
sesama tim untuk mewujudkan karya bersama.
Cara ini lumayan bisa meminimalisir keluhan seperti, “Kok
orang-orang susah ya diajak kerjasama?...”
Saya bisa menghemat energi saya untuk dialokasikan ke aspek
kreatif yang lain. Saya pun tak terlalu banyak mendongkol.
Memang ada type sutradara yang mempercayai bahwa marah
adalah salah satu “tools” penyutradaraan. Kebetulan saya tak menganut paham
itu. Bikin film harus lah fun. Ketika fun dan passionated, semua potensi akan
optimal. Fun harus disertai passion. Kalau sekadar fun, yang terjadi nanti Cuma
bermain tak jelas. Namun passion tanpa fun juga akan menjadi membosankan.
Bikin film (atau karya seni kolaboratif yang lain) adalah “menenun
jaringan energi”. Semua yang terlibat mustinya merasakan berkahnya. “Greget”
dari berkah itulah yang kita tularkan pada pemirsa.
Post a Comment