PENTINGNYA PLATFORM BUAT KREATOR
Di toko buku saya melihat banyak judul yang tak populer dan ragu apakah orang benar-benar membelinya. Tetapi saya yakin tetap ada, karena itu toko buku tempat orang mencari buku-buku apa saja. Yang laris memang buku populer tapi buku non populer juga bisa ditemukan di toko itu.
Dengan adanya suatu tempat untuk memajang, maka orang tak akan repot-repot blusukan mencari penulis di rumahnya, cukup ke toko buku. Filmmaker juga gak repot-repot bawa flashdisk jualan film dari pintu ke pintu. Mau nonton ya ke bioskop atau streaming di internet secara legal.
Begitulah konsep tentang "lapak dagangan" atau platform.
Suatu ketika saya unggah video main-main saya (yang bikin mie itu) di Facebook. Reaksi orang adem-adem saja. Follower saya cuma 2000an di akun pribadi, yang share cuma satu atau dua orang saja. Lalu saya coba unggah di Page saya, eh jadi viral. Hal yang sama juga kalo saya unggah di Youtube. Di sana sepi, di Page FB rame. Dari sini saya belajar bahwa sebuah konten itu laku bukan cuma karena isinya tapi juga tempat kita menaruhnya.
Di jaman ini tidak bisa seorang kreator menjual langsung karyanya dari pintu ke pintu. Terlalu repot dan makan biaya. Pernahkah anda bayangkan Christopher Nolan bawa harddisk terus nawarin filmnya di depan kost-kostan? Atau Frank Miller naik sepeda dengan sekeranjang komik jualan di depan Taman Wlingi?
Kreator butuh lapak atau kalo bahasa sekarang ini platform. Platform adalah sebuah wadah yang mempertemukan para pencipta dan peminat. Seringkali ciptaan dan minat itu begitu khusus. Sama seperti video main-main saya yang tak diminati follower saya namun disukai follower page saya. Juga di Youtube, karya saya tak diminati namun di page Facebook banyak yang membagikannya. Keramaian atau traffic tiap platform beda-beda.
Berhubung pentingnya platform dalam mengekspose suatu produk atau karya, maka valuenya besar sekali. Ibarat toko atau pasar lokasinya kudu strategis, maka ada ilmu mengelola platform agar trafficnya bagus. Sayang sekali pengelolaan ini butuh alokasi energi dan waktu tersendiri. Seorang kreator tak selalu sempat bisa mengurusi sebuah platform. Maka akan lebih mudah jika ada orang lain yang mengurusi. Seperti para pembuat konten digital hari ini, mereka bergantung pada platform yang sudah mapan semacam Youtube, Vimeo dan lain-lain. Kalau bikin sendiri biayanya jauh lebih besar meskipun akan lebih mandiri. Ini memang kurang menyenangkan bagi para kreator pemula yang karyanya segmented. Karya segmented yang tidak laku di platform umum perlu platform yang lebih khusus.
Bicara sesuai bidang saya, ada dua macam platform untuk filmmaker dan comic creator: ONLINE dan OFFLINE. Platform online bisa menjangkau lebih banyak penonton/pembaca namun cenderung susah untuk bisa mendapat profit secara langsung. Platform tertentu kadang menerapkan "bagi hasil" berupa revenue dari iklan. Contohnya Youtube dengan Google Adsense. Untuk mendapatkan penghasilan dari sini susah sekali. Syaratnya banyak dan tak bersahabat untuk konten yang sifatnya segmented. Kreator musti cari cara lain untuk menguangkan karyanya. Dari platform online, value yang didapat adalah exposure atau branding. Misalnya saya bisa jualan komik setelah komiknya viral di medsos.
Platform offline jangkauannya sempit namun langsung. Film yang diputar di bioskop atau komik yang dijual di toko buku hanya bisa diakses secara langsung oleh masyarakat yang tinggal di radius tertentu dari lokasi. Namun uangnya akan didapat secara langsung. Antara online dan offline ini bisa bersinergi. Apalagi sekarang semua serba terhubung. Branding dilakukan secara online, adapun kegiatan offline bisa dipakai untuk kampanye brand atau platform.
Menurut saya, untuk para kreator yang kesusahan menemukan sasaran pembaca seperti: Filmmaker yang ditolak festival tenar, comic creator yang gayanya nggak "webtoonable", musisi yang belum dapat audiens dll. bisa mulai memikirkan untuk mendapatkan platform. Sebuah ekosistem kreatif tak akan jalan tanpa adanya platform yang tertata.
Menemukan (atau membikin) platform ini memang butuh usaha keras. Perlu waktu lama untuk dapat follower, perlu waktu lama untuk dapat penonton dll. Saya dan rekan senior saya pernah ngobrol bahwa setiap karya akan ada pendengarnya sendiri. Ya realitanya emang tak seindah bibirnya Chloe Grace Moretz. Dalam menemukan atau membangun platform yang sesuai itu butuh perjuangan, darah dan doa.
Sangat penting menciptakan platform yang sesuai sama corak karya kita sendiri. Berharap pada industri yang mapan itu tak mudah. Masing-masing orang sudah ada kepentingan yang mapan di sana. Apa lantas dengan modal udah jadi friend di Facebook lantas kita bakal masuk di jaringan mereka? Nggak seenak itu. Mereka membangun ekosistem juga lewat perjalanan yang lama. Nha kita yang "Lha kowe ki sopo" ini kan nggak ikutan sewaktu mereka membangun itu. Tau-tau mereka udah terkenal dan kita baru mulai jadi gurem yang merindukan bulan. Peduli apa para dinosaurus sama gurem? Mereka punya urusan yang lebih prioritas. We are "The dudu sopo-sopo", Cukgaes.
Mari kita urus diri sendiri agar sedikit lebih merdeka. Segeralah bangun ekosistemmu mulai dari mencari atau membangun platform.
Di toko buku saya melihat banyak judul yang tak populer dan ragu apakah orang benar-benar membelinya. Tetapi saya yakin tetap ada, karena itu toko buku tempat orang mencari buku-buku apa saja. Yang laris memang buku populer tapi buku non populer juga bisa ditemukan di toko itu.
Dengan adanya suatu tempat untuk memajang, maka orang tak akan repot-repot blusukan mencari penulis di rumahnya, cukup ke toko buku. Filmmaker juga gak repot-repot bawa flashdisk jualan film dari pintu ke pintu. Mau nonton ya ke bioskop atau streaming di internet secara legal.
Begitulah konsep tentang "lapak dagangan" atau platform.
Suatu ketika saya unggah video main-main saya (yang bikin mie itu) di Facebook. Reaksi orang adem-adem saja. Follower saya cuma 2000an di akun pribadi, yang share cuma satu atau dua orang saja. Lalu saya coba unggah di Page saya, eh jadi viral. Hal yang sama juga kalo saya unggah di Youtube. Di sana sepi, di Page FB rame. Dari sini saya belajar bahwa sebuah konten itu laku bukan cuma karena isinya tapi juga tempat kita menaruhnya.
Di jaman ini tidak bisa seorang kreator menjual langsung karyanya dari pintu ke pintu. Terlalu repot dan makan biaya. Pernahkah anda bayangkan Christopher Nolan bawa harddisk terus nawarin filmnya di depan kost-kostan? Atau Frank Miller naik sepeda dengan sekeranjang komik jualan di depan Taman Wlingi?
Kreator butuh lapak atau kalo bahasa sekarang ini platform. Platform adalah sebuah wadah yang mempertemukan para pencipta dan peminat. Seringkali ciptaan dan minat itu begitu khusus. Sama seperti video main-main saya yang tak diminati follower saya namun disukai follower page saya. Juga di Youtube, karya saya tak diminati namun di page Facebook banyak yang membagikannya. Keramaian atau traffic tiap platform beda-beda.
Berhubung pentingnya platform dalam mengekspose suatu produk atau karya, maka valuenya besar sekali. Ibarat toko atau pasar lokasinya kudu strategis, maka ada ilmu mengelola platform agar trafficnya bagus. Sayang sekali pengelolaan ini butuh alokasi energi dan waktu tersendiri. Seorang kreator tak selalu sempat bisa mengurusi sebuah platform. Maka akan lebih mudah jika ada orang lain yang mengurusi. Seperti para pembuat konten digital hari ini, mereka bergantung pada platform yang sudah mapan semacam Youtube, Vimeo dan lain-lain. Kalau bikin sendiri biayanya jauh lebih besar meskipun akan lebih mandiri. Ini memang kurang menyenangkan bagi para kreator pemula yang karyanya segmented. Karya segmented yang tidak laku di platform umum perlu platform yang lebih khusus.
Bicara sesuai bidang saya, ada dua macam platform untuk filmmaker dan comic creator: ONLINE dan OFFLINE. Platform online bisa menjangkau lebih banyak penonton/pembaca namun cenderung susah untuk bisa mendapat profit secara langsung. Platform tertentu kadang menerapkan "bagi hasil" berupa revenue dari iklan. Contohnya Youtube dengan Google Adsense. Untuk mendapatkan penghasilan dari sini susah sekali. Syaratnya banyak dan tak bersahabat untuk konten yang sifatnya segmented. Kreator musti cari cara lain untuk menguangkan karyanya. Dari platform online, value yang didapat adalah exposure atau branding. Misalnya saya bisa jualan komik setelah komiknya viral di medsos.
Platform offline jangkauannya sempit namun langsung. Film yang diputar di bioskop atau komik yang dijual di toko buku hanya bisa diakses secara langsung oleh masyarakat yang tinggal di radius tertentu dari lokasi. Namun uangnya akan didapat secara langsung. Antara online dan offline ini bisa bersinergi. Apalagi sekarang semua serba terhubung. Branding dilakukan secara online, adapun kegiatan offline bisa dipakai untuk kampanye brand atau platform.
Menurut saya, untuk para kreator yang kesusahan menemukan sasaran pembaca seperti: Filmmaker yang ditolak festival tenar, comic creator yang gayanya nggak "webtoonable", musisi yang belum dapat audiens dll. bisa mulai memikirkan untuk mendapatkan platform. Sebuah ekosistem kreatif tak akan jalan tanpa adanya platform yang tertata.
Menemukan (atau membikin) platform ini memang butuh usaha keras. Perlu waktu lama untuk dapat follower, perlu waktu lama untuk dapat penonton dll. Saya dan rekan senior saya pernah ngobrol bahwa setiap karya akan ada pendengarnya sendiri. Ya realitanya emang tak seindah bibirnya Chloe Grace Moretz. Dalam menemukan atau membangun platform yang sesuai itu butuh perjuangan, darah dan doa.
Sangat penting menciptakan platform yang sesuai sama corak karya kita sendiri. Berharap pada industri yang mapan itu tak mudah. Masing-masing orang sudah ada kepentingan yang mapan di sana. Apa lantas dengan modal udah jadi friend di Facebook lantas kita bakal masuk di jaringan mereka? Nggak seenak itu. Mereka membangun ekosistem juga lewat perjalanan yang lama. Nha kita yang "Lha kowe ki sopo" ini kan nggak ikutan sewaktu mereka membangun itu. Tau-tau mereka udah terkenal dan kita baru mulai jadi gurem yang merindukan bulan. Peduli apa para dinosaurus sama gurem? Mereka punya urusan yang lebih prioritas. We are "The dudu sopo-sopo", Cukgaes.
Mari kita urus diri sendiri agar sedikit lebih merdeka. Segeralah bangun ekosistemmu mulai dari mencari atau membangun platform.