Saya sering nulis review film buat bahan update status medsos maupun blog. Kadang juga ada unsur penilaiannya sedikit-sedikit. Tapi menyebut diri sebagai kritikus film terlalu jauh lah buat saya. Terlebih saya memandang film lewat kacamata keterpesonaan. Orang yang terpesona sering abai melihat kelemahan. Dalam menonton film, saya bukan tipe pencari kesalahan. Meski begitu "kesalahan" itu dengan mudah bisa saya temukan karena saya paham cara bikinnya.
Yang jelas dalam memberikan pendapat mengenai film, saya memegang sejumlah bekal, menjalani proses dan memahami beberapa hal mendasar terlebih dahulu. Semua ini saya rumuskan dalam sekian waktu saya belajar film secara mandiri.
Jadi apa saja yang perlu dalam bicara soal film atau memahami film?
Ini langkah-langkah saya selama ini:
PAHAM TEKNIS BIKIN FILM
Ini adalah langkah awal saya memahami film. Paham bagaimana film itu dibuat baik secara lazim maupun tidak lazim. Tapi ini belum cukup berguna untuk menilai film karena ibarat masakan, apapun rahasia dapurnya rasa tetaplah yang utama. Saya tak peduli misalnya film itu ada naskahnya apa tidak, seandainya hasil jadinya bisa ditonton dengan nyaman. Tentu saja sebagian besar film selalu memakai naskah, tapi itu hanyalah persoalan teknis dalam memetakan ide kepada tim produksi.
Ada setidaknya 5 tahap dalam produksi film: Pengembangan, pra produksi, produksi, pasca produksi dan distribusi.
PAHAM NARATIF FILM
Film yang umum dikonsumsi penonton adalah tipe film cerita. Cerita itu rata-rata berpola. Pola paling mudah adalah 3 babak dan alur paling mudah adalah alur maju. Ini cara saya paling dasar dalam memahami cerita film. Lalu saya membiasakan diri untuk menikmati alur yang non linier yakni susunan kronologisnya diacak-acak. Jika kita terbiasa dengan macam-macam cara bercerita lebih mudah bagi kita menilainya.
Ada beberapa film yang mencoba keluar dari pakem-pakem semacam itu. Hasilnya mereka menjadi butuh perhatian lebih. Satu hal yang paling penting disoroti adalah logika cerita. Cerita yang baik tentu tidak melanggar logika kisah di dalamnya. Ini bisa jadi nggak sesederhana ini.
PAHAM SEMIOTIKA DALAM FILM
Film sebagai produk audio visual juga sering menggunakan simbol-simbol. Komunikais tak melulu lewat kata-kata namun juga bisa lewat gesture. Pemahaman kita terhadap simbol-simbol visual juga membantu dalam memahami narasi. Dulu kala ada kecenderungan filmmaker tidak yakin atas gagasan yang ingin dikomunikasikan. Jadi ia menjelaskan semua kejadian lewat dialog. Seperti saat adegan terima telpon.
"Apa, masuk rumah sakit? Apa biayanya mahal?"
Jadi si karakter mengucapkan terang-terangan kejadiannya.
Filmmaker yang bisa mengoptimalkan semiotika, cukup mengoptimalisasi gambarnya. Lewat editing, pergerakan kamera, lewat musik, lewat sudut pengambilan gambar, cahaya dan lain-lain.
Seringkali kita perlu terobosan. Kalau jaman dulu horror dibangun lewat petir, hujan dan angin mungkin saat ini musti menemukan cara baru menggunakan simbol macam itu.
Ada istilah "mise en scene" (baca: misongsin), artinya apa yang terlihat dalam layar. Jika kita paham mulai dari cara mewujudkan apa yang nampak itu dan semiotika apa yang hendak disampaikan maka kita bisa memahami gagasan yang dibawa film secara utuh.
PAHAM GENRE FILM
Genre adalah sekelompok ciri umum yang menandai karakter film tertentu. Misalnya film laga. Di sini pasti pertarungan fisik antara perwakilan kebaikan dan kejahatan mendominasi film. Komedi. Dalam genre komedi pasti kejadian-kejadian yang tak lazim dan memancing rasa tawa mendominasi film. Kesalahan memahami genre berakibat pada kesalahpahaman memahami keumuman ciri itu.
Jangan protes kalau The Raid misalnya berlebihan dalam pertarungan, karena memang itu genre laga. Jika ada perkembangan karakter secara dramatis, maka itu bonus. Juga jangan harap anak yang menderita dalam kisah ibu tiri bakal belajar silat lalu melawan para pembullynya.
MEMPELAJARI GAGASAN DARI FILM-FILM SEJENIS
Mengasup film yang punya kesamaan tematik, alur dan bahkan premis akan memperkaya kita dalam memahami. Kita bisa membandingkan satu sama lain. Saya percaya, pendapat orang yang sudah banyak referensi akan lebih kokoh daripada yang cuma nonton sedikit. Ketika misalnya menonton Avatar dari James Cameron, kita bisa bandingkan kesamaan tematiknya dengan Dance With Wolves. Meski begitu pembandingan juga musti "apple to apple". Setiap sutradara punya pendekatan yang berbeda-beda dan tak selalu bisa dibandingkan dalam paradigma better or worse.
Ketika saya mulai membandingkan, saya mulai mengapresiasi orang-orang di balik layar. Kenapa misalnya film bertema perang garapan seorang sutradara A akan berbeda dengan si B? Dari situ saya mulai mengenali beberapa nama. Bagi saya rasanya tak cukup kalo bicara film tapi tidak mengapresiasi para filmmaker di baliknya. Yang paling mendasar biasanya saya hafal: Sutradara, produser, scriptwriter, aktor utama, music composer, D.O.P dan editor. Namun sering saya cuma batasi tahu sutradara sama aktor saja.
Yang teroenting dari perbandingan ini adalah soal gagasan. Apakah ada gagasan yang baru? Atau apakah gagasan yang lama diceritakan dengan cara baru?
Maka jika sebuah film sekadar mengulang gagasan lama, bagi saya itu tidak cukup memukau meskipun masih bisa menghibur.
PAHAM MASALAH PREFERENSI INDIVIDU
Ada ungkapan "Kita tak bisa bikin semua orang bahagia". Dalam film tentu banyak hal bisa kita suka atau benci namun bukan karena urusan benar dan salah. Saya lebih menyukai film laga ala Asia dibanding Barat bukan karena Asia lebih hebat. Melainkan preferensi visual, koreografi dan atmosfir film laga Asia lebih memukau saya. Dengan paradigma ini, kita mengasup film seperti kopi. Ada yang suka begini, ada yang suka begitu atau malah bukan dua-duanya. Tak ada yang lebih hebat. Jika urusannya preferensi maka apa yang ada di kepala tiap orang akan beda.
Pernah saya baca komentar seseorang yang berkata, "Lu gak usah memuja si sutradara A. Menurut gue dia itu dangkal."
Di sini saya melihat ia belum terdidik dalam literasi, karena masih memaksakan hal-hal yang sifatnya preferensial. Cinta dan benci tentu sah-sah aja. Saya pribadi mencintai karya sutradara tertentu dan emoh sama sutradara tertentu juga. Ada alasan preferensial saya mengenai hal itu. Namun di mata orang lain itu bisa jadi sebuah nilai pukau.
========
Nah, begitulah cara saya memahami sinema. Paham sinema berarti:
1. Paham cara membuatnya
2. Paham gagasan yang dibawanya
3. Kenal siapa-siapa yang terlibat di dalamnya
4. Menonton cukup banyak film untuk bisa membandingkan
5. Mampu memberikan sebuah ulasan mengenai film
2. Paham gagasan yang dibawanya
3. Kenal siapa-siapa yang terlibat di dalamnya
4. Menonton cukup banyak film untuk bisa membandingkan
5. Mampu memberikan sebuah ulasan mengenai film
Mungkin nomor 5 opsional ya. Hal-hal beginilah yang saya sebut sebagai "melek film" atau istilah kerennya literasi sinema. Pemahaman ini mempengaruhi cara saya menilai, menuliskan review, berdiskusi dan juga ketika saya bikin film sendiri.
Post a Comment