DASAR BELAJAR PERFILMAN Part 2 - DISTRIBUSI KE AUDIENCE

Hal yang saya nyaris selalu (hehehe) lupa adalah soal audience. Siapa sih yang mau nonton film saya?
Mempelajari bahwa tak ada film untuk "semua orang" maka dari awal kita musti paham siapa yang akan mengasup karya kita. Bahkan karya sebusuk apapun tetap akan ada penontonnya, sekalipun itu kita sendiri... misalnya. Jadi akan lebih bijak kalo dari awal kita udah targeting dulu.
Bioskop-bioskopan
Target audiens menentukan platform yang mau kita pilih. Mau offline atau online? Kedua platform ini banyak banget selukbeluk yang perlu dipelajari. Saya mendapat pelajaran dari postingan saya seperti pada ilustrasi. Sebuah konten yang saya unggah ke medsos pribadi dan ke medsos brand saya, ternyata signifikan sekali bedanya.
Di medsos pribadi, udah selang beberapa bulan yang view dikit banget. Sedangkan di medsos brand personal saya (Javora Studio), sehari langsung viral. Nyebelinnya, ketika saya posting di Youtube gak banyak yang mau nonton, padahal linknya saya posting via medsos brand personal tadi. Rupanya memang kita musti tau di portal mana engagement kita dengan audiens cukup tinggi. Youtube, yang dibilang platform ideal buat posting konten video kalo mau ditonton sebanyak mungkin orang, ternyata gak cukup ampuh dalam kasus saya.
Mau gak mau strategi berubah. Musti nguatin basis audience di Facebook jadinya. Youtube ndak cukup works bagi saya, orang lain mungkin beda. Hal yang sama juga sewaktu posting di instagram. Follower gak nambah-nambah eh di Facebook malah kenceng. Dan saya belum tahu bakal seberapa lama mereka bertahan.
Terus bagaimana dengan yang offline?
Beberapa senior di perfilman indie bilang kalo "Youtube (atau platform online lain) kills filmmaker". Ini berhubungan dengan kemungkinan meraih audiens lewat screening offline yang makin sering dijajaki. Jadi ada banyak di kota-kota besar kelompok pemutaran film indie. Mereka melakukannya secara sistematis, acaranya terprogram dan tak jarang berbayar pula. Ini meniru pola perbioskopan yang konvensional yakni menjual film secara langsung lewat ticketing.
Jual film secara langsung adalah strategi yang cukup berat. Emang siapa sih yang mau nonton film kita? Makanya di pemutaran independen begitu dibutuhkan peran programmer atau kurator. Ini mau gak mau juga "menyingkirkan" sebagian film yang tak masuk program. Yang lebih berat lagi, audiens offline di satu kota akan cenderung terbatas. Misalnya, kalo di ndeso kami, siapa sih yang mau nonton film laga bikinan kami dengan mbayar? Akan tetapi saat ini jejaring mulai merambat sedemikian rupa jadi sasaran audience pun tak lagi cuma di satu region saja. Sementara pemutaran filmnya offline, marketingnya tetap jalan secara online.
Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam memanage audience ini. Kadang ini bisa menimbulkan kegalauan semacam... wah kudu bikin film yang ngikut orang kampung nih...
Rekan saya sesama filmmaker membuat perencanaan distribusinya dalam jangka 3 tahun. Tahun pertama mereka akan berlaga di festival-festival, tahun kedua akan berada di penyangan-penayangan independen, tahun ketiga baru masuk platform online terbatas semacam Viddsee. Mereka memutuskan tidak ke Youtube.
Manapun platform yang dipilih dan target audience yang disasar, saya pikir kuncinya adalah ENGAGEMENT. Itulah yang akan memberi darah pada karya kita. Memang akan menjadi tantangan ketika, peribahasanya....di antara orang-orang yang demennya mie goreng kuah, kita mau jualan pecel.
Jadi kata kunci di tulisan part 2 ini adalah AUDIENCE ENGAGEMENT. Itu yang musti ditemukan segera.

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved