Tak bisa dimungkiri kebanyakan orang belajar film selalu lewat hal paling teknisnya... kamera. Dimulai dengan belajar soal menggunakan kamera. Itu terjadi karena kompleksitas paling awal ya di soal kamera. Ada yang namanya sinematografi. Karena yang namanya film itu gak bisa asal shoot alias "astrada" asal terang gambar ada. Kita musti ngerti gimana cara menyetel, membidik, mengarahkan, menggerakkan dll.
Kenapa orang mau nonton film saya ini? Karena syutingnya di sekitar situ. |
Di masa kemarin, hal gini ini mahal dan susah nyari tempat belajarnya. Saya menghabiskan waktu beberapa tahun untuk ngerti bagaimana kamera itu bekerja. Tahu teknis tak cukup, musti terus latian. Bikin gambar bagus perlu skill dan tentu saja alat terpenuhi.
Keberadaan Youtube mempermudah proses belajar. Bahkan bisa menginduksi secara "instant" sense of visual seseorang. Dengan mudahnya anak baru pegang kamera, asal sering nonton Yotube, akan punya semacam pegangan estetis. Dibarengi dengan makin canggihnya kamera plus aksesoris, tak lagi sulit bikin gambar yang orang syutingan manten bilang "cinematic". Namun di sini ada problem lama yang tak selalu terjawab tuntas.
Ada 5 tahap dalam produksi film: Development, Pre Production, Production, Post Production dan Distribution. Rata-rata alur belajar ini mentok sampai Post Pro dan bahkan bagian Development dan Pre Production di-skip. Akibatnya kita lebih ngerti soal kamera namun gak paham bikin cerita serta sayangnya tak ngerti juga abis berkarya mau dikemanakan. Apakah upload di Youtube sudah cukup?
Akan tetapi tiap orang mau fokus di mana ini ya sesuai kondisi masing-masing. Ada yang emang cuma demen ngulik kamera (dan sesungguhnya tak mau belajar perfilman secara utuh).
Saat ini perfilman dengan apapun modelnya: komersil-non komersil, indie-non indie, industri korporat-industri rumahan dll. Adalah semacam ekosistem. Ini dengan asumsi bahwa pelakunya ingin hidup ataupun menghidupi perfilman.
Kalau kita mau hidup lewat film, atau mau menghidupkan perfilman, setidaknya musti memahami yang namanya EKOSISTEM KREATIF di balik perfilman. Kita ulik dulu nyawa semua itu apa. Menurut saya, karena film adalah sebagaimana produk kesenian (plus teknologi dan kolaborasinya tentu aja) ia akan bersandar pada VALUE.
Film musti memiliki value untuk bisa dipertahankan dan diedarkan. Karena itulah ia diciptakan. Valuenya apa?
Mau menghibur? Mau ngasih informasi? Mau bikin propaganda?
Lewat value ini kita bisa menakar harga produksi dan harga "jual"nya. Kenapa film horror laku kera sdibanding film science fiction? Karena value yang ditawarkan nilainya tidak sama bagi semua orang. Ini tak melulu soal film cerdas atau bodo. Saya melihatnya lebih pada value yang ingin didapat. Apakah value itu sudah sampai pada audiens? Nah itu ada ilmunya sendiri.
Jika suatu karya film ada value, maka mata rantai ekosistem yang terlibat di dalamnya akan mendapat nyawa. Film itu akan bisa diedarkan tanpa terlalu memaksakan usaha dan biaya. Orang Jawa bilangnya... PAYU!
Ini tak melulu soal uang. Itu lain lagi. Menjual film untuk dapat uang, bagi kalangan indie, susyah banget, Bosss. Tapi kalo value, itu masih lah bisa diulik. Value juga yang bikin ekosistem bertahan.
Value sudah ditentukan sedari awal kita mau bikin film. Sorry aje, bikin film gak kayak pelukis tunggal yang pegang kuas dan menentukan gimana isi benaknya tercurah. Film itu kolaboratif dan makan biaya. Sering biaya itu terlampau besar untuk bisa dibalikkan modalnya. Maka di tahap development kita musti tentukan target pasar, muatan value selain cerita dan juga nanti rencana eksekusinya. Ribet ya.
Setelah pre production dan post, tantangan terakhir adalah distribusi. Industri yang sudah established, dengan perputaran omzetnya yang gede banget, tak terjangkau oleh para pemula. Mereka sudah mengikatkan pada ekosistem semi-tertutup dan kadang kayak mafia. Maka muncullah sistem alternatif di kalangan independen. Ini berjalan secara offline maupun online.
Bicara soal distribusi independen offline, kita akan lebih banyak bicara soal komunitas. Unit terkecil adalah filmmaker indie di kampung-kampung, lalu komunitas lokal termasuk sekolah dan yang paling gede adalah para pemutar film alternatif. Pemutar alternatif ini pun bekerja secara sistematis. Fasilitas memakai ruang komersil di publik macam cafe, perpustakaan, mini bioskop dan kalo lagi ada duit ya sewa studio bioskop beneran.
Untuk pertanggungjawaban mutu, digelarlah festival-festival yang mensyaratkan adanya pemrograman bagi film yang mau diputar. Ada kurator yang bertugas menyeleksi biar film yang diputer nggak ngasal.
Distribusi online lebih merdeka daripada offline. Karena pembuat akan menentukan sendiri pilih platform yang mana dengan segala plus minusnya. Platform online tidak memerlukan biaya besar selain biaya akses internet. Persebaran lebih masif. Sayangnya audience-creator engagement tak sekuat yang offline. sesuai watak umum dari mediumnya sendiri... shallow kalo saya bilang. Sedangkan offline menjanjikan engagement yang lebih kuat, karena pertemuan mata dengan layar terjadi secara fisik. Butuh niat bener loh kalo mo dateng ke screening itu. Yah keduanya tak musti dipertentangkan.
Engagement dengan audiens adalah salah satu value yang perlu dikejar oleh distribusi. Maka dari sini sejak awal mo bikin film, sebaiknya kita tentukan film nanti mau didistribusikan dengan cara apa? Online? Offline?
(bersambung)
Post a Comment