Saya baru membaca curhatan seorang rekan sesama pejuang di perfilman yg menyatakan bahwa karir perfilman membutuhkan backing keuangan dan relasi yg kuat. Dia berjuang selama 2,5 tahun dan merasa mau menyerah saja karena tanggungan finansial pribadi (sebagai generasi sandwich) yg terlalu besar untuk dikover oleh pendapatan lewat kerjaan film. Saya baca kerjaan film yg ia maksud adalah kerjaan "above the line" seperti aktor, penulis, sutradara dll.
Saya berproses sekitar 19 tahun dan tidak tinggal di Jakarta. Saya pikir apa yg ia nyatakan ada benarnya juga. Film adalah model bisnis beresiko tinggi dan butuh skema pembiayaan yg gede. Artinya klo mau untung gede ya modalnya gede juga. Nggak bisa nanggung. Spektrum ekosistemnya juga lebar. Mulai dari filmmaker kelas paus hingga iwak wader kali cethek macem saya gini.
Ada yg meragukan bahwa apakah industri film Indonesia itu ada. Patokannya mungkin Hollywood. Kalau saya melihat Indonesia ini model industrinya mungkin beda. Di sini yg saya sebut sebagai "industri" ini adalah aspek ekonomis dari ekosistem perfilman yg lebih luas. Industri ini juga levelnya macem-macem dilihat dari uang yg berputar. Ada film-film kelas kerupuk (yg saya bikin itu) dgn biaya di bawah 10 juta. Ada yg kelas bancakan dengan kisaran 10 - 50 juta dan yg di atasnya tentu kelas "fine dinning".
Idealnya industri tentu harus lebih sustainable. Ada asuransi kerja, ada investasi, ada perserikatan dan juga proteksi pemerintah. Namun tentu itu mau tak mau akan mengikuti sejarah dan kultur di suatu negara. Nah, Indonesia tentu tak sama dgn negara lain. Kita belum memiliki kerapihan dan kestabilan seperti di luar sono. Saya pikir, industri di sini seakan mengikuti angin berhembus. Apa yg lagi laku akan ditiru dan diperas untungnya. Itu wajar saja tapi sayangnya tak diikuti dgn merapikan "bangunan" sistemnya. Akibatnya kalau mau berkarir di bidang ini nggak ada kejelasan. Pertanyaan yg sering muncul adalah "bakal ada project lagi nggak ya?"
Karena film juga perkara kultural, tak semua orang yg main di film berfokus pada uang. Ada sebagian yg merupakan pegiat, kritikus, komunitas dan juga cuma enthusiast aja. Dalam hal ini di Indonesia memang hidup banget. Saya juga berkecimpung di aspek kultural ini lewat komunitas. Dari komunitas ini ada juga yg naik ke level industrial. Portofolio komunalnya jadi batu loncatan.
Untuk bisa hidup beneran di film memang idealnya kita berada di kelas fine dinning tersebut. Di circle ini biayanya gede, jangkauan gede dan sikut-sikutannya juga lebih "hiakdhez".
Untuk berkarir di perfilman jalurnya sekarang lebih variatif. Antara lain:
1. Sekolah film
2. Langsung nglamar lewat jalur audisi atau ngekru rendahan
3. Kenal sama orang dalam termasuk keturunan maupun diajak konco
4. Kompetisi termasuk festival. Kalo saya jadi "bounty hunter".
5. Jalur seleb seperti jadi influencer, komika, kreator konten dll.
Karena tiap "kolam" ikannya nggak sama maka tak ada kepastian untuk karir di film ini. Tergantung masuk kolam yg mana. Jadi klo ada yg buru-buru ngomong "siapa bilang karir di film gak menjanjikan" ya lihat dulu deh jenis kolamnya dan juga circlenya. Ada kolam yg airnya ngalir dan yg berendem di situ orangnya bening-bening. Ikannya banyak dan bisa dijaring pake jala. Nongkrong di pinggirannya aja kebagian. Karena resource yg melimpah ini persaingannya jadi keras.
Ada juga kolam yg airnya lumutan. Nggak cuma ada ikan tapi ada buaya. Ikannya kadang ada, kadang enggak. Ada satu gede jadi rebutan. Orang malas berendem atau klo ada ya mungkin karena gak tahan gerah.
Saya memulai perjuangan di film dgn pengetahuan nol dan tanpa koneksi apa pun. Jika anda sempat lihat kemaren saya kenal ini dan itu ya karena saya berusaha bertahun-tahun untuk sampai diketahui mereka. Namun sehari-hari saya adalah wong ndeso yg menggangsir pasir sebelah sungai untuk bikin kolam sendiri dengan mencari iwak wader. Sesekali saya berburu hadiah, nongol di kolam lain namun ujungnya klo berendem ya di kolam bikinan sendiri.
Apa bisa bertahan? Wah jujur udah mau nyerah berkali-kali. Namun klo berhenti, jalannya bisa lebih gelap daripada prospek Danantara. Ujung-ujungnya saya tetap menjalani demi iwak wader yg sudah kejaring beberapa. Atau mungkin memang di sinilah darma saya. Seperti aku yg mencintaimu seberapapun "mbesengut"mu itu.
Post a Comment