Pada awalnya saya tidak suka film yang oleh orang-orang tua
di desa kami disebut ber-genre “beleh-belehan” (sembelih-sembelihan, bhs.
Jawa). Bahkan melihat poster film Jaka Sembung saja dulu saya bergidik. Itu
jaman saya masih SD di tahun 80-90an. Selera saya bergeser sejak nonton
film-filmnya Quentin Tarantino. Yang berperan mengubah taste saya antara lain
adalah Kill Bill dan paling nyantol jelas Inglorious Basterds. Sebagaimana yang
anda para movie buff tahu, Tarantino sudah jelas-jelas dikenal sebagai
filmmaker yang brandingnya adalah “cinematic violence”. Maka perlahan namun
pasti saya pun mulai menonton ulang beberapa film yang masuk kategori
beleh-belehan tadi. Bukan kekerasannya yang saya kagumi, melainkan citarasa
estetik yang disampaikan. Kadang cerita saja tidak cukup. Sebuah film butuh
karakter.
![]() |
Arifin C. Noer (pakai kacamata) menyutradarai film G30SPKI. Dokumen TEMPO. |
Pengkhianatan G30SPKI adalah film yang dibiayai negara (with
a very big budget) dan menontonnya adalah sebuah ritual wajib yang
dipropagandakan di kanal-kanal resmi negara. Tak heran film ini jadi box office
pada masanya (tahun 1984 dan setelahnya). Lha yo jelas….nontonnya dipaksa. Kewajiban
ini baru berhenti setelah era reformasi 98, di saat propaganda penguasa sebelumnya
telanjur meresap dengan baik. Ini kayaknya membuat pengetahuan masyarakat soal sejarah
1965, secara praktis, ya hanya dari film itu. Cobalah tanya orang-orang,
pernahkah mereka baca buku putih peristiwa G30SPKI yang dikeluarkan sekretariat
negara? Buku itu terlalu tebal (meski tak setebal Das Kapital).
Sebagai sebuah film propaganda, bagaimana kualitas film
bikinan Arifin C. Noer ini sebenarnya?
Pertama-tama, sebagai seorang movie buff, saya akan
menentukan dulu genre film ini. Saya tidak memandang film ini sebagai sebuah
film sejarah melainkan film horror. Maka kita kesampingkan dulu soal muatan
propaganda atau kekisruhan baru-baru ini mengenai rencana putar ulangnya.
Arifin C. Noer, pengadeganan film-filmnya selalu memikat,
membumi dan bernuansa. Wajar karena ia punya latar belakang teater. Kaidah
pengadeganan panggung sudah ia kuasai dengan baik, dan ia tinggal memindahkan
esensinya ke media seluloid. Suntingan (editing) gambarnya tidak cuma sekadar
penggabungan gambar dan suara, melainkan sudah menjadi wahana estetikanya yang
khas. Tontonlah opening Suci Sang Primadona (1977) di mana saat terdengar suara
“Eros! Kembali, Eros!”, gambar yang nongol malah patung Pancoran. Selain itu sinematografinya
selalu inovatif. Filmnya menyajikan kualitas visual yang levelnya lain dari
kebanyakan film yang beredar. Bibir Mer (1991), perhatikan kemewahan gambarnya
yang sangat lain dari film-film nasional semasanya. Sedangkan tentang film
G30SPKI yang akan kita obrolkan kali ini, tentu anda (yang dulu nonton) masih
ingat extreme close up shot mulut yang legendaris itu.
Film G30SPKI, sekali lagi ini murni dari sudut pandang
estetis belaka, adalah sebuah film hebat. Pengadeganannya detail dan bernuansa.
Perhatikan saat Bung Karno (diperankan Umar Khayam) yang sedang sakit-sakitan,
berdiri membelakangi kita, pelan-pelan ia menyapukan pandangan. Ini adegan yang
menyimpan begitu banyak rasa. Kita diajak ikut merasa…apa gerangan yang
berkecamuk di dalam diri Si Bung dan apa yang sedang bergerak di luar istana? Kegamangan
ini disajikan secara kelam. Gamang bahwa sebuah bencana akan terjadi tak lama
setelah ini.
Itulah bagaimana Arifin C. Noer memulai horror film ini.
Jika film-film horror pada lazimnya memuat gambar-gambar setting (misal rumah
tua, kuburan dll.) G30SPKI memuatnya dalam gambaran pergolakan tokohnya. Melihat
bagaimana Bung Karno menoleh, ikut membuat kita tak menentu. Bahkan menontonnya
dalam resolusi terburuk (saya nonton versi VCD) pun nuansa itu masih terasa. Saya
ingat betul ini adegan yang bikin saya takut untuk terus nonton. Sampai
sekarangpun saya tidak pernah nonton dalam sekuens utuh. Selalu “skip-skip”.
Horror yang berdarah, yakni adegan pembunuhan para Jendral
bukanlah hal yang bisa saya nikmati sebagaimana nonton darah di film-film
Tarantino. Tarantino mengemas darah secara “cool”, artistik…nggak “njijiki”.
Sedangkan atmosfir adegan gitu di G30SPKI samasekali lain. Adegan penyiletan
muka jendral dan melemparkannya ke dalam lubang itu sebuah mimpi buruk terburuk
di jagad sinema. The most gory scene I’ve ever seen.
Ada banyak adegan yang bisa bikin anda mimpi buruk. Terutama
adegan penculikan. Saya sebut beberapa secara acak:
-Adegan saat penjemputan paksa (saya udah lupa nama jendralnya hehehe)
-Adegan slow motion roboh kena tembak (ini saya juga lupa siapa yang ditembak)
-Tertembaknya Ade Irma Suryani
-Adegan basuh muka pakai darah
Oke, tadi saya ungkap kenapa film ini saya sebut film horror.
Bahkan saya kasih julukan khusus “historical noir political thriller slasher horror”.
Sekarang gimana dengan struktur naratifnya?
G30SPKI, sebagai film yang maunya jadi film sejarah,
menggunakan pendekatan linier. Semua dibangun secara kronologis. Tapi sejarah
yang asli bukanlah sebuah narasi film. Di sinilah kecerdasan Arifin C. Noer
terlihat. Ia menyusun sejarah (versi penguasa saat itu) seakan memang dalam 3
babak. Untuk kebutuhan storytelling film tentunya. Arifin cermat membangun suspense,
menyelipkan humor, membikin klimaks secara mengerikan dan memberikan ending
yang membuat penontonnya bernafas normal lagi.
Jujur saja, review yang saya tulis ini lebih berdasarkan ingatan daripada mencermati satu per satu adegannya. saking horror-nya film ini di mata saya, buku kuduk saya masih merinding setiap saya memutar ulang di scene tertentu. Paling-paling saya cuma denger audionya, gak berani lihat gambarnya haha (anehnya lha kok saya malah puter berulang-ulang)
Jujur saja, review yang saya tulis ini lebih berdasarkan ingatan daripada mencermati satu per satu adegannya. saking horror-nya film ini di mata saya, buku kuduk saya masih merinding setiap saya memutar ulang di scene tertentu. Paling-paling saya cuma denger audionya, gak berani lihat gambarnya haha (anehnya lha kok saya malah puter berulang-ulang)
Film dibuka dengan kegentingan situasi karena sakitnya Bung
Karno. Penggunaan bahasa Mandarin sang dokter dari RRC membuat film ini nampak
otentik. Sementara itu rapat para elit PKI ditampilkan dalam semacam high angle
shot yang keren. Penampilan D.N. Aidit (diperankan Syu’bah Asa) tak cukup
dengan akting namun juga didukung dengan pencahayaan satu arah dan angle yang
membangun karakternya sebagai tokoh jahat. Extreme close up shot mata Aidit yang tajam sungguh gila. Seram secara subliminal.
Bersamaan dengan ketegangan politik, disebutkan para militan PKI menggelar latihan di Lubang Buaya. Detail senjata, seragam dan settingnya begitu otentik. Saya pernah baca kalau tak salah adegan tersebut diambil di lokasi aslinya. Jika benar, maka tak salah aura seramnya begitu dapet. Dasar Arifin memang seorang master storytelling, ia masih mengijinkan kita menghela napas karena pengadeganannya yang kadang tegang, kadang lepas. Mungkin ada yang masih ingat kata-kata komandan yang melatih pasukan?
"...sebelum bisa nembak, itu harus bisa baris dulu!"
"Baris aja nggak becus lho... mau ngganyang Nekolim!"
Kapan lagi kita bisa dengar kata-kata se-greget itu dalam film Indonesia?
Sementara itu di luar pagar elit politik, ditampilkan adegan penderitaan rakyat; antrian bahan bakar oleh rakyat jelata. Sebagai katarsis, Arifin C. Noer juga menyelipkan humor. Simak saja karakter seorang bapak relijius yang anti komunis dengan keluarganya yang mulai kesulitan beli beras. Di sela-sela omongannya yang berapi-api soal "kominis" anaknya malah main drum band. Ini lucu sekaligus ironi. Bagi saya ini kayaknya satu-satunya adegan yang tidak menyeramkan hehehe. Kelucuan itu tak cuma dibangun dalam dialog-dialog namun juga lewat sinematografi. Extreme close up mulut yang legendaris itu, selain lucu juga berkarakter kuat. Ini yang saya pikir sebagai master piece shot-nya Arifin C. Noer. Sayang, itu dipotong di versi VCD-nya, namun kemarin baru saya dapat info tautan link dari rekan versi uncut-nya (TVRI version). Cari saja di Youtube.
Bersamaan dengan ketegangan politik, disebutkan para militan PKI menggelar latihan di Lubang Buaya. Detail senjata, seragam dan settingnya begitu otentik. Saya pernah baca kalau tak salah adegan tersebut diambil di lokasi aslinya. Jika benar, maka tak salah aura seramnya begitu dapet. Dasar Arifin memang seorang master storytelling, ia masih mengijinkan kita menghela napas karena pengadeganannya yang kadang tegang, kadang lepas. Mungkin ada yang masih ingat kata-kata komandan yang melatih pasukan?
"...sebelum bisa nembak, itu harus bisa baris dulu!"
"Baris aja nggak becus lho... mau ngganyang Nekolim!"
Kapan lagi kita bisa dengar kata-kata se-greget itu dalam film Indonesia?
Sementara itu di luar pagar elit politik, ditampilkan adegan penderitaan rakyat; antrian bahan bakar oleh rakyat jelata. Sebagai katarsis, Arifin C. Noer juga menyelipkan humor. Simak saja karakter seorang bapak relijius yang anti komunis dengan keluarganya yang mulai kesulitan beli beras. Di sela-sela omongannya yang berapi-api soal "kominis" anaknya malah main drum band. Ini lucu sekaligus ironi. Bagi saya ini kayaknya satu-satunya adegan yang tidak menyeramkan hehehe. Kelucuan itu tak cuma dibangun dalam dialog-dialog namun juga lewat sinematografi. Extreme close up mulut yang legendaris itu, selain lucu juga berkarakter kuat. Ini yang saya pikir sebagai master piece shot-nya Arifin C. Noer. Sayang, itu dipotong di versi VCD-nya, namun kemarin baru saya dapat info tautan link dari rekan versi uncut-nya (TVRI version). Cari saja di Youtube.
Menuju suspense. Ketegangan dibangun lewat potongan-potongan
berita. Koran-koran yang memuat aksi sepihak PKI. Juga kecemasan yang
digambarkan lewat firasat para tokoh militer yang kelak akan jadi korban. Dalam sebuah
adegan, istri seorang tokoh salah menerka rancangan gambar museum sebagai gambar kuburan. Simak juga dialog-dialog yang seakan mengisyaratkan tragedi.
"Malam apa ini?"
"Malam Jum'at legi."
Betapa dahsyat Arifin C. Noer, membangun suspense.
Menjelang subuh, pergantian hari yang kalau dalam banyak film horror merupakan akhir dari sebuah terror, dalam film ini malah sebaliknya. G30SPKI memulai terrornya justru sejak subuh. Derap kaki pasukan penculik, keremangan cahaya dan suara raungan serigala! Ya raungan serigala menjelang subuh di rerimbun pohon Lubang Buaya. Bagaimana anda mau memungkiri kalau ini film horror? Kemudian satu hal yang tak boleh dilupakan...
Musik!
"Malam apa ini?"
"Malam Jum'at legi."
Betapa dahsyat Arifin C. Noer, membangun suspense.
Menjelang subuh, pergantian hari yang kalau dalam banyak film horror merupakan akhir dari sebuah terror, dalam film ini malah sebaliknya. G30SPKI memulai terrornya justru sejak subuh. Derap kaki pasukan penculik, keremangan cahaya dan suara raungan serigala! Ya raungan serigala menjelang subuh di rerimbun pohon Lubang Buaya. Bagaimana anda mau memungkiri kalau ini film horror? Kemudian satu hal yang tak boleh dilupakan...
Musik!
Horror film ini jelas tak kan semakin mencekam tanpa satu kunci penting!... Musik
dari Embie C. Noer!
Ini perlu saya sebut secara khusus karena memori saya terhadap film ini tak cuma potongan adegan namun juga potongan musik. Musik temanya kalo tak salah cuma 3 atau 4 not. Akor yang dibangun lewat bunyi synthetizer organ (kalau saya tak salah mencermati) "dihinggapi" dengan alunan alat musik tiup semacam saluang. Sekali lagi itu cuma kesan dengaran saya. Saya belum sempet nanya detail ini ke komposernya. Pak Embie pernah bilang kalau masternya ilang dilalap banjir. Selain musik synthesizer, ada juga bunyi-bunyi instrumen asli seperti gesekan biola, vocal choir dan denting piano. Aransemen lagu "Lihat Kebunku" bukannya menggambarkan keceriaan anak-anak malah memberi atmosfir yang kelam.
"Lihat kebunku, penuh dengan bunga..."
Bunga apa gerangan? Bunga kuburan?
Dan jangan lupakan satu lagu daerah yang kemudian menjadi lagu ikon "kominis" lokal... "Gendjer-Gendjer". Selain dinyanyikan dalam adegan penyiksaan para jendral, nada-nada utamanya juga disusupkan secara cerdik dalam music score-nya. Ini sebenarnya cuma lagu daerah Jawa Timuran. Pernah dinyanyikan biduan jadul kondang Lilis Suryani. Gara-gara sering dinyanyikan oleh para simpatisan PKI, lagu ini lantas seakan identik dengan "lagu komunis". Padahal apa sih isi lagunya?
"Gendjer-gendjer nong kedokan pating keleler..." Ini kan lagu tentang tanaman sayur bernama genjer. Mungkin pas untuk mengiringi makan pecel. Atau jangan-jangan pecel nanti dikira makanan komunis? Hiii...ngeri! (Belakangan saya baru dapat info bahwa lagu tersebut berasal dari lagu rakyat Banyuwangi. Oleh seorang seniman bernama M. Arief dikasih lirik baru untuk menggambarkan penderitaan jaman Jepang.)
Musik Embie C. Noer tak cuma menghiasi, mengilustrasi, melainkan sudah menjadi jiwa film itu sendiri. Berpadu dengan gambar berpencahayaan rendah, musik ini jadi mimpi buruk mengendap di bawah sadar. Buktinya? Ya itu….sampai sekarang saya masih ngeri menonton film ini secara utuh. Sungguh kolaborasi kakak-adik, sutradara-komposer yang luar biasa.
Ini perlu saya sebut secara khusus karena memori saya terhadap film ini tak cuma potongan adegan namun juga potongan musik. Musik temanya kalo tak salah cuma 3 atau 4 not. Akor yang dibangun lewat bunyi synthetizer organ (kalau saya tak salah mencermati) "dihinggapi" dengan alunan alat musik tiup semacam saluang. Sekali lagi itu cuma kesan dengaran saya. Saya belum sempet nanya detail ini ke komposernya. Pak Embie pernah bilang kalau masternya ilang dilalap banjir. Selain musik synthesizer, ada juga bunyi-bunyi instrumen asli seperti gesekan biola, vocal choir dan denting piano. Aransemen lagu "Lihat Kebunku" bukannya menggambarkan keceriaan anak-anak malah memberi atmosfir yang kelam.
"Lihat kebunku, penuh dengan bunga..."
Bunga apa gerangan? Bunga kuburan?
Dan jangan lupakan satu lagu daerah yang kemudian menjadi lagu ikon "kominis" lokal... "Gendjer-Gendjer". Selain dinyanyikan dalam adegan penyiksaan para jendral, nada-nada utamanya juga disusupkan secara cerdik dalam music score-nya. Ini sebenarnya cuma lagu daerah Jawa Timuran. Pernah dinyanyikan biduan jadul kondang Lilis Suryani. Gara-gara sering dinyanyikan oleh para simpatisan PKI, lagu ini lantas seakan identik dengan "lagu komunis". Padahal apa sih isi lagunya?
"Gendjer-gendjer nong kedokan pating keleler..." Ini kan lagu tentang tanaman sayur bernama genjer. Mungkin pas untuk mengiringi makan pecel. Atau jangan-jangan pecel nanti dikira makanan komunis? Hiii...ngeri! (Belakangan saya baru dapat info bahwa lagu tersebut berasal dari lagu rakyat Banyuwangi. Oleh seorang seniman bernama M. Arief dikasih lirik baru untuk menggambarkan penderitaan jaman Jepang.)
Musik Embie C. Noer tak cuma menghiasi, mengilustrasi, melainkan sudah menjadi jiwa film itu sendiri. Berpadu dengan gambar berpencahayaan rendah, musik ini jadi mimpi buruk mengendap di bawah sadar. Buktinya? Ya itu….sampai sekarang saya masih ngeri menonton film ini secara utuh. Sungguh kolaborasi kakak-adik, sutradara-komposer yang luar biasa.
Klimaksnya tentu adegan penyiksaan. Saya selalu tak betah
menontonnya. Bahkan saat quote memorable “Darah itu merah, Jendral!” diucapkan,
udah bikin saya ngeri. Di sini G30SPKI menunjukkan kelas sebagai film slasher…yaitu…genre
“beleh-belehan”. Para Jendral disiksa dengan alat, ditusuk dengan bayonet,
dipukuli, ditendangi, disundut rokok, dicungkil matanya dan lalu dimauskkan ke
sumur tua. Tak cukup sampai di situ. Di atasnya ditanam pohon pisang. Itulah
puncak horror film ini. Tentu saja akan lain kalau anda baca sejarah asli dari
banyak sumber. Konon horror di realitanya malah berlangsung setelah 30 September
kan?
Lalu sebagai resolusi cerita, muncullah Pak Harto (diperankan
Amoroso Katmasi) sebagai penyelamat bangsa. Di sini film G30SPKI jadi nampak
kayak film perang. Ada tentara-tentara bergerak dan kendaraan tempur. Ketika
saya menontonnya saat masih kecil, di sinilah saya mulai merasa lega. Tidak
takut lagi. TNI bersama Pancasila telah menumpas kekuatan setan hehehe
Ada untungnya film ini diproduksi negara. Jadinya budget
nggak terlalu masalah bagi sang filmmaker. G30SPKI begitu detail. Naskahnya,
meski terlalu panjang, memuat hal-hal yang secara sinematik penting. Arifin C.
Noer adalah penutur kisah yang hebat. Maklum ia bisa nulis dan ngerti
dramaturgi. Tapi ia juga punya tim yang bagus. Filmnya sangat well made. Adapun
beban gugatan sejarah, itulah yang menjadi kelemahan non teknis satu-satunya. Ya
mau gimana lagi?
Entah sudah berapa kali saya ngomong….G30SPKI yang
disutradari Arifin C. Noer adalah satu-satunya film terhebat yang pernah
dibikin orang Indonesia. Dan selalu saya katakan itu dengan ironi…sayangnya ini
film propaganda hahaha.
Lalu saya dengar ada wacana usulan mau dibikin remake?
Pendapat saya...nggak bisa. Itu nggak akan berhasil. Nggak ada yang akan menandingi Arifin C. Noer. Tapi ya monggo saja sih dengan segala resiko, kekurangan, kelebihan dan dampaknya. Tapi jangan pakai naskah Arifin C. Noer lah. Film ini sudah menjadi sejarah estetika sinema Indonesia.
Lalu saya dengar ada wacana usulan mau dibikin remake?
Pendapat saya...nggak bisa. Itu nggak akan berhasil. Nggak ada yang akan menandingi Arifin C. Noer. Tapi ya monggo saja sih dengan segala resiko, kekurangan, kelebihan dan dampaknya. Tapi jangan pakai naskah Arifin C. Noer lah. Film ini sudah menjadi sejarah estetika sinema Indonesia.
Post a Comment