BAGAIMANA CARA SAYA BIKIN BREAKDOWN SCRIPT UNTUK D.O.P/CINEMATOGRAPHER UNTUK TIM PRODUKSI YANG SUPER MINI?

Fungsi standar Director Of Photography alias Cinematographer adalah sebagai “mata” sang sutradara. Dia pada hakekatnya adalah “sutradara untuk gambar”. Kalau saya, karena berkarya dalam sebuah tim yang kecil, merangkap sutradara sekaligus D.O.P. Bahkan kadang saya pegang kamera sendiri. Apa yang saya jabarkan di sini adalah cara saya pribadi bikin film, bukan cara standar yang lazim dilakukan industri.

Ada 3 jenis shot yang saya ambil setiap bikin film; MASTER, DETAIL dan CUTAWAY. Berikut ini tahapannya.

LANGKAH PERTAMA: TENTUKAN MASTER SHOT

Setelah script dibaca dan didalami, saya akan mulai mencorat-coret naskah. Yang pertama adalah menentukan MASTER SHOT. Master shot adalah gambar yang menangkap keseluruhan adegan tanpa terputus. Gambar ini menunjukkan kejadian dalam waktu sebenarnya (real time). Yang paling penting untuk hal ini adalah bahwa keseluruhan karakter, adegan dan lokasi bisa ditangkap dengan satu angle. Artinya, sebaiknya master diambil secara steady shot atau maksimal satu jenis pergerakan kamera saja misalnya panning. Tergantung pada kompleksitas script, bisa saja master shot diambil lebih dari satu.

Di script, bagian yang mau saya jadikan master shot saya tandai dalam kotak. Saya beri keterangan sesuai nomor scene, jenis shot dan nomor shot-nya. Misalnya begini; Scene 2 Master Shot 1. Ini akan memudahkan asisten saya mencatatnya.


Master shot, sebaiknya mampu memberikan gambaran adegan secara utuh. Maka saya biasanya memperlakukan master shot dengan cermat seolah-olah saya tak akan sempat mengambil detail. Sebagai sutradara, saya akan mengatur dengan cermat blocking pemain dan posisi kamera.

LANGKAH KEDUA: TENTUKAN DETAIL SHOT

DETAIL SHOT adalah gambar yang mewakili mata penonton untuk memfokuskan pada bagian tertentu yang dimaui sutradara. Shot ini berguna untuk melihat detail atau menangkap lebih dalam emosi karakter. Saya sebagai sutradara akan memutuskan bagian mana yang perlu dikasih detail.

Pada script, bagian itu juga saya tandai dalam kotak, namun lebih kecil daripada kotak yang menandai masternya. Berapa jumlah detail yang musti diambil, tergantung apa yang mau saya ungkap secara visual. Setiap detail menyampaikan emosi yang jelas dan spesifik.

LANGKAH KETIGA: TENTUKAN CUTAWAY

CUTAWAY adalah gambar sisipan. Cutaway berupa shot detail bagian dari aktor, properti dan lokasi yang sebenarnya tak berhubungan langsung dengan cerita. Misalnya shot tangan, jam, lampu, gelas dan lain-lain. Sisipan ini akan berguna di tangan editor jika ingin memanipulasi waktu. Jika adegan pada master shot secara real time berlangsung 5 menit, editor bisa membuatnya hanya menjadi 2 menit dengan bantuan CUTAWAY.

Karena dalam script tak ada instruksi soal cutaway, maka kita bisa memutuskan bagian mana yang mau diambil untuk cutaway. Misalnya adegan ngobrol sambil minum kopi di cafe, maka cutaway yang saya ambil biasanya cangkir kopi, jendela café, pengunjung ngobrol  dan lain-lain.

Di script saya akan bikin satu kotak kecil yang saya hubungkan ke kotak detail shot. Saya akan tulis nomor scene,  jenis shot dan nomornya. Misalnya; Scene 2 shot 3 cutaway close up cangkir kopi.

LANGKAH KEEMPAT: TENTUKAN PENANGANAN ESTETIK TIAP SHOT

Setiap shot harus diperlakukan dengan cantik. Maka saya perlu merencanakannya dengan baik. Saat inilah saya perlu kertas baru untuk mencatat rencana penanganan estetik (karena script udah terlalu penuh coretan).

Berdasarkan breakdown tadi, saya tulis SHOT LIST beserta penjelasan rinci tiap adegannya. Saya tak memakai cara standar. Biasanya saya bikin sendiri yang pokoknya kru saya paham.

SHOT LIST tadi menjadi acuan untuk bikin STORYBOARD. STORYBOARD adalah reka visual tahap awal bagaimana adegan akan tampak di kamera. Di sini terlihat bagaimana angle dan gerakan kameranya. Karena nomor scene, shot dan jenis shotnya sudah tercatat maka kerja bikin storyboard jadi mudah.

Setelah adegan bisa diperkirakan secara visual lewat storyboard, maka saya sebagai D.O.P akan menentukan teknik pencahayaan, pemilihan lensa dan sebagainya. Saya musti cermat apakah gambar yang mau diambil nanti melibatkan perekaman audio, penggunaan special effect dan lain-lain. Hal-hal semacam itu perlu dicatat. Di tahap ini tak jarang saya merevisi storyboard untuk berkompromi dengan keadaan.

LANGKAH KELIMA: EKSEKUSI DI LAPANGAN

Sebelum melakukan eksekusi, saya biasanya melakukan latihan dulu. Yakni melakukan RECCE atau BLOCKING SHOT. RECCE adalah melakukan latihan di lokasi sebenarnya sambil mengantisipasi kendala yang mungkin muncul. BLOCKING SHOT adalah test mengambil gambar untuk memastikan agar semua perencanaan akan efektif pada saat syuting beneran nanti. Tak jarang saya cuma punya waktu blocking shot beberapa menit sebelum syuting sebenarnya dimulai.

AGAR EFEKTIF DI LAPANGAN: ASISTEN YANG TANGGUH

Tim saya saat ini SUPER KECIL. Cuma 4 orang:

-Saya selaku sutradara merangkap penulis
-Seorang asisten sutradara merangkap pencatat adegan dan pegang clapper
-Seorang D.O.P merangkap kameramen dan penggambar storyboard
-Seorang editor merangkap ko-kameramen


Dalam tim yang super kecil ini kunci efektifnya syuting adalah ASISTEN yang tangguh. Dia lah yang memantau jalannya waktu, mencatat detail mana yang belum dan sudah diambil. Sebagai filmmaker yang posisinya merangkap-rangkap, saya sudah tak punya waktu untuk melihat catatan secara utuh. Bahkan pegang naskah saja sampai tak sempat. Kameramen dua orang biasanya saya atur agar satu mengambil master shot yang lain ambil detail dalam waktu bersamaan. Mereka takkan sempat membawa-bawa script dan storyboard. Asisten lah yang membawa semua berkas dan mencatat. Ia sangat penting untuk mengontrol efektivitas produksi di lokasi. Asisten musti cermat, detail dan tahan capek. Makin banyak asisten sebenarnya makin baik. Tapi saya cuma punya satu.


Demikianlah cara saya bikin breakdown script untuk Director Of Photography. Semoga berguna buat teman-teman yang bikin film dengan kru terbatas.

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved