Rocky Balboa adalah seorang petinju kelas rendahan yang cuma berpenghasilan receh. Untuk menambah uang saku ia nyambi sebagai debt collector. Agak kontras dengan bawaan lahiriahnya. Meski badannya gede, Rocky nggak tegaan menghajar orang. Mungkin karena ia juga seorang pecinta binatang.
Bertahun-tahun Rocky tak pernah punya kesempatan untuk naik kelas. Kebahagiaan yang ia punya hanyalah merayu dengan joke-joke garing kepada gebetannya, Adrian seorang perempuan kikuk dan pemalu.
Suatu ketika manajemen Apollo Creed, seorang petinju tenar hendak menjual pertunjukan tinju. Sayangnya banyak petinju hebat sedang tidak tersedia dalam waktu dekat. Tiba-tiba Creed punya ide menjual pertunjukan semacam dare to dream. Ia bakal kasih kesempatan petinju underdog untuk bertarung dengannya. Sungguh show yang bakal menjual. A show about American dream.
Rocky pun mempersiapkan diri dengan semangat nothing to lose. Toh siapa lah dia yang bakal mampu mengalahkan Appollo Creed, sang petinju hebat pemegang gelar bertahan. Rocky bertarung hanya demi satu nama, Adrian, perempuan yang paling ia cintai. Hanya kepadanyalah pertarungan berdarah-darah itu ia persembahkan.
===
Apa yang tak saya suka dari Rocky?
Tak ada.
Musik-musik soundtrack gubahan Bill Conti adalah teman saya saat olahraga. Semangat Rocky berlatih dengan lingkungan seadanya menjadi inspirasi saya. Hanya saja saya nggak meninju bongkahan daging digantung.
Untung saya bukan kritikus. Tak wajib bagi saya "mencari kesalahan" sebuah tontonan. Bahkan saya sudah suka Rocky sebelum meniontonnya utuh. Kok bisa?
It's about character. Kata Mbah Martin Scorsese karakter lah yang paling penting untuk membuat film menarik. Karena karakter lah yang menjadi media pembawa kisah. Lebih mudah jatuh hati pada karakter daripada cerita. Apalagi jika sebuah karakter film bernasib serupa dengan audiense-nya.
Rocky agaknya cukup mewakili para petarung kehidupan yang kalah bukan karena tak cakap, melainkan hanya karena belum diberi kesempatan.
Saya selalu suka film lawas dari era pakde-pakde saya. Rocky adalah sport drama movie yang melejitkan Sylvester Stallone sebagai aktor papan atas Hollywood. Selain makin mengukuhkan peran penting para keturunan Italia di jagad perfilman Amerika. Entah lah apa yang akan terjadi pada Sylvester "Sly" Stallone andai naskah bikinannya tak diterima produser. Karena ia sebelumnya cuma beruntung main di film porno. Body dempal muka eksotis. Mana orang percaya dia bisa main film beneran?
Rocky, film yang menyabet piala Oscar ini sebenarnya lebih membuktikan bahwa Sly sebenarnya merupakan penulis cerita yang bagus. Hal itu juga terlihat di sekuel pertama film Rambo: The First Blood. Sayangnya industri agaknya lebih demen menjual otot Si Sly daripada memberinya kesempatan akting yang serius. Makanya sekuel-sekuel film tersebut dibuat dengan semangat serupa sinetron berseri. Ngejual karakter yang udah terbukti laris. But that's not problem.
Rocky adalah petarung yang kuat bukan karena program latihannya. Ia menjadi kuat karena tempaan kehidupan. Ia adalah representasi imigran yang pilihan kerjaannya hanyalah sebagai kerah biru. Apollo Creed sang juara pun bilang padanya, "Orang Italia itu, kalo kagak bisa berantem paling enggak bisa jadi tukang masak lah."
Hidup hanya dengan bertinju di event receh, sehari-hari musti nagih utang sama orang-orang bandel membuat Rocky musti tabah dengan apartemennya yang lebih mirip penjara. Apartemen itu yang membuatnya tak percaya diri setiap orang-orang menolaknya. Adrian, saat pertama kenal Rocky pun enggan untuk berlama-lama. Maka yang dirasakan Rocky hanyalah... "Kamu nggak suka rumahku kan?"
Hanya Adrian yang bisa menghiasai kemuraman hidup Rocky. Setidaknya hanya Adrian yang bisa membaca betapa untuk ukuran tukang tagih utang, Rocky terlalu berhati penyayang. Maka wajar saja jika ia mempersembahkan pertarungannya demi perempuan ini. Perempuan yang mendampingi lelakinya saat jadi pecundang memang layak diganjar gemerlap bintang.
Apollo Creed adalah contoh minoritas sukses buat Rocky. Apollo adalah warga kulit hitam yang kalau tak beruntung mungkin nasibnya juga tak jauh seperti Rocky. Adegan pertarungan sang bintang versus underdog adalah cerminan dari slogan American Dream. Siapapun layak dapat kesempatan di Amerika.
Dengan kesederhanan motivasi naratif ini, tak heran jika Rocky pada masanya menjadi film terlaris. Dicintai para penonton karena kedekatannya dengan realita sehari-hari. Bahkan dicatat sebagai salah satu sport drama movie terhebat yang pernah dibikin. Film ini pun bisa jadi asupan nutrisi batin bagi para loser yang nasibnya seperti Rocky. Para petarung yang tak kunjung dapat kesempatan.
"I was nobody....It really don't matter if I lose this fight.....Nobody's ever gone the distance with Creed, and if I can go that distance, you see, and that bell rings and I'm still standin', I'm gonna know for the first time in my life, see, that I weren't just another bum from the neighborhood."
Rocky tak muluk-muluk ingin mengalahkan Apollo Creed. Ia hanya hendak bertahan hingga usai pertarungan. Dengan demikian ia hendak menunjukkan bahwa ia bukan "nobody" yang biasa.
Begitulah yang sering ditemui pada banyak juara sejati. Mereka bertarung seringkali bukan semata demi kejuaraan. Melainkan demi menghargai sebuah kesempatan yang sangat langka untuk nobody.
Post a Comment