APAKAH BUDGET GEDE JAMINAN LARISNYA FILM SUPERHERO?

Akhir-akhir ini saya menantikan sebuah film superhero nasional. Bukan karena film itu tentang apa atau dengan budget berapa melainkan karena siapa yang duduk sebagai sutradara.

Memang susah mau ngelarang orang nyinyir sama film superhero nasional. Hingga saat ini belum ada film superhero yang begitu gegap gempita disambut sebagai film laris dan sekaligus critically acclaimed.


Laris dan critically acclaimed adalah dua hal yang ada tolok ukurnya. Maka saya gak pake istilah "bagus" di sini. Bagus itu relatif sesuai selera pribadi. Tapi kalau laris itu ada ukurannya, dan critically acclaimed itu ada ilmunya.

Menyangka bahwa budget besar adalah jaminan mutu sebuah film adalah hal yang konyol. Apalagi jika mengira kalau kualitas bisa dijamin dengan biaya mahal. Ada film berkualitas yang memang butuh biaya mahal, ada juga yang tidak. Biaya lebih berhubungan dengan teknis eksekusi dan resource daripada kualitas itu sendiri. Saya sering pakai perumpamaan...

"Kasihlah anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?"

Hal demikian juga berlaku soal perlunya CGI dan efek berbiaya mahal. Apakah film Gundala, misalnya, dijamin sukses jika pakai efek CGI mahal tapi sutradaranya adalah (seandainya) A'a Gatot Brajamusti?

Adalah benar bahwa CGI yang bagus butuh banyak resource dan skill. Itu mahal. Betul sekali. Tapi alih-alih menentukan kualitas film secara keseluruhan, itu hanyalah merupakan alat bantu tata tutur. Karena film bukanlah showreel CGI melainkan sebuah karya naratif audio visual. Mengenai apakah butuh CGI dan tidak, itu keputusan kreatif filmmakernya.

Kalau anda perlu data, tengok misalnya film-film berikut ini:

JOHN CARTER (2012). Production budget: $263 million. Rugi: $122 million. Budget itu lebih mahal dari film di tahun yang sama yakni THE AVENGERS. Budget $220 million, namun pendapatannya $1.519 billion.

Itu film Hollywood yang emang big budget karena industri di sana besar. Kita ambil contoh yang lokal ya...

RAFATHAR (2017). Budget hampir mencapai 15 milyar rupiah. 15 besar nasional aja nggak masuk. Bandingkan saja dengan THE RAID (2011) yang budgetnya juga 15-an milyar rupiah.

Belum lagi kita sebut DILAN 1990 (2018) yang budgetnya "cuma" 11 milyar rupiah (bukan dollar) namun pendapatannya 250 milyar rupiah. Bandingin sama AYAT-AYAT CINTA 2 yang budgetnya 16 milyar rupiah, tapi pendapatannya "cuma" 104 milyar rupiah.

Jadi, kualitas cerita lah yang dicari. Penonton tak peduli biaya sebesar apapun dikeluarkan. Mereka cuma peduli apakah film itu berhasil menarik hati atau tidak. Makanya untuk itu diperlukan penanggungjawab kreativitas yang tepat, yakni sutradara. Tapi sutradara juga tak bisa kepilih tanpa adanya produser yang punya visi, dan sutradara tak bisa bekerja tanpa penulis yang handal. Sekalipun ada sutradara handal, penulis juga handal tetap saja karya mereka tak akan terwujud maksimal jika tak ada aktor yang handal. Film itu kerja kolektif kolaboratif.

Dalam manajemen produksi film, orang-orang yang punya kuasa kreatif dalam memutuskan eksekusi film ini disebut sebagai "above-the-line". Mutu sebuah film ditentukan oleh para above the line ini. Di bawah mereka ada "below-the-line". Mereka ini kru-kru teknis yang bekerja mewujudkan visi orang-orang di above the line.

Budget gede tak menjamin kualitas film sebagaimana kamera mahal gak lantas bikin anda jago fotografi. Hubungan keduanya bukanlah kausatif melainkan fungsional. Budget gede diperlukan untuk disain produksi gede, kamera mahal diperlukan untuk konsep pemotretan yang mahal pula.

Sekarang kita berandai-andai lagi. Kasih anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?

Bisa saja asalkan si anak ngerti soal siapa yang musti ia pilih sebagai above the line. Misalnya, si anak duduk sebagai Executive Producer, lalu dia mempekerjakan produser yang profesional. Produser itu nanti akan menyarankan memilih sutradara yang handal untuk proyek itu. Dengan duit tadi, si anak SD juga bisa menyewa professional consultant untuk film marketing dan distribusinya.

Jadi ya nggak bisa duit 400 milyar itu dibagi-bagi teman sekelasnya trus beli kamera mahal buat syuting. Nggak sama kayak bikin tugas kelompok lho ya, juragan...

(foto dari: Kapanlagi.com/ jika foto ini milik anda hubungi saya kalau mau di-unpost)
Akhir-akhir ini saya menantikan sebuah film superhero nasional. Bukan karena film itu tentang apa atau dengan budget berapa melainkan karena siapa yang duduk sebagai sutradara.

Memang susah mau ngelarang orang nyinyir sama film superhero nasional. Hingga saat ini belum ada film superhero yang begitu gegap gempita disambut sebagai film laris dan sekaligus critically acclaimed.


Laris dan critically acclaimed adalah dua hal yang ada tolok ukurnya. Maka saya gak pake istilah "bagus" di sini. Bagus itu relatif sesuai selera pribadi. Tapi kalau laris itu ada ukurannya, dan critically acclaimed itu ada ilmunya.

Menyangka bahwa budget besar adalah jaminan mutu sebuah film adalah hal yang konyol. Apalagi jika mengira kalau kualitas bisa dijamin dengan biaya mahal. Ada film berkualitas yang memang butuh biaya mahal, ada juga yang tidak. Biaya lebih berhubungan dengan teknis eksekusi dan resource daripada kualitas itu sendiri. Saya sering pakai perumpamaan...

"Kasihlah anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?"

Hal demikian juga berlaku soal perlunya CGI dan efek berbiaya mahal. Apakah film Gundala, misalnya, dijamin sukses jika pakai efek CGI mahal tapi sutradaranya adalah (seandainya) A'a Gatot Brajamusti?

Adalah benar bahwa CGI yang bagus butuh banyak resource dan skill. Itu mahal. Betul sekali. Tapi alih-alih menentukan kualitas film secara keseluruhan, itu hanyalah merupakan alat bantu tata tutur. Karena film bukanlah showreel CGI melainkan sebuah karya naratif audio visual. Mengenai apakah butuh CGI dan tidak, itu keputusan kreatif filmmakernya.

Kalau anda perlu data, tengok misalnya film-film berikut ini:

JOHN CARTER (2012). Production budget: $263 million. Rugi: $122 million. Budget itu lebih mahal dari film di tahun yang sama yakni THE AVENGERS. Budget $220 million, namun pendapatannya $1.519 billion.

Itu film Hollywood yang emang big budget karena industri di sana besar. Kita ambil contoh yang lokal ya...

RAFATHAR (2017). Budget hampir mencapai 15 milyar rupiah. 15 besar nasional aja nggak masuk. Bandingkan saja dengan THE RAID (2011) yang budgetnya juga 15-an milyar rupiah.

Belum lagi kita sebut DILAN 1990 (2018) yang budgetnya "cuma" 11 milyar rupiah (bukan dollar) namun pendapatannya 250 milyar rupiah. Bandingin sama AYAT-AYAT CINTA 2 yang budgetnya 16 milyar rupiah, tapi pendapatannya "cuma" 104 milyar rupiah.

Jadi, kualitas cerita lah yang dicari. Penonton tak peduli biaya sebesar apapun dikeluarkan. Mereka cuma peduli apakah film itu berhasil menarik hati atau tidak. Makanya untuk itu diperlukan penanggungjawab kreativitas yang tepat, yakni sutradara. Tapi sutradara juga tak bisa kepilih tanpa adanya produser yang punya visi, dan sutradara tak bisa bekerja tanpa penulis yang handal. Sekalipun ada sutradara handal, penulis juga handal tetap saja karya mereka tak akan terwujud maksimal jika tak ada aktor yang handal. Film itu kerja kolektif kolaboratif.

Dalam manajemen produksi film, orang-orang yang punya kuasa kreatif dalam memutuskan eksekusi film ini disebut sebagai "above-the-line". Mutu sebuah film ditentukan oleh para above the line ini. Di bawah mereka ada "below-the-line". Mereka ini kru-kru teknis yang bekerja mewujudkan visi orang-orang di above the line.

Budget gede tak menjamin kualitas film sebagaimana kamera mahal gak lantas bikin anda jago fotografi. Hubungan keduanya bukanlah kausatif melainkan fungsional. Budget gede diperlukan untuk disain produksi gede, kamera mahal diperlukan untuk konsep pemotretan yang mahal pula.

Sekarang kita berandai-andai lagi. Kasih anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?

Bisa saja asalkan si anak ngerti soal siapa yang musti ia pilih sebagai above the line. Misalnya, si anak duduk sebagai Executive Producer, lalu dia mempekerjakan produser yang profesional. Produser itu nanti akan menyarankan memilih sutradara yang handal untuk proyek itu. Dengan duit tadi, si anak SD juga bisa menyewa professional consultant untuk film marketing dan distribusinya.

Jadi ya nggak bisa duit 400 milyar itu dibagi-bagi teman sekelasnya trus beli kamera mahal buat syuting. Nggak sama kayak bikin tugas kelompok lho ya, juragan...

(foto dari: Kapanlagi.com/ jika foto ini milik anda hubungi saya kalau mau di-unpost)
Baca

PERFILMAN INDONESIA: ANTARA INDUSTRI, INDEPENDEN DAN NON INDEPENDEN

Berdasarkan pendanaan, cara pemasaran dan watak kebebasannya secara umum saya melihat perfilman nasional sebagai dua macam: non independen dan independen.

Saya adalah pelaku independen. Bahasa gaulnya... indie. Namun saya bukan penggemar kopi dan senja, melainkan es jeruk dan bakda dhuhur.

Seperti apakah industri film indonesia?


Pengetahuan saya terbatas pada yang saya jumpai atau saya tahu dari teman-teman saya di perfilman. Jadi kalo ada info tambahan atau koreksi, monggo saja.

Industri film Indonesia berdasarkan pelakunya:

-Pekerja film (ya aktor, sutradara, kameramen, komposer, kru, penulis, tukang gulung kabel dll. Istilah umum saya buat menyebut tenaga kreatif maupun teknis)

-Perusahaan film (dengan bentuk perusahaannya masing-masing seperti PT, CV dll. Ini merupakan badan usaha yang legal)

-Komunitas (mirip dengan individu. Komunitas tak selalu punya bentuk legal kayak perusahaan. Jika legal biasanya setidaknya berbentuk sanggar atau yayasan. Meskipun bisa mendatangkan profit, orientasinya bukan ke situ.)

-Distributor film (pihak yang memasarkan film ke berbagai platform.)

-Pengusaha bioskop (terutama untuk film-film layar lebar dan sebagian film independen)

-Individu (pribadi yang mengucurkan dana dan atau merekrut orang-orang memproduksi film. Biasanya pelaku indie)

-Badan Pemerintah (pihak yang secara tidak langsung memproduksi. Biasanya bekerjasama dengan swasta untuk mewujudkan)

Kita ulas bareng-bareng.

Perusahaan film, karena sudah berbadan hukum jelas sekali posisinya. Ada standar yang musti dipenuhi dalam memproduksi dan membayar upah. Yaaa meski di lapangan bisa saja not that perfect hahaha. Namun paling tidak, kalau sudah berwujud perusahaan, auditnya lebih mudah lah.

Perusahaan film ini nggak bisa sendirian cari duit. Film bukan sebuah produk yang rata-rata dihasilkan full "in house". Mereka perlu pekerja film yang berada di luar perusahaan. Mereka merekrut sutradara, aktor, dan lain-lain sesuai kebutuhan. Nanti pun mereka akan bekerjasama dengan distributor, penyedia pemutaran (bioskop) dll.

Sedangkan yang pelaku individu cakupannya bisa luas. Untuk skala kecil, biasanya individu yang langsung berurusan dengan produksi. Para pembuat film indie misalnya, secara individu memproduseri sendiri. Biasanya juga tanpa production house, melainkan cuma "label" virtual yang orang-orangnya bongkar pasang (skeleton crew). Pelaku individu ini tak terlalu memerlukan bentuk perusahaan karena beda cara kerjanya. Begitu juga dengan komunitas. Jadi nanti tentu beda pula pendapatan ekonomisnya.

Adapun instansi pemerintah, meski bukan badan hukum untuk bikin film, banyak sekali proyek-proyek departemen yang membutuhkan produk film. Biasanya mereka butuh profile instansi, materi penyuluhan, iklan layanan masyarakat dll. Apalagi jika departemen yang berkepentingan dengan pariwisata daerah. Sebagai media propaganda, film dibutuhkan oleh instansi ini. Biasanya proyeknya akan ditenderkan ke publik.


Apakah suatu film mau diputar di bioskop, platform digital, atau screening terbatas? Semua akan berbeda dalam proses kerja, tantangan dan level penghargaan ekonomisnya. Jadi kalau bicara soal perfilman indonesia, saya pikir kita perlu spesifik. Independen atau non independen?

Saya akan jabarkan apa yang saya maksud dengan independen (indie).

Independen adalah menghasilkan produk tanpa bantuan investasi dari pihak yang bukan termasuk dalam struktur produksi. Ini definisi saya. Misal saya bikin film, ya pakai duit saya sendiri, saya urus mulai dari manajemen hingga distribusi. Makna independen adalah tidak bergantung pada pihak luar. Definisi saya mengikuti prinsip itu. Yang jelas ini tidak bergantung pada besaran dana. Indie nggak musti low budget. Untung ya dinikmati sendiri, rugi ya ditanggung sendiri. Itulah indie.

Non independen adalah jika film itu didanai oleh investor. Jika perusahaan maka yang punya andil finansial jelas para pemegang saham. Yang ini jarang yang low budget, meskipun relatif ukurannya. Non independen sangat bergantung pada rantai usaha yang lain. Mereka melewati distributor, pengusaha bioskop dan bahkan juga berurusan dengan asosiasi.

Tapi bisa juga non independen dengan low budget. Yakni jika ada kelompok indie, tapi dananya memakai sponsor pihak lain (yang nggak masuk struktur produksi) hehehe. Anda bisa saja memperdebatkan hal ini. Namun setidaknya, secara pendanaan ini nggak independen.

So... karena saya adalah di jalur independen, maka sisi ini yang lebih saya bahas.

Beberapa hari yang lalu saya bersama teman-teman aktivis dan pelaku perfilman sedaerah, diberi penghargaan oleh dewan kesenian dan gubernur. Nah, pertanyaan saya apakah peran yang bisa diambil pemerintah dalam memajukan perfilman daerah atau nasional? Cukupkah penghargaan seremonial semacam itu?

Saya tahu saat ini ada Bekraf dan juga Departemen Pendidikan yang memiliki kucuran dana bagi proposal produksi film. Tentunya untuk memproduksi film yang sesuai dengan misi mereka. Di Indonesia, saya belum tahu pemerintah mau mendanai film genre. Meskipun justru film genre-lah yang mengangkat martabat film Indonesia di dunia. Beda yaaa ama New Zealand. Peter Jackson bikin film zombie-zombiean aja dikasih dana.

Ini masalah dobel problem buat saya pribadi. Saya ini mendakwa diri saya sebagai pembuat film bergenre. Nah, indie dan bikin film genre... jauh lah dari kemudahan mendapat bantuan dana hehehe. Lha ya wong namanya indie... mosok minta dana ke pemerintah. Meskipun kalo dikasih ya nggak nolak loh hahaha asal boleh bikin film genre.

Namun bukan berarti kita ndak butuh sama sekali lho. Setidaknya di level perijinan, perlindungan hukum dan hak-hak kebudayaan kayaknya kita juga perlu kehadiran pemerintah. Saya miris ketika mendengar sebuah film yang berprestasi dilarang tayang gara-gara tuduhan berdasar moralitas tertentu.

Filmmaker indie ada dinamikanya tersendiri. Tak semua lho menuntut minta diperhatikan dan dikasih dana (dikasih duit ya mau lah tapi kan itu bukan satu-satunya kepentingan kami di perfilman hehehe). Pengakuan bahwa kami layak berkarya itu pun juga penting. Pengakuan ini berwujud hal-hal yang saya sebut tadi. Secara komunal pun kami sudah mengorganisir diri. Kami juga menerapkan manajemen produksi dan standar kreatif. Jadi tak selalu yang namanya indie itu berantakan cara kerjanya.

Soal ekonomi, sudah jelas itu masalah semua orang berusaha. Film indie bergelut dengan level apresiasi. Ada yang memang merupakan pilihan, ada pula memang yang terkendala akses. Akses di sini tidak seteknis itu. Dalam perfilman, kenal sama orang film, tidak selalu membuat karier perfilman berjalan lancar.

Tentu saja, kenal kan bukan berarti cocok dalam sebuah tim produksi. Namun pertemuan karya-karya perfilman selain bioskop tetaplah perlu untuk menjalin banyak kemungkinan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Dalam hal ini setidaknya pemerintah bisa memfasilitasi misalnya perijinan lokasi, penyediaan gedung dan juga dana-dana untuk menggelar acara perfilman di masyarakat. Adanya bioskop keliling adalah hal yang bisa diapresiasi. Meskipun saya tidak memantau perkembangannya sih.

Terlebih lagi jika ternyata sebuah film indie diapresiasi secara internasional, maka pemerintah bisa berperan juga disitu. Misalnya menanggung biaya akomodasi para pelakunya agar bisa menghadiri festival-festival. Kan ada nilai ekonomisnya juga itu.

Saya berharap, para pejabat nantinya lebih melek soal sinema dan literasinya. Itu sebuah pekerjaan besar. Saya pribadi baru bisa bergerak di level kecil, sempit dan ndeso.

Perfilman Indonesia, dengan kekurangannya masih terus melangkah. baik independen maupun non independen menyumbangkan peran dengan cara masing-masing. Pemerintah bisa berperan dengan memastikan bahwa langkah itu tidak dijegal.

Sekian.

(Wlingiwood, 29 April 2019)
Berdasarkan pendanaan, cara pemasaran dan watak kebebasannya secara umum saya melihat perfilman nasional sebagai dua macam: non independen dan independen.

Saya adalah pelaku independen. Bahasa gaulnya... indie. Namun saya bukan penggemar kopi dan senja, melainkan es jeruk dan bakda dhuhur.

Seperti apakah industri film indonesia?


Pengetahuan saya terbatas pada yang saya jumpai atau saya tahu dari teman-teman saya di perfilman. Jadi kalo ada info tambahan atau koreksi, monggo saja.

Industri film Indonesia berdasarkan pelakunya:

-Pekerja film (ya aktor, sutradara, kameramen, komposer, kru, penulis, tukang gulung kabel dll. Istilah umum saya buat menyebut tenaga kreatif maupun teknis)

-Perusahaan film (dengan bentuk perusahaannya masing-masing seperti PT, CV dll. Ini merupakan badan usaha yang legal)

-Komunitas (mirip dengan individu. Komunitas tak selalu punya bentuk legal kayak perusahaan. Jika legal biasanya setidaknya berbentuk sanggar atau yayasan. Meskipun bisa mendatangkan profit, orientasinya bukan ke situ.)

-Distributor film (pihak yang memasarkan film ke berbagai platform.)

-Pengusaha bioskop (terutama untuk film-film layar lebar dan sebagian film independen)

-Individu (pribadi yang mengucurkan dana dan atau merekrut orang-orang memproduksi film. Biasanya pelaku indie)

-Badan Pemerintah (pihak yang secara tidak langsung memproduksi. Biasanya bekerjasama dengan swasta untuk mewujudkan)

Kita ulas bareng-bareng.

Perusahaan film, karena sudah berbadan hukum jelas sekali posisinya. Ada standar yang musti dipenuhi dalam memproduksi dan membayar upah. Yaaa meski di lapangan bisa saja not that perfect hahaha. Namun paling tidak, kalau sudah berwujud perusahaan, auditnya lebih mudah lah.

Perusahaan film ini nggak bisa sendirian cari duit. Film bukan sebuah produk yang rata-rata dihasilkan full "in house". Mereka perlu pekerja film yang berada di luar perusahaan. Mereka merekrut sutradara, aktor, dan lain-lain sesuai kebutuhan. Nanti pun mereka akan bekerjasama dengan distributor, penyedia pemutaran (bioskop) dll.

Sedangkan yang pelaku individu cakupannya bisa luas. Untuk skala kecil, biasanya individu yang langsung berurusan dengan produksi. Para pembuat film indie misalnya, secara individu memproduseri sendiri. Biasanya juga tanpa production house, melainkan cuma "label" virtual yang orang-orangnya bongkar pasang (skeleton crew). Pelaku individu ini tak terlalu memerlukan bentuk perusahaan karena beda cara kerjanya. Begitu juga dengan komunitas. Jadi nanti tentu beda pula pendapatan ekonomisnya.

Adapun instansi pemerintah, meski bukan badan hukum untuk bikin film, banyak sekali proyek-proyek departemen yang membutuhkan produk film. Biasanya mereka butuh profile instansi, materi penyuluhan, iklan layanan masyarakat dll. Apalagi jika departemen yang berkepentingan dengan pariwisata daerah. Sebagai media propaganda, film dibutuhkan oleh instansi ini. Biasanya proyeknya akan ditenderkan ke publik.


Apakah suatu film mau diputar di bioskop, platform digital, atau screening terbatas? Semua akan berbeda dalam proses kerja, tantangan dan level penghargaan ekonomisnya. Jadi kalau bicara soal perfilman indonesia, saya pikir kita perlu spesifik. Independen atau non independen?

Saya akan jabarkan apa yang saya maksud dengan independen (indie).

Independen adalah menghasilkan produk tanpa bantuan investasi dari pihak yang bukan termasuk dalam struktur produksi. Ini definisi saya. Misal saya bikin film, ya pakai duit saya sendiri, saya urus mulai dari manajemen hingga distribusi. Makna independen adalah tidak bergantung pada pihak luar. Definisi saya mengikuti prinsip itu. Yang jelas ini tidak bergantung pada besaran dana. Indie nggak musti low budget. Untung ya dinikmati sendiri, rugi ya ditanggung sendiri. Itulah indie.

Non independen adalah jika film itu didanai oleh investor. Jika perusahaan maka yang punya andil finansial jelas para pemegang saham. Yang ini jarang yang low budget, meskipun relatif ukurannya. Non independen sangat bergantung pada rantai usaha yang lain. Mereka melewati distributor, pengusaha bioskop dan bahkan juga berurusan dengan asosiasi.

Tapi bisa juga non independen dengan low budget. Yakni jika ada kelompok indie, tapi dananya memakai sponsor pihak lain (yang nggak masuk struktur produksi) hehehe. Anda bisa saja memperdebatkan hal ini. Namun setidaknya, secara pendanaan ini nggak independen.

So... karena saya adalah di jalur independen, maka sisi ini yang lebih saya bahas.

Beberapa hari yang lalu saya bersama teman-teman aktivis dan pelaku perfilman sedaerah, diberi penghargaan oleh dewan kesenian dan gubernur. Nah, pertanyaan saya apakah peran yang bisa diambil pemerintah dalam memajukan perfilman daerah atau nasional? Cukupkah penghargaan seremonial semacam itu?

Saya tahu saat ini ada Bekraf dan juga Departemen Pendidikan yang memiliki kucuran dana bagi proposal produksi film. Tentunya untuk memproduksi film yang sesuai dengan misi mereka. Di Indonesia, saya belum tahu pemerintah mau mendanai film genre. Meskipun justru film genre-lah yang mengangkat martabat film Indonesia di dunia. Beda yaaa ama New Zealand. Peter Jackson bikin film zombie-zombiean aja dikasih dana.

Ini masalah dobel problem buat saya pribadi. Saya ini mendakwa diri saya sebagai pembuat film bergenre. Nah, indie dan bikin film genre... jauh lah dari kemudahan mendapat bantuan dana hehehe. Lha ya wong namanya indie... mosok minta dana ke pemerintah. Meskipun kalo dikasih ya nggak nolak loh hahaha asal boleh bikin film genre.

Namun bukan berarti kita ndak butuh sama sekali lho. Setidaknya di level perijinan, perlindungan hukum dan hak-hak kebudayaan kayaknya kita juga perlu kehadiran pemerintah. Saya miris ketika mendengar sebuah film yang berprestasi dilarang tayang gara-gara tuduhan berdasar moralitas tertentu.

Filmmaker indie ada dinamikanya tersendiri. Tak semua lho menuntut minta diperhatikan dan dikasih dana (dikasih duit ya mau lah tapi kan itu bukan satu-satunya kepentingan kami di perfilman hehehe). Pengakuan bahwa kami layak berkarya itu pun juga penting. Pengakuan ini berwujud hal-hal yang saya sebut tadi. Secara komunal pun kami sudah mengorganisir diri. Kami juga menerapkan manajemen produksi dan standar kreatif. Jadi tak selalu yang namanya indie itu berantakan cara kerjanya.

Soal ekonomi, sudah jelas itu masalah semua orang berusaha. Film indie bergelut dengan level apresiasi. Ada yang memang merupakan pilihan, ada pula memang yang terkendala akses. Akses di sini tidak seteknis itu. Dalam perfilman, kenal sama orang film, tidak selalu membuat karier perfilman berjalan lancar.

Tentu saja, kenal kan bukan berarti cocok dalam sebuah tim produksi. Namun pertemuan karya-karya perfilman selain bioskop tetaplah perlu untuk menjalin banyak kemungkinan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Dalam hal ini setidaknya pemerintah bisa memfasilitasi misalnya perijinan lokasi, penyediaan gedung dan juga dana-dana untuk menggelar acara perfilman di masyarakat. Adanya bioskop keliling adalah hal yang bisa diapresiasi. Meskipun saya tidak memantau perkembangannya sih.

Terlebih lagi jika ternyata sebuah film indie diapresiasi secara internasional, maka pemerintah bisa berperan juga disitu. Misalnya menanggung biaya akomodasi para pelakunya agar bisa menghadiri festival-festival. Kan ada nilai ekonomisnya juga itu.

Saya berharap, para pejabat nantinya lebih melek soal sinema dan literasinya. Itu sebuah pekerjaan besar. Saya pribadi baru bisa bergerak di level kecil, sempit dan ndeso.

Perfilman Indonesia, dengan kekurangannya masih terus melangkah. baik independen maupun non independen menyumbangkan peran dengan cara masing-masing. Pemerintah bisa berperan dengan memastikan bahwa langkah itu tidak dijegal.

Sekian.

(Wlingiwood, 29 April 2019)
Baca

MARVEL PERJUANGAN

Tulisan ini buat nyemangatin murid-murid filmku di klub film MOVO yang juga dibimbing oleh komunitasku Wlingiwood Filmmakers. Juga para filmmaker muda yang kiprahnya masih berlatih di ajang lomba antar sekolah.

Saat ini hampir semua anak muda gaul kenal sama yang namanya Marvel. Ya, ini adalah perusahaan/studio film yang mengeluarkan lebih dari selusin film superhero paling populer dekade ini. Avengers: End Game kemarin menjadi film terlaris yang dikeluarkan oleh studio tersebut sampai 2019. Namun perjuangan menuju studio dengan produksi film terlaris sesungguhnya sangatlah tidak mulus. Diperlukan waktu 30 tahunan untuk bisa mencapai posisi seperti itu.

Marvel, dulunya Marvel Entertainment Group, yang sebenarnya berawal dari Marvel Comics adalah perusahaan hiburan yang fokus pada produksi dan jual lisensi karakter superhero terbitan Marvel Comics. Jadi mereka awalnya nggak bikin film, melainkan menjual lisensi. Ngomongin sejarah perusahaan emang ribet karena mereka terdiri dari banyak divisi, jadi itu kalian baca sendiri aja.

Jangan lupa. Sedari jaman jualan komik, Marvel punya saingan berat juga yakni DC, sesama perusahaan komik juga. Bahkan DC lebih duluan sukses menjual lisensi karakter mereka yakni Superman dan Batman sejak tahun 70an. Film tersukses mereka terakhir ini adalah Aquaman. Kita akan ngomongin Marvel karena dari mereka kita akan tarik inspirasi perjuangan. Sebelumnya perlu kita ketahui ya... Marvel itu perusahaan dengan banyak divisi. Untuk film adalah Marvel Studios. Saat ini Marvel Studios dimiliki oleh Walt Disney Company. Ya ya ya... itu perusahaan yang bikin Mickey Mouse. Selanjutnya seluruh tetek bengek perusahaan dengan branding Marvel kita sebut aja cukup Marvel.

Kita tengok dulu perjalanan Marvel dalam menghasilkan film-film terlaris mereka.

1986 - HOWARD THE DUCK: Ini film yang diproduseri George Lucas (yang bikin Star Wars tuh). Ancur. Duitnya mepet balik modal.

1989 - THE PUNISHER: Kali ini dilisensikan ke New World Pictures. Filmnya gagal juga.

1990 - CAPTAIN AMERICA: Pertamakalinya diproduksi ama Marvel sendiri (lewat Marvel Entertainment Group). Ancur banget dan gagal.

1994 - FANTASTIC FOUR: Dilisensikan ke (awas jangan dikasih huruf G) Neue Constantin Films. Gak jadi dirilis. Ini low budget banget dan bahkan melibatkan Roger Corman, produser spesialis low budget.

1998 - BLADE: Dilisensikan ke Amen Ra Films (bukan punyanya Amien Rais). Film ini menurut kritikus nggak bagus amat tapi menjadi filmnya Marvel yang sukses pertamakali. Bisa dikata ini adalah tonggak awal "Marvel perjuangan".

2000 - X-MEN: Kembali diproduksi sendiri oleh Marvel Entertainment Group. Ini adalah film superhero tersukses mereka sejauh itu. Sukses baik di bioskop maupun di mata kritikus. Sejak saat inilah mereka mulai berani keluar duit gede-gedean untuk bikin film superhero.

2002 - SPIDER-MAN:Diproduksi oleh Marvel Enterprises. Ini film yang SUKSES BESAR hingga orang-orang awam pun mulai kenal Marvel.

2003 - DAREDEVIL: Udah sukses ama X-Men dan Spider-Man eeeh gagal lagi ama film ini.

2003 - HULK: Agak sukses kecil tapi konon dibenci sama pecinta komiknya.

2005 - ELEKTRA: Ngikutin Daredevil. Mereka gagal lagi.

2005 - FANTASTIC FOUR: Film ini sukses kecil-kecilan. Salah satu produsernya adalah yang pernah bikin Fantastic Four tahun 1994 yang gak jadi rilis itu.

2008 - IRONMAN: Film TERSUKSES setelah Spider-Man bahkan sampe dapet nominasi piala Oscar pula. Meroketkan karir Robert Downey Jr. Iron Man merupakan rangkaian fase pertama dari serangkaian film yang nanti disebut sebagai Marvel Cinematic universe.

2008 - THE INCREDIBLE HULK: Sukses tipis-tipis aja. Nggak segede Iron Man.

Nah, setelah era turun naik ini kualitas film dari Marvel cenderung stabil. Jarang yang flop banget. Hingga nanti mereka mencapai puncaknya setelah 30 tahun dengan AVENGERS: END GAME.

Marvel identik dengan Stan Lee. Namun di industri sinemanya sebenarnya ada lebih banyak orang yang terlibat. Di belakang layar film-film mereka, setidaknya ada dua produser yang konsisten memperjuangkan prestasi sinematik Marvel. Yakni Avi Arad dan Kevin Feige.

Avi Arad pertama kali terlibat di film Blade sebagai produser. Ia terus berada di lingkaran itu hingga era Marvel Cinematic Universe. Sedangkan Kevin memulainya dari film X-Men hingga Avengers End Game. Mari hitung berapa tahun perjuangan mereka, Avi Arad sejak film Blade (jadi 20 tahunan) dan Kevin Feige sejak X-Men (nyaris 20 tahunan juga). Sedangkan perusahaannya yakni mulai dari Marvel Entertainment Group hingga Marvel Studio yang sejak 2009 dimilik Disney... ada sekitar 25 tahunan. Saat awalnya mereka bahkan tertinggal dari prestasi DC Comics yang menelurkan Superman (1978), film superhero pertama yang tersukses secara mainstream.

Jadi buat teman-teman yang cuma gagal di event lomba kabupaten atau malah propinsi. KEEP CALM! Be the MARVEL PERJUANGAN! Hehehehe adalah lebih penting jika kalian tetap konsisten dan persisten berkarya. Itu tentunya tidak sebatas waktu kalian ikut klub film di sekolah yang masa aktifnya cuman 2 - 3 tahunan.

Berkaryalah bukan cuma untuk prestasi, melainkan karena kita bersyukur dianugrahi passion dan talenta. See you at another screening!
Tulisan ini buat nyemangatin murid-murid filmku di klub film MOVO yang juga dibimbing oleh komunitasku Wlingiwood Filmmakers. Juga para filmmaker muda yang kiprahnya masih berlatih di ajang lomba antar sekolah.

Saat ini hampir semua anak muda gaul kenal sama yang namanya Marvel. Ya, ini adalah perusahaan/studio film yang mengeluarkan lebih dari selusin film superhero paling populer dekade ini. Avengers: End Game kemarin menjadi film terlaris yang dikeluarkan oleh studio tersebut sampai 2019. Namun perjuangan menuju studio dengan produksi film terlaris sesungguhnya sangatlah tidak mulus. Diperlukan waktu 30 tahunan untuk bisa mencapai posisi seperti itu.

Marvel, dulunya Marvel Entertainment Group, yang sebenarnya berawal dari Marvel Comics adalah perusahaan hiburan yang fokus pada produksi dan jual lisensi karakter superhero terbitan Marvel Comics. Jadi mereka awalnya nggak bikin film, melainkan menjual lisensi. Ngomongin sejarah perusahaan emang ribet karena mereka terdiri dari banyak divisi, jadi itu kalian baca sendiri aja.

Jangan lupa. Sedari jaman jualan komik, Marvel punya saingan berat juga yakni DC, sesama perusahaan komik juga. Bahkan DC lebih duluan sukses menjual lisensi karakter mereka yakni Superman dan Batman sejak tahun 70an. Film tersukses mereka terakhir ini adalah Aquaman. Kita akan ngomongin Marvel karena dari mereka kita akan tarik inspirasi perjuangan. Sebelumnya perlu kita ketahui ya... Marvel itu perusahaan dengan banyak divisi. Untuk film adalah Marvel Studios. Saat ini Marvel Studios dimiliki oleh Walt Disney Company. Ya ya ya... itu perusahaan yang bikin Mickey Mouse. Selanjutnya seluruh tetek bengek perusahaan dengan branding Marvel kita sebut aja cukup Marvel.

Kita tengok dulu perjalanan Marvel dalam menghasilkan film-film terlaris mereka.

1986 - HOWARD THE DUCK: Ini film yang diproduseri George Lucas (yang bikin Star Wars tuh). Ancur. Duitnya mepet balik modal.

1989 - THE PUNISHER: Kali ini dilisensikan ke New World Pictures. Filmnya gagal juga.

1990 - CAPTAIN AMERICA: Pertamakalinya diproduksi ama Marvel sendiri (lewat Marvel Entertainment Group). Ancur banget dan gagal.

1994 - FANTASTIC FOUR: Dilisensikan ke (awas jangan dikasih huruf G) Neue Constantin Films. Gak jadi dirilis. Ini low budget banget dan bahkan melibatkan Roger Corman, produser spesialis low budget.

1998 - BLADE: Dilisensikan ke Amen Ra Films (bukan punyanya Amien Rais). Film ini menurut kritikus nggak bagus amat tapi menjadi filmnya Marvel yang sukses pertamakali. Bisa dikata ini adalah tonggak awal "Marvel perjuangan".

2000 - X-MEN: Kembali diproduksi sendiri oleh Marvel Entertainment Group. Ini adalah film superhero tersukses mereka sejauh itu. Sukses baik di bioskop maupun di mata kritikus. Sejak saat inilah mereka mulai berani keluar duit gede-gedean untuk bikin film superhero.

2002 - SPIDER-MAN:Diproduksi oleh Marvel Enterprises. Ini film yang SUKSES BESAR hingga orang-orang awam pun mulai kenal Marvel.

2003 - DAREDEVIL: Udah sukses ama X-Men dan Spider-Man eeeh gagal lagi ama film ini.

2003 - HULK: Agak sukses kecil tapi konon dibenci sama pecinta komiknya.

2005 - ELEKTRA: Ngikutin Daredevil. Mereka gagal lagi.

2005 - FANTASTIC FOUR: Film ini sukses kecil-kecilan. Salah satu produsernya adalah yang pernah bikin Fantastic Four tahun 1994 yang gak jadi rilis itu.

2008 - IRONMAN: Film TERSUKSES setelah Spider-Man bahkan sampe dapet nominasi piala Oscar pula. Meroketkan karir Robert Downey Jr. Iron Man merupakan rangkaian fase pertama dari serangkaian film yang nanti disebut sebagai Marvel Cinematic universe.

2008 - THE INCREDIBLE HULK: Sukses tipis-tipis aja. Nggak segede Iron Man.

Nah, setelah era turun naik ini kualitas film dari Marvel cenderung stabil. Jarang yang flop banget. Hingga nanti mereka mencapai puncaknya setelah 30 tahun dengan AVENGERS: END GAME.

Marvel identik dengan Stan Lee. Namun di industri sinemanya sebenarnya ada lebih banyak orang yang terlibat. Di belakang layar film-film mereka, setidaknya ada dua produser yang konsisten memperjuangkan prestasi sinematik Marvel. Yakni Avi Arad dan Kevin Feige.

Avi Arad pertama kali terlibat di film Blade sebagai produser. Ia terus berada di lingkaran itu hingga era Marvel Cinematic Universe. Sedangkan Kevin memulainya dari film X-Men hingga Avengers End Game. Mari hitung berapa tahun perjuangan mereka, Avi Arad sejak film Blade (jadi 20 tahunan) dan Kevin Feige sejak X-Men (nyaris 20 tahunan juga). Sedangkan perusahaannya yakni mulai dari Marvel Entertainment Group hingga Marvel Studio yang sejak 2009 dimilik Disney... ada sekitar 25 tahunan. Saat awalnya mereka bahkan tertinggal dari prestasi DC Comics yang menelurkan Superman (1978), film superhero pertama yang tersukses secara mainstream.

Jadi buat teman-teman yang cuma gagal di event lomba kabupaten atau malah propinsi. KEEP CALM! Be the MARVEL PERJUANGAN! Hehehehe adalah lebih penting jika kalian tetap konsisten dan persisten berkarya. Itu tentunya tidak sebatas waktu kalian ikut klub film di sekolah yang masa aktifnya cuman 2 - 3 tahunan.

Berkaryalah bukan cuma untuk prestasi, melainkan karena kita bersyukur dianugrahi passion dan talenta. See you at another screening!
Baca
 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved