PERFILMAN INDONESIA: ANTARA INDUSTRI, INDEPENDEN DAN NON INDEPENDEN

Berdasarkan pendanaan, cara pemasaran dan watak kebebasannya secara umum saya melihat perfilman nasional sebagai dua macam: non independen dan independen.

Saya adalah pelaku independen. Bahasa gaulnya... indie. Namun saya bukan penggemar kopi dan senja, melainkan es jeruk dan bakda dhuhur.

Seperti apakah industri film indonesia?


Pengetahuan saya terbatas pada yang saya jumpai atau saya tahu dari teman-teman saya di perfilman. Jadi kalo ada info tambahan atau koreksi, monggo saja.

Industri film Indonesia berdasarkan pelakunya:

-Pekerja film (ya aktor, sutradara, kameramen, komposer, kru, penulis, tukang gulung kabel dll. Istilah umum saya buat menyebut tenaga kreatif maupun teknis)

-Perusahaan film (dengan bentuk perusahaannya masing-masing seperti PT, CV dll. Ini merupakan badan usaha yang legal)

-Komunitas (mirip dengan individu. Komunitas tak selalu punya bentuk legal kayak perusahaan. Jika legal biasanya setidaknya berbentuk sanggar atau yayasan. Meskipun bisa mendatangkan profit, orientasinya bukan ke situ.)

-Distributor film (pihak yang memasarkan film ke berbagai platform.)

-Pengusaha bioskop (terutama untuk film-film layar lebar dan sebagian film independen)

-Individu (pribadi yang mengucurkan dana dan atau merekrut orang-orang memproduksi film. Biasanya pelaku indie)

-Badan Pemerintah (pihak yang secara tidak langsung memproduksi. Biasanya bekerjasama dengan swasta untuk mewujudkan)

Kita ulas bareng-bareng.

Perusahaan film, karena sudah berbadan hukum jelas sekali posisinya. Ada standar yang musti dipenuhi dalam memproduksi dan membayar upah. Yaaa meski di lapangan bisa saja not that perfect hahaha. Namun paling tidak, kalau sudah berwujud perusahaan, auditnya lebih mudah lah.

Perusahaan film ini nggak bisa sendirian cari duit. Film bukan sebuah produk yang rata-rata dihasilkan full "in house". Mereka perlu pekerja film yang berada di luar perusahaan. Mereka merekrut sutradara, aktor, dan lain-lain sesuai kebutuhan. Nanti pun mereka akan bekerjasama dengan distributor, penyedia pemutaran (bioskop) dll.

Sedangkan yang pelaku individu cakupannya bisa luas. Untuk skala kecil, biasanya individu yang langsung berurusan dengan produksi. Para pembuat film indie misalnya, secara individu memproduseri sendiri. Biasanya juga tanpa production house, melainkan cuma "label" virtual yang orang-orangnya bongkar pasang (skeleton crew). Pelaku individu ini tak terlalu memerlukan bentuk perusahaan karena beda cara kerjanya. Begitu juga dengan komunitas. Jadi nanti tentu beda pula pendapatan ekonomisnya.

Adapun instansi pemerintah, meski bukan badan hukum untuk bikin film, banyak sekali proyek-proyek departemen yang membutuhkan produk film. Biasanya mereka butuh profile instansi, materi penyuluhan, iklan layanan masyarakat dll. Apalagi jika departemen yang berkepentingan dengan pariwisata daerah. Sebagai media propaganda, film dibutuhkan oleh instansi ini. Biasanya proyeknya akan ditenderkan ke publik.


Apakah suatu film mau diputar di bioskop, platform digital, atau screening terbatas? Semua akan berbeda dalam proses kerja, tantangan dan level penghargaan ekonomisnya. Jadi kalau bicara soal perfilman indonesia, saya pikir kita perlu spesifik. Independen atau non independen?

Saya akan jabarkan apa yang saya maksud dengan independen (indie).

Independen adalah menghasilkan produk tanpa bantuan investasi dari pihak yang bukan termasuk dalam struktur produksi. Ini definisi saya. Misal saya bikin film, ya pakai duit saya sendiri, saya urus mulai dari manajemen hingga distribusi. Makna independen adalah tidak bergantung pada pihak luar. Definisi saya mengikuti prinsip itu. Yang jelas ini tidak bergantung pada besaran dana. Indie nggak musti low budget. Untung ya dinikmati sendiri, rugi ya ditanggung sendiri. Itulah indie.

Non independen adalah jika film itu didanai oleh investor. Jika perusahaan maka yang punya andil finansial jelas para pemegang saham. Yang ini jarang yang low budget, meskipun relatif ukurannya. Non independen sangat bergantung pada rantai usaha yang lain. Mereka melewati distributor, pengusaha bioskop dan bahkan juga berurusan dengan asosiasi.

Tapi bisa juga non independen dengan low budget. Yakni jika ada kelompok indie, tapi dananya memakai sponsor pihak lain (yang nggak masuk struktur produksi) hehehe. Anda bisa saja memperdebatkan hal ini. Namun setidaknya, secara pendanaan ini nggak independen.

So... karena saya adalah di jalur independen, maka sisi ini yang lebih saya bahas.

Beberapa hari yang lalu saya bersama teman-teman aktivis dan pelaku perfilman sedaerah, diberi penghargaan oleh dewan kesenian dan gubernur. Nah, pertanyaan saya apakah peran yang bisa diambil pemerintah dalam memajukan perfilman daerah atau nasional? Cukupkah penghargaan seremonial semacam itu?

Saya tahu saat ini ada Bekraf dan juga Departemen Pendidikan yang memiliki kucuran dana bagi proposal produksi film. Tentunya untuk memproduksi film yang sesuai dengan misi mereka. Di Indonesia, saya belum tahu pemerintah mau mendanai film genre. Meskipun justru film genre-lah yang mengangkat martabat film Indonesia di dunia. Beda yaaa ama New Zealand. Peter Jackson bikin film zombie-zombiean aja dikasih dana.

Ini masalah dobel problem buat saya pribadi. Saya ini mendakwa diri saya sebagai pembuat film bergenre. Nah, indie dan bikin film genre... jauh lah dari kemudahan mendapat bantuan dana hehehe. Lha ya wong namanya indie... mosok minta dana ke pemerintah. Meskipun kalo dikasih ya nggak nolak loh hahaha asal boleh bikin film genre.

Namun bukan berarti kita ndak butuh sama sekali lho. Setidaknya di level perijinan, perlindungan hukum dan hak-hak kebudayaan kayaknya kita juga perlu kehadiran pemerintah. Saya miris ketika mendengar sebuah film yang berprestasi dilarang tayang gara-gara tuduhan berdasar moralitas tertentu.

Filmmaker indie ada dinamikanya tersendiri. Tak semua lho menuntut minta diperhatikan dan dikasih dana (dikasih duit ya mau lah tapi kan itu bukan satu-satunya kepentingan kami di perfilman hehehe). Pengakuan bahwa kami layak berkarya itu pun juga penting. Pengakuan ini berwujud hal-hal yang saya sebut tadi. Secara komunal pun kami sudah mengorganisir diri. Kami juga menerapkan manajemen produksi dan standar kreatif. Jadi tak selalu yang namanya indie itu berantakan cara kerjanya.

Soal ekonomi, sudah jelas itu masalah semua orang berusaha. Film indie bergelut dengan level apresiasi. Ada yang memang merupakan pilihan, ada pula memang yang terkendala akses. Akses di sini tidak seteknis itu. Dalam perfilman, kenal sama orang film, tidak selalu membuat karier perfilman berjalan lancar.

Tentu saja, kenal kan bukan berarti cocok dalam sebuah tim produksi. Namun pertemuan karya-karya perfilman selain bioskop tetaplah perlu untuk menjalin banyak kemungkinan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah? Dalam hal ini setidaknya pemerintah bisa memfasilitasi misalnya perijinan lokasi, penyediaan gedung dan juga dana-dana untuk menggelar acara perfilman di masyarakat. Adanya bioskop keliling adalah hal yang bisa diapresiasi. Meskipun saya tidak memantau perkembangannya sih.

Terlebih lagi jika ternyata sebuah film indie diapresiasi secara internasional, maka pemerintah bisa berperan juga disitu. Misalnya menanggung biaya akomodasi para pelakunya agar bisa menghadiri festival-festival. Kan ada nilai ekonomisnya juga itu.

Saya berharap, para pejabat nantinya lebih melek soal sinema dan literasinya. Itu sebuah pekerjaan besar. Saya pribadi baru bisa bergerak di level kecil, sempit dan ndeso.

Perfilman Indonesia, dengan kekurangannya masih terus melangkah. baik independen maupun non independen menyumbangkan peran dengan cara masing-masing. Pemerintah bisa berperan dengan memastikan bahwa langkah itu tidak dijegal.

Sekian.

(Wlingiwood, 29 April 2019)

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved