APAKAH BUDGET GEDE JAMINAN LARISNYA FILM SUPERHERO?

Akhir-akhir ini saya menantikan sebuah film superhero nasional. Bukan karena film itu tentang apa atau dengan budget berapa melainkan karena siapa yang duduk sebagai sutradara.

Memang susah mau ngelarang orang nyinyir sama film superhero nasional. Hingga saat ini belum ada film superhero yang begitu gegap gempita disambut sebagai film laris dan sekaligus critically acclaimed.


Laris dan critically acclaimed adalah dua hal yang ada tolok ukurnya. Maka saya gak pake istilah "bagus" di sini. Bagus itu relatif sesuai selera pribadi. Tapi kalau laris itu ada ukurannya, dan critically acclaimed itu ada ilmunya.

Menyangka bahwa budget besar adalah jaminan mutu sebuah film adalah hal yang konyol. Apalagi jika mengira kalau kualitas bisa dijamin dengan biaya mahal. Ada film berkualitas yang memang butuh biaya mahal, ada juga yang tidak. Biaya lebih berhubungan dengan teknis eksekusi dan resource daripada kualitas itu sendiri. Saya sering pakai perumpamaan...

"Kasihlah anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?"

Hal demikian juga berlaku soal perlunya CGI dan efek berbiaya mahal. Apakah film Gundala, misalnya, dijamin sukses jika pakai efek CGI mahal tapi sutradaranya adalah (seandainya) A'a Gatot Brajamusti?

Adalah benar bahwa CGI yang bagus butuh banyak resource dan skill. Itu mahal. Betul sekali. Tapi alih-alih menentukan kualitas film secara keseluruhan, itu hanyalah merupakan alat bantu tata tutur. Karena film bukanlah showreel CGI melainkan sebuah karya naratif audio visual. Mengenai apakah butuh CGI dan tidak, itu keputusan kreatif filmmakernya.

Kalau anda perlu data, tengok misalnya film-film berikut ini:

JOHN CARTER (2012). Production budget: $263 million. Rugi: $122 million. Budget itu lebih mahal dari film di tahun yang sama yakni THE AVENGERS. Budget $220 million, namun pendapatannya $1.519 billion.

Itu film Hollywood yang emang big budget karena industri di sana besar. Kita ambil contoh yang lokal ya...

RAFATHAR (2017). Budget hampir mencapai 15 milyar rupiah. 15 besar nasional aja nggak masuk. Bandingkan saja dengan THE RAID (2011) yang budgetnya juga 15-an milyar rupiah.

Belum lagi kita sebut DILAN 1990 (2018) yang budgetnya "cuma" 11 milyar rupiah (bukan dollar) namun pendapatannya 250 milyar rupiah. Bandingin sama AYAT-AYAT CINTA 2 yang budgetnya 16 milyar rupiah, tapi pendapatannya "cuma" 104 milyar rupiah.

Jadi, kualitas cerita lah yang dicari. Penonton tak peduli biaya sebesar apapun dikeluarkan. Mereka cuma peduli apakah film itu berhasil menarik hati atau tidak. Makanya untuk itu diperlukan penanggungjawab kreativitas yang tepat, yakni sutradara. Tapi sutradara juga tak bisa kepilih tanpa adanya produser yang punya visi, dan sutradara tak bisa bekerja tanpa penulis yang handal. Sekalipun ada sutradara handal, penulis juga handal tetap saja karya mereka tak akan terwujud maksimal jika tak ada aktor yang handal. Film itu kerja kolektif kolaboratif.

Dalam manajemen produksi film, orang-orang yang punya kuasa kreatif dalam memutuskan eksekusi film ini disebut sebagai "above-the-line". Mutu sebuah film ditentukan oleh para above the line ini. Di bawah mereka ada "below-the-line". Mereka ini kru-kru teknis yang bekerja mewujudkan visi orang-orang di above the line.

Budget gede tak menjamin kualitas film sebagaimana kamera mahal gak lantas bikin anda jago fotografi. Hubungan keduanya bukanlah kausatif melainkan fungsional. Budget gede diperlukan untuk disain produksi gede, kamera mahal diperlukan untuk konsep pemotretan yang mahal pula.

Sekarang kita berandai-andai lagi. Kasih anak SD budget 400 milyar USD dan naskah asli Infinity War. Bisakah ia bikin dengan kualitas setara jika digarap oleh Russo Brothers?

Bisa saja asalkan si anak ngerti soal siapa yang musti ia pilih sebagai above the line. Misalnya, si anak duduk sebagai Executive Producer, lalu dia mempekerjakan produser yang profesional. Produser itu nanti akan menyarankan memilih sutradara yang handal untuk proyek itu. Dengan duit tadi, si anak SD juga bisa menyewa professional consultant untuk film marketing dan distribusinya.

Jadi ya nggak bisa duit 400 milyar itu dibagi-bagi teman sekelasnya trus beli kamera mahal buat syuting. Nggak sama kayak bikin tugas kelompok lho ya, juragan...

(foto dari: Kapanlagi.com/ jika foto ini milik anda hubungi saya kalau mau di-unpost)

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

+ comments + 1 comments

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved