Produksi film itu adalah sebuah kesatuan dari 5 fase:
-Development (saat kita merancang cerita untuk film)
-Pra Produksi (saat kita mempersiapkan apapun untuk mewujudkan cerita itu jadi film)
-Produksi (saat kita mengambil gambar film)
-Pasca produksi (saat kita menyunting atau mengedit gambar agar menjadi kesatuan utuh audio visual bercerita)
-Distribusi (saat kita menyampaikan hasil produksi ke publik atau market)
Di dunia profesional rata-rata pola ini sudah "established" dan jaringannya "established". Sehingga memunculkan anggapan "orangnya itu-itu saja". Para pemain baru akan merapat di salah satu simpul jaringan untuk masuk ke establishment. Bagaimana dengan yang gerilya, indie, low budget dll?
Senior saya (meski masih seumuran langkah dia lebih panjang daripada saya) mengatakan bahwa merapat ke simpul adalah wajib. Kekuatan jejaring adalah oksigen buat para pegiat perfilman. Dan jejaring yang established dipandang lebih "memudahkan". Sendirian kelayapan cari ikan di lautan, ibarat kata, bisa mampus!
Lantas gimana dengan yang masih di luar jejaring? Karena mungkin riak yang mereka ciptakan terlalu kecil untuk membasahi "celana-celana mereka yang sudah sampai di pelataran industri". Dalam pasar kreatif, supply on demand itu lebih berdasar value daripada fungsi intrinsik. Bahasa sederhananya "orang pingin nonton film karena suka, bukan karena lapar. Gak nonton film gak bakal mati". Jadi se-value apa film kita (yang di luar pagar) ini bisa dilirik jejaring? Senior saya (tak cuma seorang) menyarankan setidaknya 2 hal: -Magang sama senior (termasuk siap dengan potensi "sikut-sikutannya") -Raih recognition di luar (untuk kemudian masuk jejaring lokal) More about value. Dalam pasar film, sebenarnya tidak ada "bagus" yang sejati. Istilah yang lebih tepat mungkin "recognition". Selaras dengan nasihat senior saya, seorang seniman Istana Negara, karya yang bagus itu laku. Laku kadang bukan soal quality tapi recognition. Bagaimana kedua hal ini bis adipertukarkan? Ada ruang diskusi dan debat yang lebar untuk itu. Apa saja value sebuah film? Di pasar tradisional, film dijual lewat tiket dan profitnya melulu dari situ. Jaman berubah, kebutuhan berubah. Orang tak terlalu menginvestasikan duit dan waktu buat nonton film (apalagi setelah ditonton tak ada bekasnya). Filmmaker mulai memperluas value dengan menjual semua aspek dalam film. Ada merchandise, ada acara jumpa artis, ada promosi lokasi, ada space iklan dll. Lewat pintu-pintu itulah monetize dilakukan. Maka filmmaker selalu berjejaring dengan para investor yang gak cuma dari bidang film saja. Film itu ibaratnya teras rumah saja. Di era "big data" gini, nambah lagi jualannya. Yakni para penontonnya sendiri. Para investor mengembangkan aplikasi agar terus terkoneksi dengan minta masyarakat dan bagaimana mereka mengolahnya untuk dimanfaatkan oleh industri. Di sini peluang terbesar ada pada potensi iklan. Bicara hal gini levelnya udah di jejaring tinggi. Lantas bagaimana dengan filmmaker luar pagar yang maish berjuang di level eksistensi? Mereka tetap menjalin napas. Hanya saja skalanya tidak semasif industri. Mereka belum bisa bermain big data karena modal dan resource. Maka yang diandalkan adalah komunal yang skala lokalnya bisa 100 orang itu aja udah bagus. Rata-rata pola produksi komunitas akan habis napas begitu masuk fase distribusi. Semua sudah lelah (dan sebagian kapok) di fase produksi. Padahal di Indonesia, sistem yang bisa melindungi passion mereka ini belum cukup established. Adanya BEKRAF dan Pusbang Film mungkin merupakan angin segar buat mereka yang sevisi dengan mereka. Pertanyaan masih muncul. Bagaimana dengan film-film yang tidak menyuarakan "agenda kebudayaan" nasional? Peter Jackson bikin film zombie amoral tanpa mengusung budaya New Zealand tapi disupport oleh film council di sana. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Saya belum tahu. Pemutaran gerilya rata-rata valuenya masih di level apresiasi, belum cukup bisa dimonetize. Cara-cara lain yang dipakai adalah bikin pelatihan/workshop, jualan merchandise komunitas misalnya kaos, tote bag, topi dll. Jika dimanage dengan bagus nampaknya ini lumayan buat nutupin sebagian ongkos produksi. Cara-cara kreatif lain terus digali karena hampir tidak mungkin mengandalkan tiket. Terlebih belum ada ruang baku untuk nonton film komunitas. Biaya operasional dengan potensi keuntungan susah diseimbangkan. Ada pertanyaan yang mendasar juga seputar gerakan indie ini. Apakah mereka cuma sarana menuju ke dalam jejaring yang lebih besar? Atau tetap di situ berjuang menggali segala potensinya? Di mata penonton umum, sesungguhnya batasan indie dan industri tidaklah jelas amat. Bioskop bukan lagi tolok ukur "masuk industri" karena toh yang indie pun bisa masuk bioskop. Dulu indie adalah untuk menyebut gerakan yang low budget dan tak tergantung pemodal besar. Filmnya punya karakteristik visual yang khas karena production value yang rendah. Kini produksi dengan label indie pun punya kualitas artistik yang cukup mewah. Selain itu juga lincah bergerak lintas jejaring dan menyembulkan nama mereka di dunia perfilman. Ini baru pembahasan soal sistemnya, belum soal kualitas substansialnya.
Lantas gimana dengan yang masih di luar jejaring? Karena mungkin riak yang mereka ciptakan terlalu kecil untuk membasahi "celana-celana mereka yang sudah sampai di pelataran industri". Dalam pasar kreatif, supply on demand itu lebih berdasar value daripada fungsi intrinsik. Bahasa sederhananya "orang pingin nonton film karena suka, bukan karena lapar. Gak nonton film gak bakal mati". Jadi se-value apa film kita (yang di luar pagar) ini bisa dilirik jejaring? Senior saya (tak cuma seorang) menyarankan setidaknya 2 hal: -Magang sama senior (termasuk siap dengan potensi "sikut-sikutannya") -Raih recognition di luar (untuk kemudian masuk jejaring lokal) More about value. Dalam pasar film, sebenarnya tidak ada "bagus" yang sejati. Istilah yang lebih tepat mungkin "recognition". Selaras dengan nasihat senior saya, seorang seniman Istana Negara, karya yang bagus itu laku. Laku kadang bukan soal quality tapi recognition. Bagaimana kedua hal ini bis adipertukarkan? Ada ruang diskusi dan debat yang lebar untuk itu. Apa saja value sebuah film? Di pasar tradisional, film dijual lewat tiket dan profitnya melulu dari situ. Jaman berubah, kebutuhan berubah. Orang tak terlalu menginvestasikan duit dan waktu buat nonton film (apalagi setelah ditonton tak ada bekasnya). Filmmaker mulai memperluas value dengan menjual semua aspek dalam film. Ada merchandise, ada acara jumpa artis, ada promosi lokasi, ada space iklan dll. Lewat pintu-pintu itulah monetize dilakukan. Maka filmmaker selalu berjejaring dengan para investor yang gak cuma dari bidang film saja. Film itu ibaratnya teras rumah saja. Di era "big data" gini, nambah lagi jualannya. Yakni para penontonnya sendiri. Para investor mengembangkan aplikasi agar terus terkoneksi dengan minta masyarakat dan bagaimana mereka mengolahnya untuk dimanfaatkan oleh industri. Di sini peluang terbesar ada pada potensi iklan. Bicara hal gini levelnya udah di jejaring tinggi. Lantas bagaimana dengan filmmaker luar pagar yang maish berjuang di level eksistensi? Mereka tetap menjalin napas. Hanya saja skalanya tidak semasif industri. Mereka belum bisa bermain big data karena modal dan resource. Maka yang diandalkan adalah komunal yang skala lokalnya bisa 100 orang itu aja udah bagus. Rata-rata pola produksi komunitas akan habis napas begitu masuk fase distribusi. Semua sudah lelah (dan sebagian kapok) di fase produksi. Padahal di Indonesia, sistem yang bisa melindungi passion mereka ini belum cukup established. Adanya BEKRAF dan Pusbang Film mungkin merupakan angin segar buat mereka yang sevisi dengan mereka. Pertanyaan masih muncul. Bagaimana dengan film-film yang tidak menyuarakan "agenda kebudayaan" nasional? Peter Jackson bikin film zombie amoral tanpa mengusung budaya New Zealand tapi disupport oleh film council di sana. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia? Saya belum tahu. Pemutaran gerilya rata-rata valuenya masih di level apresiasi, belum cukup bisa dimonetize. Cara-cara lain yang dipakai adalah bikin pelatihan/workshop, jualan merchandise komunitas misalnya kaos, tote bag, topi dll. Jika dimanage dengan bagus nampaknya ini lumayan buat nutupin sebagian ongkos produksi. Cara-cara kreatif lain terus digali karena hampir tidak mungkin mengandalkan tiket. Terlebih belum ada ruang baku untuk nonton film komunitas. Biaya operasional dengan potensi keuntungan susah diseimbangkan. Ada pertanyaan yang mendasar juga seputar gerakan indie ini. Apakah mereka cuma sarana menuju ke dalam jejaring yang lebih besar? Atau tetap di situ berjuang menggali segala potensinya? Di mata penonton umum, sesungguhnya batasan indie dan industri tidaklah jelas amat. Bioskop bukan lagi tolok ukur "masuk industri" karena toh yang indie pun bisa masuk bioskop. Dulu indie adalah untuk menyebut gerakan yang low budget dan tak tergantung pemodal besar. Filmnya punya karakteristik visual yang khas karena production value yang rendah. Kini produksi dengan label indie pun punya kualitas artistik yang cukup mewah. Selain itu juga lincah bergerak lintas jejaring dan menyembulkan nama mereka di dunia perfilman. Ini baru pembahasan soal sistemnya, belum soal kualitas substansialnya.
Post a Comment