KULDESAK, yang kalo dalam bahasa Prancisnya cul-de-sac berarti jalan buntu, sejatinya adalah film multi plot. Ada lebih dari satu kisah di film itu. Tiap plot disutradarai oleh orang berbeda, 4 filmmaker muda pada masanya (kalo sekarang ya udah Om-om) yakni Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani. Namun keempat plot itu tidak dipisah dalam segmen yang tegas melainkan "dijahit" dalam satu film utuh. Nyambung ato enggak terserah interpretasi kita yang nonton.
Plot pertama mengisahkan Dina (Oppie Andaresta) seorang penjaga loket bioskop. Dina terobsesi pada seniman host TV Max Mollo (Dik Doank) dan hidup ngekost bertetangga sama Budi (Hary Suharyadi) dan Yanto, sepasang gay.
Plot kedua mengisahkan Andre (Ryan Hidayat), seorang musisi yang slacker. Ortunya sugih, dia gak bakal kekurangan. Tapi dia ada krisis eksistensial yang parah. Idolanya adalah Kurt Cobain. Sahabatnya terdekat, selain kesepian, adalah Hariolus (Iwa K.). Hariolus adalah gelandangan yang hidup di emperan toko dan piara burung hantu. Ia selain nge-rap punya bakat ngeramal. Takdir Andre selain dipengaruhi oleh Kurt Cobain, juga dipengaruhi oleh ramalan si Harioulus ini.
Plot ketiga bercerita tentang Aksan (Wong Aksan), anak pengusaha rental Laser Disc yang berteman dengan karyawan rental bernama Din (Tio Pakusadewo). Aksan sangat pingin bikin film namun tak pernah dapat restu dari ortu. Ya kalo lu suka otak-atik gathuk, you will know that "ortu" stands for ORA RESTU. Aksan ini sangat melek film. Dia ngerti mulai dari Robert Rodriguez hingga Tarantino. Suatu ketika ia punya ide gila buat mendanai produksi film, sebelum akhirnya dikacaukan oleh genk "eksistensialis hedon" yang beranggotakan Sophia Latjuba, Bucek Deep dan Maya Lubis.
Plot keempat bercerita tentang Lina (Bianca Adinegoro), karyawati biro iklan yang kemudian menemukan sisi gelap dari bosnya (Toro Margens). Ketika ia terperosok dalam perangkap yang dipasang si bos, ia melakukan aksi vigilante menggunakan pistol seakan film Hongkong noir.
Keempat kisah ini tidak saling berhubungan kecuali sebagian besar peristiwanya mengambil waktu malam. Para sutradara ini konon membuat filmnya secara gerilya, karena cara produksi mereka memang menentang aturan yang udah established. tahun itu, 1998, perfilman nasional memang sudah di ambang kehancuran karena minimnya produksi dan industri tontonan televisi sedang berkembang. Jadi selain bisa disebut sebagai pelopor indie filmmaking Indonesia, bisa juga disebut sebagai generasi peralihan dari era sebelumnya.
![]() |
dari laman https://www.day-for-night.org/aperture-kuldesak/ |
Bahkan jejak "Tarantinoesque" kentara banget di plot kisah Aksan. Lakon yang dikendalikan oleh dialog yang nyerocos sambil menyebut beberapa referensi film, ini sangat Tarantinoesque. Syukurlah dialog-dialognya ngalir dan enak didengerin. Sinematografi dan editing pun sudah meninggalkan gaya-gaya umum sineas "tua". Adegan malamnya mengingatkan pada film Taxi Driver. Penggunaan palet warnanya bahkan sudah mendahului In The Mood For Love, ini kalo saya boleh lebay sih. Penyembah Wong Kar Wai jangan ngamuk!
![]() |
dari laman https://www.day-for-night.org/aperture-kuldesak/ |
Secara keseluruhan, mungkin tema yang dibawa film ini berkisar soal "pertaruhan" antara eksistensi dan sepi.
Karakter Andre dan Dina mewakili sepi.
Andre adalah anak wong sugih yang kesepian dan mengidolakan pop artist. Musik dari Ahmad Dani bahkan kentara sekali mengadopsi gaya dari artis yang diidolakan karakter Andre. Yakni lagu "Datanglah Sebagai Dirimu", merupakan semacam "penafsiran" ulang dari "Comes As You Are" karya Kurt Cobain.
Dina adalah gadis kesepian yang juga mengidolakan pop artist, berteman dengan manusia marjinal yang beda orientasi sexual.
Simak kata-kata Dina ketika ditanyain Budi (maaf kalo gak sama persis, berdasar ingatan aja):
"Kamu kalo kesepian ngapain?"
"Ya sepi. Sepi gitu aja..."
Sementara itu Aksan dan Lina mewakili eksistensi.
Aksan adalah anak wong sugih yang ingin eksis namun tak menemukan dukungan dari keluarga. Aksan bilang kalo gak bikin film dia ntar bisa mati dah. Ada semangat pembaruan juga ketika Din, temannya bilang bahwa dia jangan niru-niru Teguh Karya, Eros Djarot, Garin Nugroho dll.
Lina adalah gadis pemberontak di perusahaan yang membalas dendam pada bos yang ternyata lebih buruk dari perusahaan miliknya. Di sebuah rapat Lina mengkonfrontasi atasannya secara langsung. Seakan Lina tu mau bilang "Gue di sini bukan cuma jongos tauk."
KULDESAK sekilas mungkin terasa style over substance, apalagi dengan berani (dan cerdas) menggunakan idiom visual yang kurang dipakai oleh filmmaker sebelumnya. Musik-musik populer menghiasi sekujur film. Mirip pendekatan Tarantino di Pulp Fiction. KULDESAK tidak hendak bicara ide-ide besar soal negara dan bukan pula mau mengkritisi politik dengan cara tersamar sekalipun. Meski itu adalah tahun yang kalo pake istilah Bung Karno adalah "vivere pericoloso", tahun yang nyrempet bahaya. Film ini berusaha "hadir" begitu saja. Ini adalah film yang mungkin oleh generasi akhir 90an dikatakan sebagai film yang "gue banget". Era baru film Indonesia telah (dicoba) lahir. Maka saya pikir akan menjadi "wajib" kita mengenang film yang udah berusia 20 tahunan ini. Apalagi bagi filmmaker indie yang menjadikan gerilya sebagai jurus andalan.
Post a Comment