REVIEW GUNDALA (Joko Anwar, 2019)

Seorang bocah jadi yatim piatu karena bapaknya tewas waktu demo di pabrik dan ibunya pergi, "lunga ora bali-bali" (go away never go home). Di jalanan ia hidup penuh kekerasan hingga seorang pemuda mengajarinya ilmu silat. Ya, supaya si bocah bisa beladiri dan mengatasi masalah sendiri.

Sementara itu seorang difabel bermasa lalu kelam menancapkan pengaruhnya di politik. Ia memiliki ratusan anak buah yang di antaranya punya kekuatan linuwih. Di antara penentangnya adalah seorang anggota dewan yang masih punya integritas. Ketika sang musuh kelam tadi membuat kekacauan nasional, sang bocah yatim piatu tadi muncul sebagai penghadang. Tentu saja kini ia udah gede dan kerja sebagai satpam.

Si pemuda ini punya masalah dengan geledek. Mungkin dia dulu suka nyumpahin terus kualat. Kita belum tahu mengapa geledek mengincar dia. Pemuda silat yang pernah ngajarin dia waktu bocah pernah nanya, "Lu punya masalah apa sama petir?"


==========

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Tangan saya masih sibuk di meja kerja. Waduh, jam setengah enem kudu musti meluncur ke CGV nih. CGV itu di kota, saya di ndeso (tapi ya ora ndeso banget). Langsung saya mandi, melamun sekadarnya sambil gosok sabun eh gigi. Lalu pake baju tempur dan dengan kecepatan mengendarai yang astaghfirullah lambatnya, akhirnya sampe juga saya ke kota. Mepet banget waktunya. Untunglah Si Coklat, si traktor (orang yang mentraktir disebut traktor bukan sih?) belum keburu ninggalin saya. Lha gimana wong dia yang nraktir.

Sungguh sebuah pengharapan yang dag dig dug. Gundala diharapkan akan menjadi film sukses yang bisa membangkitkan genre marjinal ini. Gundala jelas bukan yang pertama mencoba genre superhero. Juga bukan pertama kali karakter ini difilmkan. Hampir semua genre superhero Indonesia gagal di tengah jalan. Penyebabnya adalah kegagalan eksekusi, kelemahan storytelling atau mungkin budget yang gak "ngejar patokan estetik".

Jadi... seperti apakah Gundala versi BumiLangit garapan Pak Joko yang JoKan ini?

Kita bahas dari 3 segi: CERITA, PERFORMA AKTOR, VISUAL, MUSIK, KOSTUM dan TATA LAGA.

Eh nggak jadi 3 tapi 6 ding.

=================

CERITA

Berbeda dari versi aslinya, Pak Joko mengubah cerita Sancaka secara signifikan. Sancaka bukan lagi seorang ilmuwan yang galau disamber geledek. Ia adalah bocah malang (tapi gak bisa bahasa Jawa walikan)... malang semalang-malangnya. Full of misery. Bapaknya nggak sugih kayak ortu Bruce Wayne, bukan ningrat dari Kraton Krypton kayak Kal-El, juga nggak masuk ABRI kayak Steve Rogers.

Masa lalu Sancaka terceritakan dengan runtut. Dia bukanlah tipe karakter yang disiksa secara terpaksa oleh sutradara. Kita iba karena memang mengikuti bahwa sumber derita ini cukup dekat dengan konteks sehari-hari. Bapaknya mlarat tapi idealis. Musuhnya jelas banyak. Bos pabrik tempatnya kerja jelas tak mau dia bersuara.

Sayangnya perjalanan Sancaka bocah yang mulus ini berubah jadi terseok-seok sewaktu dia dewasa. Tahu-tahu kita mengenal Sancaka yang sudah kerja secara normal jadi satpam. Gimana anak jalanan bisa "seberuntung itu" ya? Ketemu siapa dia? Bisa beli buku dari mana?

Ya nggak papa. Nanti di sekuelnya semoga kita tahu gimana Sancaka kok bisa dari pemuda jalanan trus dipercaya jadi satpam. Apa gak butuh ijazah minimal SD ya? Sancaka kan ninggalin rumah saat ia masih SD. Apa nunggu Ebtanas dulu? Kok ya beruntung Sancaka gak terjerumus jadi anak buah Pengkor atau malah jadi anak-anak punk jalanan.

Bagaimana Sancaka bisa dapat kekuatan petir?

Di versi asli adalah bahwa dia emang dilantik oleh bapak angkatnya yang rajanya geledek. Di film ini kita belum tahu sepenuhnya. Yang jelas sejak kecil dia ini "sambergeledekable". Kemana aja dia pergi, petir seolah mengejar. Ya mungkin dia pernah adu sumpah ama temen kali ya.... taruhan terus yang kalah bakal disamber petir.

Bagaimana kekuatan petir itu dikembangkan Sancaka, saya rasa cukup masuk akal. Tapi ya akalnya film, Broooo ora usah nggawa-nggawa sains lah. Saya suka dengan adegan bagaimana Sancaka ini dapat nama Gundala. Masuk akal dan cukup Indonesia. Itu akan anda jumpai di akhir cerita.

Di saat yang sama, kisah lain dibangun. Pengkor si musuh kita diceritakan punya akses ke tokoh-tokoh politik. Lewat kekuatan uang. Masa lalunya kelam. Sayangnya pertemuan Pengkor VS Sancaka tidak terbangun dengan meyakinkan. Gampang banget pula nemuin di mana sang hero berada. Jadi what for tu topeng? Apa biar gak kelilipan doang ya? But it's okay. Mungkin Sancaka mudah ketemu karena banyak orang lambenya turah. "Om, tau orang yang jago gelut bisa ngeluarin petir gak?" Dijawab, "Gue kasih tau lu mo bayar berapa?"

Saya rasa akan menarik jika kekelaman masa lalu Pengkor ini dibenturkan sama Gundala. Kan sama-sama anak yatim tuh. Tapi keduanya berjumpa ya gara-gara yang satu punya agenda, satunya ngacau.

Ada banyak karakter yang ditebar di film ini. Merpati, Godam, Sri Asih, Ki Wilawuk dll. Sebagian mengambil peran cerita yang signifikan, sebagian lain cuma jadi "easter egg". Bisa saya maklumi karena tujuan marketing dari film ini adalah membangun awalan dari sederetan film superhero yang intellectual propertynya dimiliki PT BumiLangit.

Kemunculan tokoh ini ada yang mulus, ada pula yang terasa dijejalkan. Belum juga Pengkor tergali maksimal eh muncullah musuh lain yang merebut kesangarannya. Bisa saya bilang, kebanyakan musuh di sini jadi malah gak fokus. Ingat, kita masih menginvestasikan perhatian pada masalah kacaunya negara di masa Sancaka jadi Gundala. Bagi saya, Pengkor terlalu singkat exposure-nya. Padahal latar belakangnya sangat menarik.

Sudah bagus saya jatuh hati pada karakter Sancaka bocah, tapi saya kayak missing ketika si bocah jadi dewasa. Don't get me wrong. Abimana is great. Exposure dia dengan kekuatan dan tanggung jawab lumayan jelas. Masalahnya, Pengkor yang harusnya bisa menyerang Sancaka lewat sisi sentimentalnya, gak dimanfaatin buat itu. Jadi bentroknya Gundala VS Pengkor ini cuma murni fisik. Jaman segini sayang loh kalo kita gak ekspose sisi psikologisnya. Meski arah itu bukan tanpa resiko. Ya.... too bad for Pak Pengkor.

Trus ada yang bikin jengkel nih. Apa alasan Pengkor melakukan semua kejahatan itu? Pak Joko bukannya "show" tapi malah "tell". Tell bukan dengan cara yang asyik lewat dialog ringkas tapi malah ngomong lama seolah ngejelasin kayak presentasi. Ini jadi anti klimaks sama pembangunan karakter Pengkor yang mustinya keep cool hanya dengan tindakan. Eh malah "presentasi".

Komedi adalah bagian penting dari film superhero. Fungsinya sebagai comic relief, biar gak tegang terus. Komedinya efektif banget. Gak maksa. The most ngakak scene adalah... preman pasar jadi manten. Bwahahahahaha ngakak saya. Terbaek deh Pak Jokooo.

Soal kekerasan gimana? Ya ini film keras. Secara storytelling itu perlu dan secara sinematik itu harus. Lho kok gitu?

Come oooon, this is not tahun seket, Pak. Jangan apa-apa kekerasan yang disalahin film. Kita bukan di jaman Anwar Congo, Pak. rating 13 tahun ke atas bagi saya masih okelah. Kalo anak kecil nonton paling-paling ntar malah bakal pingin jadi filmmaker. Kayak saya.

Menjelang akhir, fase penokohan menjadi riuh dengan bentrokan-bentrokan. Orang kadang nyamain pendekatan Pak Joko's Gundala dengan Batman ala Nolan. Menurut saya beda. Batman Nolan ada bentrok psikologis, konflik perasaan dan kepentingan. Gundala enggak. Tapi ya gak papa. Kecilnya aja udah menyedihkan. Karakter Sancaka ala Pak Joko ini saya apresiasi sebagai the best superhero character development in cinema. The best dibanding semua film Marvel DC. Yang gak terima samber geledek!

PERFORMA AKTOR

Nggak usah njlimet. Saya bilang semua tampil pas dengan porsinya. kalopun dialog terasa teatrikal kayak film jadul, menurut saya is okay. Ada kesan retronya.

Bront Palarae sebagai Pengkor meski kurang bikin menggigil, setidaknya ia gak lebay kayak musuh-musuh tipikal film laga yang demen ketawa. Cukup, namun bisa lebih baik lagi.

Tara Basro sebagai Wulan. Ya udah gitu aja. Manis. Tapi saya lebih suka Neng Pevita meski scene dia nylempit jadi kaget-kagetan menjelang akhir.

Ario Bayu sebagai Ghazul, teatrikal. Tapi mbayangin dia mustinya gimana lagi saya gak tahu hihihi. Emang akting dia gitu.

Lukman Sardi sebagai Ridwan Bahri, pas lah.

Kak Abigail. Sorry anoyying... itu Harley Quinn apa Gogo Yubari sih? Ketawanya bagusan Kuntilanak lagi...

Muzakki Ramdhan sebagai Sancaka bocah, he is the gold.

Abimana sebagai Sancaka, pantes banget tapi.... latihan silatnya yang tekun ya, Mas. Biar pinggangnya lentur dan kakinya lincah hehehe.

Ada dua screen stealer yang sangat saya suka. Yakni penampilan Kang Cecep Arief rahman dan Faris Fadjar yang ternyata putera Kang cecep.

Pemunculan keduanya di film ini sangat memukau. Bahkan munculnya karakter penari sakti seremnya melampaui Ki Wilawuk. Faris sendiri kalau langkahnya benar, saya berharap ia akan jadi aktor laga potensial di kemudian hari.

Ki Wilawuk kurang serem. Masih lebih serem Sujiwo Tejo.

VISUAL

Tak sukar menebak preferensi sinematik Pak Joko. Apalagi sebelumnya beliau sudah pernah bikin film superhero lho... tuh film Kala.

Jadi anda akan nemu gambar ala Kala, Janji Joni, Pengabdi Setan dll. di film ini. Di beberapa bagian mungkin anda juga akan mencium bau-bau The Raid 1 & 2, Batman Begins dan bahkan Jaka Sembung. Adegan Ghazul mengambil jasad Ki Wilawuk itu mengingatkan saya pada adegan dukun antek Kumpeni mbangkitin jasad Ki Item yang punya ajian Rawe Rontek.

Sinematografer Ical Tanjung bermain gelap terang dengan sangat berani. Saat kecil sancaka, digambarkan dengan kelamnya sinar yang merasuk ruang. Ikut bikin perasaan kita sempit terhimpit.

Adegan Sancaka lari dikejar pengeroyok diambil dengan sangat cakep dan mengesankan. Mungkin saya akan mengingatnya sebagai yang terbaiksetelah Forrest Gump.

Gimana dengan efek? Soal satu ini netizen cerewetnya bukan main. Dipikirnya CGI itu cuma buat bikin gedung hancur, ledakan ama monster. Padahal memoles tampilan bangunan, arah cahaya dan obyek sehari-hari juga bisa dilakukan pakai CGI. Yang ini hasilnya bahkan tak dikenali secara visual.

CGI Gundala sudah pas. Ada satu yang kurang tapi (tu yang anggota DPR baru dan anak istri di gedung) ya sudahlah semoga di film berikutnya lebih mulus. Petirnya bisa lebih bagus tapi yang ini juga tak buruk. Mobil melayang itu oke juga. CGI bukan ya?

Visual Gundala adalah kombinasi kesuraman Horror ala Pak Joko, noirnya Batman dan kekumuhan ala The Raid.

MUSIK

Sebenarnya sih cukup, tapi mustinya bisa lebih kuat lagi. Terasa beberapa bar kayak Hans Zimmer's Batman juga Alan Silvestri's Avengers Theme. Saya aja selalu kebelet nyambungin nada gesekan stringnya dengan Theme-nya Avengers.

Leitmotif untuk karakter sang penari (Kang Cecep) bahkan malah paling bagus dibanding lainnya. Ada bau tradisional woodwindnya. Setiap ia muncul, musik ini terdengar mencekam. Kayak udah pasti mati aja yang ketemu dia.

Yak ampun, saya kok berani-beraninya ngritik guru sendiri. Mas Aghi, salah satu komposer film ini saya anggap guru saya. Saya pernah ikut kelas beliau yang singkat.

KOSTUM

Kalo liat kostum yang di poster, tentu kita tahu deh. Itu versi dummy-nya. Menurut saya itu lumayan. Keliatan indie dan handmade. Saya gak bisa bayangin Gundala ujug-ujug pake spandex item mengkilat dengan dua sayap di telinga. Keliatan oke mah kalo di komik, kalo bener-bener dilakukan... nggilani, Mas.

Ternyata tebakan kita bener. Kostum yang finalnya (versi budget dari rakyat) gak sesimple itu. Saya belum bisa katakan itu keren apa nggak. Soalnya adegannya remang. Tapi terlihat kostum itu industrial. Sayap di kupingnya terlihat okay. Full body armornya cukup nice. Tampilan mask? Canggih kayak bikinan Stark Industries. Mungkin saya perlu nonton film berikutnya.

Canggih kok kostumnya. Kayaknya bukan pesen ke anak magang lah. Dalam remang ia terlihat menjanjikan. Kita tunggu penampilannya dalam terang.

TATA LAGA

Hmmm... di bagian ini saya paling cerewet. Bukan berarti saya bisa bikin yang lebih bagus ya hihihi.

Anda melihat kedahsyatan silat, tapi sayangnya tetep belum selevel The Raid. Mungkin bisa saya bilang ini versi ketoprak dari The Raid.

Ada 3 komponen yang bikin adegan laga bagus: Koreografi, sinematografi dan editing.

Koreografinya bagus meski gerakannya mudah ditebak. Masalahnya ada pada fight rhytm-nya. Ritme yang tidak padat bikin ada celah di gerakan. Kita sebut ini "Telegraphic moves". Artinya pelaga terlihat mengantisipasi serangan secara atifisial. Kayak udah dikasih tahu sebelumnya, kayak diapalin dulu gerakannya. Itulah telegraphic moves. Hey aku mau serang kepala tuh, menghindar ya... eh menghindarnya kecepetaaaan. Belum diserang nih.

Adegan tarung keroyok juga tak tereksekusi secara layak. Masalah klasik semacam nyerangnya giliran masih saja muncul. Mas Abimana sih kurang latian. Latihan yang lebih keras yo mas. Sampeyan bisa deh.

Akibat kendornya Mas Abimana, tarung yang mustinya epic lawan anak-anak Pengkor jadi "pengkor" pula. Kedodoran dalam ritme, postur dan gerak. Penyakit lama nih. Musuh sesakti apapun kalo keroyokan, pasti gampang kalahnya. Disentil aja mencelat. Kalo satu doang, gak sakti amat susah banget dikalahin. Nampaknya pola gini masih saja terjadi. Eman-eman. Stunt performer yang talented macam Andrew Sulaeman pun kurang terekspos bakatnya. I would say Gundala's fight masih kurang trengginas.


======================

Sebagai sebuah upaya untuk menjual warisan kreatif bangsa, Gundala adalah langkah pertaruhan. Kalo gagal ya bakal ambyar cita-cita sinema laga linuwih (istilah saya untuk genre superhero).

Gundala itu bagus, meski harusnya bisa lebih bagus lagi. Pengalaman serupa kayak saya pas nonton film Pak Joko yang lain. Beliau di mata saya tetaplah yang terbaik, sutradara dengan visi yang lantang dan berprinsip. Tapi pujian saya soal film satu ini maaf... bukan kepada Pak Joko Anwar.

Melainkan kepada para produser yang berani nunjuk pak Joko.

Gak semua orang berduit rela membayar (in a huge amount) sutradara agar bebas dengan visi kreatifnya. Puji syukur para produser memilih Joko Anwar. Kenapa kok musti Pak Joko?

Di mata saya, Pak Joko masih satu-satunya sutradara berpengalaman yang punya visi dan taste untuk film genre. Beliau juga paham how to tell a story (meski belum mencapai puncaknya). Kedodoran di action design sih nanti bisa diserahkan ke action director yang jago.

Dan kita mustinya tak menilai karya film hanya semata ini karya anak bangsa, demi kebangkitan industri sinema bla-bala. Bagi saya itu bullshit. Film kalo bagus gak usah merengek. Dia akan berbicara dengan sendirinya. gak usah diaku masuk nominasi Oscar juga ora pateken. Apik ki yo apik.

Tapiiii... apik bergantung pada taste personal.

Kalo kamu ini fanatik Marvel DC dan menganggap itu patokan film superhero, maka ya ini bukan film buatmu.

Kamu yang sukanya drama mendayu remaja atau kisah megah sejarah ala Bumi Manusia, maka ini juga bukan film buat kamu.

Kalo kamu ini menjunjung moralitas dengan menyensor sana-sini adegan kekerasan tapi memperdengarkan ceramah kebencian secara wajar, ya ini gak pas buatmu juga.

Ini adalah film bagi yang mau merayakan kebangkitan karakter jagoan komik dalam sinema. Bukan buat orang cerewet yang nontonnya musti berat-berat macam Tarkovsky atau Lars Von Trier.

Ini adalah film buat merayakan masa kejayaan komik nasional 50 taun silam.

Tapi ya semoga BumiLangit berhati-hati. Memilih sutradara yang cukup teruji dan visioner, melanjutkan apa yang dibebankan pada Pak Joko bukan pula hal yang mudah.

Anyway...

NILAIIIIII

Ekspektasi VS realita?
AMAN!

Bagus nggak?
BISA LEBIH LAGI.

Recommend gak?
RECOMMENDED.

Film ini pas buat siapa?
SEMUA PENYUKA SUPERHERO terutama penyuka komiknya tapi bukan yang fanatik, penyuka film superhero alternatif, penyuka aktor-aktor yang main di filmnya dan yang mau dukung kebangkitan genre superhero nasional.

SELAMAT, Gundala. 8 of 10 nilai dari saya pembaca komik Gundala sekaligus penyuka genre laga.

From Wlingiwood with love.
Seorang bocah jadi yatim piatu karena bapaknya tewas waktu demo di pabrik dan ibunya pergi, "lunga ora bali-bali" (go away never go home). Di jalanan ia hidup penuh kekerasan hingga seorang pemuda mengajarinya ilmu silat. Ya, supaya si bocah bisa beladiri dan mengatasi masalah sendiri.

Sementara itu seorang difabel bermasa lalu kelam menancapkan pengaruhnya di politik. Ia memiliki ratusan anak buah yang di antaranya punya kekuatan linuwih. Di antara penentangnya adalah seorang anggota dewan yang masih punya integritas. Ketika sang musuh kelam tadi membuat kekacauan nasional, sang bocah yatim piatu tadi muncul sebagai penghadang. Tentu saja kini ia udah gede dan kerja sebagai satpam.

Si pemuda ini punya masalah dengan geledek. Mungkin dia dulu suka nyumpahin terus kualat. Kita belum tahu mengapa geledek mengincar dia. Pemuda silat yang pernah ngajarin dia waktu bocah pernah nanya, "Lu punya masalah apa sama petir?"


==========

Waktu menunjukkan pukul lima sore. Tangan saya masih sibuk di meja kerja. Waduh, jam setengah enem kudu musti meluncur ke CGV nih. CGV itu di kota, saya di ndeso (tapi ya ora ndeso banget). Langsung saya mandi, melamun sekadarnya sambil gosok sabun eh gigi. Lalu pake baju tempur dan dengan kecepatan mengendarai yang astaghfirullah lambatnya, akhirnya sampe juga saya ke kota. Mepet banget waktunya. Untunglah Si Coklat, si traktor (orang yang mentraktir disebut traktor bukan sih?) belum keburu ninggalin saya. Lha gimana wong dia yang nraktir.

Sungguh sebuah pengharapan yang dag dig dug. Gundala diharapkan akan menjadi film sukses yang bisa membangkitkan genre marjinal ini. Gundala jelas bukan yang pertama mencoba genre superhero. Juga bukan pertama kali karakter ini difilmkan. Hampir semua genre superhero Indonesia gagal di tengah jalan. Penyebabnya adalah kegagalan eksekusi, kelemahan storytelling atau mungkin budget yang gak "ngejar patokan estetik".

Jadi... seperti apakah Gundala versi BumiLangit garapan Pak Joko yang JoKan ini?

Kita bahas dari 3 segi: CERITA, PERFORMA AKTOR, VISUAL, MUSIK, KOSTUM dan TATA LAGA.

Eh nggak jadi 3 tapi 6 ding.

=================

CERITA

Berbeda dari versi aslinya, Pak Joko mengubah cerita Sancaka secara signifikan. Sancaka bukan lagi seorang ilmuwan yang galau disamber geledek. Ia adalah bocah malang (tapi gak bisa bahasa Jawa walikan)... malang semalang-malangnya. Full of misery. Bapaknya nggak sugih kayak ortu Bruce Wayne, bukan ningrat dari Kraton Krypton kayak Kal-El, juga nggak masuk ABRI kayak Steve Rogers.

Masa lalu Sancaka terceritakan dengan runtut. Dia bukanlah tipe karakter yang disiksa secara terpaksa oleh sutradara. Kita iba karena memang mengikuti bahwa sumber derita ini cukup dekat dengan konteks sehari-hari. Bapaknya mlarat tapi idealis. Musuhnya jelas banyak. Bos pabrik tempatnya kerja jelas tak mau dia bersuara.

Sayangnya perjalanan Sancaka bocah yang mulus ini berubah jadi terseok-seok sewaktu dia dewasa. Tahu-tahu kita mengenal Sancaka yang sudah kerja secara normal jadi satpam. Gimana anak jalanan bisa "seberuntung itu" ya? Ketemu siapa dia? Bisa beli buku dari mana?

Ya nggak papa. Nanti di sekuelnya semoga kita tahu gimana Sancaka kok bisa dari pemuda jalanan trus dipercaya jadi satpam. Apa gak butuh ijazah minimal SD ya? Sancaka kan ninggalin rumah saat ia masih SD. Apa nunggu Ebtanas dulu? Kok ya beruntung Sancaka gak terjerumus jadi anak buah Pengkor atau malah jadi anak-anak punk jalanan.

Bagaimana Sancaka bisa dapat kekuatan petir?

Di versi asli adalah bahwa dia emang dilantik oleh bapak angkatnya yang rajanya geledek. Di film ini kita belum tahu sepenuhnya. Yang jelas sejak kecil dia ini "sambergeledekable". Kemana aja dia pergi, petir seolah mengejar. Ya mungkin dia pernah adu sumpah ama temen kali ya.... taruhan terus yang kalah bakal disamber petir.

Bagaimana kekuatan petir itu dikembangkan Sancaka, saya rasa cukup masuk akal. Tapi ya akalnya film, Broooo ora usah nggawa-nggawa sains lah. Saya suka dengan adegan bagaimana Sancaka ini dapat nama Gundala. Masuk akal dan cukup Indonesia. Itu akan anda jumpai di akhir cerita.

Di saat yang sama, kisah lain dibangun. Pengkor si musuh kita diceritakan punya akses ke tokoh-tokoh politik. Lewat kekuatan uang. Masa lalunya kelam. Sayangnya pertemuan Pengkor VS Sancaka tidak terbangun dengan meyakinkan. Gampang banget pula nemuin di mana sang hero berada. Jadi what for tu topeng? Apa biar gak kelilipan doang ya? But it's okay. Mungkin Sancaka mudah ketemu karena banyak orang lambenya turah. "Om, tau orang yang jago gelut bisa ngeluarin petir gak?" Dijawab, "Gue kasih tau lu mo bayar berapa?"

Saya rasa akan menarik jika kekelaman masa lalu Pengkor ini dibenturkan sama Gundala. Kan sama-sama anak yatim tuh. Tapi keduanya berjumpa ya gara-gara yang satu punya agenda, satunya ngacau.

Ada banyak karakter yang ditebar di film ini. Merpati, Godam, Sri Asih, Ki Wilawuk dll. Sebagian mengambil peran cerita yang signifikan, sebagian lain cuma jadi "easter egg". Bisa saya maklumi karena tujuan marketing dari film ini adalah membangun awalan dari sederetan film superhero yang intellectual propertynya dimiliki PT BumiLangit.

Kemunculan tokoh ini ada yang mulus, ada pula yang terasa dijejalkan. Belum juga Pengkor tergali maksimal eh muncullah musuh lain yang merebut kesangarannya. Bisa saya bilang, kebanyakan musuh di sini jadi malah gak fokus. Ingat, kita masih menginvestasikan perhatian pada masalah kacaunya negara di masa Sancaka jadi Gundala. Bagi saya, Pengkor terlalu singkat exposure-nya. Padahal latar belakangnya sangat menarik.

Sudah bagus saya jatuh hati pada karakter Sancaka bocah, tapi saya kayak missing ketika si bocah jadi dewasa. Don't get me wrong. Abimana is great. Exposure dia dengan kekuatan dan tanggung jawab lumayan jelas. Masalahnya, Pengkor yang harusnya bisa menyerang Sancaka lewat sisi sentimentalnya, gak dimanfaatin buat itu. Jadi bentroknya Gundala VS Pengkor ini cuma murni fisik. Jaman segini sayang loh kalo kita gak ekspose sisi psikologisnya. Meski arah itu bukan tanpa resiko. Ya.... too bad for Pak Pengkor.

Trus ada yang bikin jengkel nih. Apa alasan Pengkor melakukan semua kejahatan itu? Pak Joko bukannya "show" tapi malah "tell". Tell bukan dengan cara yang asyik lewat dialog ringkas tapi malah ngomong lama seolah ngejelasin kayak presentasi. Ini jadi anti klimaks sama pembangunan karakter Pengkor yang mustinya keep cool hanya dengan tindakan. Eh malah "presentasi".

Komedi adalah bagian penting dari film superhero. Fungsinya sebagai comic relief, biar gak tegang terus. Komedinya efektif banget. Gak maksa. The most ngakak scene adalah... preman pasar jadi manten. Bwahahahahaha ngakak saya. Terbaek deh Pak Jokooo.

Soal kekerasan gimana? Ya ini film keras. Secara storytelling itu perlu dan secara sinematik itu harus. Lho kok gitu?

Come oooon, this is not tahun seket, Pak. Jangan apa-apa kekerasan yang disalahin film. Kita bukan di jaman Anwar Congo, Pak. rating 13 tahun ke atas bagi saya masih okelah. Kalo anak kecil nonton paling-paling ntar malah bakal pingin jadi filmmaker. Kayak saya.

Menjelang akhir, fase penokohan menjadi riuh dengan bentrokan-bentrokan. Orang kadang nyamain pendekatan Pak Joko's Gundala dengan Batman ala Nolan. Menurut saya beda. Batman Nolan ada bentrok psikologis, konflik perasaan dan kepentingan. Gundala enggak. Tapi ya gak papa. Kecilnya aja udah menyedihkan. Karakter Sancaka ala Pak Joko ini saya apresiasi sebagai the best superhero character development in cinema. The best dibanding semua film Marvel DC. Yang gak terima samber geledek!

PERFORMA AKTOR

Nggak usah njlimet. Saya bilang semua tampil pas dengan porsinya. kalopun dialog terasa teatrikal kayak film jadul, menurut saya is okay. Ada kesan retronya.

Bront Palarae sebagai Pengkor meski kurang bikin menggigil, setidaknya ia gak lebay kayak musuh-musuh tipikal film laga yang demen ketawa. Cukup, namun bisa lebih baik lagi.

Tara Basro sebagai Wulan. Ya udah gitu aja. Manis. Tapi saya lebih suka Neng Pevita meski scene dia nylempit jadi kaget-kagetan menjelang akhir.

Ario Bayu sebagai Ghazul, teatrikal. Tapi mbayangin dia mustinya gimana lagi saya gak tahu hihihi. Emang akting dia gitu.

Lukman Sardi sebagai Ridwan Bahri, pas lah.

Kak Abigail. Sorry anoyying... itu Harley Quinn apa Gogo Yubari sih? Ketawanya bagusan Kuntilanak lagi...

Muzakki Ramdhan sebagai Sancaka bocah, he is the gold.

Abimana sebagai Sancaka, pantes banget tapi.... latihan silatnya yang tekun ya, Mas. Biar pinggangnya lentur dan kakinya lincah hehehe.

Ada dua screen stealer yang sangat saya suka. Yakni penampilan Kang Cecep Arief rahman dan Faris Fadjar yang ternyata putera Kang cecep.

Pemunculan keduanya di film ini sangat memukau. Bahkan munculnya karakter penari sakti seremnya melampaui Ki Wilawuk. Faris sendiri kalau langkahnya benar, saya berharap ia akan jadi aktor laga potensial di kemudian hari.

Ki Wilawuk kurang serem. Masih lebih serem Sujiwo Tejo.

VISUAL

Tak sukar menebak preferensi sinematik Pak Joko. Apalagi sebelumnya beliau sudah pernah bikin film superhero lho... tuh film Kala.

Jadi anda akan nemu gambar ala Kala, Janji Joni, Pengabdi Setan dll. di film ini. Di beberapa bagian mungkin anda juga akan mencium bau-bau The Raid 1 & 2, Batman Begins dan bahkan Jaka Sembung. Adegan Ghazul mengambil jasad Ki Wilawuk itu mengingatkan saya pada adegan dukun antek Kumpeni mbangkitin jasad Ki Item yang punya ajian Rawe Rontek.

Sinematografer Ical Tanjung bermain gelap terang dengan sangat berani. Saat kecil sancaka, digambarkan dengan kelamnya sinar yang merasuk ruang. Ikut bikin perasaan kita sempit terhimpit.

Adegan Sancaka lari dikejar pengeroyok diambil dengan sangat cakep dan mengesankan. Mungkin saya akan mengingatnya sebagai yang terbaiksetelah Forrest Gump.

Gimana dengan efek? Soal satu ini netizen cerewetnya bukan main. Dipikirnya CGI itu cuma buat bikin gedung hancur, ledakan ama monster. Padahal memoles tampilan bangunan, arah cahaya dan obyek sehari-hari juga bisa dilakukan pakai CGI. Yang ini hasilnya bahkan tak dikenali secara visual.

CGI Gundala sudah pas. Ada satu yang kurang tapi (tu yang anggota DPR baru dan anak istri di gedung) ya sudahlah semoga di film berikutnya lebih mulus. Petirnya bisa lebih bagus tapi yang ini juga tak buruk. Mobil melayang itu oke juga. CGI bukan ya?

Visual Gundala adalah kombinasi kesuraman Horror ala Pak Joko, noirnya Batman dan kekumuhan ala The Raid.

MUSIK

Sebenarnya sih cukup, tapi mustinya bisa lebih kuat lagi. Terasa beberapa bar kayak Hans Zimmer's Batman juga Alan Silvestri's Avengers Theme. Saya aja selalu kebelet nyambungin nada gesekan stringnya dengan Theme-nya Avengers.

Leitmotif untuk karakter sang penari (Kang Cecep) bahkan malah paling bagus dibanding lainnya. Ada bau tradisional woodwindnya. Setiap ia muncul, musik ini terdengar mencekam. Kayak udah pasti mati aja yang ketemu dia.

Yak ampun, saya kok berani-beraninya ngritik guru sendiri. Mas Aghi, salah satu komposer film ini saya anggap guru saya. Saya pernah ikut kelas beliau yang singkat.

KOSTUM

Kalo liat kostum yang di poster, tentu kita tahu deh. Itu versi dummy-nya. Menurut saya itu lumayan. Keliatan indie dan handmade. Saya gak bisa bayangin Gundala ujug-ujug pake spandex item mengkilat dengan dua sayap di telinga. Keliatan oke mah kalo di komik, kalo bener-bener dilakukan... nggilani, Mas.

Ternyata tebakan kita bener. Kostum yang finalnya (versi budget dari rakyat) gak sesimple itu. Saya belum bisa katakan itu keren apa nggak. Soalnya adegannya remang. Tapi terlihat kostum itu industrial. Sayap di kupingnya terlihat okay. Full body armornya cukup nice. Tampilan mask? Canggih kayak bikinan Stark Industries. Mungkin saya perlu nonton film berikutnya.

Canggih kok kostumnya. Kayaknya bukan pesen ke anak magang lah. Dalam remang ia terlihat menjanjikan. Kita tunggu penampilannya dalam terang.

TATA LAGA

Hmmm... di bagian ini saya paling cerewet. Bukan berarti saya bisa bikin yang lebih bagus ya hihihi.

Anda melihat kedahsyatan silat, tapi sayangnya tetep belum selevel The Raid. Mungkin bisa saya bilang ini versi ketoprak dari The Raid.

Ada 3 komponen yang bikin adegan laga bagus: Koreografi, sinematografi dan editing.

Koreografinya bagus meski gerakannya mudah ditebak. Masalahnya ada pada fight rhytm-nya. Ritme yang tidak padat bikin ada celah di gerakan. Kita sebut ini "Telegraphic moves". Artinya pelaga terlihat mengantisipasi serangan secara atifisial. Kayak udah dikasih tahu sebelumnya, kayak diapalin dulu gerakannya. Itulah telegraphic moves. Hey aku mau serang kepala tuh, menghindar ya... eh menghindarnya kecepetaaaan. Belum diserang nih.

Adegan tarung keroyok juga tak tereksekusi secara layak. Masalah klasik semacam nyerangnya giliran masih saja muncul. Mas Abimana sih kurang latian. Latihan yang lebih keras yo mas. Sampeyan bisa deh.

Akibat kendornya Mas Abimana, tarung yang mustinya epic lawan anak-anak Pengkor jadi "pengkor" pula. Kedodoran dalam ritme, postur dan gerak. Penyakit lama nih. Musuh sesakti apapun kalo keroyokan, pasti gampang kalahnya. Disentil aja mencelat. Kalo satu doang, gak sakti amat susah banget dikalahin. Nampaknya pola gini masih saja terjadi. Eman-eman. Stunt performer yang talented macam Andrew Sulaeman pun kurang terekspos bakatnya. I would say Gundala's fight masih kurang trengginas.


======================

Sebagai sebuah upaya untuk menjual warisan kreatif bangsa, Gundala adalah langkah pertaruhan. Kalo gagal ya bakal ambyar cita-cita sinema laga linuwih (istilah saya untuk genre superhero).

Gundala itu bagus, meski harusnya bisa lebih bagus lagi. Pengalaman serupa kayak saya pas nonton film Pak Joko yang lain. Beliau di mata saya tetaplah yang terbaik, sutradara dengan visi yang lantang dan berprinsip. Tapi pujian saya soal film satu ini maaf... bukan kepada Pak Joko Anwar.

Melainkan kepada para produser yang berani nunjuk pak Joko.

Gak semua orang berduit rela membayar (in a huge amount) sutradara agar bebas dengan visi kreatifnya. Puji syukur para produser memilih Joko Anwar. Kenapa kok musti Pak Joko?

Di mata saya, Pak Joko masih satu-satunya sutradara berpengalaman yang punya visi dan taste untuk film genre. Beliau juga paham how to tell a story (meski belum mencapai puncaknya). Kedodoran di action design sih nanti bisa diserahkan ke action director yang jago.

Dan kita mustinya tak menilai karya film hanya semata ini karya anak bangsa, demi kebangkitan industri sinema bla-bala. Bagi saya itu bullshit. Film kalo bagus gak usah merengek. Dia akan berbicara dengan sendirinya. gak usah diaku masuk nominasi Oscar juga ora pateken. Apik ki yo apik.

Tapiiii... apik bergantung pada taste personal.

Kalo kamu ini fanatik Marvel DC dan menganggap itu patokan film superhero, maka ya ini bukan film buatmu.

Kamu yang sukanya drama mendayu remaja atau kisah megah sejarah ala Bumi Manusia, maka ini juga bukan film buat kamu.

Kalo kamu ini menjunjung moralitas dengan menyensor sana-sini adegan kekerasan tapi memperdengarkan ceramah kebencian secara wajar, ya ini gak pas buatmu juga.

Ini adalah film bagi yang mau merayakan kebangkitan karakter jagoan komik dalam sinema. Bukan buat orang cerewet yang nontonnya musti berat-berat macam Tarkovsky atau Lars Von Trier.

Ini adalah film buat merayakan masa kejayaan komik nasional 50 taun silam.

Tapi ya semoga BumiLangit berhati-hati. Memilih sutradara yang cukup teruji dan visioner, melanjutkan apa yang dibebankan pada Pak Joko bukan pula hal yang mudah.

Anyway...

NILAIIIIII

Ekspektasi VS realita?
AMAN!

Bagus nggak?
BISA LEBIH LAGI.

Recommend gak?
RECOMMENDED.

Film ini pas buat siapa?
SEMUA PENYUKA SUPERHERO terutama penyuka komiknya tapi bukan yang fanatik, penyuka film superhero alternatif, penyuka aktor-aktor yang main di filmnya dan yang mau dukung kebangkitan genre superhero nasional.

SELAMAT, Gundala. 8 of 10 nilai dari saya pembaca komik Gundala sekaligus penyuka genre laga.

From Wlingiwood with love.
Baca

DASAR BELAJAR PERFILMAN Part 2 - DISTRIBUSI KE AUDIENCE

Hal yang saya nyaris selalu (hehehe) lupa adalah soal audience. Siapa sih yang mau nonton film saya?
Mempelajari bahwa tak ada film untuk "semua orang" maka dari awal kita musti paham siapa yang akan mengasup karya kita. Bahkan karya sebusuk apapun tetap akan ada penontonnya, sekalipun itu kita sendiri... misalnya. Jadi akan lebih bijak kalo dari awal kita udah targeting dulu.
Bioskop-bioskopan
Target audiens menentukan platform yang mau kita pilih. Mau offline atau online? Kedua platform ini banyak banget selukbeluk yang perlu dipelajari. Saya mendapat pelajaran dari postingan saya seperti pada ilustrasi. Sebuah konten yang saya unggah ke medsos pribadi dan ke medsos brand saya, ternyata signifikan sekali bedanya.
Di medsos pribadi, udah selang beberapa bulan yang view dikit banget. Sedangkan di medsos brand personal saya (Javora Studio), sehari langsung viral. Nyebelinnya, ketika saya posting di Youtube gak banyak yang mau nonton, padahal linknya saya posting via medsos brand personal tadi. Rupanya memang kita musti tau di portal mana engagement kita dengan audiens cukup tinggi. Youtube, yang dibilang platform ideal buat posting konten video kalo mau ditonton sebanyak mungkin orang, ternyata gak cukup ampuh dalam kasus saya.
Mau gak mau strategi berubah. Musti nguatin basis audience di Facebook jadinya. Youtube ndak cukup works bagi saya, orang lain mungkin beda. Hal yang sama juga sewaktu posting di instagram. Follower gak nambah-nambah eh di Facebook malah kenceng. Dan saya belum tahu bakal seberapa lama mereka bertahan.
Terus bagaimana dengan yang offline?
Beberapa senior di perfilman indie bilang kalo "Youtube (atau platform online lain) kills filmmaker". Ini berhubungan dengan kemungkinan meraih audiens lewat screening offline yang makin sering dijajaki. Jadi ada banyak di kota-kota besar kelompok pemutaran film indie. Mereka melakukannya secara sistematis, acaranya terprogram dan tak jarang berbayar pula. Ini meniru pola perbioskopan yang konvensional yakni menjual film secara langsung lewat ticketing.
Jual film secara langsung adalah strategi yang cukup berat. Emang siapa sih yang mau nonton film kita? Makanya di pemutaran independen begitu dibutuhkan peran programmer atau kurator. Ini mau gak mau juga "menyingkirkan" sebagian film yang tak masuk program. Yang lebih berat lagi, audiens offline di satu kota akan cenderung terbatas. Misalnya, kalo di ndeso kami, siapa sih yang mau nonton film laga bikinan kami dengan mbayar? Akan tetapi saat ini jejaring mulai merambat sedemikian rupa jadi sasaran audience pun tak lagi cuma di satu region saja. Sementara pemutaran filmnya offline, marketingnya tetap jalan secara online.
Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam memanage audience ini. Kadang ini bisa menimbulkan kegalauan semacam... wah kudu bikin film yang ngikut orang kampung nih...
Rekan saya sesama filmmaker membuat perencanaan distribusinya dalam jangka 3 tahun. Tahun pertama mereka akan berlaga di festival-festival, tahun kedua akan berada di penyangan-penayangan independen, tahun ketiga baru masuk platform online terbatas semacam Viddsee. Mereka memutuskan tidak ke Youtube.
Manapun platform yang dipilih dan target audience yang disasar, saya pikir kuncinya adalah ENGAGEMENT. Itulah yang akan memberi darah pada karya kita. Memang akan menjadi tantangan ketika, peribahasanya....di antara orang-orang yang demennya mie goreng kuah, kita mau jualan pecel.
Jadi kata kunci di tulisan part 2 ini adalah AUDIENCE ENGAGEMENT. Itu yang musti ditemukan segera.
Hal yang saya nyaris selalu (hehehe) lupa adalah soal audience. Siapa sih yang mau nonton film saya?
Mempelajari bahwa tak ada film untuk "semua orang" maka dari awal kita musti paham siapa yang akan mengasup karya kita. Bahkan karya sebusuk apapun tetap akan ada penontonnya, sekalipun itu kita sendiri... misalnya. Jadi akan lebih bijak kalo dari awal kita udah targeting dulu.
Bioskop-bioskopan
Target audiens menentukan platform yang mau kita pilih. Mau offline atau online? Kedua platform ini banyak banget selukbeluk yang perlu dipelajari. Saya mendapat pelajaran dari postingan saya seperti pada ilustrasi. Sebuah konten yang saya unggah ke medsos pribadi dan ke medsos brand saya, ternyata signifikan sekali bedanya.
Di medsos pribadi, udah selang beberapa bulan yang view dikit banget. Sedangkan di medsos brand personal saya (Javora Studio), sehari langsung viral. Nyebelinnya, ketika saya posting di Youtube gak banyak yang mau nonton, padahal linknya saya posting via medsos brand personal tadi. Rupanya memang kita musti tau di portal mana engagement kita dengan audiens cukup tinggi. Youtube, yang dibilang platform ideal buat posting konten video kalo mau ditonton sebanyak mungkin orang, ternyata gak cukup ampuh dalam kasus saya.
Mau gak mau strategi berubah. Musti nguatin basis audience di Facebook jadinya. Youtube ndak cukup works bagi saya, orang lain mungkin beda. Hal yang sama juga sewaktu posting di instagram. Follower gak nambah-nambah eh di Facebook malah kenceng. Dan saya belum tahu bakal seberapa lama mereka bertahan.
Terus bagaimana dengan yang offline?
Beberapa senior di perfilman indie bilang kalo "Youtube (atau platform online lain) kills filmmaker". Ini berhubungan dengan kemungkinan meraih audiens lewat screening offline yang makin sering dijajaki. Jadi ada banyak di kota-kota besar kelompok pemutaran film indie. Mereka melakukannya secara sistematis, acaranya terprogram dan tak jarang berbayar pula. Ini meniru pola perbioskopan yang konvensional yakni menjual film secara langsung lewat ticketing.
Jual film secara langsung adalah strategi yang cukup berat. Emang siapa sih yang mau nonton film kita? Makanya di pemutaran independen begitu dibutuhkan peran programmer atau kurator. Ini mau gak mau juga "menyingkirkan" sebagian film yang tak masuk program. Yang lebih berat lagi, audiens offline di satu kota akan cenderung terbatas. Misalnya, kalo di ndeso kami, siapa sih yang mau nonton film laga bikinan kami dengan mbayar? Akan tetapi saat ini jejaring mulai merambat sedemikian rupa jadi sasaran audience pun tak lagi cuma di satu region saja. Sementara pemutaran filmnya offline, marketingnya tetap jalan secara online.
Ada banyak tantangan yang dihadapi dalam memanage audience ini. Kadang ini bisa menimbulkan kegalauan semacam... wah kudu bikin film yang ngikut orang kampung nih...
Rekan saya sesama filmmaker membuat perencanaan distribusinya dalam jangka 3 tahun. Tahun pertama mereka akan berlaga di festival-festival, tahun kedua akan berada di penyangan-penayangan independen, tahun ketiga baru masuk platform online terbatas semacam Viddsee. Mereka memutuskan tidak ke Youtube.
Manapun platform yang dipilih dan target audience yang disasar, saya pikir kuncinya adalah ENGAGEMENT. Itulah yang akan memberi darah pada karya kita. Memang akan menjadi tantangan ketika, peribahasanya....di antara orang-orang yang demennya mie goreng kuah, kita mau jualan pecel.
Jadi kata kunci di tulisan part 2 ini adalah AUDIENCE ENGAGEMENT. Itu yang musti ditemukan segera.
Baca

DASAR BELAJAR PERFILMAN Part 1 - VALUE

Saya belajar bikin film cukup telat. Jika kita bandingin dengan para the big guy of the industry, rasanya diri ini "telek cecak" banget. Spielberg usia 27 bikin Jaws. Me? Nothing.

Tak bisa dimungkiri kebanyakan orang belajar film selalu lewat hal paling teknisnya... kamera. Dimulai dengan belajar soal menggunakan kamera. Itu terjadi karena kompleksitas paling awal ya di soal kamera. Ada yang namanya sinematografi. Karena yang namanya film itu gak bisa asal shoot alias "astrada" asal terang gambar ada. Kita musti ngerti gimana cara menyetel, membidik, mengarahkan, menggerakkan dll.

Kenapa orang mau nonton film saya ini? Karena syutingnya di sekitar situ.

Di masa kemarin, hal gini ini mahal dan susah nyari tempat belajarnya. Saya menghabiskan waktu beberapa tahun untuk ngerti bagaimana kamera itu bekerja. Tahu teknis tak cukup, musti terus latian. Bikin gambar bagus perlu skill dan tentu saja alat terpenuhi.

Keberadaan Youtube mempermudah proses belajar. Bahkan bisa menginduksi secara "instant" sense of visual seseorang. Dengan mudahnya anak baru pegang kamera, asal sering nonton Yotube, akan punya semacam pegangan estetis. Dibarengi dengan makin canggihnya kamera plus aksesoris, tak lagi sulit bikin gambar yang orang syutingan manten bilang "cinematic". Namun di sini ada problem lama yang tak selalu terjawab tuntas.

Ada 5 tahap dalam produksi film: Development, Pre Production, Production, Post Production dan Distribution. Rata-rata alur belajar ini mentok sampai Post Pro dan bahkan bagian Development dan Pre Production di-skip. Akibatnya kita lebih ngerti soal kamera namun gak paham bikin cerita serta sayangnya tak ngerti juga abis berkarya mau dikemanakan. Apakah upload di Youtube sudah cukup?

Akan tetapi tiap orang mau fokus di mana ini ya sesuai kondisi masing-masing. Ada yang emang cuma demen ngulik kamera (dan sesungguhnya tak mau belajar perfilman secara utuh).

Saat ini perfilman dengan apapun modelnya: komersil-non komersil, indie-non indie, industri korporat-industri rumahan dll. Adalah semacam ekosistem. Ini dengan asumsi bahwa pelakunya ingin hidup ataupun menghidupi perfilman.

Kalau kita mau hidup lewat film, atau mau menghidupkan perfilman, setidaknya musti memahami yang namanya EKOSISTEM KREATIF di balik perfilman. Kita ulik dulu nyawa semua itu apa. Menurut saya, karena film adalah sebagaimana produk kesenian (plus teknologi dan kolaborasinya tentu aja) ia akan bersandar pada VALUE.

Film musti memiliki value untuk bisa dipertahankan dan diedarkan. Karena itulah ia diciptakan. Valuenya apa?

Mau menghibur? Mau ngasih informasi? Mau bikin propaganda?

Lewat value ini kita bisa menakar harga produksi dan harga "jual"nya. Kenapa film horror laku kera sdibanding film science fiction? Karena value yang ditawarkan nilainya tidak sama bagi semua orang. Ini tak melulu soal film cerdas atau bodo. Saya melihatnya lebih pada value yang ingin didapat. Apakah value itu sudah sampai pada audiens? Nah itu ada ilmunya sendiri.

Jika suatu karya film ada value, maka mata rantai ekosistem yang terlibat di dalamnya akan mendapat nyawa. Film itu akan bisa diedarkan tanpa terlalu memaksakan usaha dan biaya. Orang Jawa bilangnya... PAYU!

Ini tak melulu soal uang. Itu lain lagi. Menjual film untuk dapat uang, bagi kalangan indie, susyah banget, Bosss. Tapi kalo value, itu masih lah bisa diulik. Value juga yang bikin ekosistem bertahan.

Value sudah ditentukan sedari awal kita mau bikin film. Sorry aje, bikin film gak kayak pelukis tunggal yang pegang kuas dan menentukan gimana isi benaknya tercurah. Film itu kolaboratif dan makan biaya. Sering biaya itu terlampau besar untuk bisa dibalikkan modalnya. Maka di tahap development kita musti tentukan target pasar, muatan value selain cerita dan juga nanti rencana eksekusinya. Ribet ya.

Setelah pre production dan post, tantangan terakhir adalah distribusi. Industri yang sudah established, dengan perputaran omzetnya yang gede banget, tak terjangkau oleh para pemula. Mereka sudah mengikatkan pada ekosistem semi-tertutup dan kadang kayak mafia. Maka muncullah sistem alternatif di kalangan independen. Ini berjalan secara offline maupun online.

Bicara soal distribusi independen offline, kita akan lebih banyak bicara soal komunitas. Unit terkecil adalah filmmaker indie di kampung-kampung, lalu komunitas lokal termasuk sekolah dan yang paling gede adalah para pemutar film alternatif. Pemutar alternatif ini pun bekerja secara sistematis. Fasilitas memakai ruang komersil di publik macam cafe, perpustakaan, mini bioskop dan kalo lagi ada duit ya sewa studio bioskop beneran.

Untuk pertanggungjawaban mutu, digelarlah festival-festival yang mensyaratkan adanya pemrograman bagi film yang mau diputar. Ada kurator yang bertugas menyeleksi biar film yang diputer nggak ngasal.

Distribusi online lebih merdeka daripada offline. Karena pembuat akan menentukan sendiri pilih platform yang mana dengan segala plus minusnya. Platform online tidak memerlukan biaya besar selain biaya akses internet. Persebaran lebih masif. Sayangnya audience-creator engagement tak sekuat yang offline. sesuai watak umum dari mediumnya sendiri... shallow kalo saya bilang. Sedangkan offline menjanjikan engagement yang lebih kuat, karena pertemuan mata dengan layar terjadi secara fisik. Butuh niat bener loh kalo mo dateng ke screening itu. Yah keduanya tak musti dipertentangkan.

Engagement dengan audiens adalah salah satu value yang perlu dikejar oleh distribusi. Maka dari sini sejak awal mo bikin film, sebaiknya kita tentukan film nanti mau didistribusikan dengan cara apa? Online? Offline?

(bersambung)
Saya belajar bikin film cukup telat. Jika kita bandingin dengan para the big guy of the industry, rasanya diri ini "telek cecak" banget. Spielberg usia 27 bikin Jaws. Me? Nothing.

Tak bisa dimungkiri kebanyakan orang belajar film selalu lewat hal paling teknisnya... kamera. Dimulai dengan belajar soal menggunakan kamera. Itu terjadi karena kompleksitas paling awal ya di soal kamera. Ada yang namanya sinematografi. Karena yang namanya film itu gak bisa asal shoot alias "astrada" asal terang gambar ada. Kita musti ngerti gimana cara menyetel, membidik, mengarahkan, menggerakkan dll.

Kenapa orang mau nonton film saya ini? Karena syutingnya di sekitar situ.

Di masa kemarin, hal gini ini mahal dan susah nyari tempat belajarnya. Saya menghabiskan waktu beberapa tahun untuk ngerti bagaimana kamera itu bekerja. Tahu teknis tak cukup, musti terus latian. Bikin gambar bagus perlu skill dan tentu saja alat terpenuhi.

Keberadaan Youtube mempermudah proses belajar. Bahkan bisa menginduksi secara "instant" sense of visual seseorang. Dengan mudahnya anak baru pegang kamera, asal sering nonton Yotube, akan punya semacam pegangan estetis. Dibarengi dengan makin canggihnya kamera plus aksesoris, tak lagi sulit bikin gambar yang orang syutingan manten bilang "cinematic". Namun di sini ada problem lama yang tak selalu terjawab tuntas.

Ada 5 tahap dalam produksi film: Development, Pre Production, Production, Post Production dan Distribution. Rata-rata alur belajar ini mentok sampai Post Pro dan bahkan bagian Development dan Pre Production di-skip. Akibatnya kita lebih ngerti soal kamera namun gak paham bikin cerita serta sayangnya tak ngerti juga abis berkarya mau dikemanakan. Apakah upload di Youtube sudah cukup?

Akan tetapi tiap orang mau fokus di mana ini ya sesuai kondisi masing-masing. Ada yang emang cuma demen ngulik kamera (dan sesungguhnya tak mau belajar perfilman secara utuh).

Saat ini perfilman dengan apapun modelnya: komersil-non komersil, indie-non indie, industri korporat-industri rumahan dll. Adalah semacam ekosistem. Ini dengan asumsi bahwa pelakunya ingin hidup ataupun menghidupi perfilman.

Kalau kita mau hidup lewat film, atau mau menghidupkan perfilman, setidaknya musti memahami yang namanya EKOSISTEM KREATIF di balik perfilman. Kita ulik dulu nyawa semua itu apa. Menurut saya, karena film adalah sebagaimana produk kesenian (plus teknologi dan kolaborasinya tentu aja) ia akan bersandar pada VALUE.

Film musti memiliki value untuk bisa dipertahankan dan diedarkan. Karena itulah ia diciptakan. Valuenya apa?

Mau menghibur? Mau ngasih informasi? Mau bikin propaganda?

Lewat value ini kita bisa menakar harga produksi dan harga "jual"nya. Kenapa film horror laku kera sdibanding film science fiction? Karena value yang ditawarkan nilainya tidak sama bagi semua orang. Ini tak melulu soal film cerdas atau bodo. Saya melihatnya lebih pada value yang ingin didapat. Apakah value itu sudah sampai pada audiens? Nah itu ada ilmunya sendiri.

Jika suatu karya film ada value, maka mata rantai ekosistem yang terlibat di dalamnya akan mendapat nyawa. Film itu akan bisa diedarkan tanpa terlalu memaksakan usaha dan biaya. Orang Jawa bilangnya... PAYU!

Ini tak melulu soal uang. Itu lain lagi. Menjual film untuk dapat uang, bagi kalangan indie, susyah banget, Bosss. Tapi kalo value, itu masih lah bisa diulik. Value juga yang bikin ekosistem bertahan.

Value sudah ditentukan sedari awal kita mau bikin film. Sorry aje, bikin film gak kayak pelukis tunggal yang pegang kuas dan menentukan gimana isi benaknya tercurah. Film itu kolaboratif dan makan biaya. Sering biaya itu terlampau besar untuk bisa dibalikkan modalnya. Maka di tahap development kita musti tentukan target pasar, muatan value selain cerita dan juga nanti rencana eksekusinya. Ribet ya.

Setelah pre production dan post, tantangan terakhir adalah distribusi. Industri yang sudah established, dengan perputaran omzetnya yang gede banget, tak terjangkau oleh para pemula. Mereka sudah mengikatkan pada ekosistem semi-tertutup dan kadang kayak mafia. Maka muncullah sistem alternatif di kalangan independen. Ini berjalan secara offline maupun online.

Bicara soal distribusi independen offline, kita akan lebih banyak bicara soal komunitas. Unit terkecil adalah filmmaker indie di kampung-kampung, lalu komunitas lokal termasuk sekolah dan yang paling gede adalah para pemutar film alternatif. Pemutar alternatif ini pun bekerja secara sistematis. Fasilitas memakai ruang komersil di publik macam cafe, perpustakaan, mini bioskop dan kalo lagi ada duit ya sewa studio bioskop beneran.

Untuk pertanggungjawaban mutu, digelarlah festival-festival yang mensyaratkan adanya pemrograman bagi film yang mau diputar. Ada kurator yang bertugas menyeleksi biar film yang diputer nggak ngasal.

Distribusi online lebih merdeka daripada offline. Karena pembuat akan menentukan sendiri pilih platform yang mana dengan segala plus minusnya. Platform online tidak memerlukan biaya besar selain biaya akses internet. Persebaran lebih masif. Sayangnya audience-creator engagement tak sekuat yang offline. sesuai watak umum dari mediumnya sendiri... shallow kalo saya bilang. Sedangkan offline menjanjikan engagement yang lebih kuat, karena pertemuan mata dengan layar terjadi secara fisik. Butuh niat bener loh kalo mo dateng ke screening itu. Yah keduanya tak musti dipertentangkan.

Engagement dengan audiens adalah salah satu value yang perlu dikejar oleh distribusi. Maka dari sini sejak awal mo bikin film, sebaiknya kita tentukan film nanti mau didistribusikan dengan cara apa? Online? Offline?

(bersambung)
Baca
 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved