APA ITU CINEMATIC?

Pertamakali yang perlu diketahui adalah bahwa istilah ini punya arti yang berbeda di dalam bahasa aslinya (Inggris) dengan pemakaian sehari-hari di kalangan pekerja audio visual Indonesia.
Dalam bahasa Inggris, cinematic (kata sifat) berarti "yang berkaitan dengan sinema". Akar katanya adalah cinématique (bahasa Prancis) yang artinya "berkaitan dengan gerak" (kinematic). Bisa juga berarti "memiliki karakter kualitas seperti pada film sinema" (having qualities characteristic of motion picture).

Saya memahami bahwa istilah cinematic yang dipakai sehari-hari oleh rekan-rekan praktisi audio visual sehari-hari (sebut saja misalnya wedding videographer) mengambil makna terakhir. Cinematic, "berasa seolah film layar lebar" gitulah kurang lebih maunya.
Bagi saya, istilah itu sah-sah saja, tentu dengan lebih baik memahami asal kata dari cinematic itu sendiri. Sejarah teknologi dan seni audio visual kita memang awalnya dari cinema.
Cinema mengacu pada dua hal: tempat memutar film atau seni dari pembuatan film itu sendiri. Mengenai cinema sebagai sebutan untuk tempat, British English lebih banyak menggunakan istilah Cinema sedangkan American English lebih sering memakai istilah Theatre. Sedangkan cinema sebagai sebuah art biasa disalingtukarkan dengan istilah "motion pictures" atau movie. Ribetnya, kata movie sendiri juga sering ditukar-tukar dengan istilah cinema. Kalimat "go to the cinema" atau "go to the movies" memiliki makna yang sama yakni tempat muter film. Kalo dalam bahasa Indonesia, kita lebih akrab dengan istilah "bioskop" yang terambil dari kata bioscope. Bioscope sebenarnya mengacu pada alat, seperti yang dipakai untuk "Warwick Bioscope". Warwick Bioscope adalah nama jenis proyektor film dari tahun 1897.
Baik cinema, movie dan motion pictures sejak sejarah awalnya mengacu pada film. Nah, soal film ini ada berbagai pemaknaan. Kalau mengacu pada bendanya maka film adalah medium rekam. Yakni pita seluloid dengan lapisan emulsi peka cahaya. Namun begitu kita memasuki era rekam digital, istilah film bergeser jadi lebih substansial. Film juga bermakna seni bercerita audio visual naratif. Makanya meski direkam pakai medium digital pun masih disebut sebagai film. Festival yang merayakannya disebut sebagai festival film, bukan video.
Dalam seni audio visual yang sudah berumur seratus tahun lebih ini, ada kecenderungan menjadikan estetika visual era jadul sebagai tolok ukur. Yakni ketika semua serba manual. Banyak seniman audio visual (termasuk saya) memuja tampilan klasik tersebut. Film (sebagai medium rekam) dilihat lebih terasa indah dibanding video. Mungkin sebagaimana standar penggunaan font "courier new" pada skenario yang standar, ada rasa nostalgis di situ. Dari situlah ada kecenderungan mengejar yang namanya "film look". Maksudnya adalah hasil rekam video yang berasa kayak film. Apa saja itu?
-Grain yang seolah kayak dari film seluloid
-24 fps frame rate kayak film di bioskop
-Motion blur kayak film bioskop
-Kadang juga aspect ratio anamorphic (lebar) disebut sebagai "kayak film"
Sudah jelas medium digital kurang bisa menyamai kualitas film yang memang sebuah teknologi fisik dan kimiawi. Makanya film look hanya bisa meniru-niru tampilan agar berkesan "kayak disyut pake film beneran". Semua hal itu coba ditiru dengan memakai efek dari software editing.
Film look sering menjadi hal yang diinginkan para filmmaker yang bermedium digital. Semisal saya sendiri, saya tak ingin kalau film saya terlalu "video banget". Salah satu artinya saya lebih ingin terlihat ada grain daripada "digital artifact" (pecah-pecah). Kesan yang ingin saya munculkan adalah kalo nonton film saya, rasanya udah kayak film bisokop gitu aja. Tentu saja jauh sekali kalo mau ingin kayak film beneran. Namanya juga seolah-olah... kayak Indomie rasa soto. Apa ya bisa menyamai soto beneran?
Terus bagaimana dengan cinematic wedding video?
Kurang lebih ya kayak gitu tadi. Video manten yang gambarnya (doang) ingin terlihat seakan film bioskop. Apakah ini sudah mencakupi istilah sejati dari CINEMATIC? ya jelas tidak.
Cinematic, dalam arti sesungguh dan selengkapnya, adalah kualitas yang dimiliki film sinema (motion pictures). Apa aja sih kualitas tersebut? Ada 2 yakni yang terlihat secara inderawi (audio visual) dan yang terasa secara intelektual (narative storytelling).
Yang terasa secara audio visual:
-Tata suara
-Tata cahaya
-Tata gambar (mencakup angle kamera dan gerakannya)
-Dekor
-Tata busana
-Dll
Yang terasa secara intelektual:
-Penuturan cerita (Storytelling)
-Editing
-Pesan-pesan
-Dll.
Jadi, cinematic yang sejati tak cuma video yang main slowmotion, pasang black bar dan musik-musik orkestra. So bolehkah menggunakan istilah "cinematic" buat video manten?
Ya emang siapa mau ngelarang sih? Hehehe... saya pribadi sih bukan CINEMA-NAZI yang memburu orang-orang cari duit dengan bikin what so called "cinematic wedding video". Apakah istilah yang mereka pakai musti dipertanggungjawabkan?
Menurut saya sih enggak. Istilah itu sudah berada dalam koridor "bahasa orang pasar", itu merupakan gimmick marketing daripada sebagai istilah sinematografi.
Bagaimanapun, weeding videography dan filmmaking adalah dua hal yang berbeda. Alat yang dipakai boleh sama. Kami para filmmaker murah memakai kamera fotografi buat bikin film, maka kalopun ntar ada wedding videographer mau makai kamera cinema pun ya so what? Hehehe.....
Yang membedakan kedua hal: baik cinematic yang emang bener istilah film dengan cinematic yang gimmick.... adalah sasarannya. Film itu ada konsumennya sendiri dan wedding videography apalagi. Udah beda bidang, beda pula isi kepala orang yang menggeluti kedua hal itu.
Begitulah sudut pandang saya, penyuka sinema.
My showreel:
Artikel ini adalah penyegaran untuk artikel saya yang lama: https://gugunekalaya.blogspot.com/2019/08/perbedaan-esensial-videografi-dan.html


Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved