Gundala Putra Petir adalah superhero yang agak terlupakan di benak remaja Indonesia masa kini. Maklum sampai sekarang belum ada yang membuat filmnya sejak 1982. Jadi kekangenan saya pada superhero berkostum kurang ketat ini hanya bisa terlampiaskan dengan nonton film jadul yang satu-satunya ini. (berapa sih harga spandex tahun segitu? Soalnya kostum di film ini masih kendor dan ada lipatannya).
Cerita dimulai dengan Sancoko (Teddy Purbo) yang terlalu sibuk di laboratorium sehingga Minarti (Anna Tairas) kekasihnya merasa jablay. Bahkan saat Mince eh Minarti ulang tahun Sancoko tidak hadir. Akhirnya Minarti memvonis putus pada Sancoko. Sancoko yang galau kelayapan di tengah badai petir. Ternyata itu petir bukan sembarang petir. Sancoko tersambar dan tahu-tahu terbangun di hadapan bapak tua yang bermain cosplay. Bapak itu ternyata adalah Dewa Petir (Pitra Jaya Burnama). Gundala pun diangkat anak oleh Dewa Petir. Bisa saya duga setelah ini mereka akan repot mengurus surat adopsi di kantor catatan sipil. Apalagi status bapak dan anak angkat ini adalah alien dan manusia. Sancoko pun menjadi Gundala Putra Petir dengan bonus kostum dan kalung aktivasi. Kini jadilah Sancoko manusia yang benar-benar sakti. Tangannya bisa memancarkan petir dan bisa berlari secepat kilat. Gundala kemudian mendapat misi baru sebagai superhero dari papa Dewa Petir.
Sementara itu Sancoko mendapat job dari profesor Saelan (Amy Priyono) untuk membuat serum anti morfin. Mungkin maksud serum ini untuk membuat kita bisa memakai morfin secara bebas tanpa harus kecanduan. Mulia sekali job yang dilakukan Sancoko ini. Harusnya para bandar narkoba malah mendanai proyek ini karena serumnya bisa dijual bersamaan dengan narkotiknya. Jadi dagangan mereka akan laris tanpa merugikan konsumen. Di sela-sela jobnya, Sancoko sebagai Gundala mulai menjalankan tugasnya sebagai superhero. Antara lain menolong korban penculikan. Setelah menghajar satu per satu para begundalnya, Gundala berpesan pada korban, tentunya berlaku untuk kita semua, "Kalau di tempat ramai jangan pakai perhiasan." Tentunya pesan ini akan efektif jika kita tulis di spanduk atas sponsor kepolisian.
Kiprah Sancoko dan sepak terjang Gundala membuat gusar Ghazul (W.D. Mochtar) seorang bos narkoba. Ghazul memiliki banyak anak buah dan gadget canggih (pada masanya). Ada komputer yang bisa ia gunakan untuk chatting dengan para anak buahnya. Kita tak tahu apakah ia juga bisa mengakses konten pornografi dari komputer itu mengingat sistim operasinya masih berbasis DOS (belum GUI). Mungkin ia cuma bisa baca salinan stensilan saja.
Berikutnya Sancoko dengan proyek serum anti morfinnya mendapat musuh dalam selimut. Agus (Agus Melasz), kolega sesama peneliti ternyata bekerjasama dengan Ghazul untuk menghalangi Sancoko. Sancoko sendiri belum sadar hal itu. Ia membagi waktu antara meneliti dan jadi superhero. Kejahatan yang ia atasi biasanya standar film aksi 80an. Salah satunya adalah memburu perampok bank. Saat memburu mereka, Gundala sempat nebeng di atap jeep. Ia memutuskan tidak mengejar dengan cara berlari meskipun ia tahu bahwa ia bisa lebih cepat sampai lokasi. Maklum ia belum tahu lokasi yang dituju penjahat ada di mana. Sampai di lokasi ia berhadapan dengan para berandal yang bersenjatakan senapan serbu. Tapi Gundala tidak terlalu khawatir karena senapan itu lebih berfungsi untuk memukul daripada ditembakkan. Mungkin memang berandalnya belum tahu kalau senapan itu bisa dipakai untuk menembak.
Sancoko sempat diculik dan oleh anak buah Ghazul. Kalung aktivasi Sancoko sempat dirampas tapi kemudian dikembalikan lagi (karena penulis naskahnya tidak mau repot menyusun plot Sancaka merebut kembali kalungnya). Maka Sancoko mengubah diri jadi Gundala. Rupanya jarinya bisa dijadikan las untuk membobol jeruji besi yang mengurungnya. Kita tahu membobol jeruji besi dengan las tidak akan menimbulkan keributan. Sayang Gundala lupa menjaga ketenangan itu karena kemudian ia menendang hancur sebuah pintu stereofoam. Sancoko pun beraksi menghajar para begundal yang tadi mengurungnya.
Korban penculikan berikutnya adalah profesor Saelan dan Minarti kekasih Sancoko. Lagi-lagi Gundala harus beraksi menyelamatkan mereka. Di bagian akhir Gundala melabrak markas Ghazul. Tanpa kesulitan ia membobol tembok batu bata yang tidak disemen (cuma disusun begitu saja). Ia pun berhadapan dengan Ghazul di ruang makan. Ghazul punya dua tangan sakti terbuat dari besi dan bisa menembakkan sinar. Tangan itu juga bisa berfungsi sebagai bor (yang membuatnya merasa sangat perih setiap kali cebok).
Gundala bertarung melawan Ghazul dengan ajian menggandakan diri jadi tiga. Hmmm sebentar! Seingat saya itu tak termasuk dalam daftar kesaktian Gundala. Mungkin saking cepatnya ia bergerak seolah-olah ada tiga aktor stand in yang melakukannya. Tak tahu lah...
Pokoknya akhirnya Gundala menang dan berhasil memperbaiki hubungannya dengan Minarti.
Gundala Putra Petir arahan Liliek Sudjio belum menawarkan euforia film superhero untuk beberapa masa setelahnya. Buktinya film ini tak diproduksi sekuelnya dan juga tak ada kelatahan produksi genre serupa. Selain Rama Superman Indonesia, ini adalah film superhero nasional yang memang sangat langka dan kalah tenar dibandingkan genre silat, pocong dan seks. Betapa kita merindukan film superhero nasional berbudget tinggi dibuat setelah grup Marvel dan DC menyerbu layar bioskop di negeri ini. Tapi kapan ya? Masak kita cuma bisa bernostalgia dengan menonton film jadul ini. Oya, musik dan OST-nya keren lho :)
REVIEW GUNDALA PUTRA PETIR
Oleh: Gugun Arief Gunawan
Dikirim di grup Facebook Obrolan Layar Lebar
Tertanggal 22 Desember 2012 pukul 00:57
![]() |
Kredit gambar: jnfernalworld.blogspot.com |
Cerita dimulai dengan Sancoko (Teddy Purbo) yang terlalu sibuk di laboratorium sehingga Minarti (Anna Tairas) kekasihnya merasa jablay. Bahkan saat Mince eh Minarti ulang tahun Sancoko tidak hadir. Akhirnya Minarti memvonis putus pada Sancoko. Sancoko yang galau kelayapan di tengah badai petir. Ternyata itu petir bukan sembarang petir. Sancoko tersambar dan tahu-tahu terbangun di hadapan bapak tua yang bermain cosplay. Bapak itu ternyata adalah Dewa Petir (Pitra Jaya Burnama). Gundala pun diangkat anak oleh Dewa Petir. Bisa saya duga setelah ini mereka akan repot mengurus surat adopsi di kantor catatan sipil. Apalagi status bapak dan anak angkat ini adalah alien dan manusia. Sancoko pun menjadi Gundala Putra Petir dengan bonus kostum dan kalung aktivasi. Kini jadilah Sancoko manusia yang benar-benar sakti. Tangannya bisa memancarkan petir dan bisa berlari secepat kilat. Gundala kemudian mendapat misi baru sebagai superhero dari papa Dewa Petir.
Sementara itu Sancoko mendapat job dari profesor Saelan (Amy Priyono) untuk membuat serum anti morfin. Mungkin maksud serum ini untuk membuat kita bisa memakai morfin secara bebas tanpa harus kecanduan. Mulia sekali job yang dilakukan Sancoko ini. Harusnya para bandar narkoba malah mendanai proyek ini karena serumnya bisa dijual bersamaan dengan narkotiknya. Jadi dagangan mereka akan laris tanpa merugikan konsumen. Di sela-sela jobnya, Sancoko sebagai Gundala mulai menjalankan tugasnya sebagai superhero. Antara lain menolong korban penculikan. Setelah menghajar satu per satu para begundalnya, Gundala berpesan pada korban, tentunya berlaku untuk kita semua, "Kalau di tempat ramai jangan pakai perhiasan." Tentunya pesan ini akan efektif jika kita tulis di spanduk atas sponsor kepolisian.
Kiprah Sancoko dan sepak terjang Gundala membuat gusar Ghazul (W.D. Mochtar) seorang bos narkoba. Ghazul memiliki banyak anak buah dan gadget canggih (pada masanya). Ada komputer yang bisa ia gunakan untuk chatting dengan para anak buahnya. Kita tak tahu apakah ia juga bisa mengakses konten pornografi dari komputer itu mengingat sistim operasinya masih berbasis DOS (belum GUI). Mungkin ia cuma bisa baca salinan stensilan saja.
Berikutnya Sancoko dengan proyek serum anti morfinnya mendapat musuh dalam selimut. Agus (Agus Melasz), kolega sesama peneliti ternyata bekerjasama dengan Ghazul untuk menghalangi Sancoko. Sancoko sendiri belum sadar hal itu. Ia membagi waktu antara meneliti dan jadi superhero. Kejahatan yang ia atasi biasanya standar film aksi 80an. Salah satunya adalah memburu perampok bank. Saat memburu mereka, Gundala sempat nebeng di atap jeep. Ia memutuskan tidak mengejar dengan cara berlari meskipun ia tahu bahwa ia bisa lebih cepat sampai lokasi. Maklum ia belum tahu lokasi yang dituju penjahat ada di mana. Sampai di lokasi ia berhadapan dengan para berandal yang bersenjatakan senapan serbu. Tapi Gundala tidak terlalu khawatir karena senapan itu lebih berfungsi untuk memukul daripada ditembakkan. Mungkin memang berandalnya belum tahu kalau senapan itu bisa dipakai untuk menembak.
Sancoko sempat diculik dan oleh anak buah Ghazul. Kalung aktivasi Sancoko sempat dirampas tapi kemudian dikembalikan lagi (karena penulis naskahnya tidak mau repot menyusun plot Sancaka merebut kembali kalungnya). Maka Sancoko mengubah diri jadi Gundala. Rupanya jarinya bisa dijadikan las untuk membobol jeruji besi yang mengurungnya. Kita tahu membobol jeruji besi dengan las tidak akan menimbulkan keributan. Sayang Gundala lupa menjaga ketenangan itu karena kemudian ia menendang hancur sebuah pintu stereofoam. Sancoko pun beraksi menghajar para begundal yang tadi mengurungnya.
Korban penculikan berikutnya adalah profesor Saelan dan Minarti kekasih Sancoko. Lagi-lagi Gundala harus beraksi menyelamatkan mereka. Di bagian akhir Gundala melabrak markas Ghazul. Tanpa kesulitan ia membobol tembok batu bata yang tidak disemen (cuma disusun begitu saja). Ia pun berhadapan dengan Ghazul di ruang makan. Ghazul punya dua tangan sakti terbuat dari besi dan bisa menembakkan sinar. Tangan itu juga bisa berfungsi sebagai bor (yang membuatnya merasa sangat perih setiap kali cebok).
Gundala bertarung melawan Ghazul dengan ajian menggandakan diri jadi tiga. Hmmm sebentar! Seingat saya itu tak termasuk dalam daftar kesaktian Gundala. Mungkin saking cepatnya ia bergerak seolah-olah ada tiga aktor stand in yang melakukannya. Tak tahu lah...
Pokoknya akhirnya Gundala menang dan berhasil memperbaiki hubungannya dengan Minarti.
Gundala Putra Petir arahan Liliek Sudjio belum menawarkan euforia film superhero untuk beberapa masa setelahnya. Buktinya film ini tak diproduksi sekuelnya dan juga tak ada kelatahan produksi genre serupa. Selain Rama Superman Indonesia, ini adalah film superhero nasional yang memang sangat langka dan kalah tenar dibandingkan genre silat, pocong dan seks. Betapa kita merindukan film superhero nasional berbudget tinggi dibuat setelah grup Marvel dan DC menyerbu layar bioskop di negeri ini. Tapi kapan ya? Masak kita cuma bisa bernostalgia dengan menonton film jadul ini. Oya, musik dan OST-nya keren lho :)
REVIEW GUNDALA PUTRA PETIR
Oleh: Gugun Arief Gunawan
Dikirim di grup Facebook Obrolan Layar Lebar
Tertanggal 22 Desember 2012 pukul 00:57
Post a Comment