Ya ini cuman istilah yang agak "gebyah uyah" alias generalistik sih. Paling tidak film yang untuk semua orang, secara statistik ditonton lebih banyak orang. Mungkin film box office atau blockbuster.
The Shape of Water adalah film bikinan seorang sutradara "selera banyak orang" (untuk nggak bilang mainstream). Akan tetapi menurut saya, kayaknya nih film bukan untuk semua orang. Agak kaget juga ketika film ini dinobatkan sebagai film terbaik di Academy Award. Bagi saya yang ngefans ama sutradaranya, ini berita yang nyenengin. Kapan lagi film monster bisa dapat penghargaan terbaik di ajang mainstream?
Guillermo Del Toro adalah seorang spesialis. Obsesinya adalah dunia fantasi, peri, magis dan monster. Secara khusus saya bilang Del Toro adalah spesialis monster. Hampir semua filmnya menampilkan monster atau makhluk-makhluk fantasi. Tapi sekaligus ia juga sutradara "selera banyak orang" karena Hellboy dan Pacific Rim itu box office. Lagi-lagi kedua film itu....ada monsternya hehehe.
Fantasi ala Del Toro bukan fantasi biasa ala dongeng balita. Ia punya citarasa yang kelam sehingga filmnya bisa disebut "Fairy Tales for Adults". Itu sudah terlihat di Pan's Labirynth. Pan's Labirynth meskipun sentral karakternya adalah gadis belia, namun latar kisahnya adalah kesuraman perang dunia. Kurang cocok ditonton anak-anak karena adegan gore dan sadistisnya.
The Shape of Water kurang lebih membawa vibrasi yang sama: Ini masih Fairy Tales for Adults. Dunia monster yang berkelindan dengan realita sosial politik. Sebuah "realisme magis". Saya begitu demen sama subgenre yang juga diusung oleh sastrawan Jorge Luis Borges dan Gabriel Garcia-Marquez ini. Saya pikir Del Toro adalah salah satu sutradara yang sukses mengemas realisme magis lewat film.
KISAHNYA
Elisa adalah seorang pembersih yang kerja di fasilitas rahasia milik pemerintah Amerika tahun 1960an. Suatu hari militer membawa sesosok makhluk amfibi yang katanya ditangkap di sungai Amazon. Makhluk yang berwujud humanoid mirip ikan itu ditahan di fasilitas itu untuk diteliti. Tujuan militer yang menyekapnya adalah mencari tahu apakah makhluk ini bisa berguna untuk misi ke luar angkasa. Saat itu Amerika dan Sovyet sedang dalam masa Perang Dingin. Kedua negara adidaya ini saling berlomba dengan misi luar angkasa. Salah satu yang dibutuhkan dalam misi tersebut adalah kelinci percobaan yang akan dikirim ke antariksa sebelum nanti benar-benar memakai manusia.
Elisa, perempuan yang mengidap tuna wicara (tapi tidak tuna rungu) ini mencoba berkomunikasi dengan makhluk tersebut. Selanjutnya konflik kepentingan pun terjadi. Col. Richard Strickland, pimpinan fasilitas tersebut ingin membedah makhluk itu hidup-hidup (vivisect) untuk meneliti anatominya.
Sedangkan Sovyet, yang tak ingin Amerika berhasil, memerintahkan Dr. Robert Hoffstetler alias Dimitri Mosenkov yang sebenarnya mata-mata Sovyet untuk membunuh makhluk tersebut. Dr. Robert Hoffstetler sendiri menentang keduanya. Sama seperti Elisa, ia melihat bahwa makhluk itu lebih mirip manusia daripada hewan amfibi.
Selanjutnya misi penyelamatan pun dilakukan. Singkat kata, Elisa berhasil membawa si makhluk Amazon ini ke apartemennya. Di sini Elisa menjalin hubungan yang makin intens dengan si makhluk, hingga ke hubungan seksual. Nah di sini pula yang kemudian menjadi titik kontroversi film ini.
Meski tetap ada adegan berdarah dan gore (tipikal Del Toro), sebenarnya film ini happy ending.
REAKSI AUDIENS
Film ini banyak dicaci para penikmat karya De Toro antara lain karena:
-Mengira bahwa film ini adalah the origin of Abe Sapiens dari Hellboy. Selain penampakannya mirip, karakter manusia amfibi ini juga dimainkan oleh orang yang sama, Doug Jones.
-Adegan masturbasi Elisa yang berlebihan porsinya. Entah kenapa ini diprotes hehehe. Apa karena pemerannya tidak cantik?
-Hubungan romatik dan seksual yang terlalu aneh. Si makhluk amfibi bukan manusia namun juga bukan binatang. Anggaplah ia spesies yang konon didewakan oleh penduduk tepi Amazon. Banyak penonton tak bisa menerima ini. Hubungan Elisa dengan si makhluk amfibi lebih terlihat menjijikkan kata mereka.
REVIEW SAYA
Dari pembukanya, aura magisme realis ala Del Toro langsung semerbak. Musik misterius dari Alexandre Desplat mengapungkan imajinasi kita ke alam fantasi. Detail settingnya begitu nyata. Tanki air yang karatan, bangunan yang lembab dan juga nuansa 60an dengan mobil Cadillac.
Disain si makhluk amfibi pun, meski mencomot dari Creature The Black Lagoon dan Abe Sapiens dari Hellboy tetaplah terlihat mengagumkan. Sirip, insang dan matanya yang hidup, membuat kita membayangkan jangan-jangan makhluk semacam ini juga hidup di sungai-sungai pedalaman Kalimantan.
Beberapa belas tahun silam, Del Toro membikin Pan's Labirynth yang karakter sentralnya adalah gadis belia yang menarik. Sedangkan di film ini, karakter utamanya tidaklah cukup cantik dalam standar film umum.
Elisa yang diperankan oleh Sally Hawkins adalah perempuan bertampang depresif, terasing sekaligus punya orientasi seks menyimpang. Namun justru inilah kekuatan karakternya. Sally membawakannya dengan sangat meyakinkan. Elisa menjadi karakter perempuan terasing yang tidak lemah. Saat cinta menguasainya, ia mau berkorban apapun.
Saya sendiri begitu terkesan oleh performa Michael Shannon. Aktor bertampang berandalan ini memang langganan peran antagonis. Simaklah saat dia jadi Jendral Zod musuhnya Man of Steel. Jarang kita bisa bayangin Shannon main sebagai orang baik kecuali di filmnya Jeff Nichols, Midnight Special. Lihat betapa bengisnya tampangnya sebagai Colonel Richard Strickland dengan dua jarinya yang busuk itu.
Sayangnya, performa jajaran cast yang unggul ini kurang didukung dengan motivasi plot yang meyakinkan. Mungkin benar kata orang-orang, ikatan batin Elisa dengan si makhluk amfibi kurang dieksplorasi dengan anggun. Del Toro malah sibuk membangun adegan-adegan aneh semacam nari-nari ala film musikal vintage dan juga sex underwater yang rada ajaib. Gila aja nyumpel pintu kamar mandi biar jadi kolam renang...
Belum lagi ada satu keanehan yang bikin saya mikir...
Tuh makhluk kan nemunya di sungai Amazon? Ngapain dia butuh air asin ya?
Meski begitu secara keseluruhan saya suka film ini. Karena saya mungkin termasuk orang yang sedikit tadi... penggemar film yang "bukan untuk semua orang"... ya meski nggak ekstrim sih. Saya ini penyuka film monster.
The Shape of Wateri bisa jadi akan sangat anda sukai atau juga sangat anda benci, bahkan bagi anda yang pecinta film monster sekalipun.
The Shape of Water secara tematik sebenarnya tidak orginal. Selain secara estetik merupakan hommage untuk film monster klasik, Creature Of The Black Lagoon, film ini mengulang lagi tema-tema lawas cinta antar dunia yang berbeda. Bahkan lebih tegasnya: cinta antar spesies! Sebut saja Beauty and The Beast, Splash, Putri Duyung karya H.C. Andersen dll.
Kalo ngomong cinta antar spesies, kita tak hanya bicara romansa manusia dan alien dari planet lain. Bagaimana dengan spesies di bumi yang sama? Repotnya cinta ini juga termasuk aspek seksualnya.
Jika dunia lebih terbuka dengan isu homoseksualitas, tidak demikian dengan zoophilia dan bestiality. Yang terakhir ini adalah penyakit psikis yang memiliki sejarah panjang. Lukisan pornografis di reruntuhan Pompei menunjukkan bahwa praktek seksualitas antar spesies ini telah terjadi sejak lama.
Mungkin yang membuat kisah Elisa ini "menjijikkan" adalah kekaburan jatidiri sang manusia amfibi. Apakah ia hanya binatang yang cerdas? Atau ia sebenarnya lebih dekat dengan manusia?
Tapi bagaimana bisa orang umum menerimanya sebagai manusia dengan wujud bersisik mirip ikan berjalan gitu?
Demikianlah, maka bersamaan dengan sambutan positif oleh juri Academy Award, film ini pun bertaburan cacimaki oleh para penonton karya Del Toro sebelumnya.
Jika anda suka Pan's Labirynth saya pikir anda bisa saja menyukai The Shape of Water. Tetapi ingat, ini adalah Fairy Tale for Adults. Tidak cocok untuk semua umur... dan tak cocok untuk semua selera.
Post a Comment