APA BEDANYA DIGITAL TOOLS DENGAN AI?
Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya.
Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.
Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.
Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?
Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.
AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?
Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.
#AIhatecinema
Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya.
Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.
Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.
Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?
Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.
AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?
Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.
#AIhatecinema