APA BEDANYA DIGITAL TOOLS DENGAN AI?

 

Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya. 

Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.

Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.

Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?

Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.

AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?

Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.

#AIhatecinema

 

Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya. 

Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.

Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.

Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?

Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.

AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?

Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.

#AIhatecinema

Baca

FAUST MAIN TIK TOK

Pernah baca legenda Doctor Faust?


Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi. 


Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.


Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.


Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.


Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan. 


Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.


Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia? 


Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"


Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?


Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:


Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!

Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.

Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?

Faust: Apa yang kau mau?

Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.

Faust: Ambilah semua! 

Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."



Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.

Pernah baca legenda Doctor Faust?


Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi. 


Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.


Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.


Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.


Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan. 


Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.


Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia? 


Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"


Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?


Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:


Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!

Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.

Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?

Faust: Apa yang kau mau?

Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.

Faust: Ambilah semua! 

Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."



Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.

Baca

XU HAOFENG, MASTER OF ARTHOUSE KUNGFU CINEMA

Jika para sinefil rata-rata mengidolakan Wong Kar Wai, saya yang besar dengan menonton karya Tsui Hark dan John Woo sepertinya lebih cocok dengan Johnnie To. Namun saat ini saya sedang tertarik dengan Xu Haofeng.

Xu Haofeng adalah seorang novelis, dosen dan juga pendekar. Dia belajar Kungfu sejak usia 14 tahun. FYI, bahasa Cina yang tepat untuk beladiri sebenarnya adalah Wushu. Sedangkan Kungfu sebenarnya adalah istilah pasaran yang dipopulerkan Hollywood sejak era Bruce Lee. Sayangnya istilah Wushu masih terlalu diasosiasikan dengan "Sport Wushu" yang dipromosikan pemerintah Cina sejak tahun 50an. Jadi ya, nampaknya pakai istilah Kungfu masih terdengar lebih bernuansa.

Xu Haofeng Film-filmnya mayoritas bertema Kungfu/Wushu yang memiliki gaya khas. Dia adalah seorang auteur. Yang membedakan filmnya dengan rata-rata film segenre di Cina adalah visual dan koreografinya. Bagi yang terbiasa dengan gaya fast cut mungkin agak nggrundel melihat gaya sinema tarung di film Xu Haofeng.

Xu Haofeng suka memakai longshot dan kamera yang cenderung established. Nggak kebanyakan gerak kayak ciri khas sinematografi film Hongkong tahun 90an yang pionernya adalah Tsui Hark. Gambar Xu Haofeng cenderung dingin namun berdarah. Dalam perkara koreografi, Xu suka memperlihatkan detail. Ia juga banyak mengeksplor pertarungan memakai bilah.

Detail dari teknik bilah ala kungfu di filmnya Xu ini cukup berbeda dengan gaya tarung yang flashy ala "Duilian Wushu" di film-film Kungfu Hongkong. Duilian adalah nomor seni tarung di cabang Sport Wushu. Kalau kita simak pertarungan di film The Final Master (2015) yang dibintangi Liao Fan, gerakan flashy yang lompat-lompat diminimalisir. Tekniknya langsung berupa sambutan dan serangan. Mirip pertarungan di film genre Chanbara klasik alias Samurai film. Tak ada belokan atau kelokan yang tak perlu kecuali me"redirect" sebuah bacokan. Di antara trend gaya bilah di sinema  yang akhir-akhir ini agaknya didominasi gaya Filipina (Arnis) dan Indonesia (Silat), teknik bilah ala Kungfu ini memberikan kebaruan sinematik.

Lewat pencapaiannya dengan karyanya yang diputar di festival internasional bergengsi macam Rotterdam International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Venice Film Festival, Xu Haofeng menjadi duta film genre gelut-gelutan yang biasanya nggak banyak bersliweran di festival "nyeni" dan ndakik-ndakik hehehe.

Jika para sinefil rata-rata mengidolakan Wong Kar Wai, saya yang besar dengan menonton karya Tsui Hark dan John Woo sepertinya lebih cocok dengan Johnnie To. Namun saat ini saya sedang tertarik dengan Xu Haofeng.

Xu Haofeng adalah seorang novelis, dosen dan juga pendekar. Dia belajar Kungfu sejak usia 14 tahun. FYI, bahasa Cina yang tepat untuk beladiri sebenarnya adalah Wushu. Sedangkan Kungfu sebenarnya adalah istilah pasaran yang dipopulerkan Hollywood sejak era Bruce Lee. Sayangnya istilah Wushu masih terlalu diasosiasikan dengan "Sport Wushu" yang dipromosikan pemerintah Cina sejak tahun 50an. Jadi ya, nampaknya pakai istilah Kungfu masih terdengar lebih bernuansa.

Xu Haofeng Film-filmnya mayoritas bertema Kungfu/Wushu yang memiliki gaya khas. Dia adalah seorang auteur. Yang membedakan filmnya dengan rata-rata film segenre di Cina adalah visual dan koreografinya. Bagi yang terbiasa dengan gaya fast cut mungkin agak nggrundel melihat gaya sinema tarung di film Xu Haofeng.

Xu Haofeng suka memakai longshot dan kamera yang cenderung established. Nggak kebanyakan gerak kayak ciri khas sinematografi film Hongkong tahun 90an yang pionernya adalah Tsui Hark. Gambar Xu Haofeng cenderung dingin namun berdarah. Dalam perkara koreografi, Xu suka memperlihatkan detail. Ia juga banyak mengeksplor pertarungan memakai bilah.

Detail dari teknik bilah ala kungfu di filmnya Xu ini cukup berbeda dengan gaya tarung yang flashy ala "Duilian Wushu" di film-film Kungfu Hongkong. Duilian adalah nomor seni tarung di cabang Sport Wushu. Kalau kita simak pertarungan di film The Final Master (2015) yang dibintangi Liao Fan, gerakan flashy yang lompat-lompat diminimalisir. Tekniknya langsung berupa sambutan dan serangan. Mirip pertarungan di film genre Chanbara klasik alias Samurai film. Tak ada belokan atau kelokan yang tak perlu kecuali me"redirect" sebuah bacokan. Di antara trend gaya bilah di sinema  yang akhir-akhir ini agaknya didominasi gaya Filipina (Arnis) dan Indonesia (Silat), teknik bilah ala Kungfu ini memberikan kebaruan sinematik.

Lewat pencapaiannya dengan karyanya yang diputar di festival internasional bergengsi macam Rotterdam International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Venice Film Festival, Xu Haofeng menjadi duta film genre gelut-gelutan yang biasanya nggak banyak bersliweran di festival "nyeni" dan ndakik-ndakik hehehe.

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 3)

Bagaimana industri film bekerja dan masalahnya apa? 

Jika kamu paham ini, maka perjuanganmu meniti karir akan sedikit terbantu... Selama nggak kena sikut saingan atau kena sikat kebijakan pemerintah yg ngasal. 

Produk nyata dari industri ini adalah film namun sebenarnya tidak semuanya melulu tentang film. Industri selain tentang produk juga tentang value. 

Ada 7 value yg berhubungan dengan film yakni:

1. Hiburan. Ini nilai dasar yg tak akan ditolak orang. Film yg menghibur akan disukai orang. Masalahnya tiap orang terhibur dengan cara yg berbeda. Jika mau filmmu laku, ketahui orang-orang yg bisa terhibur dgn caramu. Martin Scorsese tak bisa menghibur penonton Woko Channel. 

2. Sosial. Banyak orang nonton bukan karena filmnya tapi karena dia ngajak siapa. Pentingnya membuat ruang pemutaran yg asik buat alasan ngajak gebetan. Jika kamu punya usaha kedai, kolaborasilah sama pemutar film. Yg dateng sungkan untuk tidak nonton, yg nonton sungkan untuk tidak pesen sesuatu, minimal es teh. Masalahnya apa? Tentu saja modal untuk membangun ruang nonton itu. 

3. Identitas. Film bisa jadi media perekat sekelompok orang yg merasa punya kesamaan. Buat film tentang kucing, kayaknya bakal banyak yg nonton. Sponsornya dari pet shop mungkin. Masalahnya adalah meyakinkan orang-orang dgn kesamaan identitas agar tertarik nonton. Belum lagi jika mereka tidak puas dgn tontonan itu. 

4. Sentimental. Beberapa film menjadi penanda masa tertentu. Ini investasi jangka panjang. Beberapa orang suka nonton film yg mengingatkan pada masa kecil, saat pacaran dll. Date movie saya: Avatar dan Barbie (nggak penting). Masalahnya kita nggak tahu film kita nanti sepenting apa. 

5. Informatif. Banyak hal bisa kita taruh di film biar jadi informasi. Paling sering adalah film jadi arsip mengenai suatu lokasi tertentu. Masalahnya film tidak bisa memuat info terlalu sering dan banyak. Nanti dianggap iklan atau malah tutorial. Sedikit yg bisa terhibur. 

6. Edukasi. Film bisa mempropagandakan hal tertentu. Masalahnya film propaganda rata-rata membosankan dan memuakkan. 

7. Transformatif. Film bisa mengubah seseorang. Film G30S misalnya bisa mempengaruhi jutaan orang Indonesia selama beberapa dekade. Masalahnya adalah sulit sekali kita dgn modal seadanya bisa bikin film yg begitu hebatnya bisa mengubah orang-orang. Punya modal gede pun belum tentu kemampuan kita segede itu. 

Film adalah produk yg harus dipasarkan dgn tepat. Jika value tersampaikan tepat sasaran, uang akan otomatis datang. Masalahnya serapan value tergantung oleh literasi dan apresiasi masyarakat. Bikin film bernilai tinggi akan gagal meraup untung jika belum ada penonton berkualitas tinggi. Diperparah dgn ketiadaan strategi kebudayaan dari pemerintah. 

Kunci ketahanan industri adalah tepatnya sasaran produk dan daya beli mereka. Filmnya sesuai target pasar dan mereka pun mau sisihkan uang untuk nonton. Masalahnya adalah mental gratisan warga negri kita. Mungkin yg mau nonton banyak, tapi yg mau bayar? 

Maka dari itu terciptalah ekosistem festival di mana pelaku perfilman membikin wahana seefektif mungkin untuk mempertemukan film dengan penonton. Jadi untuk kamu yg sedang berjuang untuk karyamu, masukilah circle festival. Temukan tipe-tipe penonton yg cocok untuk filmmu. 

Bagaimana dgn platform populer macam Youtube dan Tik Tok? 

Nah, mereka ini keunggulannya adalah lebih egaliter dan daya jangkauannya lebar. Akan tetapi karya yg bagus secara estetik cenderung tenggelam oleh unggahan video receh yg viral. Sasaran yg kamu tuju tidak jelas. Monetisasinya pun akan kalah besar sama yg viral itu. 

Jika kita pajang film kita ke OTT sayangnya jumlah penggunanya belum cukup signifikan di Indonesia saat ini. Selain itu manajemen platform lokal rata-rata kurang maksimal. 

Bagaimana industri film bekerja dan masalahnya apa? 

Jika kamu paham ini, maka perjuanganmu meniti karir akan sedikit terbantu... Selama nggak kena sikut saingan atau kena sikat kebijakan pemerintah yg ngasal. 

Produk nyata dari industri ini adalah film namun sebenarnya tidak semuanya melulu tentang film. Industri selain tentang produk juga tentang value. 

Ada 7 value yg berhubungan dengan film yakni:

1. Hiburan. Ini nilai dasar yg tak akan ditolak orang. Film yg menghibur akan disukai orang. Masalahnya tiap orang terhibur dengan cara yg berbeda. Jika mau filmmu laku, ketahui orang-orang yg bisa terhibur dgn caramu. Martin Scorsese tak bisa menghibur penonton Woko Channel. 

2. Sosial. Banyak orang nonton bukan karena filmnya tapi karena dia ngajak siapa. Pentingnya membuat ruang pemutaran yg asik buat alasan ngajak gebetan. Jika kamu punya usaha kedai, kolaborasilah sama pemutar film. Yg dateng sungkan untuk tidak nonton, yg nonton sungkan untuk tidak pesen sesuatu, minimal es teh. Masalahnya apa? Tentu saja modal untuk membangun ruang nonton itu. 

3. Identitas. Film bisa jadi media perekat sekelompok orang yg merasa punya kesamaan. Buat film tentang kucing, kayaknya bakal banyak yg nonton. Sponsornya dari pet shop mungkin. Masalahnya adalah meyakinkan orang-orang dgn kesamaan identitas agar tertarik nonton. Belum lagi jika mereka tidak puas dgn tontonan itu. 

4. Sentimental. Beberapa film menjadi penanda masa tertentu. Ini investasi jangka panjang. Beberapa orang suka nonton film yg mengingatkan pada masa kecil, saat pacaran dll. Date movie saya: Avatar dan Barbie (nggak penting). Masalahnya kita nggak tahu film kita nanti sepenting apa. 

5. Informatif. Banyak hal bisa kita taruh di film biar jadi informasi. Paling sering adalah film jadi arsip mengenai suatu lokasi tertentu. Masalahnya film tidak bisa memuat info terlalu sering dan banyak. Nanti dianggap iklan atau malah tutorial. Sedikit yg bisa terhibur. 

6. Edukasi. Film bisa mempropagandakan hal tertentu. Masalahnya film propaganda rata-rata membosankan dan memuakkan. 

7. Transformatif. Film bisa mengubah seseorang. Film G30S misalnya bisa mempengaruhi jutaan orang Indonesia selama beberapa dekade. Masalahnya adalah sulit sekali kita dgn modal seadanya bisa bikin film yg begitu hebatnya bisa mengubah orang-orang. Punya modal gede pun belum tentu kemampuan kita segede itu. 

Film adalah produk yg harus dipasarkan dgn tepat. Jika value tersampaikan tepat sasaran, uang akan otomatis datang. Masalahnya serapan value tergantung oleh literasi dan apresiasi masyarakat. Bikin film bernilai tinggi akan gagal meraup untung jika belum ada penonton berkualitas tinggi. Diperparah dgn ketiadaan strategi kebudayaan dari pemerintah. 

Kunci ketahanan industri adalah tepatnya sasaran produk dan daya beli mereka. Filmnya sesuai target pasar dan mereka pun mau sisihkan uang untuk nonton. Masalahnya adalah mental gratisan warga negri kita. Mungkin yg mau nonton banyak, tapi yg mau bayar? 

Maka dari itu terciptalah ekosistem festival di mana pelaku perfilman membikin wahana seefektif mungkin untuk mempertemukan film dengan penonton. Jadi untuk kamu yg sedang berjuang untuk karyamu, masukilah circle festival. Temukan tipe-tipe penonton yg cocok untuk filmmu. 

Bagaimana dgn platform populer macam Youtube dan Tik Tok? 

Nah, mereka ini keunggulannya adalah lebih egaliter dan daya jangkauannya lebar. Akan tetapi karya yg bagus secara estetik cenderung tenggelam oleh unggahan video receh yg viral. Sasaran yg kamu tuju tidak jelas. Monetisasinya pun akan kalah besar sama yg viral itu. 

Jika kita pajang film kita ke OTT sayangnya jumlah penggunanya belum cukup signifikan di Indonesia saat ini. Selain itu manajemen platform lokal rata-rata kurang maksimal. 

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 2)

Pertanyaan umum mengenai jenis karir apapun adalah duitnya cukup nggak buat biaya hidup? 

Karir industri seni berbeda dengan kerja kantoran. Orang film yg ngantor itu kebanyakan adalah pekerja yg urusannya administratif di sebuah production house. Produser ngantornya dikit, dia banyak wara-wiri. Sutradara kerja di lapangan. Penulis bisa rebahan. Bagi yg nggak ngantor kebanyakan kerjanya freelance. Yg ngantor dapet duit gaji bulanan sedangkan freelance adalah tiap projek. 

Skala industri film saat ini macem-macem. Yg skala "kolam kecil" kerjanya mulai dari berburu lomba dan dana hibah hingga terima jasa bikin video company profile. Duitnya receh sehingga harus sering nyari projekan. Saya dapat duit dari lomba, kasih pelatihan, revenue penayangan dan projek film pendek. 

Skala "kolam besar" agak lebih baik. Circle ini bisa terhubung dengan modal dari pihak non orang film juga. Aktor yg tenar bisa memperluas sumber pendapatan dgn jadi bintang iklan, brand ambassador, ngisi acara offline dll. Personal branding dan politik orang dalam kenceng di sini. Bisa nyambung ke politik praktis dan birokrasi juga. Banyak orang film pakai leverage ketenarannya terus terjun ke politik. Maka sesuai skalanya, persaingannya lebih keras karena duitnya lebih gede dan kesempatan yg muncul darinya juga gede. 

Jika kamu berada di kolam kecil, maka cari sumber pendapatan lain non film untuk jaga keseimbangan neraca. Rencanakan dari awal niat berkarir. Jika kamu mau pindah kolam, masuki circle yg tepat tapi kamu mungkin akan mengorbankan sesuatu untuk itu. 

Seperti yg saya sebut, kerja freelance itu tiap ada projek. Bisa lho kita berbulan-bulan gak ada projek. Keep in mind. Kerja film agak mirip dengan bertani. Proses nanam beberapa hari saja tapi hasil panennya untuk beberapa bulan berikutnya. Penghasilan satu bulan kerja film idealnya cukup untuk biaya hidup beberapa bulan. Ini hal yg cukup berat untuk kaum kolam kecil karena menabung itu susah. Jadi paham kan kenapa filmmaker sukses rata-rata berasal dari keluarga berkecukupan? Karena ada biaya belajar dan tabungan. Sementara itu distribusi kesempatan seringkali tidak merata. Hanya beredar di circle tertentu saja.

Pertanyaan umum mengenai jenis karir apapun adalah duitnya cukup nggak buat biaya hidup? 

Karir industri seni berbeda dengan kerja kantoran. Orang film yg ngantor itu kebanyakan adalah pekerja yg urusannya administratif di sebuah production house. Produser ngantornya dikit, dia banyak wara-wiri. Sutradara kerja di lapangan. Penulis bisa rebahan. Bagi yg nggak ngantor kebanyakan kerjanya freelance. Yg ngantor dapet duit gaji bulanan sedangkan freelance adalah tiap projek. 

Skala industri film saat ini macem-macem. Yg skala "kolam kecil" kerjanya mulai dari berburu lomba dan dana hibah hingga terima jasa bikin video company profile. Duitnya receh sehingga harus sering nyari projekan. Saya dapat duit dari lomba, kasih pelatihan, revenue penayangan dan projek film pendek. 

Skala "kolam besar" agak lebih baik. Circle ini bisa terhubung dengan modal dari pihak non orang film juga. Aktor yg tenar bisa memperluas sumber pendapatan dgn jadi bintang iklan, brand ambassador, ngisi acara offline dll. Personal branding dan politik orang dalam kenceng di sini. Bisa nyambung ke politik praktis dan birokrasi juga. Banyak orang film pakai leverage ketenarannya terus terjun ke politik. Maka sesuai skalanya, persaingannya lebih keras karena duitnya lebih gede dan kesempatan yg muncul darinya juga gede. 

Jika kamu berada di kolam kecil, maka cari sumber pendapatan lain non film untuk jaga keseimbangan neraca. Rencanakan dari awal niat berkarir. Jika kamu mau pindah kolam, masuki circle yg tepat tapi kamu mungkin akan mengorbankan sesuatu untuk itu. 

Seperti yg saya sebut, kerja freelance itu tiap ada projek. Bisa lho kita berbulan-bulan gak ada projek. Keep in mind. Kerja film agak mirip dengan bertani. Proses nanam beberapa hari saja tapi hasil panennya untuk beberapa bulan berikutnya. Penghasilan satu bulan kerja film idealnya cukup untuk biaya hidup beberapa bulan. Ini hal yg cukup berat untuk kaum kolam kecil karena menabung itu susah. Jadi paham kan kenapa filmmaker sukses rata-rata berasal dari keluarga berkecukupan? Karena ada biaya belajar dan tabungan. Sementara itu distribusi kesempatan seringkali tidak merata. Hanya beredar di circle tertentu saja.

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 1)

Perfilman, sebagaimana kesenian yg lain adalah sebuah ekosistem yg kompleks. Jika kamu ingin berkarir di dalamnya, sebaiknya pahami dulu bagaimana ekosistemnya bekerja. 

Ada setidaknya 12 kategori peran dalam ekosistem perfilman:

1. Filmmaker. Mencakup semua yg terlibat secara langsung dalam produksi film seperti produser, sutradara, aktor, kru dll. 

2. Audiens. Para penonton film. Ini bukan profesi melainkan pasar produk film. 

3. Exhibitor. Pihak pemutar film seperti pengelola bioskop, TV, OTT dll. Festival saya masukin ke kategori ini. 

4. Komunitas. Komunitas adalah tipe audiens yg terorganisir dan berliterasi lebih baik. Tujuannya biasanya non profit. 

5. Pendana. Pihak yg membiayai film entah bermotif komersial atau tidak. Investor termasuk yg komersial. 

6. Distributor. Pihak yg menyalurkan film ke pasar. Di Indonesia peran ini kurang terasa karena biasanya dirangkap dgn exhibitor. 

7. Edukator. Pihak yg mengadakan pendidikan dan pelatihan film baik secara formal maupun non formal. Beberapa komunitas jg melakukan peran ini. 

8. Pengulas. Kritikus atau reviewer yg membuat film terekspos di media. 

9. Peneliti. Biasanya berbasis di lembaga akademik utk meneliti tentang film. 

10. Produsen dan pengembang aplikasi. Korporasi yg bikin alat-alat produksi film.

11. Pengarsip. Lembaga pelestari arsip film. Penting utk edukasi dan sejarah. 

12. Regulator hukum dan perundang-undangan. Bagian dari pemerintah yg mengurusi legal formal industri film termasuk badan usaha pemerintah yg menyangkut film. 

Jadi dengan melihat 12 peran ini kamu bisa memilih mau berkarir di kategori mana. Misalnya sukanya cuma nonton, mungkin bisa jadi kritikus. 

Film adalah industri beresiko sangat tinggi. Berkarir di dalamnya tidak mudah apalagi mulai dari nol. Apa yg saya maksud nol? 

Nol dalam karir perfilman adalah:

1. Tidak sekolah film. 

2. Tidak kenal orang dalam. 

Untuk memulainya, kamu harus belajar setidaknya 1 atau 2 peran dalam ekosistem di atas. Misalnya mau jadi filmmaker. Filmmaker banyak cabangnya. Kita bisa bagi 2 yakni above the line dan below the line. Above the line isinya sutradara, produser, penulis, aktor. Below the line isinya kameramen, perias, kru dll. 

Untuk above the line dari nol. Cara masuknya:

Sutradara, penulis, produser: Mulai bikin film pendek, daftar festival, bangun jejaring, pahami cara kerjanya, dapatkan validasi, masuk industri. 

Aktor: Berperan di film pendek, bangun jejaring, bangun reputasi, ikut casting produksi yg lebih besar, masuk industri. 

Cara di atas tidak mudah. Sainganmu adalah circle-circle yg udah punya jejaring projekan dengan politik dan dramanya. 

Untuk below the line dari nol. Caranya: Daftar jadi kru mulai level paling bawah yakni runner, pelajari cara dan atitude kerja, bangun jejaring, bangun reputasi, masuk industri. Saingan terberat adalah dari anak sekolah film. Mereka sudah terbangun pertemanan dan ilmunya sistematis. 

Untuk semua karir bagusnya dimulai dari literasi film yg baik. Jadilah penonton film yg baik lalu pahami cara ekosistem bekerja.

Perfilman, sebagaimana kesenian yg lain adalah sebuah ekosistem yg kompleks. Jika kamu ingin berkarir di dalamnya, sebaiknya pahami dulu bagaimana ekosistemnya bekerja. 

Ada setidaknya 12 kategori peran dalam ekosistem perfilman:

1. Filmmaker. Mencakup semua yg terlibat secara langsung dalam produksi film seperti produser, sutradara, aktor, kru dll. 

2. Audiens. Para penonton film. Ini bukan profesi melainkan pasar produk film. 

3. Exhibitor. Pihak pemutar film seperti pengelola bioskop, TV, OTT dll. Festival saya masukin ke kategori ini. 

4. Komunitas. Komunitas adalah tipe audiens yg terorganisir dan berliterasi lebih baik. Tujuannya biasanya non profit. 

5. Pendana. Pihak yg membiayai film entah bermotif komersial atau tidak. Investor termasuk yg komersial. 

6. Distributor. Pihak yg menyalurkan film ke pasar. Di Indonesia peran ini kurang terasa karena biasanya dirangkap dgn exhibitor. 

7. Edukator. Pihak yg mengadakan pendidikan dan pelatihan film baik secara formal maupun non formal. Beberapa komunitas jg melakukan peran ini. 

8. Pengulas. Kritikus atau reviewer yg membuat film terekspos di media. 

9. Peneliti. Biasanya berbasis di lembaga akademik utk meneliti tentang film. 

10. Produsen dan pengembang aplikasi. Korporasi yg bikin alat-alat produksi film.

11. Pengarsip. Lembaga pelestari arsip film. Penting utk edukasi dan sejarah. 

12. Regulator hukum dan perundang-undangan. Bagian dari pemerintah yg mengurusi legal formal industri film termasuk badan usaha pemerintah yg menyangkut film. 

Jadi dengan melihat 12 peran ini kamu bisa memilih mau berkarir di kategori mana. Misalnya sukanya cuma nonton, mungkin bisa jadi kritikus. 

Film adalah industri beresiko sangat tinggi. Berkarir di dalamnya tidak mudah apalagi mulai dari nol. Apa yg saya maksud nol? 

Nol dalam karir perfilman adalah:

1. Tidak sekolah film. 

2. Tidak kenal orang dalam. 

Untuk memulainya, kamu harus belajar setidaknya 1 atau 2 peran dalam ekosistem di atas. Misalnya mau jadi filmmaker. Filmmaker banyak cabangnya. Kita bisa bagi 2 yakni above the line dan below the line. Above the line isinya sutradara, produser, penulis, aktor. Below the line isinya kameramen, perias, kru dll. 

Untuk above the line dari nol. Cara masuknya:

Sutradara, penulis, produser: Mulai bikin film pendek, daftar festival, bangun jejaring, pahami cara kerjanya, dapatkan validasi, masuk industri. 

Aktor: Berperan di film pendek, bangun jejaring, bangun reputasi, ikut casting produksi yg lebih besar, masuk industri. 

Cara di atas tidak mudah. Sainganmu adalah circle-circle yg udah punya jejaring projekan dengan politik dan dramanya. 

Untuk below the line dari nol. Caranya: Daftar jadi kru mulai level paling bawah yakni runner, pelajari cara dan atitude kerja, bangun jejaring, bangun reputasi, masuk industri. Saingan terberat adalah dari anak sekolah film. Mereka sudah terbangun pertemanan dan ilmunya sistematis. 

Untuk semua karir bagusnya dimulai dari literasi film yg baik. Jadilah penonton film yg baik lalu pahami cara ekosistem bekerja.

Baca

INDUSTRI, EKOSISTEM DAN KARIR PERFILMAN

 Saya baru membaca curhatan seorang rekan sesama pejuang di perfilman yg menyatakan bahwa karir perfilman membutuhkan backing keuangan dan relasi yg kuat. Dia berjuang selama 2,5 tahun dan merasa mau menyerah saja karena tanggungan finansial pribadi (sebagai generasi sandwich) yg terlalu besar untuk dikover oleh pendapatan lewat kerjaan film. Saya baca kerjaan film yg ia maksud adalah kerjaan "above the line" seperti aktor, penulis, sutradara dll. 

Saya berproses sekitar 19 tahun dan tidak tinggal di Jakarta. Saya pikir apa yg ia nyatakan ada benarnya juga. Film adalah model bisnis beresiko tinggi dan butuh skema pembiayaan yg gede. Artinya klo mau untung gede ya modalnya gede juga. Nggak bisa nanggung. Spektrum ekosistemnya juga lebar. Mulai dari filmmaker kelas paus hingga iwak wader kali cethek macem saya gini. 

Ada yg meragukan bahwa apakah industri film Indonesia itu ada. Patokannya mungkin Hollywood. Kalau saya melihat Indonesia ini model industrinya mungkin beda. Di sini yg saya sebut sebagai "industri" ini adalah aspek ekonomis dari ekosistem perfilman yg lebih luas. Industri ini juga levelnya macem-macem dilihat dari uang yg berputar. Ada film-film kelas kerupuk (yg saya bikin itu) dgn biaya di bawah 10 juta. Ada yg kelas bancakan dengan kisaran 10 - 50 juta dan yg di atasnya tentu kelas "fine dinning".

Idealnya industri tentu harus lebih sustainable. Ada asuransi kerja, ada investasi, ada perserikatan dan juga proteksi pemerintah. Namun tentu itu mau tak mau akan mengikuti sejarah dan kultur di suatu negara. Nah, Indonesia tentu tak sama dgn negara lain. Kita belum memiliki kerapihan dan kestabilan seperti di luar sono. Saya pikir, industri di sini seakan mengikuti angin berhembus. Apa yg lagi laku akan ditiru dan diperas untungnya. Itu wajar saja tapi sayangnya tak diikuti dgn merapikan "bangunan" sistemnya. Akibatnya kalau mau berkarir di bidang ini nggak ada kejelasan. Pertanyaan yg sering muncul adalah "bakal ada project lagi nggak ya?"

Karena film juga perkara kultural, tak semua orang yg main di film berfokus pada uang. Ada sebagian yg merupakan pegiat, kritikus, komunitas dan juga cuma enthusiast aja. Dalam hal ini di Indonesia memang hidup banget. Saya juga berkecimpung di aspek kultural ini lewat komunitas. Dari komunitas ini ada juga yg naik ke level industrial. Portofolio komunalnya jadi batu loncatan. 

Untuk bisa hidup beneran di film memang idealnya kita berada di kelas fine dinning tersebut. Di circle ini biayanya gede, jangkauan gede dan sikut-sikutannya juga lebih "hiakdhez". 

Untuk berkarir di perfilman jalurnya sekarang lebih variatif. Antara lain:


1. Sekolah film

2. Langsung nglamar lewat jalur audisi atau ngekru rendahan

3. Kenal sama orang dalam termasuk keturunan maupun diajak konco

4. Kompetisi termasuk festival. Kalo saya jadi "bounty hunter".

5. Jalur seleb seperti jadi influencer, komika, kreator konten dll. 


Karena tiap "kolam" ikannya nggak sama maka tak ada kepastian untuk karir di film ini. Tergantung masuk kolam yg mana. Jadi klo ada yg buru-buru ngomong "siapa bilang karir di film gak menjanjikan" ya lihat dulu deh jenis kolamnya dan juga circlenya. Ada kolam yg airnya ngalir dan yg berendem di situ orangnya bening-bening. Ikannya banyak dan bisa dijaring pake jala. Nongkrong di pinggirannya aja kebagian. Karena resource yg melimpah ini persaingannya jadi keras. 

Ada juga kolam yg airnya lumutan. Nggak cuma ada ikan tapi ada buaya. Ikannya kadang ada, kadang enggak. Ada satu gede jadi rebutan. Orang malas berendem atau klo ada ya mungkin karena gak tahan gerah. 

Saya memulai perjuangan di film dgn pengetahuan nol dan tanpa koneksi apa pun. Jika anda sempat lihat kemaren saya kenal ini dan itu ya karena saya berusaha bertahun-tahun untuk sampai diketahui mereka. Namun sehari-hari saya adalah wong ndeso yg menggangsir pasir sebelah sungai untuk bikin kolam sendiri dengan mencari iwak wader. Sesekali saya berburu hadiah, nongol di kolam lain namun ujungnya klo berendem ya di kolam bikinan sendiri. 

Apa bisa bertahan? Wah jujur udah mau nyerah berkali-kali. Namun klo berhenti, jalannya bisa lebih gelap daripada prospek Danantara. Ujung-ujungnya saya tetap menjalani demi iwak wader yg sudah kejaring beberapa. Atau mungkin memang di sinilah darma saya. Seperti aku yg mencintaimu seberapapun "mbesengut"mu itu.

 Saya baru membaca curhatan seorang rekan sesama pejuang di perfilman yg menyatakan bahwa karir perfilman membutuhkan backing keuangan dan relasi yg kuat. Dia berjuang selama 2,5 tahun dan merasa mau menyerah saja karena tanggungan finansial pribadi (sebagai generasi sandwich) yg terlalu besar untuk dikover oleh pendapatan lewat kerjaan film. Saya baca kerjaan film yg ia maksud adalah kerjaan "above the line" seperti aktor, penulis, sutradara dll. 

Saya berproses sekitar 19 tahun dan tidak tinggal di Jakarta. Saya pikir apa yg ia nyatakan ada benarnya juga. Film adalah model bisnis beresiko tinggi dan butuh skema pembiayaan yg gede. Artinya klo mau untung gede ya modalnya gede juga. Nggak bisa nanggung. Spektrum ekosistemnya juga lebar. Mulai dari filmmaker kelas paus hingga iwak wader kali cethek macem saya gini. 

Ada yg meragukan bahwa apakah industri film Indonesia itu ada. Patokannya mungkin Hollywood. Kalau saya melihat Indonesia ini model industrinya mungkin beda. Di sini yg saya sebut sebagai "industri" ini adalah aspek ekonomis dari ekosistem perfilman yg lebih luas. Industri ini juga levelnya macem-macem dilihat dari uang yg berputar. Ada film-film kelas kerupuk (yg saya bikin itu) dgn biaya di bawah 10 juta. Ada yg kelas bancakan dengan kisaran 10 - 50 juta dan yg di atasnya tentu kelas "fine dinning".

Idealnya industri tentu harus lebih sustainable. Ada asuransi kerja, ada investasi, ada perserikatan dan juga proteksi pemerintah. Namun tentu itu mau tak mau akan mengikuti sejarah dan kultur di suatu negara. Nah, Indonesia tentu tak sama dgn negara lain. Kita belum memiliki kerapihan dan kestabilan seperti di luar sono. Saya pikir, industri di sini seakan mengikuti angin berhembus. Apa yg lagi laku akan ditiru dan diperas untungnya. Itu wajar saja tapi sayangnya tak diikuti dgn merapikan "bangunan" sistemnya. Akibatnya kalau mau berkarir di bidang ini nggak ada kejelasan. Pertanyaan yg sering muncul adalah "bakal ada project lagi nggak ya?"

Karena film juga perkara kultural, tak semua orang yg main di film berfokus pada uang. Ada sebagian yg merupakan pegiat, kritikus, komunitas dan juga cuma enthusiast aja. Dalam hal ini di Indonesia memang hidup banget. Saya juga berkecimpung di aspek kultural ini lewat komunitas. Dari komunitas ini ada juga yg naik ke level industrial. Portofolio komunalnya jadi batu loncatan. 

Untuk bisa hidup beneran di film memang idealnya kita berada di kelas fine dinning tersebut. Di circle ini biayanya gede, jangkauan gede dan sikut-sikutannya juga lebih "hiakdhez". 

Untuk berkarir di perfilman jalurnya sekarang lebih variatif. Antara lain:


1. Sekolah film

2. Langsung nglamar lewat jalur audisi atau ngekru rendahan

3. Kenal sama orang dalam termasuk keturunan maupun diajak konco

4. Kompetisi termasuk festival. Kalo saya jadi "bounty hunter".

5. Jalur seleb seperti jadi influencer, komika, kreator konten dll. 


Karena tiap "kolam" ikannya nggak sama maka tak ada kepastian untuk karir di film ini. Tergantung masuk kolam yg mana. Jadi klo ada yg buru-buru ngomong "siapa bilang karir di film gak menjanjikan" ya lihat dulu deh jenis kolamnya dan juga circlenya. Ada kolam yg airnya ngalir dan yg berendem di situ orangnya bening-bening. Ikannya banyak dan bisa dijaring pake jala. Nongkrong di pinggirannya aja kebagian. Karena resource yg melimpah ini persaingannya jadi keras. 

Ada juga kolam yg airnya lumutan. Nggak cuma ada ikan tapi ada buaya. Ikannya kadang ada, kadang enggak. Ada satu gede jadi rebutan. Orang malas berendem atau klo ada ya mungkin karena gak tahan gerah. 

Saya memulai perjuangan di film dgn pengetahuan nol dan tanpa koneksi apa pun. Jika anda sempat lihat kemaren saya kenal ini dan itu ya karena saya berusaha bertahun-tahun untuk sampai diketahui mereka. Namun sehari-hari saya adalah wong ndeso yg menggangsir pasir sebelah sungai untuk bikin kolam sendiri dengan mencari iwak wader. Sesekali saya berburu hadiah, nongol di kolam lain namun ujungnya klo berendem ya di kolam bikinan sendiri. 

Apa bisa bertahan? Wah jujur udah mau nyerah berkali-kali. Namun klo berhenti, jalannya bisa lebih gelap daripada prospek Danantara. Ujung-ujungnya saya tetap menjalani demi iwak wader yg sudah kejaring beberapa. Atau mungkin memang di sinilah darma saya. Seperti aku yg mencintaimu seberapapun "mbesengut"mu itu.

Baca
 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved