BAGAIMANA SAYA MENANGANI AUDIO DI FILM SAYA YANG NO BUDGET

Jaman masih kuliah dulu, akses saya ke film cuma dalam format VCD. VCD tu resolusinya cuma 352 x 288. Bandingin aja sama standar kebanyakan video sekarang yang full HD 1920 x 1080. Bahkan full HD aja sebentar lagi bakal digeser sama 4K. Meski demikian, jelas saya gak bisa lupa betapa berjasanya format VCD mendidik saya tentang film. Satu hal yang saya pelajari dari VCD, bahwa gambar yang parah (menurut standar sekarang loh) masih bisa diterima dibanding audio yang buruk. Bagi saya, mending nonton film yang gambarnya buruk tapi audionya bagus daripada sebaliknya.

Saya punya satu shotgun mic (Audio-Technica ATR- 6550) tapi saya nggak selalu punya kru khusus sound. Ini menyulitkan karena musti ada seorang tukang pegang boom pole. Blocking pun juga musti direkayasa agar kamera bebas ambil angle sedangkan audio tercover dengan baik. Lalu saya cobalah nggak pake shotgun mic. Saya pake HP Xiaomi Redmi 2 buat ngrekam. Hasilnya bisa anda denger di tautan yang saya sertakan.

Perhatikan lingkaran merah. Di saku aktor saya taruh HP buat rekam dialog.

Enaknya pake HP, saya jadi lebih bebas menentukan tata kamera. Hasil rekamannya pun tak mengecewakan. Tentu tak seprima shotgun mic profesional. Rekaman audio dari HP banyak yang mengikis detail kualitas. Suara dialog terdengar vintage. Tapi gak masalah. Malah di situ seninya. Soalnya saya penyuka retro dan vintage. Yang saya butuhkan dari audio dialog hanyalah clarity. Di kuping saya, rekaman HP Xiaomi itu udah lumayan. Suara latar, ambience dan lain-lain ditempel saat post production nantinya. Oh iya….bagi yang belum tahu, track dialog dalam film itu mono ya. Kalo suara ambience latarnya stereo.

Untuk scene EXTERIOR, peletakan perekam audio agak tricky

Maka yang terpenting saat syuting adalah mengakali peletakannya. HP itu kadang saya sematkan di saku, saya sembunyikan di latar, bahkan disamarkan sebagai properti. Intinya harus dekat dengan proyeksi suara aktor. Maka aktor juga kita atur blockingnya agar dia memproyeksikan suara ke arah yang tepat. Untungnya si HP ini dirancang agar lebih fokus menangkap dialog. Suara noise dan hiss lingkungan tak akan tertangkap terlalu jelas. Dengan utak-atik dikit di post pro, audionya udah bisa kedengaran pas. Tapi ya itu. Karakternya vintage. Kalau anda mau coba, jangan lupa tertib pakai clapper. Ndak gitu editor anda bisa bunuh diri saking mumetnya nge-sync audio-video.

Saat post pro, audio diedit agar lebih clear dan berkarakter. Levelnya di tiap scene diselaraskan. Kalo ada error dan nggak sempet take ulang, maka saya terpaksa mengakalinya dengan teknik “tambal sulam”. Misalnya ada kesalahan dialog atau ketidak jelasan satu bagian tertentu. Kalau ADR (auto dialogue replacement) nggak mungkin dilakukan, maka saya akan mengganti bagian yang jelek itu dengan audio yang pas.

Lho darimana audionya kalo bukan ADR alias ngrekam audio lagi?

Di sinilah diperlukan kesabaran dan kreativitas. Biasanya saya akan mencari kata yang sama berintonasi sama pula dari bagian lain rekaman audio yang ada. Misalkan jika ada kesalahan dialog, “Aku cinta kamu.” Terus si aktor ngomongnya belibet sehingga yang kedengaran Cuma kata “aku… bla bla bla …kamu”. Maka saya akan mencari di bagian lain di mana si karakter menyebut kata “cinta”. Kata ini lalu saya copy paste ke bagian yang gak jelas itu.

Lha gimana kalo si karakter cuma nyebut “cinta” sekali dan rekamannya rusak?

Nah cara saya gini…saya akan cari suku kata “cin” dan “ta” di seluruh rekaman dialog. Misal saya ambil “cin” dari kata “licin” dan “ta” dari kata “tai” eh maaf…”kita” misalnya. Lalu dua suku kata itu saya gabungkan dengan cermat sehingga terdengar sebagai “cinta” dengan mulus dan jelas. Tentu saja ini ribet banget. Masalahnya kan nggak semua intonasinya bisa pas ama yang kita inginkan. Trus gimana? Ya makanya kita musti ekstra sabar dan ultra kreatif.

Oleh karena audio sangat penting, semua musti diatur baik-baik sejak pre production. Saat saya nulis naskah, saya juga ngebayangin bagaimana menangani audionya. Saya kudu pastikan aktor ngomongnya jelas dan terproyeksi ke alat rekam. Sayangnya di lapangan kontrol sering kurang. Maka bisa dipastikan yang repot adalah saat post pro-nya. Kita akan harus melakukan tambal sulam dengan banyaknya kesalahan dialog. Kita musti mempermak kekurangjelasan rekaman, nge-sync ulang, bahkan juga terpaksa rekam audio ulang. Bikin film indie no budget emang serepot itu.

Okay. Last thing…saya sih dari dulu bukan orang yang selalu mendewakan gadget. Sebisa mungkin mengurangi ketergantungan. Dengan demikian saya bisa bekerja dengan alat apapun dan budget berapapun selama saya suka naskahnya. Lha kalo saya musti nunggu punya RODE dan ZOOM H4N atau TASCAM, ya saya nggak akan bikin film dong hehehehe. Lagian siapa juga yang mo ngasih?

Alat itu nggak guna kalau dengannya anda nggak bisa bercerita. Story is everything. And most of the stories….are told with AUDIO J


NB: Ini adalah film saya yang seluruh audionya pakai HP







Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved