Ini ngomongin sinematografi. Istilah lebih ketatnya
videografi, karena pake kamera video. Bahkan itu juga bukan kamera video
melainkan kamera foto (DSLR) yang bisa video hehehe. Tapi kalo mau debat soal
alat ada banyak sih grup medsos yang bisa anda ikuti. Bagi saya sinematografi
adalah sebuah konsep substansial…sinema, cara tutur visual. Mbok pake kamera HP
sekalipun kalo pake kaidah storytelling ya tetep saya sebut sinematografi.
Banyak sekali orang awam yang pake istilah “sinematik”.
Mengacu pada karya video yang “kefilm-filman”, “mbioskopi”, “milemi” atau
apalah sakkarepnya. Biasanya yang dimaksud adalah video yang di-grade atau
diwarnai ulang, penggunaan aspect ratio ala-ala bioskop yang widescreen, main
aperture lebar alias “bokeh” dll. Terapannya biasanya di video klip, wedding
video, atau company profile video. Saya pribadi gak ada masalah sama istilah
itu. Namun kalo bicara soal cara tutur visual, yakni dimana kita mengatur cara
mengambil gambar agar menceritakan atau menyampaikan sesuatu…istilah sinematik
ini musti punya pertanggungjawababnnya.
Pendekatan saya terhadap sinematografi sampai saat ini adalah
simpel…setiap shot adalah cara batin kita memandang. Ketika saya ingin
merasakan suasana kota, lingkungan, alam dan lain-lain maka saya akan berdiri
di tempat yang luas. Agar saya bisa memandang selebar mungkin. Makanya jika
saya ingin penonton merasakan tempat di mana karakter hadir, saya gunakan ruang
pandang yang luas, detail. Maka lensa wide (dan saya punyanya cuman lensa kit
18-55) adalah yang cocok untuk menangkapnya. Aperture-nya sesempit mungkin agar
mampu menangkap tiap sudut object.
Lain halnya ketika saya ingin penonton merasakan emosi, menangkap
perkataan si karakter. Di situ ruang sudah tak terlalu penting. Maka saya akan
taruh kamera lebih dekat…close up. Lensa 50 mm fixed sudah mencukupi untuk
keperluan ini…lagian saya punyanya cuma itu. Dengan aperture antara 2 sampe 2.8
background akan saya bikin blur biar nggak distraktif. Kayak kalo kita bicara
intens sama seseorang. Kita akan tatap matanya, amati bibirnya, saat itu kita
tak terlalu perhatian sama sekitar. Apalagi kalo ngobrolnya berbisik. Kita
bahkan bisa lihat komedo di hidungnya. Begitu pembicaraan selesai, biasanya
kita akan ambil nafas dan mulai melihat lagi ke sekeliling. Dalam bahasa kamera
yang saya pakai, dari wide aperture kembali ke narrow. Karena itulah kalo ambil
shot dialog, background akan saya bikin jelas lagi ketika pembicaraan dari si
karakter tak terlalu perlu ditekankan. Atau ketika saya ingin hubungan karakter
dan background ditekankan sekaligus, misalnya menunjukkan posisi, pangkat,
kondisi dll. Jadi motivasi saya (sebagai penutur visual) mengikuti rasa batin
apa yang mau ditekankan.
Pokoknya saya memposisikan kamera berdasarkan rasa batin.
Gimana sih rasanya kalo misalnya kita ngobrol atau mengamati sesuatu tapi
posisi kita lebih rendah (low angle)? Atau jika sebaliknya, gimana kalo kitanya
yang lebih tinggi? Pasti ada rasa batin yang berbeda. Kadang saya memposisikan
sebagai diri sendiri, kadang memposisikan sebagai mata orang ketiga. Intinya
mengikuti rasa yang ingin diungkap.
Post a Comment