TONARI NO TOTORO (Hayao Miyazaki 1988), KISAH GENDRUWO DESA BERBULU IMUT

Saya nonton film ini jaman kuliah, dikasih lihat ama dosen kami. Tapi saat itu saya belum terlalu demen monster-monsteran. Jadi ya kesannya biasa aja. Jatuh hati saya pada film ini ternyata tidak bisa pada pandangan pertama. Bertahun-tahun kemudian saat saya nonton ulang (pas mulai demen monster-monsteran) saya mulai bisa menyukai film ini. Mulailah saya sadar bahwa Tonari no Totoro adalah masterpiece animasi dan juga genre film fantasi.


Kisahnya sih simpel, bahkan tanpa konflik. Pada era paska Perang Dunia II, Pak Kusakabe bersama dua anaknya yang masih kecil pindah ke desa, tinggal di sebuah rumah tua. Satsuki si sulung adalah gadis SD yang ceria, selalu antusias dengan alam sekitarnya. Mei, adiknya masih usia PAUD. Sama kayak kakaknya, ia suka dengan alam dan gemar teriak-teriak. Pak Kusakabe sangat menyayangi mereka berdua. Sayangnya kehidupan mereka kurang lengkap karena sang ibu sedang dirawat di rumah sakit.

Hari-hari Satsuki dan Mei diisi dengan bermain di lingkungan sekitar. Rupanya betul bahwa rumah itu "angker". Semak-semaknya menyimpan misteri. Suatu hari Mei berjumpa dengan makhluk halus berbentuk hybrida kucing-beruang-kaiju. Mei memanggilnya Totoro. Totoro nggak banyak bicara. Sesekali ia mengaum dan melenguh. Tinggalnya di dalam ceruk gaib pohon camphor raksasa di bukit belakang rumah. Selain molor sepanjang hari, kadang ia terbang dan naik bis kucing. Totorolah yang membantu Satsuki dan Mei bertemu dengan ibunya di rumah sakit kota lain.

Wis…ngono thok hehehe

Jadi ini memang bukan tipe film yang memanjakan anda dengan plot canggih. Ndak ada konflik kepentingan. Lebih merupakan a slice of (fantastic) life. Cuma kisah dua anak kecil ketemu gendruwo unyu. Tekniknya adalah animasi 2 D yang jujur aja pergerakannya nggak semulus Walt Disney bikin. Tapi saya jamin anda nggak akan terganggu dengan itu. Ada banyak elemen yang menaruh nyawa di film ini.


Melihat sejak scene awal digelar. Pepohonan, jalan setapak desa, tanaman pagar hidup, gemricik air sungai yang bening, rumah tua dengan pekarangan penuh pohon rimbun, tempat rahasia di bawah rerimbun semak. Itu menggali kenangan masa kecil saya. Miyazaki begitu detail menggambarkannya. Kita bisa lihat betapa detail semak-semak dan bunga yang digambar. Seolah anda bisa merengkuhnya menerobos layar. Perhatikanlah adegan Satsuki melihat botol bekas di dasar selokan, saat Mei melihat kerumun kecebong di kolam tua, saat badai menggoyang pucuk pohon dan atap seng, saat hujan malam gelap di tepi jalan, saat butiran air dari dahan menimpa payung… Sebagaimana visualnya, tiap suara film ini juga begitu detail. Suara kecipak air, kepakan sayap belalang, gemerisik dedaunan, biji yang jatuh. Bahkan seolah anda juga bisa membaui hijaunya sawah dan tanah....semua begitu hidup. Melambungkan angan menembus waktu. Dunia Hayao Miyazaki adalah labirin fantasi yang membuat saya kangen masa kecil.

Omong-omong soal masa kecil. Saya dulu lahir di sebuah rumah tua. Ari-ari saya ditanam di rerimbun sirih yang mirip markas peri liliput. Di belakang rumah ada hutan bambu yang dihuni kucing hutan. Sayang sekali sekarang sudah habis dikikis abrasi sungai. Ya, ada sungai di samping rumah kami. Sering saya membayangkan makhluk-makhluk fantasi yang saya baca dari buku dongeng tinggal di sela-sela batang beluntas. Saya juga pernah bermimpi bahwa di bawah akar pohon aren di belakang rumah ada sebuah candi. Imajinasi semacam inilah yang dihidupkan oleh Tonari no Totoro.


Dunia Miyazaki adalah imajinasi tentang alam yang berlapis. Selain manusia, ada juga gendruwo unyu yang suka main occarina di pucuk pohon. Mungkin Miyazaki ingin menggambarkan bahwa begitulah ruh yang menjaga alam pedesaan. Imut, misterius, menentramkan sekaligus agung. Saat adegan Satsuki dan Mei dibawa terbang oleh Totoro naik gasingan, saya jadi ingat mimpi masa balita saya…terbang di atas pedesaan. Melewati pucuk-pucuk pohon dan sawah luas. Mimpi terbang adalah keindahan masa kecil yang sukar dialami lagi di masa dewasa. Coba saja...anda masih bisa mimpi terbang di usia dewasa saat ini?

Semua orkestrasi citra dan swara tentu tak lengkap tanpa hiasan music scorenya. Sebagai soundtrack pembuka, gubahan Joe Hisaishi memadukan gaya march, sedikit sentuhan musik folk Skotlandia (kalo kuping saya gak salah hahaha) dan melodi yang "anak-anak" banget.

Coba nyanyikan lagu yang aslinya diisi vokal Mika Arisaka ini...

Arukou...Arukou   
Watashi wa genki 
Aruku no daisuki   
Dondon yukou
Sakamichi...Tonneru...Kusappara 
Ippon bashi ni  
Dekoboko jari michi 
Kumo no su kugutte   
Kudari michi

(Yo mlaku....yo mlaku...
Girase awakku
Aku senengane mlaku
Gek budhal ayo 
Ing perengan, ing kalenan lan sesuketan
Ing kreteg jembatan lan dalan kang grunjal-grunjal
Jaringe kalamangga 
Ngisor dundunan...)

*) terjemahan waton

Tonari no Totoro tidak memakai struktur naratif standar Barat yang 3 acts itu sebagai daya pikat. Ia menghidupkan kisah lewat detail dan tema. Kita tak akan dibawa cemas melainkan gemas. Tak ada drama yang bikin mewek. Namun setiap jengkal gambar, menyimpan roh. Roh inilah yang mebuat kita selalu kangen untuk nonton ulang film ini (dan juga karya Miyazaki lainnya).

Tonari no Totoro adalah film “spiritual”. Ngelihatnya musti pake hati. Hati itu dari jiwa kita. Animasi dari kata animate, menghidupkan. Dan kehidupan itu soal jiwa. Maka lupakan analisa “ndakik-ndakik bin njelimet”. Pokoknya nonton Totoro dengan hati bisa bikin bahagia hehehe.

Nyanyi lagi... 

Dareka ga, kossori 
Komichi ni, ko no mi  
Uzumete... 
Chiisana me, haetara   
Himitsu no ango 
Mori e no pasupooto 
Sutekina bouken hajimaru...

Tonari no To-to-ro...Totoro   
To-to-ro...Totoro

Ini film yang “nyenengke”.




Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved