SEJARAH RINGKAS FILM INDEPENDEN DI INDONESIA DAN DI KAMPUNG SAYA - BAGIAN VI - VII (dari 13 bagian)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================

 

VI. FILM EKSPERIMENTAL GOTOT PRAKOSA TAHUN 1970-AN

HINGGA GARIN NUGROHO TAHUN 1990-AN 

Setelah pergantian rezim dari orde lama ke orde baru, industri film Indonesia mulai dibanjiri film impor. Untuk mengimbangi derasnya persaingan tersebut, pemerintah sempat memberlakukan kewajiban produksi film bagi pengusaha importir film. Di sisi lain kontrol dilakukan oleh Departemen Penerangan (Deppen) yang berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam). Asosiasi didirikan agar pemerintah bisa mengawasi jika ada kecenderungan penyimpangan dari moralitas yang digariskan negara atau jika ada isu subversif.

Di masa ini untuk menjalani karir perfilman pun harus mengikuti aturan semisal aktor/aktris harus jadi anggota PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), kru film harus jadi anggota KFT (Karyawan Film dan Televisi) dan produser harus masuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia). Lebih detail lagi, untuk menjadi sutradara harus dimulai dengan menjadi asisten selama minimal 4 kali. Belum lagi nanti keribetan di proses distribusi. Harus lulus sensor, harus mengisi sekurangnya 38 lembar formulir sebelum film diijinkan tayang secara publik. Belum lagi alur birokrasinya yang tak cukup satu instansi. Dalam aturan ketat ini, pada kurun 1970an hingga 1980an film nasional mencapai perkembangan puncaknya hingga kemudian terpuruk di tahun 1990an. Sumber daya perfilman kemudian dialokasikan di televisi sementara film-film eksploitatif masih mencoba bertahan di layar lebar.

Pada tahun 1974, Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan Festival Film Mini di mana aturannya adalah film harus dibuat memakai seluloid 8mm. Populernya penggunaam seluloid 8mm melahirkan komunitas bernama Sinema 8 dimotori oleh Johan Teranggi dan Norman Benny. Komunitas ini secara simultan terus mengkampanyekan penggunaan seluloid 8mm sebagai media kreatif. Festival Film Mini tidak lagi diselenggarakan sejak tahun 1981 karena kekurangan dana.

Nama yang patut disebut juga dalam era ini adalah Gotot Prakosa. Gotot menyebut karyanya sebagai "film pinggiran" yakni independen dari arus utama industri. Gatot bereksperimen dengan animasi memakai seluloid bekas yang dilukisi. Filmnya yang pertama "Meta meta" dan "Impuls" (keduanya dibuat pada 1976) memakai pendekatan eksperimental non-naratif semata karena masalah terbatasnya fasilitas. Harga film seluloid mahal. Perlu kita singgung juga bahwa mentor dari Gotot, yakni D.A. Peransi mendirikan Kine Klub yang menjadi ruang diskusi dan eksperimentasi untuk ide-ide non arus utama. Ini melengkapi kebutuhan adanya ekosistem mikro untuk gerakan independen.

Karya Gotot Prakosa termasuk film independen Indonesia awal yang bisa menembus jejaring internasional. Yakni karena keikutsertaannya dalam Oberhausen International Film Festival, Jerman pada tahun 1984. Sepulang dari Jerman, Gotot dan kawan-kawan memulai gerakan komunal bernama Forum Film Pendek sebagai ajang diskusi antara pemerhati film lintas kampus. Forum ini berakhir pada 1986.

Gerakan independen ala Gotot Prakosa tidak bergaung dalam merespon situasi industri perfilman nasional. Perfilman nasional kemudian didominasi oleh film-film komedi slapstick dan film erotik yang makin lama memperparah terpuruknya industri karena buruknya kualitas produksi dan naratif. Bahkan untuk film erotik pun juga nanggung karena berurusan dengan gunting sensor. Kelirihan gaung ini mungkin karena karya Gotot hanya terbatas dibicarakan di kalangan elit terpelajar (mahasiswa film/seni). Di masa ini yang melek film rata-rata adalah kalau tidak wartawan ya orang yang sekolah film. Adapun media untuk bicara film terbatas hanya membicarakan film industri (dan kebanyakan film impor) misalnya majalah Ria Film, Tabloid Bintang, acara Apresiasi Film Nasional di TVRI, acara Cinema-Cinema di RCTI.

Di era 90an awal, ada sutradara muda mulai mencari gagasan baru dan memberontak dari kekangan aturan. Garin Nugroho menolak bergabung dengan asosiasi resmi (KFT) dan nekad menyutradarai "Cinta Dalam Sepotong Roti" (1991). Film ini memenangkan Piala Citra di FFI dan menginspirasi para filmmaker berikutnya untuk lebih berani. Meski begitu, pemberontakan atas status quo yang lebih terasa baru terjadi pada tahun 1998 dengan diproduksinya film "Kuldesak". 

 


VII. KULDESAK DAN GENERASI BARU

FILM INDONESIA PASCA REFORMASI 1998 

Kuldesak (1998) adalah sebuah film omnibus yang disutradarai oleh Mira Lesmana, Riri Riza, Nan T. Achnas, dan Rizal Mantovani. Menentang aturan yang bertahun-tahun dijalankan dalam asosiasi, mereka memproduksi film tanpa melewati jenjang yang baku. Pendanaan dan distribusinya pun dijalankan secara gerilya mengabaikan birokrasi yang ada. Secara teknis, filmmaker Kuldesak mulai merangkul kemajuan yang ada yakni penggunaan kamera video. Secara industri film ini menjadi signifikan karena menjadi film independen nasional pertama yang berhasil menembus jejaring bioskop besar, Cineplex 21.

Harus diingat bahwa pada masa Kuldesak perfilman nasional sedang mati suri. Menurut Lokadata.id, tercatat pada dekade ini produksi film nasional komersial hanya ada 332 film saja, padahal pada dekade 1980-an ada 723 film. Tahun 1998 dan 1999 kemerosotan itu mencapai titik nadir. Dalam periode dua tahun itu, hanya ada delapan film lokal yang masuk bioskop. Krisis ekonomi dan kekisruhan politik menjadi kendalanya. Kemudian sumber daya perfilman teralokasikan di pertelevisian yang mana sinetron merajai wahana tontonan di Indonesia. Imam Tantowi misalnya, sutradara "Saur Sepuh" itu kemudian menulis lebih untuk sinetron. Saat ini bioskop didominasi film impor, sedangkan televisi didominasi sinetron.

Kemunculan Kuldesak dan tumbangnya Orde Baru, memicu serangkaian gerakan pembangkitan perfilman nasional. Pada tahun 1999 sebuah manifesto ditandatangani 13 orang yang tergabung dalam kelompok I-sinema. Kelompok ini menandatangani sebuah manifesto yang agaknya mirip dengan gerakan Dogme 95 di Denmark. Saya membaca catatan peristiwa ini melalui tulisan Eric Sasono.

I-sinema dicetuskan di Jakarta pada 8 Oktober 1999 beranggotakan Riri Riza, Nan Achnas, Richard Buntario, Sentot Sahid, Mira Lesmana, Srikaton M, Enison Sinaro, Ipang Wahid, Teddy Soeriaatmadja, Dimas Djayadiningrat, Rizal Mantovani, Jay Subyakto dan Yato Fionuala. Manifesto tersebut intinya ingin membebaskan diri dari aturan yang sudah ada, mencari gaya artistik yang berbeda serta mencari terobosan cara produksi dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Filmmaker dari I-sinema menghasilkan 5 buah film yakni "Sebuah Pertanyaan untuk Cinta" (Enison Sinaro, 2000), "Eliana Eliana" (Riri Riza, 2002), "Lima Sehat Empat Sempurna" (Richard Buntario, 2002), "Bendera" (Nan Achnas, 2002) dan "Titik Hitam" (Sentot Sahid, 2002). Mereka ini mewakili golongan independen dari kalangan profesional.

Selain kelompok tersebut beberapa film profesional ikut menempuh strategi distribusi independen antara lain adalah "Beth" (Aria Kusumadewa, 2000), "Bintang Jatuh" (Rudy Soedjarwo, 2000), "Satu Nyawa dalam Denting Lonceng Kecil" (Abiprasidi, 2002), "Pachinko and Everyone’s Happy" (Harry Suharyadi, 2000), "Novel Tanpa Huruf ‘R’" (Aria Kusumadewa, 2003), "Betina" (Lola Amaria, 2006), "cin(T)a" (Sammaria Simanjuntak, 2009) dan "Kita Versus Korupsi" (Lasja F. Susatyo, Ine Febrianti, Emil Heradi, Chairun Nisa, 2012).

Ada dua film yang menjadi ikon kebangkitan perfilman nasional setelah era Kuldesak yakni film "Petualangan Sherina" (Riri Riza, 2000) dan "Ada Apa Dengan Cinta" (Rudi Soedjarwo, 2000). Jika kita amati mulai era ini makin banyak tokoh film perempuan. Sederetan nama yang patut kita masukkan dalam amatan kritis antara lain adalah para sutradara perempuan visioner: Nia Dinata dengan "Arisan" (2003) yang juga produser untuk "Janji Joni" (2005), Lola Amaria dengan "Minggu pagi di Victoria Park" (2010) setelah sebelumnya menggarap "Betina" (2006). Mouly Surya yang kelak membuat "Marlina, Pembunuh Dalam Empat Babak" (2017) dan lain-lain.

Tak lupa juga beberapa produser perempuan visioner: Mira Lesmana yang mendirikan Miles Film, rumah produksi di balik "Petualangan Sherina" dan "Ada Apa Dengan Cinta", Meiske Taurisia yang memproduseri film karya Edwin, "Babi Buta yang Ingin Terbang" (2008) sekaligus pendiri Palari Films bersama Muhammad Zaidy, Sheila Timothy yang mendirikan Lifelike Pictures, memproduseri "Pintu Terlarang" (Joko Anwar, 2009) dan lain-lain.

Di masa ini masyarakat juga mulai mendapat akses film lewat menjamurnya rental video. Seingat saya, era reformasi hingga era 2000an akhir adalah masa emas bagi industri rental film. Saat itu platform audio visual di internet masih pada awal perkembangannya. Youtube, platform paling populer baru mulai pada 2005. Akan tetapi ada satu sisi gelap pada masa ini. Pembajakan juga marak terjadi salah satunya sebagai sampingan imbas menjamurnya usaha Warung Internet (Warnet). Tak bisa dipungkiri hal yang berdampak negatif bagi industri ini ikut membantu generasi independen awal jadi melek dengan sinema alternatif.

(Kembali ke Bagian IV - V)                                        (Bersambung ke Bagian VIII)

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved