SEJARAH RINGKAS FILM INDEPENDEN DI INDONESIA DAN DI KAMPUNG SAYA - BAGIAN IX (dari 13 bagian)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================


IX. KOMUNITAS DAN INDIVIDU PERFILMAN INDEPENDEN INDONESIA

SEJAK TAHUN 1999 

Ciri pergerakan film independen pasca reformasi adalah munculnya komunitas dan organisasi non pemerintah. Keberadaan komunitas mendorong lahirnya filmmaker baru. Komunitas menggantikan tradisi hierarkis yang selama orde baru dijalankan oleh asosiasi bentukan negara karena seorang pemula pun bisa langsung menyutradarai. Tak hanya itu, komunitas menyediakan paket lengkap seakan ekosistem yakni sebagai rumah produksi, penyedia talenta, tenaga teknis, ajang pelatihan, penyelenggara pemutaran dan sekaligus ruang kritik pribadi (self-criticism).

Hal terpenting dari komunitas adalah olah jejaringnya. Ketika lebih dari satu komunitas berkolaborasi maka akan terbentuk jalur distribusi tak cuma film namun juga gagasan soal ekosistem maupun industri. Dalam pandangan saya ini secara kultural bisa melampaui daripada sekadar asosiasi. Pertemuan jejaring komunitas biasanya diorganisir lewat festival. JAFF contohnya, memiliki divisi komunitas. Ada pula Temu Komunitas Film Indonesia (TKFI). Pertama kali diadakan pada 2010, TKFI berfungsi sebagai ruang temu dan forum berbagi bagi pegiat komunitas film seindonesia. Pertemuan perdananya, menurut catatan Cinema Poetica sukses mengumpulkan 170 orang dari 93 komunitas film dari Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Bali di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo.

Sedangkan organisasi cakupannya lebih terbatas. Organisasi biasanya lebih formal dan legal dalam menjalankan kegiatan, juga terprogram dan memiliki rancangan pendanaan yang lebih teratur. Pasca Reformasi 1998 mulai tumbuh kesadaran pendistribusian film secara independen oleh organisasi di luar pemerintah dan pengusaha film. Beberapa organisasi ini ada yang berbentuk yayasan, ada yang komunitas, ada yang sekadar forum tanpa struktur dan yang belakangan populer adalah istilah "kolektif". Kolektif adalah kelompok yang memiliki tujuan sama, terorganisir dan memiliki agenda jelas dan biasanya tidak berbasis laba. Istilah yang juga sering dipakai belakangan adalah "inisiatif" (initiative).

Perkembangan pesat internet memungkinkan banyak perubahan pola dalam jejaring perfilman. Jika dulu terpusat, sekarang menyebar. Jika dulu mensyaratkan pendidikan formal, sekarang lebih mengutamakan portofolio. 

Pada bagian ini saya lebih menyorot organisasi, komunitas atau kelompok yang bergerak di luar kampus. Untuk kelompok yang berbasis kampus saya tulis pada bagian tersendiri.

Mengenai individu, fokus saya adalah para sutradara dan atau produser dengan asumsi bahwa merekalah yang paling punya kuasa untuk memutuskan independen atau tidak. Saya memilih mereka berdasar amatan kritis yakni para peraih penghargaan atau yang karyanya punya kiprah signifikan secara komunal maupun kultural. Saya akan menelusuri jejak-jejak penting mereka yang berperan dalam perkembangan film independen Indonesia sejauh ini. Bagaimanapun, cara penelusuran ini juga bisa menimbulkan pertanyaan. Bagaimana jika sang tokoh untuk saat ini sudah tidak lagi independen? Karena sangat lazim film independen dijadikan batu pijakan ke industri. Atau bagaimana jika sang individu ternyata tidak konsisten? Misalnya sudah tak membuat film lagi. Maka sebagai jalan tengah, saya akan mengutamakan lebih pada karya mereka daripada keputusan personalnya (masih independen atau tidak).

Saya mencoba mengurutkannya berdasar geografis dan sebisa mungkin juga berdasarkan waktu. Meski berusaha mencakup secara urut dan lengkap, saya menyadari mungkin tetap ada yang terlewat. Tak selalu tokoh yang punya kiprah signifikan terdata dengan baik, dan ini kelemahan umum jurnalisme di Indonesia. Sebisa mungkin saya melakukan crosscheck antar informasi yang ada di internet dan jika mungkin menanyai orangnya langsung.

Di ujung bab ini saya juga sempatkan menyinggung aktivitas komunal yang tidak berada dalam wilayah tertentu yakni forum internet. Forum ini menurut saya punya kontribusi nyata dalam perkembangan gerakan film independen Indonesia. 

JAKARTA, JAWA BARAT DAN SEKITARNYA

Di tahun 2003 di Jakarta, Organisasi Boemboe didirikan oleh Lulu Ratna dan kawan-kawan. Organisasi Boemboe merupakan organisasi nonprofit yang bertujukan untuk mempromosikan dan mendistribusikan film pendek dari Indonesia. Beberapa nama terkemuka yang pernah bersinergi dengan program Organisasi Boemboe antara lain Jason Iskandar (nominator Film Pendek Terbaik di 25th Singapore International Film Festival, pendiri Antelope Studio), Andibachtiar Yusuf (peraih Piala Citra pada FFI 2008 kategori Dokumenter Terbaik) dan Ucu Agustin (film terpilih di Berlin International Film Festival 2009 kategori dokumenter). Organisasi ini juga aktif memperkenalkan film pendek dari berbagai daerah di Indonesia. 3 Cities Short Film Festival, misalnya. Festival dua tahunan oleh Organisasi Boemboe yang pernah berlangsung pada 2006, 2008, dan 2010 ini mencoba memperkenalkan film-film buatan Cirebon, Salatiga dan Jember pada khalayak. Selain kegiatan tersebut Boemboe juga menyediakan diri sebagai konsultan festival film dan kurator.

Pada tahun 2003 sekelompok mahasiswa ilmu komunikasi, seniman, peneliti dan pengamat kebudayaan mendirikan Forum Lenteng di Jakarta. Fokus dari organisasi nirlaba ini adalah media dan seni. Organisasi ini memproduksi, melakukan dokumentasi, penelitian dan juga distribusi. Forum Lenteng juga aktif mengadakan program kuratorial, simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika sinema mutakhir terutama dokumenter. Salah satu andalan program dari organisasi ini adalah ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival. Menurut website resminya, festival ini bertujuan untuk membaca fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui sinema. ARKIPEL menjadi festival berbasis Indonesia yang prestijius secara internasional karena pernah diikuti sampai 60 negara.

In-Docs adalah organisasi budaya yang berfokus pada film dokumenter. Pada tahun 2017, Good Pitch Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh In-Docs menggalang dana lebih dari USD 160.000 dan menjalin lebih dari 100 kemitraan baru untuk dampak film tersebut. Film-film yang didukung In-Docs telah ditampilkan dan memenangkan penghargaan di festival film di seluruh dunia, termasuk IDFA, Festival Film International Rotterdam, Festival Film Dokumenter Sheffield, Festival Film Internasional Singapura, MOMA Doc Fortnight, dan lain-lain. Film-film yang pernah terpilih dalam Good Pitch Indonesia antara lain: "Hidup dengan Bencana" (Yusuf Radjamuda), "Menggapai Bintang" (Ucu Agustin) dan "Waste On My Plate" (David Darmadi). Amelia Hapsari, Program Director di In-Docs sejak 2012 yang juga produser dari film "Jagoan ala Ahok" (2012) dan "Rising from Silence" (2016) adalah orang Indonesia pertama yang menjadi juri Piala Oscar.

Pasca reformasi infrastruktur internet berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menjadi latar berdirinya ButtonIjo. ButtonIjo adalah merupakan kolektif produksi dan inisiatif distribusi film-film alternatif, dirintis oleh Amir Pohan dan Myrna Paramita pada 2010. ButttonIjo berfokus pada distribusi film online sehingga peredaran film tidak harus bergantung pada bioskop dan festival saja. Ada tiga program yang sedang dan akan digalakan oleh ButtonIjo yakni: distribusi online (via streaming), distribusi offline (via USB Sinema), dan film funding (pendanaan film). Beberapa film yang sudah mendapat dukungan pendanaan Buttonijo antara lain: "Ayam Mati di Lumbung Padi" (Darwin Nugraha), "Rocket Rain" (Anggun Priambodo), "Another Trip to the Moon" (Ismail Basbeth), "Riding the Light" (Jeihan Angga) dan "Langit Masih Gemuruh" (Jason Iskandar).


Ada beberapa filmmaker yang patut disebut dalam amatan kritis yang aktif dari wilayah Jakarta dan sekitarnya.

·         Harry "Dagoe" Suharyadi. Dikenal sebagai salah satu aktor dalam Kuldesak. "Pachinko & Everyone's Happy" (2000) yang diputar bergerilya di kampus-kampus merupakan gerakan awal pasca Kuldesak. Love Potpourri (2008), terpilih menjadi Best Asian Film di Singapore International Film Festival 2009. Filmnya yang lain adalah "Sunya" (2013). 

·         Dennis Adhiswara. Lebih dikenal sebagai aktor film industri sebagai Mamet di "Ada Apa dengan Cinta" (Rudi Soedjarwo). Menutut catatan Eric sasono Dennis juga lebih dulu terkenal di kalangan anak-anak sekolah yang gemar membuat film pendek di akhir dekade 1990-an berkat perannya di film “Hampir Jam 5, Kita Harus Pulang!” yang merupakan film pemenang festival film independen yang diselenggarakan oleh Yayasan Konfiden. "El Meler" (2001) termasuk film independen awal yang menempuh distribusi gerilya. 

·         Paul Agusta. Kiprahnya lebih banyak di "bawah tanah" lewat filmnya "Kado Hari Jadi" (2008), "Dari Pisau Mana" (2012), "Ngilu" (2016). Film Panjang terkemukanya adalah “Daysleepers” (2018). Selebihnya ia aktif sebagai aktor dan memberikan pelatihan keaktoran. Penampilannya di film "A Copy of My Mind" (Joko Anwar, 2015) memberinya Nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik di Piala Citra Festival Film Indonesia 2015. 

·         Edwin. Film debutnya "Babi Buta Yang Ingin Terbang" (2008) menang FIPRESCI Prize di International Film Festival Rotterdam. "Post Card From The Zoo" (2012) masuk The 62nd Berlin Film Festival. Sedangkan "Posesif" memberinya Piala Citra untuk Sutradara Terbaik di FFI 2017. Film adaptasi novel Eka Kurniawan “Seperti Dendam, Rindu harus Dibayar Tuntas” (2021) memenangkan penghargaan Golden Leopard di Locarno Film Festival.

·         Sidi Saleh. "Fitri" masuk dalam International Short Film Festival Clermont-Ferrand 2014. "Maryam" (2017) menang Orizzonti Award for Best Short Film di The Venice Film Festival 2017. Sidi merupakan sinematografer yang juga berkolaborasi bersama Edwin. 

·         Teddy Soeriaatmadja. Film yang mengangkat namanya adalah "Banyu Biru" (2005), remake "Badai Pasti Berlalu" (2007) dan "Lovely Man" (2011). Jauh sebelum itu, film pertamanya "Culik" (1998) diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest). Film ini mengenalkan Teddy pada Mira Lesmana dan Riri Riza yang baru saja menyelesaikan film Kuldesak. Teddy telah 3 (tiga) kali dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik dan filmnya sebagai Film Terbaik; 2006 dalam "Ruang", 2009 dalam Ruma Maida, dan 2012 dalam Lovely Man, namun belum pernah memenangkannya. 

·         Andibachtiar Yusuf. "Hardline" (2004) terpilih sebagai Official Element World Cup 2006 yang membawanya mengikuti program Berlinale Talent Campus di Jerman."The Conductors" (2008) memenangkan Piala Citra di FFI 2008 untuk kategori Film Dokumenter Terbaik. Ia juga dinominasikan dalam kategori Penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Love for Sale di FFI 2018. 

·         Richard Oh. Juga seorang sastrawan yang bersama Takeshi Ichiki merupakan perintis perhelatan Kusala Sastra Khatulistiwa. Film debutnya adalah "Koper" (2006). Filmnya antara lain "Melancholy is a Movement" (2015). 

·         Lucky Kuswandi. Dikenal sebagai sutradara "Madame X" (2010), namun kiprah independennya lebih dikenal lewat "The Fox Exploits The Tiger's Might" (2015) yang menjadi sorotan di Pekan Kritikus Festival Film Cannes 2015. 

·         Andri Cung. "Payung Merah" (2010) Film Pendek Terbaik di @Screen Singapore International Film Festival 2011 dan nominasi Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2011. "The Sun, The Moon & The Hurricane" (2014) mendapatkan nominasi sebagai sutradara pendatang baru terbaik di Vancouver International Film Festival 2014. 

·         Edward Gunawan. Naskah Panjang Terbaik di acara Jakarta International Film Festival tahun 2006. Nominasi Film Pendek Terbaik untuk film "Payung Merah", bersama Andy Cung di Festival Film Indonesia 2011. Nominasi Film Pendek Terbaik untuk film Dino di Festival Film Indonesia 2013. "Adam" (2013) meraih Jury Prize Winner sebagai Best Short Film pada New York City International Film Festival 2013. 

·         Yudho Aditya (kelahiran Jakarta lalu pindah ke USA umur 9 tahun). "Pria" (2017) memenangkan Best Short Film di Hawaii International Film Festival 2017, Audience Award — New York Lesbian and Gay Film Festival 2017 dan VC FilmFest - Los Angeles Asian Pacific Film Festival 2017. Karyanya yang lain "Pipe Dream" diputar di 30 festival film dan dikembangkan jadi web series oleh Warner Brothers Television. 

·         Jason Iskandar. Mendirikan Antelope Studio awalnya berupa komunitas pada 2011. Kini Antelope menjadi production house yang selain menggarap proyek komersial juga membikin film pendek peraih penghargaan. "Teritorial Pissing" (2010) menjadi film pendek terbaik di JAFF. 

·         Monica Vanesa Tedja. "How to Make a Perfect Xmas Eve" (2013) menjadi Best Film di XXI Short Film Festival, diikuti dengan "Sleep Tight Maria" (2015) yang menjadi pemenang dalam Festival Sinema Prancis 2015. Pada tahun 2015 dia melanjutkan studi film di Berlin. 

·         Candra Aditya. Mengangkat isu urban vs rural dalam produksinya yang minimalis, "Ngabuburit" (2016) dan "Dewi Pulang" (2016). Dewi Pulang menjadi tema diskusi dalam Asia At the Crossroads 2020, sebuah forum diskusi yang dilakukan oleh para akademisi dan antropolog dari 4 negara. 

·         Adi Victory. "Lasagna" (2019) yang diproduksi setelah memenangkan Short Film Pitching Project di Europe On Screen 2018. Film ini beredar ke beberapa festival internasional dan juga secara bergerilya lewat pemutaran non reguler. 

·         Orizon Astonia. “Pingitan" dan "Lewat Sepertiga Malam" masuk di seleksi JAFF 2013 dan diputar pula di XXI Short Film Festival 2014. Kedua film itu didiskusikan di banyak forum apresiasi film. 

·         Winner Wijaya. "Ojek Lusi" (2017) Nominator Film Dokumenter Terbaik FFI. Winner juga menjadi finalis Piala Maya untuk "Hai, Guys. Balik Lagi Sama Gue, Tuhan!" (2020). 

·         Robby Ertanto. Dikenal sebagai sutradara "Ave Maryam" (2018) yang jadi Official Selection Cape Town International Film Market (CTIFM&F), HANIFF ( Hanoi International Film Festival) dan Hongkong Asian Festival. Nominator Piala Citra di FFI 2010 untuk film "7 Hati 7 Cinta 7 Wanita" dalam kategori penulis skenario terbaik. "Dilema" (2012) meraih penghargaan Best Feature Film di International Festival of Detective Film Moscow, Rusia 2012 dan juga Nominator "Film ter-Favorit" at the di Indonesian Movie Awards 2012. 

·         Rhavi Bharwani. "Jermal" (2008) tayang di Festival Film Internasional Busan pada bulan Oktober 2008. Pada FFI 2009 film tersebut mendapatkan Nominasi Pemeran Utama Pria (untuk Didi Petet) dan Nominasi Tata Artistik (untuk Budi Riyanto Karung). "27 Steps of May" (2019) tayang di Bengaluru International Film Festival (Biffes), Mar Sharm El Sheikh Asian Film Festival (SAFF) dan Cambodia International Film Festival (CIFF). Film ini memenangkan Piala Citra di FFI 2019 untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik (Raihaanun). 

·         Emil Heradi. "Night Bus" meraih Film Terbaik Festival Film Indonesia 2017. 

·         Makbul Mubarak. Kritikus film di Cinema Poetica. Filmnya antara lain "Sugih" (2015), "Serpong" (2015), "Irasaimase" (2016), dan "Ruah" (2016). "Ruah" meraih penghargaan Film Pendek terbaik FFI 2017. 

·         Giovanni Rustanto. "Lily of the Valley" dianugrahi Remi Winner di 53rd Annual Worldfest-Houston International Film Festival 2020, masuk seleksi Festival Raices 2020 dan Urbanworld 2020. 

·         Reinhard Maychaelson. Rein Maychaelson menang penghargaan the Rising Filmmaker award di Popcon Asia 2018. "Udin Telekomsel" masuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival yang juga terpilih sebagai Viddsee Juree Awards pada 2016. Maychelson juga ikut serta di XXI Short Film Festival, San Francisco Indonesian Film Festival, Los Angeles Indonesia Film Festival, Bangkok International Film Festival dan Europe on Screen. 

·         Sigit Pradityo. Film eksperimentalnya "Kurung Manuk" (2016) mendapat 5 penghargaan sekaligus: Winner of Jury Award, Best Underground Feature, Best Experimental feature, Best Foreign Language Feature, serta Best First Feature di Los Angeles Underground Film Forum (LAUFF 2016). Setelah itu didistribusikan oleh Troma Entertainment, sebuah distribution company Amerika khusus untuk genre eksploitasi yang sudah aktif sejak tahun 1974. 

·         Azzam Fi Rullah dan Alzein Merdeka. Dikenal sebagai Amer Bersaudara. Karyanya antara lain "Goyang Kubur Mandi Darah" (2018), "Kuntilanak Pecah Ketuban" (2018) dan "Azabku Azabmu" (2018). Amer Bersaudara mengusung genre film eksploitatif (B Movie) yang diedarkan secara independen pada pemutaran-pemutaran lokal dan juga online platform. 

Dari sederetan nama tersebut saya perlu sebut Rudi Soedjarwo secara khusus. Rudi dikenal secara nasional lewat "Ada Apa Dengan Cinta" (2000). Meski mengawali dengan film-film industri, belakangan Rudi bergerak secara independen antara lain dengan menjadi mentor beberapa talent dan calon sutradara muda. Misalnya pada 27, 28 dan 29 November 2015 dia menyelenggarakan Festival Film Rumah Terindah yang meluncurkan 3 film hasil karya muridnya yang telah mengikuti workshopnya: "Skenario Tuhan" (Joel Fadly), "Bara Di Negeri Hujan" (Otoy Witoyo) dan "Helldresser" (Otoy Witoyo). Film tersebut diputar di di CGV Blitz cinema, Pacific Place, Jakarta (non reguler) dengan tiket berbayar. Dari pantauan saya di media sosialnya, instagram, Rudi kerap mempertanyakan makna independen bahkan hingga ke aspek platform exhibisi.

Sementara itu dari kategori dokumenter ada beberapa nama yang terkemuka.

·         Lexy Junior Rambadeta. Filmmaker dokumenter pendiri rumah produksi Offstream. Offstream bekerjasama dengan KITLV di Belanda membuat suatu proyek film dokumenter yang dikatakan akan berjalan paling tidak untuk 100 tahun. Lexy juga mendapatkan penghargaan di Festival Film Dokumenter, Jakarta International Film Festival, dan SET Award. Karyanya antara lain "Sex, Lies, & Cigarettes" (2011), "Islam’s Deadly Divide" (2011), "World’s Toilet Crisis" (2010), "Faces of Everyday Corruption in Indonesia" (2006), "Youth On The Edge" (2004), dan "Bade Tan Reuda (Aceh’s Never ending Tragedy)" (2003). 

·         Ismail Fahmi Lubis. Menjadi tutor untuk Documentary Master Classes di Jakarta International Film Festival (JIFFEST) pada 2006 dan 2007. "Tarling is Darling" (2017) diputar di Busan International Film Festival dan mendapat Special Jury Mention award di Taiwan International Film Festival 2018."Help Is On The Way" memenangkan Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2019. 

·         Yuda Kurniawan. Meraih NETPAC Award (Network for the promotion of Asia Pasific Cinema), sebuah penghargaan yang diberikan kepada Sutradara Asia yang menunjukkan kontribusi penting bagi gerakan sinema Asia baru. "Nyanyian Akar Rumput" (2018) jadi Pemenang Piala Citra FFI 2018 Untuk kategori film dokumenter panjang terbaik dan telah diputar dilebih dari 20 festival film baik di dalam maupun luar negeri. Nyanyian Akar Rumput juga telah diputar serentak di jaringan bioskop komersial pada 16 Januari 2020 yang lalu. 

·         Shalahuddin Siregar. "Pesantren" (2018) menang Piala Citra FFI 2018 untuk kategori Film Pendek Dokumenter. Film ini juga diputar di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA) 2019 pada 20 November 2019.

Kita bergeser ke Jawa Barat.

Forum Film Bandung berdiri pada tahun 1987, digagas oleh sejumlah wartawan, akademisi, pengamat film dan budayawan Bandung yang memiliki perhatian besar terhadap perfilman. Anggotanya antara lain Chand Parwez Servia, Prof. Saini K.M., Eddy D. Iskandar, Prof. Jakob Soemardjo, Prof. Dr. Sudjoko Danoesoebrata, dan Duduh Durahman. Forum Film Bandung sempat menggegerkan pemerintah pada tahun 1988 ketika menyelenggarakan Festival Film Bandung yang dianggap mau menandingi FFI. Akhirnya istilah Festival diganti menjadi forum dan dari situ nama Forum Film Bandung ditetapkan.

Di Sukabumi ada Sukabumi Sinema Indie Forum. Komunitas ini pernah menjadi tuan rumah (berkolaborasi dengan media Spektakel) untuk acara Temu Komunitas Film Indonesia (TKFI) pada 23-25 Maret 2018 di Gedung Seribu Cahaya, Jalan Limus Nunggal Cibereum.

            Nama yang menarik untuk diikuti secara kritis antara lain:

·         Ariani Darmawan. Sejak tahun 2004 ia terlibat dalam kelompok inisiatif seniman VideoBabes bersama Prilla Tania dan Rani Ravenina. Film-film yang di buat dengan 10 pembuat film Indonesia yang membawa proyek omnibus 9808. "Anak Naga Beranak Naga" (2005) tayang di Goteburg Art Festival, Swedia (2006) dan Singapore International Film Fesival, Singapura (2008). "Sugiharto Halim" (2008) tayang di Clermont-Rotterdam International Film Festival, Prancis (2008) dan Rotterdam International Film Festival, Belanda (2009). Film tersebut juga yang memenangkan kategori Film Terbaik dan Film Favorit Pemirsa di Festival Film Pendek Konfiden 2008. Ariani adalah pendiri Kineruku. 

·         Roufy Nasution. Lahir di Jakarta, besar di Medan lalu pindah ke Bandung. "Barakabut: The Fire Longing For The Mist" (2017) mendapat Special Mention Jury Award di ReelOzInd Australia Indonesia Film Festival 2017 serta diputar di Seashorts Film Festival 2018 di Penang, Malaysia dan Images Forum Festival 2018 di Tokyo, Jepang. "The Boy with Moving Image" (2020) menjadi Pemenang Film Panjang Non-Reguler Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021. 

·         Ucu Agustin. Asal Sukabumi. Ucu adalah filmmaker dokumenter yang memulai karir sebagai wartawan. Pemenang Lomba Menulis Skenario yang diselenggarakan Jakarta International Film Festival pada tahun 2005, yang kemudian menghasilkan "Death in Jakarta"."Ragat'e Anak", salah satu film dari antologi berjudul "Pertaruhan" diputar di seksi Panorama di Festival Film Internasional Berlin pada tahun 2009. Filmnya merupakan film Indonesia pertama yang diputar di seksi Panorama. "Sejauh Kumelangkah" (2019) memenangkan Piala Citra untuk Film Dokumenter Pendek Terbaik FFI 2019. 

JAWA TENGAH, JOGJAKARTA DAN SEKITARNYA

Sejak 2004 di Purbalingga, Jawa Tengah, menurut Bowo Leksono sudah ada para pembuat film secara independen. Film-film ini diputar ke sekolah-sekolah setingkat SMP dan SMA di Purbalingga untuk diapresiasi. Tidak lupa film-film itu dikirim untuk diapresiasi di luar Purbalingga, salah satunya ke Pesta Sinema Indonesia (PSI) di Purwokerto. Bowo Leksono mengawali karir filmnya dengan Peronika (2004) yang kemudian mengawali perjalanan komunitas film di Purbalingga untuk seterusnya. Di kemudian hari, Bowo lebih fokus untuk menjadi edukator film dan aktivis.

Pada 4 Maret 2006, para pegiat film pendek di Purbalingga bersepakat membentuk komunitas bersama bernama Cinema Lovers Community (CLC) yang dipimpin oleh Bowo Leksono. Kegiatan CLC adalah memfasilitasi kegiatan perfilman berbasis komunitas di Purbalingga. Karena konflik dengan pemerintah setempat sejak 7 Juli 2007, CLC menggelar festival film yang pertama—saat itu masih bernama Parade Film Purbalingga (PFP). Salah satu program PFP adalah memutar seluruh film pendek Purbalingga yang diproduksi dari 2004 hingga 2007 dari pagi hingga malam hari. Masih menurut Bowo Leksono, total film berjumlah 30 dan sebagian adalah karya pelajar. Selain pemutaran film, program PFP adalah diskusi, pameran, pentas seni, dan penghargaan film favorit penonton. Parade Film Purbalingga kemudian berganti nama menjadi Festival Film Purbalingga (FFP). FFP masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat. Film independen terkemuka dari sini misalnya "Lawuh Boled" (Misyatun, 2012) peraih Debut Penyutradaraan Berbakat Piala Iqbal Rais pada Piala Maya 2013.

Di Tegal, Sinema Pantura didirikan sejak 2017 oleh Wicaksono Wisnu Legowo. Sebagai imbas dari kesuksesan film "Turah" yang disutrdarai oleh pendirinya, komunitas ini didirikan untuk menjadi jejaring para pelaku perfilman di tegal. Sinema Pantura mengadakan kegiatan produksi, pemutaran dan diskusi serta bekerjasama dengan pemerintah setempat.

Komunitas Sinema Semarang (KSS) didirikan sekitar pertengahan Agustus 2011, dimotori oleh beberapa orang kameramen profesional. Komunitas ini digerakkan oleh Andy Kusworo dan kawan-kawan. Program lain komunitas ini adalah Bioskop Rakyat (Biora). KSS juga sering mengisi workshop mengenai sinematografi di berbagai lembaga pendidikan, seperti kampus dan sekolah. Pada 2012 KSS mengadakan Lawangsewu Film Festival. Selain acara KSS juga memiliki divisi Perpustakaan Film yang menurut Andy memiliki koleksi tak kurang dari 97 film yang terdiri dari film fiksi dan film dokumenter.

Di kota yang sama Ruang Film Semarang (RFS) didirikan pada tanggal 14 Desember 2013 oleh Yulia Hesti Nurnaningsih yang berasal dari Temanggung. Keanggotaan RFS lebih terbuka pada siapa saja, tidak harus yang sudah lama di perfilman, orang yang awam bisa bergabung. Ruang Film Semarang aktif membuat pemutaran alternatif, menyelenggarakan lokakarya, memproduksi dan mendistribusikan film.

Masih di Semarang, Ardian Agil Waskito dan kawan-kawan mengelola Sineroom sejak 29 Juli 2015 sebagai kolektif sinema alternatif yang bergerak di ekshibisi dan apresiasi film. Komunitas ini menggelar pemutaran film, diskusi dan produksi film di Semarang.

Di Solo Zen Al-Ansory bersama teman-teman mendirikan Kisikelir. Kisikelir memutar film-film alternatif di ruang alternatif pula misalnya layar tancap dan di kafe. Selain memutar film hasil kurasi internal, Kisikelir juga mendapat film bekerjasama dengan para distributor. Tak hanya memutar, ada pula acara diskusi. Kegiatan mereka juga diliput oleh media cetak lokal.

Konfik (Komunitas Film Klaten) lahir sekitar tahun 2014 oleh beberapa anak SMK yang baru saja lulus. Konfik memiliki agenda tahunan yaitu pemutaran film/screening, workshop, diskusi film dan juga produksi film. Konfik menghasilkan beberapa film berprestasi seperti "Topo Pendem", "Lilakno" dan "Kemanten" (semuanya disutradarai Imam Syafi'i).

Di Jawa Tengah ada beberapa individu filmmaker yang menarik kita amati.

·         Wicaksono Wisnu Legowo dari Tegal. "Turah" (2017). Turah memenangi antara lain 3 kategori sekaligus dalam Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, juga kategori Asian Feature Film Special Mention di Singapore International Film Festival. Tahun 2017, Turah dipilih untuk mewakili Indonesia dalam mengikuti ajang Academy Award ke-90 melalui kategori Film Berbahasa Asing Terbaik. 

·         Tunggul Banjaransari lahir di Surakarta bekerja di Semarang. "Udhar" (2014) masuk Thai Short Film and Video Festival 2016 dan mendapatkan penghargaan Light of Asia (Film Pendek Terbaik) atau Blencong Award Best Asian Short Film di JAFF Netpac 2014. "Canggung" (2013) masuk dalam International Competition Arkipel Documentary and Experimental Film Festival 2013, Official Selection Jakarta International Film Festival 2013 dan Nominasi Film Dokumenter Terbaik Piala Maya 2013. "Liburan Keluarga" (2013) Best Film di Ganesha Film Festival 2014, Best Sinematografi di Ganesha Film Festival 2014. Tunggul menjadi dosen di Prodi Film & TV Udinus Semarang. 

·         Bani Nasution asal Solo. “Sepanjang Jalan Satu Arah” (2016) menjadi finalis di Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2016, mendapat penghargaan Special Jury Mention pada Sea Short Film Festival 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia dan dipilih oleh tim programming Minikino menjadi salah satu film pendek dalam program S-Express 2017 Indonesia. Ia bersama 4 sutradara Indonesia yang lain (Andrianus “Oetjoe” Merdhi, Wahyu Utami Wati, Tunggul Banjaransari dan Rahung Nasution) juga pernah terpilih dalam program "5 Pulau 5 Desa" dan mendapat kesempatan untuk membuat film dokumenter di Jerman. Program tersebut dikonsep dan dikerjakan oleh Goethe-Institut di Indonesia dan Universitas Seni Hamburg atau HFBK Hamburg (Hochschule for Bildende Kuste Hamburg). Lima karya film dokumenter yang dibuat di Jerman selama kurang lebih tiga minggu tersebut diputar di ARKIPEL – International Documentary and Experimental Film Festival 2017 di Jakarta. 

·         Fanny Chotimah dari Solo. "You and I" meraih penghargaan film terbaik di Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival, juga masuk dalam nominasi Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2020 dan juga Pemenang Film Dokumenter Panjang Terpilih Piala Maya 2021. 

·         Imam Syafii dari Klaten. "Lilakno" masuk nominasi di Asian American International Film Festival 2018 dan "Kite" masuk Global University Film Award di Hongkong 2018. "Topo Pendem" masuk nominasi FFI 2018. "Kemanten" terpilih sebagai ‘Semi-Finalist’ di Student Academy Awards (Oscars) dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences, Hollywood, California, bersaing dengan 1.468 film dari seluruh dunia. Kemanten juga masuk dalam Official Selection pada JAFF 2020. Bersama teman-temannya, Imam Syafi'i juga mengembangkan komunitas film di daerahnya yang diberi nama Komunitas Film Klaten (KONFIK). 

Di Jogja ada lebih banyak lagi filmmaker yang mewarnai perfilman nasional. Pada tahun 2003 ada "Homeland" karya Gangsar Waskito bersama Studio Kasat Mata. Homeland merupakan film animasi CGI 3D panjang pertama di Indonesia. Film ini diputar secara bergerilya dalam roadshow Ke-13 kota antara lain Denpasar, Menado, Balikpapan, Pontianak, Jember, Solo, Batam, Padang, Lampung dan Purwokerto. Film ini menyabet dua penghargaan, yakni Winner Bali International Film Festival 2004 dan Winner Indonesian Animated Film Festival 2005. Bicara soal animasi, konon Jogja adalah salah satu kantong utama penghasil film animasi. Yang terkemuka antara lain Bening Studio (studio animasi pertama di Jogja) yang menjual filmnya dalam bentuk VCD, ada Urak-Urek Studio, Imunimasi Studio dan lain-lain.

Montase adalah komunitas film independen yang dibentuk pada tahun 2005 di Kota Yogyakarta. Awalnya, mereka adalah sekumpulan para penikmat film yang berbagi info dan berdiskusi tentang film. Komunitas ini juga menerbitkan buletin sejak tahun 2006, bernama “Buletin Sinema Independen Montase”. Buletin Montase terbit hingga 27 edisi, berisi pengetahuan dan ulasan film, baik mancanegara maupun lokal, serta artikel lepas yang terkait film. Setelahnya, Buletin Montase vakum sejak tahun 2012 dan hingga pada pertengahan tahun 2015 digantikan oleh website montasefilm.com. Dalam perkembangannya, Komunitas Film Montase mulai membuat film dokumenter hingga film fiksi/cerita, serta mengadakan pelatihan produksi film untuk beberapa instansi serta kampus. Pada tahun 2015, Komunitas Film Montase meraih penghargaan Komunitas Film Terbaik dalam ajang bergengsi Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2015. Pada tahun 2017, komunitas ini juga mulai mendirikan penerbitan dan mencetak buku film melalui Montase Press.

Yang mendominasi perfilman independen Jogjakarta sejak awal pasca reformasi mungkin bisa saya katakan adalah kelompok Fourcolours. Fourcolours Films kini dikenal sebagai rumah produksi komersial. Namun ia pada awalnya adalah komunitas film independen yang didirikan Eddie Cahyono dan kawan-kawan pada tahun 2001. Mereka aktif membuat film-film pendek dan beberapa di antaranya berhasil memenangkan penghargaan di festival-festival film. Film pendek "Di antara Masa Lalu dan Masa Sekarang" (Sutradara Eddie Cahyono, 2001) memenangkan Film Terbaik dan Film Favorit pilah penonton di Festival Film-Video Independen Indonesia 2001 dan aktor terbaik dalam Festival Film Independen Indonesia 2001. "Air Mata Surga" dan "Mayar". Film “Air Mata Surga” (Sutradara Eddie Cahyono, 2002) menjadi film pembuka di Festival Film-Video Independen Indonesia 2002. “Mayar” (Sutradara Ifa Ifansyah, 2002) berhasil memenangkan SET award untuk penata kamera dan penata artistik terbaik di festival yang sama. Debut internasionalnya adalah "Bedjo Van Derlaak" (Eddie Cahyono, 2003) yang menjadi best picture pada student film competition di Bali International Film Festival 2003. Sejak tahun 2003, Fourcolours mulai bergerak ke arah komersil dengan menjadi badan usaha. Menyebut Fourcolours tak lengkap tanpa menyinggung "Siti" (Eddie Cahyono, 2014). Film ini beredar secara independen, tidak masuk jaringan bioskop reguler setidaknya hingga 2016. Siti meraih Honourable Feature Mention di 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015 dan juga memenangkan Piala Citra di FFI 2015.

Dari kelompok Fourcolours tadi yang menonjol adalah Eddie Cahyono dan Ifa Ifansyah. Selain menyutradarai, Ifa juga mengorganisir festival. Jogja Asia NETPAC Film Festival (JAFF) dikelolanya bersama kawan-kawan. Ia menjadi produser untuk bakat-bakat baru yang satu visi. Misalnya "Turah" (Wicaksono Wisnu Legowo, 2017). Turah memenangi antara lain 3 kategori sekaligus dalam Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, juga kategori Asian Feature Film Special Mention di Singapore International Film Festival. Tahun 2017, Turah dipilih untuk mewakili Indonesia dalam mengikuti ajang Academy Award ke-90 melalui kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.

Selain itu istrinya Ifa Ifansyah, Kamila Andini juga seorang sutradara terkemuka. "Sekala Niskala (The Seen and Unseen)" memenangkan Grand Prize kategori Generation Kplus International Jury untuk film berdurasi panjang terbaik di Berlin International Film Festival 2018. Ini merupakan film bergengsi pertama dari Indonesia yang menerima Grand Prix di Berlinale. Film tersebut juga diputar di Toronto International Film Festival (TIFF) tahun 2017.

Di luar Fourcolours ada beberapa nama yang penting untuk amatan kritis kita.

·         Ismail Basbeth. "Another Trip To The Moon" (2015) berkompetisi di International Film Festival Rotterdam (IFFR). Dari tahun yang sama "Mencari Hilal" masuk Nominasi Sutradara Terbaik dan memenangkan Pemeran Utama Pria Terbaik untuk Deddy Sutomo pada FFI 2015. 

·         Yusron Fuadi. "Tengkorak" (2017) adalah film feature scifi independen yang menuai perhatian dan termasuk "satu-satunya genre ini" pada saat diluncurkan. Film ini sempat masuk bioskop dan diputar di JAFF 2017. Menurut Wikan Sakarinto, produser film Tengkorak, film tersebut masuk seleksi Cinequest Film and VR Festival 2018 di Silicon Valley, California, Amerika Serikat. Tengkorak juga didistribusikan secara bergerilya di pemutaran non reguler. 

·         Jeihan Angga. "Mekah I'm Coming" memenangkan Penyutradaraan Berbakat Film Panjang Karya Perdana Terpilih dan Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021. Sebelumnya ia menggeluti genre komedi dengan latar lokal kejawaan. "Neng Kene Aku Ngenteni Koe" menang penghargaan Gajah Emas di Ganesha Film Festival 2019.    

·         Yosep Anggi Noen. Nominator Piala Citra untuk Sutradara Terbaik. Beberapa filmnya ditayangkan di festival film internasional, seperti International Film Festival Rotterdam (untuk film "Hujan tak jadi datang" ("It's Not Raining Outside"), Locarno Film Festival (untuk "Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya"), Vancouver International Film Festival 2013 (berhasil mendapatkan Special Mention Award untuk Vakansi), Okinawa Internasional Film Festival 2015 (untuk "Rumah"), dan Toronto International Film Festival 2018 (untuk film pendeknya Ballad of Blood and Two White Buckets). 

·         BW Purba Negara. "Bermula Dari A" menyabet Best Film Award 2012 di Vladivostok International Film Festival Rusia dan juga merupakan Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2011. Film panjangnya "Ziarah" (2017) menjadi Film Terbaik di Salamindanaw Film Festival Filipina 2016 dan Film Terbaik Pilihan Juri dan Skenario Terbaik di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) Malaysia 2017. 

·         Wregas Bhanuteja. Filmnya "Lembusura" (2014) yang menceritakan tentang letusan Gunung Kelud, terseleksi untuk berkompetisi di 65th Berlin International Film Festival 2015 dalam kategori Berlinale Shorts Competition. Wreghas adalah sutradara film Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016 dengan film pendeknya "Prenjak (In The Year of Monkey)". "Tak Ada yang Gila di Kota Ini" (2019) berkompetisi di program Wide Angle: Asian Short Film Competition di Busan International Film Festival (BIFF) dan juga masuk seleksi Sundance Film Festival 2020. 

·         Bayu Prihantoro Filemon (asal Magelang dan sempat kuliah di Jogja). "Origin of Fear" masuk dalam Orizzonti Venice International Film Festival ke-73. Sebelumnya, ia menjadi sinematografer untuk film rekannya Yosep Anggi Noen yakni “Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya”, “Istirahatlah Kata-Kata”, dan “Kisah Cinta yang Asu”, yang terlebih dahulu ada di peredaran festival film International. 

·         Loeloe Hendra Komara. "Onomastika" (2014) berkompetisi di Berlinale 2015 masuk dalam kategori Generation Kplus. 

·         Tata Sidharta. Karyanya "Natalan" (2015) dapat Nominasi Film Pendek Terbaik FFI (Festival Film Indonesia) serta Light of Asia Competition di JAFF 2015. Karyanya yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY "Los Jogjakartoz" (2018) masuk seleksi JAFF 2018. Tahun 2020, Tata termausk dalam satu sutradara dalam film omnibus produksi BASE Entertainmet berjudul "Quarantine Tales" bersama Ifa Ifansyah, Jason Iskandar dan kawan-kawan. 

·         Eden Junjung. "Bunga dan Tembok" (2016) masuk seleksi Busan International Short competition, "Happy Family" (2017) masuk Valletta & Taipei Film Festival) dan "Bura" (2019) menang Jury Award Singapore Film Festival competition. Proyek film panjangnya "Mayday" menang Best Future Project di Jogja Future Project, Jogja-NETPAC Asian Film Festival. 

·         Luhki Herwanayogi. Mendirikan rumah produksinya sendiri Catchlight Pictures Indonesia dan juga cre8pictures yang berbasis komunitas sejak 2009. "Har" (2018) masuk nominasi FFI 2018 dan diputar di Busan International Short Film Festival 2019. Debut feature-nya "Our Son" menerima Purin Award for best Southeast Asian project di Busan Asian Film School (AFiS) Pitching Project 2019. "On Friday Noon" (2016) masuk Locarno Film Festival 2020. 

·         Dirmawan Hatta. Mendapatkan nominasi dari Festival Film Indonesia untuk skenario "Bulan di Atas Kuburan" (2015) dan "May" (2008). Selain itu, Hatta juga mendapatkan nominasi dari Deauville Asian Film Festival (2014), Pusan International Film Festival (2013), dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (2013).

Dari kategori fiksi saya merasa perlu menyebut dua filmmaker Jogja dan karyanya ini secara khusus. Kedua film yang dibuat oleh dua sutradara berikut mencapai kesuksesan dalam arti luas yakni tak cuma di festival. Bahkan dibanding karya yang lain, dua film mereka pencapaian festivalnya tidak cukup megah (saya asumsikan film yang menang festival luar negeri itu megah karena diapresiasi lintas budaya dan bahasa). Akan tetapi saya mengamati bahwa dua film berikut ini cukup berpengaruh bahkan kepada awam yang jarang mengapresiasi film. Film mereka sering dibicarakan dan dibagikan dalam grup-grup Whatsapp. Ini artinya filmnya begitu kontekstual dan terhubung (relate) dengan sanubari pemirsanya yang bukan selalu orang melek literasi sinema.

·         Bobby Prasetyo. "KTP" (2016) menjadi salah satu film yang cukup viral di kanal Youtube. Film ini mengangkat isu administrasi soal agama dengan genre komedi. Film KTP meraih penghargaan karya terbaik 1 kategori umum pada FVE (Festival Video Edukasi) yang diselenggarakan Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan (BPMTP) pada tahun 2016. 

·         Wahyu Agung Prasetyo. "Tilik" (2018) menjadi film pendek paling viral di internet pada tahun 2020. Film yang dibuat dalam kerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY ini mengangkat kebiasaan "rasan-rasan" (ghibah) di kalangan ibu-ibu dan dampak teknologi komunikasi berbasis internet. Tilik memenangkan kategori Film Cerita Pendek Terpilih pada gelaran Piala Maya ke-7 tahun 2018.

KTP dan Tilik adalah salah satu tonggak pencapaian film pendek setelah 21 tahun lewat reformasi.

Sementara itu dari kategori dokumenter ada:

·         Tony Trimarsanto. Tahun 1997 meraih penghargaan sebagai Best Art Director di Indonesian Cine Club Film Festival untuk film "Daun Di Atas Bantal" karya Garin Nugroho. Tahun 2002 memenangkan penghargaan Film Terbaik untuk film "Gerabah Plastik" di Festival Film Dokumenter Indonesia. Tahun 2010, film "Renita, Renita" memenangkan penghargaan sebagai Film Terbaik di Festival Film India. 

·         Wahyu Utami. Seniman video dan instalasi sejak 2009 yang kemudian jadi filmmaker dokumenter. “The Unseen Words” menjadi Pemenang Film Dokumenter Pendek Terbaik di FFI 2017 serta pada Piala Maya 2018. 

JAWA TIMUR, BALI DAN SEKITARNYA

Komunitas Independen Film Surabaya (INFIS) berdiri pada 13 September 2000. Komunitas bergerak dalam pemutaran dan edukasi film di Surabaya. Pelopornya adalah I.G.A.K Satrya Wibawa, Don Aryadien, Sam Anindito, dan kawan-kawan yang kemudian digerakkan oleh para anggota terutama mahasiswa. INFIS juga mempunyai komunitas junior yang bernama STUFER (Student Film Make). Beberapa kegiatannya antara lain Film Clinic, Festival Film Pelajar, Grobak Film, Film Rally yang bekerja sama dengan Disperindag Jatim. INFIS juga rutin terlibat dengan “Indonesia Raja” yang diinisiasi Minikino. Perwakilannya pernah berpartisipasi di beberapa acara internasional. Salah satu ketuanya Fauzan Abdillah mewakil Indonesia untuk bersekolah di International Film Business Academy di Busan Film School pada bulan Maret-Oktober 2017.

Pabrik Tjerita Studio adalah perkumpulan nirlaba yang beranggotakan para aktor teater, pemusik, perupa, penari, penulis dan pembuat film indie di Surabaya. Kegiatannya adalah memproduksi film cerita fiksi. Produksi perdananya pada tahun 2003, dengan film "Killer’s Ballad" (Senandung Seorang Pembunuh). Naskah ditulis dan disutradarai oleh Juslifar M. Junus, difilmkan dengan Kamera Video Hi-8. Produksi film ini melibatkan mahasiswa sinematografi Institut Kesenian Jakarta, Komunitas Teater Kumbang UNITOMO Surabaya, Komunitas Teater Jaguar, Komunitas Teater SMADASA dan Mahasiswa STIKOM. Karya lain dari sutradara Juslifar M. Junus adalah "Sirkus Kutu" yang menjadi Film Terbaik dalam ajang Festival Film Pendek Jawa Timur 2011, dengan menyabet 3 Kategori (Sutradara Terbaik, Editor Terbaik, dan Penata Suara Terbaik) serta 3 Nominator (Skenario Terbaik, Tata Photography Terbaik, Tata Artistik Terbaik). Filmmaker lain dari komunitas ini adalah Gatot Sunarya dengan film pendeknya "Nur Dalam baskom" (2012).

Masih di Surabaya, ada pula Komunitas Sinema Intensif yang menggelar pemutaran, diskusi film dan juga membuat festival bernama Festcil (Festival Kecil) sejak 2016. Festcil berfokus pada film-film pendek komunitas se-Indonesia. Komunitas ini digerakkan oleh Andi Budrah Sadam yang selain produser independen juga pernah jadi juri di JAFF beserta kawan-kawan. 

Di Malang, sejak 2006 Arief Akhmad Yani dengan komunitas Lensa Mata sering menggelar workshop, eksebisi, dan pemutaran film di Malang. Pada 2014 Yani dan kawan-kawan pegiat lain menyelenggarakan Siar Sinema, sebuah parade pemutaran film pendek, workshop film pelajar dan kompetisi film dokumenter. Siar Sinema telah berkeliling ke berbagai kota di Jawa Timur, seperti Kediri, Gresik, Lumajang, Jember, dan Malang. Selain itu Arief Akhmad Yani juga merupakan inisiator Festival Film Kopi pada tahun 2017. Yani tergabung dalam susunan manajemen JAFF sebagai koordinator forum komunitas.

Di Blitar sejak 2009 berdiri komunitas pemuda dan kebudayaan bernama Sanggar Saanane di Wlingi yang dipelopori Johan Argono dan Gugun Arief. Di komunitas ini juga ada kegiatan produksi dan pemutaran film. Gugun Arief lalu mendirikan komunitas Wlingiwood Filmmakers pada 2014 untuk lebih fokus pada perfilman. Wlingiwood Filmmakers aktif dalam kegiatan produksi, pemutaran dan edukasi film untuk pelajar dan masyarakat umum. Di kota yang sama ada juga komunitas Geber yang bergerak dalam edukasi dan ekshibisi film.

Di Ponorogo berdiri Komunitas Film Ponorogo Indie (KOFPI) sejak 2014. Komunitas yang dipelopor oleh Gelora Yudhaswara ini melakukan kegiatan produksi, pemutaran dan diskusi film.

Beberapa nama yang bisa disebut dalam amatan kritis dari perfilman independen Jawa Timur antara lain:

·         Mahesa Desaga. "Jumprit Singit" (2012) menjadi Finalis Europe On Screen (2012), Festival Sinema Prancis (2012) dan XXI Short Film Festival (2013). "Nunggu Teka" (2017) menjadi Pemenang Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI 2017). 

·         Destian Rendra. Mendirikan rumah produksi Hisstory. "Acai Nakrim" menjadi The Best Non-English Short Film di My Rode Reel 2017 International Film Festival Singapura. "Ora Srawung, Mati Suwung" (2020) diputar di Bali International Film Festival dan SeaShorts Film Festival. 

·         Mochammad Dwi Cahya dengan "Lantun Rakyat" (2019) Nominator Film Pendek Terbaik FFI 2019 dan Pemenang Gajah Emas Award di Ganesha Film Festival. 

·         Wimar Herdanto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Gundah Gundala (2013) masuk dalam nominasi Film Terlaris Kineria pada ajang Piala Maya 2015. Mesin Tanah (Terra Machine) yang meraih penghargaan Gajah Emas dalam Ganesha Film Festival 2018 diputar dalam 28th Singapore Internasional Film Festival pada 2017. Film yang dirilis pada tahun 2016 tersebut juga diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2017 dan di Kriterion Filmheater, Amsterdam 2018.

·         M. Ainun Ridho, memproduksi dan menyutradarai film lokal Surabaya berjudul “JACK” (2019). Film ini didistribusikan di bioskop non reguler di Surabaya. 

·         Mohamad Sholikin yang terkenal dengan panggilan Cak Ikin. Menciptakan animasi pendek Suro Boyo pada 2007 yang membawakan komedi dewasa dan mengangkat umpatan khas Surabaya. Film itu diedarkan bergerilya di beberapa kampus sebagai bahan diskusi. Mulai 2010, Suro Boyo dikembangkan menjadi Culo Boyo dan diubah kontennya agar lebih sesuai untuk audiens anak-anak. Karakter tersebut kemudian menjadi populer di platform Youtube. 

·         Wiryadi Dharmawan yang terkenal dengan panggilan Cak Waw. Memulai karirnya sebagai animator serial kartun TV "Hela Heli Helo" yang pernah tayang di TPI. "Petualangan Penthil Penthol" jadi Animasi Terbaik HelloFest 2005. “Sang Suporter” (2013) memenangkan Piala Citra untuk Kategori Animasi FFI 2013. Itu untuk pertama kalinya FFI membuka kategori animasi, dan juga mendapat Special Mention di XXI Short Film Festival 2014 serta Animasi Terbaik di Piala Maya 2014. Cak Waw juga seorang komikus yang sudah menerbitkan 2 buku kompilasi komik, Trio Hantu cs series: “Hantu Nusantara”, “Hantu Dunia” (bersama Yudis dan Broky) dan “Gilanya Bola” (kompilasi 10 komikus). 

·         Gelora Yudhaswara. Mendirikan Komunitas Film Ponorogo Indie (KOFPI). "Subur Itu Jujur" masuk dalam seleksi Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2018 dan diputar keliling. "Omah Njero" masuk dalam daftar seleksi FFI 2020. 

·         Gugun Arief. Mendirikan Sanggar Saanane bersama Johan Argono sejak 2009, kemudian mendirikan komunitas Wlingiwood Filmmakers bersama teman-teman sejak 2014. "Six Pack" (2015) meraih Juara 2 Lomba Film Pendek Kementrian Kesehatan 2015, "Bid & Run" Finalis di Festival Sinema Prancis 2015, "Anxietus Domicupus" masuk Nominasi Film Terbaik Genflix Film Festival 2020, Nominasi Komedi Terbaik di HelloFest 2020, Pemenang Film Cerita Pendek Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021 dan meraih Penghargaan Gajah Emas Ganesha Film Festival tahun 2022. Gugun mengusung genre laga dan western lokal.

Sementara itu dari kategori dokumenter ada:

·         Dandhy Dwi Laksono, kelahiran Lumajang. Mantan jurnalis yang kemudian menjadi aktivis ini mendirikan rumah produksi bernama WatchdoC Documentary bersama rekannya Andy Panca Kurniawan. Beberapa dokumenternya yang kontroversial antara lain "Samin vs Semen" (2015) dan "Sexy Killers" (2019). Karena vokalnya untuk permasalah Papua, Dandhy sering berurusan dengan aparat hukum. WatchdoC menerapkan strategi dua sisi. Ada karya yang didistribusikan secara komersial dan ada yang secara independen.

Dari pulau Jawa kita menyeberang ke Bali.

Minikino adalah organisasi pemutar film pendek dan penyelenggara festival yang berbasis di Bali. Organisasi ini digagas oleh 3 orang: Tintin Wulia, Kiki Muchtar dan Judith Guritno (ketiganya sudah tidak aktif di organisasi) sejak tahun 2002. Minikino menyelenggarakan beberapa kegiatan dan festival khusus untuk film pendek antara lain: Monthly Screening & Discussion (sejak 2002), Minikino Film Week, Bali International Short Film Festival (sejak 2015), Indonesia Raja (sejak 2015), S-Express (Regional Southeast Asia short programs exchange, sejak 2003) dan Begadang Filmmaking Competition (sejak 2017). Selain itu Minikino juga aktif bekerja sama dengan berbagai badan untuk memberikan seminar, presentasi dan lokakarya. Saat ini Minikino bernaung di bawah bentuk legal Yayasan Kino Media. Sebagian biaya operasional ditutup melalui bantuan banyak sumber, pendanaan swasta, sponsor, juga sesekali mendapat pendanaan pemerintah dari proyek-proyek khusus. 

KALIMANTAN, SULAWESI, PAPUA DAN SEKITARNYA

Gerakan independen juga marak di luar Jawa dan Bali pasca 2010. Terutama di Kalimantan dan Sulawesi (terutama Makassar). Di Kalimantan sifat perfilmannya cenderung lokal, sedangkan di Makassar cenderung nasional dan global.

Di Singkawang, sepasang suami istri Lo Abidin (sutradara) dan Terry Tjung (editor) menggunakan kru dari pegawai usaha video shootingnya, merekrut talent dari daerahnya, menggunakan dana sendiri untuk memproduksi film panjang berdurasi 2 jam. Film pertama mereka "Senja Di Pulau Simping" (2011) menggunakan bahasa Khek, mengangkat isu kultural peranakan Tionghoa bergenre romance. Film mereka diedarkan secara lokal dalam bentuk DVD. Mereka juga sempat menyewa bioskop lokal untuk memutar film mereka selama 2 minggu penuh. Kisah ini juga menunjukkan bahwa distribusi film indie tak hanya melewati perantara (distributor maupun ruang exhibisi semacam festival) namun juga bisa langsung ke calon audiens.

Kiprah sepasang suami-istri tadi kemudian diikuti daerah lain di Kalimantan semisal Sambas. "Kisah kampung Maklomlah" (2013) dan "Tullah" (2015) kedua film berbahasa Melayu Sambas ini menjadi film yang diperbincangkan masyarakat lokal. Film ini bahkan juga diulas jadi bahan skripsi salah satu mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak. Seperti rekannya di Singkawang, film-film yang disutradarai Adri Addayuni lewat Equaly Production (nama kelompoknya) tersebut juga menempuh jalan distribusi lokal. Promosi dilakukan lewat pemutaran offline dan DVD-nya dijual. Sayangnya meski mendapatkan profit yang lumayan, sistem industri kecil ini kemudian berhenti karena format DVD sudah jarang diminati. Selain kedua kelompok ini kemudian bermunculan kelompok lain di Kalimantan yang juga mencoba mengangkat lokalitas daerah masing-masing.

Sekarang kita bicarakan Makassar.

Menurut penuturan Arman Dewarti sutradara asal Makassar nominator film pendek terbaik pada FFI 2016, Makassar pada 1970 pernah sangat aktif memproduksi film setelah Jakarta. Makassar juga merupakan kampung kelahiran Riri Riza, salah satu filmmaker yang terlibat di Kuldesak dan Yandy Laurens, sutradara pemenang FFI. Jadi bisa saya katakan Makassar adalah pusat gerakan film paling terkemuka di luar Jawa. Film "Uang Panai" (Sutradara Asril Sani dan Halim Gani, 2016) menjadi fenomenal karena berhasil beredar di bioskop nasional dan mendapatkan sekitar 250.000 penonton. Film berbahasa daerah dan mengangkat kultur lokal Bugis tersebut juga berhasil secara kritik dan menjadi bahan diskusi akademik.

Pada tahun 2008, sekitar 20 kelompok film berkumpul dan menggagas pembentukan Forum Film (FOR FILM) Makassar. FOR FILM Makassar menggagas Antologi Film Pendek untuk Makassar di tahun 2009 sebagai program pertamanya. Ada 6 film pendek (4 film fiksi dan 2 film dokumenter) yang termuat dalam antologi tersebut yakni 4 film fiksi, yakni "Cinta samadengan Cindolo na Tape" (Rusmin Nuryadin), "Dobel Enam" (Ilham N. Bardiansyah), "Pamali" (Rezkiani), dan "Field" (Muh. Asyraf). 2 film dokumenter, yakni "Masalahta’ Cika’" (Iking Siahsia) dan "Dari Mulut Singa ke Mulut Buaya" (Arman Dewarti).

Untuk film tersebut FOR FILM membuat Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie menjadi bioskop alternatif selama 3 hari dengan 3 kali penayangan setiap harinya. Tersedia 285 kursi untuk sekali penayangan dan berbayar. Hampir di setiap penayangan film tiket terjual habis. Penontonnya berasal dari kalangan pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum. Film Cinta samadengan Cindolo na Tape karya sutradara Rusmin Nuryadin menjadi film yang paling banyak menuai apresiasi dari penonton. Setahun setelahnya, FOR FILM Makassar menggagas sebuah produksi film panjang yang berjudul Aliguka. Konon merupakan film panjang pertama yang 100 persen dikerjakan oleh pekerja film di Makassar. Sama seperti sebelumnya, film tersebut diputar dengan membuat bioskop alternatif yang berlokasi di Gedung Graha Pena. Setelahnya, roadshow disejumlah kampus di Makassar juga di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Diperkirakan film Aliguka diapresiasi sekira 2.000 orang dari berbagai segmen.

Sebagian besar informasi tadi banyak saya dapatkan dari skripsi Muhammad Rifai Ramli yang berjudul “DINAMIKA SINEAS DALAM PEMBUATAN FILM INDEPENDEN” (Studi Kasus Sineas di Kota Makassar). Skripsi tersebut diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Jurusan Jurnalistik Pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar tahun 2016.

Dari Makassar ada beberapa individu yang kita kenal.

·         Ichwan Persada, produser nominator FFI 2011, mendirikan Ichwan Persada Sinema. Setelah pindah ke Jakarta, Ichwan fokus pada penemuan bakat-bakat muda lewat jejaring online. Film-film yang ia produseri rata-rata adalah pendatang baru. 

·         Yandy Laurens. Meraih Piala Citra kategori film pendek terbaik FFI 2012 untuk film "Wan An". Film panjangnya, "Keluarga Cemara" juga memenangkan Piala Citra pada FFI 2019 untuk skenario adaptasi terbaik, serta Piala Maya ke-7 untuk film panjang terbaik.

Sementara itu kita perlu sebut secara khusus,

·         Aditya Ahmad. Ia melangkah lebih jauh ke level internasional. Film "Kado" yang ia sutradarai menjadi pemenang Film Pendek Terbaik Orizzonti Award pada 75th Venice Internasional Film Festival tahun 2018. Film tersebut juga masuk seleksi Sundance Film Festival 2019.

Dari Palu ada Yusuf Radjamuda. Debut film panjangnya "Mountain Song" (2019) mendapat world premiere dan berkompetisi di Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival 2019. Film tersebut diproduseri Eddie Cahyono, Ifa Ifansyah dan kawan-kawan. Sebelumnya "Halaman Belakang" (2013) menjadi film pendek terbaik di Apresiasi Film Indonesia 2013, Ladrang Award di Festival Film Solo 2013, dan mendapatkan predikat sutradara terbaik kategori Film Pendek Indonesia di Festival Sinema Perancis 2013.

Papua memiliki Irham Acho Bahtiar, lulusan IKJ kelahiran Merauke yang merupakan sutradara "Epen Cupen The Movie". Film independennya "Melody Kota Rusa" (2010) terjual tak kurang dari 1000 keping dalam format original DVD di Merauke dalam kurun waktu dua minggu. DVD itu juga dibajak habis-habisan hingga membuat filmnya makin populer bahkan keluar Papua. Irham mendirikan Komunitas Film Papua Selatan pada 2012. Ia aktif memberikan edukasi pada pemuda-pemuda lokal Papua agar punya kemampuan bikin film. Irham dan karya-karyanya dikenal dalam mengangkat "mop", komedi gaya Papua.

Sementara itu ada pula Papuan Voices. Papuan Voices adalah Komunitas Filmmaker Papua yang fokus memproduksi dokumenter berdurasi pendek tentang Manusia dan Tanah Papua. Komunitas ini juga menyelenggarakan festival film yakni Festival Film Papua (FFP). Contoh film-film dari festival ini antara lain (yang terpilih dalam FFP III): "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" (dari Wamena, Cristian G. Tigor Kogoya), "Perempuan di Tanahnya" (dari Keerom, Kristina Soge dan Dion Kafudji), "30 Tahun Su Lewat" (dari Keerom, Lidya Monaliza Upuya), "Keadilan di Tanah Sendiri" (dari Wamena, Nelson Lokobal), "Menembus Batas" (dari Jayapura, Naomy Wenda), "Daerah Hilang" (dari Timika, Helena Kobogau), "Moinyayo Hekhe Mokhonate" (dari Sentani, Alberth Yomo), "Sasi Ibu-ibu Kampung Kapatcol Misool Barat" (dari Raja Ampat, Wawan Mangile), "Mre Wenteh" (dari Jayapura, Nelius Wenda), "Agmai" (dari Sorong, Agus Kalalu). Festival Film Papua III berlangsung di Kota Sorong Papua Barat. 

ACEH, SUMATRA DAN SEKITARNYA

Informasi mengenai pergerakan film independen di Aceh banyak saya dapat dari catatan Akbar Rafsanjani, programer film di Aceh Documentary.

Dalam catatan Akbar disebut bahwa produksi film di Aceh sudah dimulai sejak sebelum bencana gempa dan tsunami melanda. Kebanyakan dilakukan para seniman teater. Konflik bersenjata di Aceh telah mematikan pertunjukan-pertunjukan panggung yang kebanyakan dilaksanakan pada malam hari. Seniman panggung survive dengan berpindah haluan ke media audio-visual. Mereka membuat film-film komedi dan mendistribusikannya melalui kaset VCD/DVD semisal "Apa Lambak" (Mukhtaruddin Fatani), "Apa Gense" (Rusli Arafika), "Ma’e Pong" (Irwan), "Bang Joni" (Abdul Hadi), "Mando Gapi" (almarhum Sulaiman) dan lain-lain. Film-film komedi dan video klip yang mereka buat berorientasi komersial dengan memanfaatkan medium VCD/DVD sebagai cara distribusinya. Film yang berjudul "Angen Badee Ba" (2009) menjadi film signifikan karena menyinggung tema militer di Aceh.

Pada tahun 2013 era film komedi kaset VCD kemudian digantikan oleh film dokumenter yang merupakan gerakan baru sinema di Aceh. Gerakan ini digagas oleh anak muda yang belajar film secara otodidak kemudian berafiliasi dengan sineas-sineas nasional Indonesia melalui festival-festival film. Mereka melakukan distribusi dan ekshibisi melalui layar tancap ke desa-desa dan masjid melalui program Gampong Film. Kegiatan ini kelak berujung pada lahirnya kelompok Aceh Documentary pada 2013 yang fokus pada kegiatan edukasi dan exhibisi film. Aceh Documentary yang dijalankan oleh Yayasan Aceh Dokumenter sejak 2013 ini merupakan lembaga edukasi, produksi, apresiasi film dan riset pengembangan film dokumenter. Kelompok ini pernah menggelar Borderless Film Festival yang merupakan kolaborasi virtual antara Aceh-Jepang pada 7 hingga 15 November 2020.

Pada 2015 diadakan Aceh Film Festival untuk pertama kali. Menurut Akbar Rafsanjani, Aceh Film Festival dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas film sebagai ajang silaturrahmi. Tetapi yang disayangkan, komunitas-komunitas film ini tidak konsisten untuk terus memproduksi film-film. Sebagian komunitas film bubar dan digantikan oleh yang lainnya. Sebagian yang lain berubah menjadi production house yang mengerjakan wedding video atau company profile.

Masih menurut Akbar, di Aceh setidaknya ada puluhan komunitas film sudah berdiri. Kebanyakan dari mereka adalah kalangan mahasiswa. Salah satu komunitas film yang ada di Aceh adalah Fisuar. Komunitas yang akhir tahun 2018 digagas salah satunya oleh Arief Rachman Missuari mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry ini pernah menyabet penghargaan dari KIP Aceh. Menurut Arief berdirinya komunitas Fisuar awalnya dibawah kendali Fakultas Ilmu Politik (Fisip) UIN Ar-Raniry, namun mereka mengalami banyak penolakan sehingga Arief dan beberapa temannya memillih untuk membentuk komunitas secara Independen dengan mengganti Nama Fisuar menjadi Fisuar Independent Film (FIF). Ada pula Komunitas Tikar Pandan yang salah satu kegiatannya menggelar pemutaran dan diskusi film berkolaborasi dengan Aceh Documentary.

Kegiatan perfilman yang menonjol dari jejaring di Aceh antara lain adalah acara "Aceh Menonton". Aceh Menonton dimulai pada Agustus 2018. Komunitas bioskop alternatif ini diprakarsai Muhammad Hendri, mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta asal Aceh. Dikarenakan produksi film lokal Aceh minim, Aceh Menonton bekerjasama dengan Aceh Documentary akhirnya turut memutar film dari luar Aceh, misalnya film nasional Indonesia, Asia Tenggara, dan di belahan benua lainnya. Bioskop alternatif ini tak hanya digelar di Kota Banda Aceh, melainkan turut diputar di kampung-kampung di Aceh.

Di Medan sempat saya amati ada komunitas bernama Rumah Film Independen (RUFI) yang diprakarsai Muhammad Abrar sejak Oktober 2014. Dalam publikasinya RUFI menyebutkan bahwa kegiatannya antara lain adalah produksi, pemutaran dan diskusi film-film karya lokal. Komunitas ini kurang terdengar lagi sejak 2016.

Individu yang bisa kita masukkan dalam amatan kritis antara lain:

·         David Darmadi dari Kota Padang. Karyanya pernah masuk Europe On Screen (2010), Aarhus Kunstbygning Center Denmark (2010), Festival Film Dokumenter Jogjakarta (2010, 2016), OK.Video FLESH 5th Jakarta Internasional Video Festival (2011), Images Festival 24th Toronto Canada (2011), ReelOzInd Australia–Indonesia Short Film Competition and Festival (2016), ARKIPEL – social/kapital 4th – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival (2016), The 50th Visions Du Reel–Festival International De Cinéma Nyon (2019) dan Sheffield Doc/Fest (2019). Proyek dokumenternya "Diary of Cattle" memenangkan hadiah dari Tribeca Film Institute dan distribusi oleh Docs By The Sea 2018. 

·         Rahung Nasution asal Tapanuli Selatan. Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang koki selebriti yang kemudian menekuni film dokumenter. "Pulau Buru Tanah Air Beta" (2016) diputar secara bergerilya di bawah pengawasan aparat keamanan. bersama 4 sutradara Indonesia yang lain (Andrianus “Oetjoe” Merdhi, Wahyu Utami Wati, Tunggul Banjaransari dan Bani Nasution) juga pernah terpilih dalam program "5 Pulau 5 Desa" dan mendapat kesempatan untuk membuat film dokumenter di Jerman. Program tersebut dikonsep dan dikerjakan oleh Goethe-Institut di Indonesia dan Universitas Seni Hamburg atau HFBK Hamburg (Hochschule for Bildende Kuste Hamburg). Lima karya film dokumenter yang dibuat di Jerman selama kurang lebih tiga minggu tersebut diputar di ARKIPEL – International Documentary and Experimental Film Festival 2017 di Jakarta. Karyanya yang lain adalah "Filosofi Kopi: Aroma Gayo" (2020). 

·         Aria Kusumadewa, kelahiran Lampung. Dikenal sebagai sutradara dari film “Beth” (2002) dan “Novel Tanpa Huruf R” (2003). Filmnya “Identitas” mendapatkan 9 (sembilan) nominasi dalam ajang Festival Film Indonesia 2009, memenangkan 4 (empat) di antaranya; termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Aria Kusumadewa dan Aktor Terbaik untuk Tio Pakusadewo.


FORUM KOMUNAL ONLINE

    Hal yang juga menarik untuk disebut adalah sebuah forum online yang bernama Digital Cinematography Indonesia (DCI). Berbeda dengan yang sudah disebut di atas, DCI tidak terlibat dalam penyelenggaraan festival maupun distribusi akan tetapi secara praktis menjadi jejaring antar pelaku perfilman, terutama yang berlatar teknis seperti kameramen, editor dan sinematografer. Beberapa anggota juga ada sutradara yang berangkat dari kru teknis. Forum online yang dibentuk oleh Audy Erel dan Indra Yogiswara sejak tahun 1998 ini awalnya bernama DSLR Cinematography Indonesia, beranggotakan para penggemar kamera DSLR model tertentu. Lambat laun DCI kemudian menjadi ajang bertukar pikiran tentang videografi dan sinematografi. Meski tidak memiliki struktur khusus secara organisasi, DCI juga berfungsi menjadi forum komunal yang sifatnya tidak terpusat. Benny Kadarhariarto, salah satu senior anggota DCI lebih suka menyebut istilah "keluarga" untuk para anggota. DCI telah diikuti setidaknya 2000an anggota di laman media sosialnya, Facebook, dan cukup sering menggelar perjumpaan offline. DCI menjadi jejaring yang cukup aktif mengenai perkembangan teknologi audio visual yang sesekali juga melakukan lokakarya offline. Film yang terlahir dari interaksi di forum ini antara lain adalah "Silent Heroes" (Ducko Chan, 2013) yang mengantarkan Nirina Zubir menjadi nominator The Best Supporting Actress di FFI 2015.

    (Kembali ke Bagian VIII)                                                        (Bersambung ke Bagian X)  


Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved