(Bagian I - III) (Bagian IV - V) (Bagian VI - VII) (Bagian VIII)
(Bagian IX) (Bagian X) (Bagian XI) (Bagian XII - XIII)
==================================================================
IX.
KOMUNITAS DAN INDIVIDU PERFILMAN INDEPENDEN INDONESIA
SEJAK TAHUN 1999
Ciri
pergerakan film independen pasca reformasi adalah munculnya komunitas dan
organisasi non pemerintah. Keberadaan komunitas mendorong lahirnya filmmaker
baru. Komunitas menggantikan tradisi hierarkis yang selama orde baru dijalankan
oleh asosiasi bentukan negara karena seorang pemula pun bisa langsung
menyutradarai. Tak hanya itu, komunitas menyediakan paket lengkap seakan
ekosistem yakni sebagai rumah produksi, penyedia talenta, tenaga teknis, ajang
pelatihan, penyelenggara pemutaran dan sekaligus ruang kritik pribadi
(self-criticism).
Hal
terpenting dari komunitas adalah olah jejaringnya. Ketika lebih dari satu
komunitas berkolaborasi maka akan terbentuk jalur distribusi tak cuma film
namun juga gagasan soal ekosistem maupun industri. Dalam pandangan saya ini
secara kultural bisa melampaui daripada sekadar asosiasi. Pertemuan jejaring
komunitas biasanya diorganisir lewat festival. JAFF contohnya, memiliki divisi
komunitas. Ada pula Temu Komunitas Film Indonesia (TKFI). Pertama kali diadakan
pada 2010, TKFI berfungsi sebagai ruang temu dan forum berbagi bagi pegiat
komunitas film seindonesia. Pertemuan perdananya, menurut catatan Cinema
Poetica sukses mengumpulkan 170 orang dari 93 komunitas film dari Pulau Jawa,
Sumatra, Kalimantan, dan Bali di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo.
Sedangkan
organisasi cakupannya lebih terbatas. Organisasi biasanya lebih formal dan
legal dalam menjalankan kegiatan, juga terprogram dan memiliki rancangan
pendanaan yang lebih teratur. Pasca Reformasi 1998 mulai tumbuh kesadaran
pendistribusian film secara independen oleh organisasi di luar pemerintah dan
pengusaha film. Beberapa organisasi ini ada yang berbentuk yayasan, ada yang
komunitas, ada yang sekadar forum tanpa struktur dan yang belakangan populer
adalah istilah "kolektif". Kolektif adalah kelompok yang memiliki
tujuan sama, terorganisir dan memiliki agenda jelas dan biasanya tidak berbasis
laba. Istilah yang juga sering dipakai belakangan adalah "inisiatif"
(initiative).
Perkembangan pesat internet memungkinkan banyak perubahan pola dalam jejaring perfilman. Jika dulu terpusat, sekarang menyebar. Jika dulu mensyaratkan pendidikan formal, sekarang lebih mengutamakan portofolio.
Pada
bagian ini saya lebih menyorot organisasi, komunitas atau kelompok yang
bergerak di luar kampus. Untuk kelompok yang berbasis kampus saya tulis pada
bagian tersendiri.
Mengenai
individu, fokus saya adalah para sutradara dan atau produser dengan asumsi
bahwa merekalah yang paling punya kuasa untuk memutuskan independen atau tidak.
Saya memilih mereka berdasar amatan kritis yakni para peraih penghargaan atau
yang karyanya punya kiprah signifikan secara komunal maupun kultural. Saya akan
menelusuri jejak-jejak penting mereka yang berperan dalam perkembangan film
independen Indonesia sejauh ini. Bagaimanapun, cara penelusuran ini juga bisa
menimbulkan pertanyaan. Bagaimana jika sang tokoh untuk saat ini sudah tidak
lagi independen? Karena sangat lazim film independen dijadikan batu pijakan ke
industri. Atau bagaimana jika sang individu ternyata tidak konsisten? Misalnya
sudah tak membuat film lagi. Maka sebagai jalan tengah, saya akan mengutamakan
lebih pada karya mereka daripada keputusan personalnya (masih independen atau tidak).
Saya
mencoba mengurutkannya berdasar geografis dan sebisa mungkin juga berdasarkan
waktu. Meski berusaha mencakup secara urut dan lengkap, saya menyadari mungkin
tetap ada yang terlewat. Tak selalu tokoh yang punya kiprah signifikan terdata
dengan baik, dan ini kelemahan umum jurnalisme di Indonesia. Sebisa mungkin
saya melakukan crosscheck antar informasi yang ada di internet dan jika mungkin
menanyai orangnya langsung.
Di ujung bab ini saya juga sempatkan menyinggung aktivitas komunal yang tidak berada dalam wilayah tertentu yakni forum internet. Forum ini menurut saya punya kontribusi nyata dalam perkembangan gerakan film independen Indonesia.
JAKARTA,
JAWA BARAT DAN SEKITARNYA
Di
tahun 2003 di Jakarta, Organisasi Boemboe didirikan oleh Lulu Ratna dan
kawan-kawan. Organisasi Boemboe merupakan organisasi nonprofit yang bertujukan
untuk mempromosikan dan mendistribusikan film pendek dari Indonesia. Beberapa
nama terkemuka yang pernah bersinergi dengan program Organisasi Boemboe antara
lain Jason Iskandar (nominator Film Pendek Terbaik di 25th Singapore
International Film Festival, pendiri Antelope Studio), Andibachtiar Yusuf
(peraih Piala Citra pada FFI 2008 kategori Dokumenter Terbaik) dan Ucu Agustin
(film terpilih di Berlin International Film Festival 2009 kategori dokumenter).
Organisasi ini juga aktif memperkenalkan film pendek dari berbagai daerah di
Indonesia. 3 Cities Short Film Festival, misalnya. Festival dua tahunan oleh
Organisasi Boemboe yang pernah berlangsung pada 2006, 2008, dan 2010 ini
mencoba memperkenalkan film-film buatan Cirebon, Salatiga dan Jember pada
khalayak. Selain kegiatan tersebut Boemboe juga menyediakan diri sebagai
konsultan festival film dan kurator.
Pada
tahun 2003 sekelompok mahasiswa ilmu komunikasi, seniman, peneliti dan pengamat
kebudayaan mendirikan Forum Lenteng di Jakarta. Fokus dari organisasi nirlaba
ini adalah media dan seni. Organisasi ini memproduksi, melakukan dokumentasi,
penelitian dan juga distribusi. Forum Lenteng juga aktif mengadakan program kuratorial,
simposium, dan kuliah umum untuk menambah wawasan tentang perkembangan estetika
sinema mutakhir terutama dokumenter. Salah satu andalan program dari organisasi
ini adalah ARKIPEL – Jakarta International Documentary and Experimental Film
Festival. Menurut website resminya, festival ini bertujuan untuk membaca
fenomena global dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya melalui
sinema. ARKIPEL menjadi festival berbasis Indonesia yang prestijius secara
internasional karena pernah diikuti sampai 60 negara.
In-Docs
adalah organisasi budaya yang berfokus pada film dokumenter. Pada tahun 2017,
Good Pitch Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh In-Docs menggalang dana
lebih dari USD 160.000 dan menjalin lebih dari 100 kemitraan baru untuk dampak
film tersebut. Film-film yang didukung In-Docs telah ditampilkan dan
memenangkan penghargaan di festival film di seluruh dunia, termasuk IDFA,
Festival Film International Rotterdam, Festival Film Dokumenter Sheffield,
Festival Film Internasional Singapura, MOMA Doc Fortnight, dan lain-lain.
Film-film yang pernah terpilih dalam Good Pitch Indonesia antara lain:
"Hidup dengan Bencana" (Yusuf Radjamuda), "Menggapai
Bintang" (Ucu Agustin) dan "Waste On My Plate" (David Darmadi).
Amelia Hapsari, Program Director di In-Docs sejak 2012 yang juga produser dari
film "Jagoan ala Ahok" (2012) dan "Rising from Silence"
(2016) adalah orang Indonesia pertama yang menjadi juri Piala Oscar.
Pasca
reformasi infrastruktur internet berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menjadi
latar berdirinya ButtonIjo. ButtonIjo adalah merupakan kolektif produksi dan
inisiatif distribusi film-film alternatif, dirintis oleh Amir Pohan dan Myrna
Paramita pada 2010. ButttonIjo berfokus pada distribusi film online sehingga
peredaran film tidak harus bergantung pada bioskop dan festival saja. Ada tiga
program yang sedang dan akan digalakan oleh ButtonIjo yakni: distribusi online
(via streaming), distribusi offline (via USB Sinema), dan film funding
(pendanaan film). Beberapa film yang sudah mendapat dukungan pendanaan
Buttonijo antara lain: "Ayam Mati di Lumbung Padi" (Darwin Nugraha),
"Rocket Rain" (Anggun Priambodo), "Another Trip to the
Moon" (Ismail Basbeth), "Riding the Light" (Jeihan Angga) dan
"Langit Masih Gemuruh" (Jason Iskandar).
Ada
beberapa filmmaker yang patut disebut dalam amatan kritis yang aktif dari
wilayah Jakarta dan sekitarnya.
· Harry "Dagoe" Suharyadi. Dikenal sebagai salah satu aktor dalam Kuldesak. "Pachinko & Everyone's Happy" (2000) yang diputar bergerilya di kampus-kampus merupakan gerakan awal pasca Kuldesak. Love Potpourri (2008), terpilih menjadi Best Asian Film di Singapore International Film Festival 2009. Filmnya yang lain adalah "Sunya" (2013).
· Dennis Adhiswara. Lebih dikenal sebagai aktor film industri sebagai Mamet di "Ada Apa dengan Cinta" (Rudi Soedjarwo). Menutut catatan Eric sasono Dennis juga lebih dulu terkenal di kalangan anak-anak sekolah yang gemar membuat film pendek di akhir dekade 1990-an berkat perannya di film “Hampir Jam 5, Kita Harus Pulang!” yang merupakan film pemenang festival film independen yang diselenggarakan oleh Yayasan Konfiden. "El Meler" (2001) termasuk film independen awal yang menempuh distribusi gerilya.
· Paul Agusta. Kiprahnya lebih banyak di "bawah tanah" lewat filmnya "Kado Hari Jadi" (2008), "Dari Pisau Mana" (2012), "Ngilu" (2016). Film Panjang terkemukanya adalah “Daysleepers” (2018). Selebihnya ia aktif sebagai aktor dan memberikan pelatihan keaktoran. Penampilannya di film "A Copy of My Mind" (Joko Anwar, 2015) memberinya Nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik di Piala Citra Festival Film Indonesia 2015.
· Edwin. Film debutnya "Babi Buta Yang Ingin Terbang" (2008) menang FIPRESCI Prize di International Film Festival Rotterdam. "Post Card From The Zoo" (2012) masuk The 62nd Berlin Film Festival. Sedangkan "Posesif" memberinya Piala Citra untuk Sutradara Terbaik di FFI 2017. Film adaptasi novel Eka Kurniawan “Seperti Dendam, Rindu harus Dibayar Tuntas” (2021) memenangkan penghargaan Golden Leopard di Locarno Film Festival.
· Sidi Saleh. "Fitri" masuk dalam International Short Film Festival Clermont-Ferrand 2014. "Maryam" (2017) menang Orizzonti Award for Best Short Film di The Venice Film Festival 2017. Sidi merupakan sinematografer yang juga berkolaborasi bersama Edwin.
· Teddy Soeriaatmadja. Film yang mengangkat namanya adalah "Banyu Biru" (2005), remake "Badai Pasti Berlalu" (2007) dan "Lovely Man" (2011). Jauh sebelum itu, film pertamanya "Culik" (1998) diputar di Jakarta International Film Festival (Jiffest). Film ini mengenalkan Teddy pada Mira Lesmana dan Riri Riza yang baru saja menyelesaikan film Kuldesak. Teddy telah 3 (tiga) kali dinominasikan sebagai Sutradara Terbaik dan filmnya sebagai Film Terbaik; 2006 dalam "Ruang", 2009 dalam Ruma Maida, dan 2012 dalam Lovely Man, namun belum pernah memenangkannya.
· Andibachtiar Yusuf. "Hardline" (2004) terpilih sebagai Official Element World Cup 2006 yang membawanya mengikuti program Berlinale Talent Campus di Jerman."The Conductors" (2008) memenangkan Piala Citra di FFI 2008 untuk kategori Film Dokumenter Terbaik. Ia juga dinominasikan dalam kategori Penulis Skenario Asli Terbaik untuk film Love for Sale di FFI 2018.
· Richard Oh. Juga seorang sastrawan yang bersama Takeshi Ichiki merupakan perintis perhelatan Kusala Sastra Khatulistiwa. Film debutnya adalah "Koper" (2006). Filmnya antara lain "Melancholy is a Movement" (2015).
· Lucky Kuswandi. Dikenal sebagai sutradara "Madame X" (2010), namun kiprah independennya lebih dikenal lewat "The Fox Exploits The Tiger's Might" (2015) yang menjadi sorotan di Pekan Kritikus Festival Film Cannes 2015.
· Andri Cung. "Payung Merah" (2010) Film Pendek Terbaik di @Screen Singapore International Film Festival 2011 dan nominasi Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2011. "The Sun, The Moon & The Hurricane" (2014) mendapatkan nominasi sebagai sutradara pendatang baru terbaik di Vancouver International Film Festival 2014.
· Edward Gunawan. Naskah Panjang Terbaik di acara Jakarta International Film Festival tahun 2006. Nominasi Film Pendek Terbaik untuk film "Payung Merah", bersama Andy Cung di Festival Film Indonesia 2011. Nominasi Film Pendek Terbaik untuk film Dino di Festival Film Indonesia 2013. "Adam" (2013) meraih Jury Prize Winner sebagai Best Short Film pada New York City International Film Festival 2013.
· Yudho Aditya (kelahiran Jakarta lalu pindah ke USA umur 9 tahun). "Pria" (2017) memenangkan Best Short Film di Hawaii International Film Festival 2017, Audience Award — New York Lesbian and Gay Film Festival 2017 dan VC FilmFest - Los Angeles Asian Pacific Film Festival 2017. Karyanya yang lain "Pipe Dream" diputar di 30 festival film dan dikembangkan jadi web series oleh Warner Brothers Television.
· Jason Iskandar. Mendirikan Antelope Studio awalnya berupa komunitas pada 2011. Kini Antelope menjadi production house yang selain menggarap proyek komersial juga membikin film pendek peraih penghargaan. "Teritorial Pissing" (2010) menjadi film pendek terbaik di JAFF.
· Monica Vanesa Tedja. "How to Make a Perfect Xmas Eve" (2013) menjadi Best Film di XXI Short Film Festival, diikuti dengan "Sleep Tight Maria" (2015) yang menjadi pemenang dalam Festival Sinema Prancis 2015. Pada tahun 2015 dia melanjutkan studi film di Berlin.
· Candra Aditya. Mengangkat isu urban vs rural dalam produksinya yang minimalis, "Ngabuburit" (2016) dan "Dewi Pulang" (2016). Dewi Pulang menjadi tema diskusi dalam Asia At the Crossroads 2020, sebuah forum diskusi yang dilakukan oleh para akademisi dan antropolog dari 4 negara.
· Adi Victory. "Lasagna" (2019) yang diproduksi setelah memenangkan Short Film Pitching Project di Europe On Screen 2018. Film ini beredar ke beberapa festival internasional dan juga secara bergerilya lewat pemutaran non reguler.
· Orizon Astonia. “Pingitan" dan "Lewat Sepertiga Malam" masuk di seleksi JAFF 2013 dan diputar pula di XXI Short Film Festival 2014. Kedua film itu didiskusikan di banyak forum apresiasi film.
· Winner Wijaya. "Ojek Lusi" (2017) Nominator Film Dokumenter Terbaik FFI. Winner juga menjadi finalis Piala Maya untuk "Hai, Guys. Balik Lagi Sama Gue, Tuhan!" (2020).
· Robby Ertanto. Dikenal sebagai sutradara "Ave Maryam" (2018) yang jadi Official Selection Cape Town International Film Market (CTIFM&F), HANIFF ( Hanoi International Film Festival) dan Hongkong Asian Festival. Nominator Piala Citra di FFI 2010 untuk film "7 Hati 7 Cinta 7 Wanita" dalam kategori penulis skenario terbaik. "Dilema" (2012) meraih penghargaan Best Feature Film di International Festival of Detective Film Moscow, Rusia 2012 dan juga Nominator "Film ter-Favorit" at the di Indonesian Movie Awards 2012.
· Rhavi Bharwani. "Jermal" (2008) tayang di Festival Film Internasional Busan pada bulan Oktober 2008. Pada FFI 2009 film tersebut mendapatkan Nominasi Pemeran Utama Pria (untuk Didi Petet) dan Nominasi Tata Artistik (untuk Budi Riyanto Karung). "27 Steps of May" (2019) tayang di Bengaluru International Film Festival (Biffes), Mar Sharm El Sheikh Asian Film Festival (SAFF) dan Cambodia International Film Festival (CIFF). Film ini memenangkan Piala Citra di FFI 2019 untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik (Raihaanun).
· Emil Heradi. "Night Bus" meraih Film Terbaik Festival Film Indonesia 2017.
· Makbul Mubarak. Kritikus film di Cinema Poetica. Filmnya antara lain "Sugih" (2015), "Serpong" (2015), "Irasaimase" (2016), dan "Ruah" (2016). "Ruah" meraih penghargaan Film Pendek terbaik FFI 2017.
· Giovanni Rustanto. "Lily of the Valley" dianugrahi Remi Winner di 53rd Annual Worldfest-Houston International Film Festival 2020, masuk seleksi Festival Raices 2020 dan Urbanworld 2020.
· Reinhard Maychaelson. Rein Maychaelson menang penghargaan the Rising Filmmaker award di Popcon Asia 2018. "Udin Telekomsel" masuk Jogja-NETPAC Asian Film Festival yang juga terpilih sebagai Viddsee Juree Awards pada 2016. Maychelson juga ikut serta di XXI Short Film Festival, San Francisco Indonesian Film Festival, Los Angeles Indonesia Film Festival, Bangkok International Film Festival dan Europe on Screen.
· Sigit Pradityo. Film eksperimentalnya "Kurung Manuk" (2016) mendapat 5 penghargaan sekaligus: Winner of Jury Award, Best Underground Feature, Best Experimental feature, Best Foreign Language Feature, serta Best First Feature di Los Angeles Underground Film Forum (LAUFF 2016). Setelah itu didistribusikan oleh Troma Entertainment, sebuah distribution company Amerika khusus untuk genre eksploitasi yang sudah aktif sejak tahun 1974.
· Azzam Fi Rullah dan Alzein Merdeka. Dikenal sebagai Amer Bersaudara. Karyanya antara lain "Goyang Kubur Mandi Darah" (2018), "Kuntilanak Pecah Ketuban" (2018) dan "Azabku Azabmu" (2018). Amer Bersaudara mengusung genre film eksploitatif (B Movie) yang diedarkan secara independen pada pemutaran-pemutaran lokal dan juga online platform.
Dari
sederetan nama tersebut saya perlu sebut Rudi Soedjarwo secara khusus. Rudi
dikenal secara nasional lewat "Ada Apa Dengan Cinta" (2000). Meski
mengawali dengan film-film industri, belakangan Rudi bergerak secara independen
antara lain dengan menjadi mentor beberapa talent dan calon sutradara muda.
Misalnya pada 27, 28 dan 29 November 2015 dia menyelenggarakan Festival Film
Rumah Terindah yang meluncurkan 3 film hasil karya muridnya yang telah
mengikuti workshopnya: "Skenario Tuhan" (Joel Fadly), "Bara Di
Negeri Hujan" (Otoy Witoyo) dan "Helldresser" (Otoy Witoyo).
Film tersebut diputar di di CGV Blitz cinema, Pacific Place, Jakarta (non reguler)
dengan tiket berbayar. Dari pantauan saya di media sosialnya, instagram, Rudi
kerap mempertanyakan makna independen bahkan hingga ke aspek platform exhibisi.
Sementara
itu dari kategori dokumenter ada beberapa nama yang terkemuka.
· Lexy Junior Rambadeta. Filmmaker dokumenter pendiri rumah produksi Offstream. Offstream bekerjasama dengan KITLV di Belanda membuat suatu proyek film dokumenter yang dikatakan akan berjalan paling tidak untuk 100 tahun. Lexy juga mendapatkan penghargaan di Festival Film Dokumenter, Jakarta International Film Festival, dan SET Award. Karyanya antara lain "Sex, Lies, & Cigarettes" (2011), "Islam’s Deadly Divide" (2011), "World’s Toilet Crisis" (2010), "Faces of Everyday Corruption in Indonesia" (2006), "Youth On The Edge" (2004), dan "Bade Tan Reuda (Aceh’s Never ending Tragedy)" (2003).
· Ismail Fahmi Lubis. Menjadi tutor untuk Documentary Master Classes di Jakarta International Film Festival (JIFFEST) pada 2006 dan 2007. "Tarling is Darling" (2017) diputar di Busan International Film Festival dan mendapat Special Jury Mention award di Taiwan International Film Festival 2018."Help Is On The Way" memenangkan Piala Citra untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik FFI 2019.
· Yuda Kurniawan. Meraih NETPAC Award (Network for the promotion of Asia Pasific Cinema), sebuah penghargaan yang diberikan kepada Sutradara Asia yang menunjukkan kontribusi penting bagi gerakan sinema Asia baru. "Nyanyian Akar Rumput" (2018) jadi Pemenang Piala Citra FFI 2018 Untuk kategori film dokumenter panjang terbaik dan telah diputar dilebih dari 20 festival film baik di dalam maupun luar negeri. Nyanyian Akar Rumput juga telah diputar serentak di jaringan bioskop komersial pada 16 Januari 2020 yang lalu.
·
Shalahuddin Siregar. "Pesantren"
(2018) menang Piala Citra FFI 2018 untuk kategori Film Pendek Dokumenter. Film
ini juga diputar di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA)
2019 pada 20 November 2019.
Kita
bergeser ke Jawa Barat.
Forum
Film Bandung berdiri pada tahun 1987, digagas oleh sejumlah wartawan,
akademisi, pengamat film dan budayawan Bandung yang memiliki perhatian besar
terhadap perfilman. Anggotanya antara lain Chand Parwez Servia, Prof. Saini
K.M., Eddy D. Iskandar, Prof. Jakob Soemardjo, Prof. Dr. Sudjoko Danoesoebrata,
dan Duduh Durahman. Forum Film Bandung sempat menggegerkan pemerintah pada
tahun 1988 ketika menyelenggarakan Festival Film Bandung yang dianggap mau
menandingi FFI. Akhirnya istilah Festival diganti menjadi forum dan dari situ
nama Forum Film Bandung ditetapkan.
Di
Sukabumi ada Sukabumi Sinema Indie Forum. Komunitas ini pernah menjadi tuan
rumah (berkolaborasi dengan media Spektakel) untuk acara Temu Komunitas Film
Indonesia (TKFI) pada 23-25 Maret 2018 di Gedung Seribu Cahaya, Jalan Limus
Nunggal Cibereum.
Nama
yang menarik untuk diikuti secara kritis antara lain:
· Ariani Darmawan. Sejak tahun 2004 ia terlibat dalam kelompok inisiatif seniman VideoBabes bersama Prilla Tania dan Rani Ravenina. Film-film yang di buat dengan 10 pembuat film Indonesia yang membawa proyek omnibus 9808. "Anak Naga Beranak Naga" (2005) tayang di Goteburg Art Festival, Swedia (2006) dan Singapore International Film Fesival, Singapura (2008). "Sugiharto Halim" (2008) tayang di Clermont-Rotterdam International Film Festival, Prancis (2008) dan Rotterdam International Film Festival, Belanda (2009). Film tersebut juga yang memenangkan kategori Film Terbaik dan Film Favorit Pemirsa di Festival Film Pendek Konfiden 2008. Ariani adalah pendiri Kineruku.
· Roufy Nasution. Lahir di Jakarta, besar di Medan lalu pindah ke Bandung. "Barakabut: The Fire Longing For The Mist" (2017) mendapat Special Mention Jury Award di ReelOzInd Australia Indonesia Film Festival 2017 serta diputar di Seashorts Film Festival 2018 di Penang, Malaysia dan Images Forum Festival 2018 di Tokyo, Jepang. "The Boy with Moving Image" (2020) menjadi Pemenang Film Panjang Non-Reguler Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021.
· Ucu Agustin. Asal Sukabumi. Ucu adalah filmmaker dokumenter yang memulai karir sebagai wartawan. Pemenang Lomba Menulis Skenario yang diselenggarakan Jakarta International Film Festival pada tahun 2005, yang kemudian menghasilkan "Death in Jakarta"."Ragat'e Anak", salah satu film dari antologi berjudul "Pertaruhan" diputar di seksi Panorama di Festival Film Internasional Berlin pada tahun 2009. Filmnya merupakan film Indonesia pertama yang diputar di seksi Panorama. "Sejauh Kumelangkah" (2019) memenangkan Piala Citra untuk Film Dokumenter Pendek Terbaik FFI 2019.
JAWA
TENGAH, JOGJAKARTA DAN SEKITARNYA
Sejak
2004 di Purbalingga, Jawa Tengah, menurut Bowo Leksono sudah ada para pembuat
film secara independen. Film-film ini diputar ke sekolah-sekolah setingkat SMP
dan SMA di Purbalingga untuk diapresiasi. Tidak lupa film-film itu dikirim
untuk diapresiasi di luar Purbalingga, salah satunya ke Pesta Sinema Indonesia
(PSI) di Purwokerto. Bowo Leksono mengawali karir filmnya dengan Peronika
(2004) yang kemudian mengawali perjalanan komunitas film di Purbalingga untuk
seterusnya. Di kemudian hari, Bowo lebih fokus untuk menjadi edukator film dan
aktivis.
Pada
4 Maret 2006, para pegiat film pendek di Purbalingga bersepakat membentuk
komunitas bersama bernama Cinema Lovers Community (CLC) yang dipimpin oleh Bowo
Leksono. Kegiatan CLC adalah memfasilitasi kegiatan perfilman berbasis
komunitas di Purbalingga. Karena konflik dengan pemerintah setempat sejak 7
Juli 2007, CLC menggelar festival film yang pertama—saat itu masih bernama
Parade Film Purbalingga (PFP). Salah satu program PFP adalah memutar seluruh
film pendek Purbalingga yang diproduksi dari 2004 hingga 2007 dari pagi hingga
malam hari. Masih menurut Bowo Leksono, total film berjumlah 30 dan sebagian
adalah karya pelajar. Selain pemutaran film, program PFP adalah diskusi,
pameran, pentas seni, dan penghargaan film favorit penonton. Parade Film
Purbalingga kemudian berganti nama menjadi Festival Film Purbalingga (FFP). FFP
masih berlangsung hingga tulisan ini dibuat. Film independen terkemuka dari
sini misalnya "Lawuh Boled" (Misyatun, 2012) peraih Debut
Penyutradaraan Berbakat Piala Iqbal Rais pada Piala Maya 2013.
Di
Tegal, Sinema Pantura didirikan sejak 2017 oleh Wicaksono Wisnu Legowo. Sebagai
imbas dari kesuksesan film "Turah" yang disutrdarai oleh pendirinya,
komunitas ini didirikan untuk menjadi jejaring para pelaku perfilman di tegal.
Sinema Pantura mengadakan kegiatan produksi, pemutaran dan diskusi serta
bekerjasama dengan pemerintah setempat.
Komunitas
Sinema Semarang (KSS) didirikan sekitar pertengahan Agustus 2011, dimotori oleh
beberapa orang kameramen profesional. Komunitas ini digerakkan oleh Andy
Kusworo dan kawan-kawan. Program lain komunitas ini adalah Bioskop Rakyat
(Biora). KSS juga sering mengisi workshop mengenai sinematografi di berbagai
lembaga pendidikan, seperti kampus dan sekolah. Pada 2012 KSS mengadakan
Lawangsewu Film Festival. Selain acara KSS juga memiliki divisi Perpustakaan
Film yang menurut Andy memiliki koleksi tak kurang dari 97 film yang terdiri
dari film fiksi dan film dokumenter.
Di
kota yang sama Ruang Film Semarang (RFS) didirikan pada tanggal 14 Desember
2013 oleh Yulia Hesti Nurnaningsih yang berasal dari Temanggung. Keanggotaan
RFS lebih terbuka pada siapa saja, tidak harus yang sudah lama di perfilman,
orang yang awam bisa bergabung. Ruang Film Semarang aktif membuat pemutaran
alternatif, menyelenggarakan lokakarya, memproduksi dan mendistribusikan film.
Masih
di Semarang, Ardian Agil Waskito dan kawan-kawan mengelola Sineroom sejak 29
Juli 2015 sebagai kolektif sinema alternatif yang bergerak di ekshibisi dan
apresiasi film. Komunitas ini menggelar pemutaran film, diskusi dan produksi
film di Semarang.
Di
Solo Zen Al-Ansory bersama teman-teman mendirikan Kisikelir. Kisikelir memutar
film-film alternatif di ruang alternatif pula misalnya layar tancap dan di
kafe. Selain memutar film hasil kurasi internal, Kisikelir juga mendapat film
bekerjasama dengan para distributor. Tak hanya memutar, ada pula acara diskusi.
Kegiatan mereka juga diliput oleh media cetak lokal.
Konfik
(Komunitas Film Klaten) lahir sekitar tahun 2014 oleh beberapa anak SMK yang
baru saja lulus. Konfik memiliki agenda tahunan yaitu pemutaran film/screening,
workshop, diskusi film dan juga produksi film. Konfik menghasilkan beberapa
film berprestasi seperti "Topo Pendem", "Lilakno" dan
"Kemanten" (semuanya disutradarai Imam Syafi'i).
Di
Jawa Tengah ada beberapa individu filmmaker yang menarik kita amati.
· Wicaksono Wisnu Legowo dari Tegal. "Turah" (2017). Turah memenangi antara lain 3 kategori sekaligus dalam Geber Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, juga kategori Asian Feature Film Special Mention di Singapore International Film Festival. Tahun 2017, Turah dipilih untuk mewakili Indonesia dalam mengikuti ajang Academy Award ke-90 melalui kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
· Tunggul Banjaransari lahir di Surakarta bekerja di Semarang. "Udhar" (2014) masuk Thai Short Film and Video Festival 2016 dan mendapatkan penghargaan Light of Asia (Film Pendek Terbaik) atau Blencong Award Best Asian Short Film di JAFF Netpac 2014. "Canggung" (2013) masuk dalam International Competition Arkipel Documentary and Experimental Film Festival 2013, Official Selection Jakarta International Film Festival 2013 dan Nominasi Film Dokumenter Terbaik Piala Maya 2013. "Liburan Keluarga" (2013) Best Film di Ganesha Film Festival 2014, Best Sinematografi di Ganesha Film Festival 2014. Tunggul menjadi dosen di Prodi Film & TV Udinus Semarang.
· Bani Nasution asal Solo. “Sepanjang Jalan Satu Arah” (2016) menjadi finalis di Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta tahun 2016, mendapat penghargaan Special Jury Mention pada Sea Short Film Festival 2017 di Kuala Lumpur, Malaysia dan dipilih oleh tim programming Minikino menjadi salah satu film pendek dalam program S-Express 2017 Indonesia. Ia bersama 4 sutradara Indonesia yang lain (Andrianus “Oetjoe” Merdhi, Wahyu Utami Wati, Tunggul Banjaransari dan Rahung Nasution) juga pernah terpilih dalam program "5 Pulau 5 Desa" dan mendapat kesempatan untuk membuat film dokumenter di Jerman. Program tersebut dikonsep dan dikerjakan oleh Goethe-Institut di Indonesia dan Universitas Seni Hamburg atau HFBK Hamburg (Hochschule for Bildende Kuste Hamburg). Lima karya film dokumenter yang dibuat di Jerman selama kurang lebih tiga minggu tersebut diputar di ARKIPEL – International Documentary and Experimental Film Festival 2017 di Jakarta.
· Fanny Chotimah dari Solo. "You and I" meraih penghargaan film terbaik di Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival, juga masuk dalam nominasi Film Dokumenter Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia 2020 dan juga Pemenang Film Dokumenter Panjang Terpilih Piala Maya 2021.
· Imam Syafii dari Klaten. "Lilakno" masuk nominasi di Asian American International Film Festival 2018 dan "Kite" masuk Global University Film Award di Hongkong 2018. "Topo Pendem" masuk nominasi FFI 2018. "Kemanten" terpilih sebagai ‘Semi-Finalist’ di Student Academy Awards (Oscars) dari Academy of Motion Picture Arts and Sciences, Hollywood, California, bersaing dengan 1.468 film dari seluruh dunia. Kemanten juga masuk dalam Official Selection pada JAFF 2020. Bersama teman-temannya, Imam Syafi'i juga mengembangkan komunitas film di daerahnya yang diberi nama Komunitas Film Klaten (KONFIK).
Di
Jogja ada lebih banyak lagi filmmaker yang mewarnai perfilman nasional. Pada
tahun 2003 ada "Homeland" karya Gangsar Waskito bersama Studio Kasat
Mata. Homeland merupakan film animasi CGI 3D panjang pertama di Indonesia. Film
ini diputar secara bergerilya dalam roadshow Ke-13 kota antara lain Denpasar,
Menado, Balikpapan, Pontianak, Jember, Solo, Batam, Padang, Lampung dan
Purwokerto. Film ini menyabet dua penghargaan, yakni Winner Bali International
Film Festival 2004 dan Winner Indonesian Animated Film Festival 2005. Bicara
soal animasi, konon Jogja adalah salah satu kantong utama penghasil film
animasi. Yang terkemuka antara lain Bening Studio (studio animasi pertama di
Jogja) yang menjual filmnya dalam bentuk VCD, ada Urak-Urek Studio, Imunimasi
Studio dan lain-lain.
Montase
adalah komunitas film independen yang dibentuk pada tahun 2005 di Kota
Yogyakarta. Awalnya, mereka adalah sekumpulan para penikmat film yang berbagi
info dan berdiskusi tentang film. Komunitas ini juga menerbitkan buletin sejak
tahun 2006, bernama “Buletin Sinema Independen Montase”. Buletin Montase terbit
hingga 27 edisi, berisi pengetahuan dan ulasan film, baik mancanegara maupun
lokal, serta artikel lepas yang terkait film. Setelahnya, Buletin Montase vakum
sejak tahun 2012 dan hingga pada pertengahan tahun 2015 digantikan oleh website
montasefilm.com. Dalam perkembangannya, Komunitas Film Montase mulai membuat
film dokumenter hingga film fiksi/cerita, serta mengadakan pelatihan produksi
film untuk beberapa instansi serta kampus. Pada tahun 2015, Komunitas Film
Montase meraih penghargaan Komunitas Film Terbaik dalam ajang bergengsi
Apresiasi Film Indonesia (AFI) 2015. Pada tahun 2017, komunitas ini juga mulai
mendirikan penerbitan dan mencetak buku film melalui Montase Press.
Yang
mendominasi perfilman independen Jogjakarta sejak awal pasca reformasi mungkin
bisa saya katakan adalah kelompok Fourcolours. Fourcolours Films kini dikenal
sebagai rumah produksi komersial. Namun ia pada awalnya adalah komunitas film
independen yang didirikan Eddie Cahyono dan kawan-kawan pada tahun 2001. Mereka
aktif membuat film-film pendek dan beberapa di antaranya berhasil memenangkan
penghargaan di festival-festival film. Film pendek "Di antara Masa Lalu
dan Masa Sekarang" (Sutradara Eddie Cahyono, 2001) memenangkan Film
Terbaik dan Film Favorit pilah penonton di Festival Film-Video Independen
Indonesia 2001 dan aktor terbaik dalam Festival Film Independen Indonesia 2001.
"Air Mata Surga" dan "Mayar". Film “Air Mata Surga”
(Sutradara Eddie Cahyono, 2002) menjadi film pembuka di Festival Film-Video
Independen Indonesia 2002. “Mayar” (Sutradara Ifa Ifansyah, 2002) berhasil
memenangkan SET award untuk penata kamera dan penata artistik terbaik di
festival yang sama. Debut internasionalnya adalah "Bedjo Van Derlaak"
(Eddie Cahyono, 2003) yang menjadi best picture pada student film competition di
Bali International Film Festival 2003. Sejak tahun 2003, Fourcolours mulai
bergerak ke arah komersil dengan menjadi badan usaha. Menyebut Fourcolours tak
lengkap tanpa menyinggung "Siti" (Eddie Cahyono, 2014). Film ini
beredar secara independen, tidak masuk jaringan bioskop reguler setidaknya
hingga 2016. Siti meraih Honourable Feature Mention di 19th Toronto Reel Asian
International Film Festival 2015 dan juga memenangkan Piala Citra di FFI 2015.
Dari
kelompok Fourcolours tadi yang menonjol adalah Eddie Cahyono dan Ifa Ifansyah.
Selain menyutradarai, Ifa juga mengorganisir festival. Jogja Asia NETPAC Film
Festival (JAFF) dikelolanya bersama kawan-kawan. Ia menjadi produser untuk
bakat-bakat baru yang satu visi. Misalnya "Turah" (Wicaksono Wisnu
Legowo, 2017). Turah memenangi antara lain 3 kategori sekaligus dalam Geber
Award dan Netpac Award dalam Jogja-Netpac Asian Film Festival, juga kategori
Asian Feature Film Special Mention di Singapore International Film Festival.
Tahun 2017, Turah dipilih untuk mewakili Indonesia dalam mengikuti ajang
Academy Award ke-90 melalui kategori Film Berbahasa Asing Terbaik.
Selain
itu istrinya Ifa Ifansyah, Kamila Andini juga seorang sutradara terkemuka.
"Sekala Niskala (The Seen and Unseen)" memenangkan Grand Prize kategori
Generation Kplus International Jury untuk film berdurasi panjang terbaik di
Berlin International Film Festival 2018. Ini merupakan film bergengsi pertama
dari Indonesia yang menerima Grand Prix di Berlinale. Film tersebut juga
diputar di Toronto International Film Festival (TIFF) tahun 2017.
Di
luar Fourcolours ada beberapa nama yang penting untuk amatan kritis kita.
· Ismail Basbeth. "Another Trip To The Moon" (2015) berkompetisi di International Film Festival Rotterdam (IFFR). Dari tahun yang sama "Mencari Hilal" masuk Nominasi Sutradara Terbaik dan memenangkan Pemeran Utama Pria Terbaik untuk Deddy Sutomo pada FFI 2015.
· Yusron Fuadi. "Tengkorak" (2017) adalah film feature scifi independen yang menuai perhatian dan termasuk "satu-satunya genre ini" pada saat diluncurkan. Film ini sempat masuk bioskop dan diputar di JAFF 2017. Menurut Wikan Sakarinto, produser film Tengkorak, film tersebut masuk seleksi Cinequest Film and VR Festival 2018 di Silicon Valley, California, Amerika Serikat. Tengkorak juga didistribusikan secara bergerilya di pemutaran non reguler.
· Jeihan Angga. "Mekah I'm Coming" memenangkan Penyutradaraan Berbakat Film Panjang Karya Perdana Terpilih dan Penulisan Skenario Adaptasi Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021. Sebelumnya ia menggeluti genre komedi dengan latar lokal kejawaan. "Neng Kene Aku Ngenteni Koe" menang penghargaan Gajah Emas di Ganesha Film Festival 2019.
· Yosep Anggi Noen. Nominator Piala Citra untuk Sutradara Terbaik. Beberapa filmnya ditayangkan di festival film internasional, seperti International Film Festival Rotterdam (untuk film "Hujan tak jadi datang" ("It's Not Raining Outside"), Locarno Film Festival (untuk "Vakansi Yang Janggal dan Penyakit Lainnya"), Vancouver International Film Festival 2013 (berhasil mendapatkan Special Mention Award untuk Vakansi), Okinawa Internasional Film Festival 2015 (untuk "Rumah"), dan Toronto International Film Festival 2018 (untuk film pendeknya Ballad of Blood and Two White Buckets).
· BW Purba Negara. "Bermula Dari A" menyabet Best Film Award 2012 di Vladivostok International Film Festival Rusia dan juga merupakan Film Pendek Terbaik Festival Film Indonesia 2011. Film panjangnya "Ziarah" (2017) menjadi Film Terbaik di Salamindanaw Film Festival Filipina 2016 dan Film Terbaik Pilihan Juri dan Skenario Terbaik di ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) Malaysia 2017.
· Wregas Bhanuteja. Filmnya "Lembusura" (2014) yang menceritakan tentang letusan Gunung Kelud, terseleksi untuk berkompetisi di 65th Berlin International Film Festival 2015 dalam kategori Berlinale Shorts Competition. Wreghas adalah sutradara film Indonesia pertama yang mendapatkan penghargaan film pendek terbaik di Semaine de la Critique, Festival Film Cannes 2016 dengan film pendeknya "Prenjak (In The Year of Monkey)". "Tak Ada yang Gila di Kota Ini" (2019) berkompetisi di program Wide Angle: Asian Short Film Competition di Busan International Film Festival (BIFF) dan juga masuk seleksi Sundance Film Festival 2020.
· Bayu Prihantoro Filemon (asal Magelang dan sempat kuliah di Jogja). "Origin of Fear" masuk dalam Orizzonti Venice International Film Festival ke-73. Sebelumnya, ia menjadi sinematografer untuk film rekannya Yosep Anggi Noen yakni “Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya”, “Istirahatlah Kata-Kata”, dan “Kisah Cinta yang Asu”, yang terlebih dahulu ada di peredaran festival film International.
· Loeloe Hendra Komara. "Onomastika" (2014) berkompetisi di Berlinale 2015 masuk dalam kategori Generation Kplus.
· Tata Sidharta. Karyanya "Natalan" (2015) dapat Nominasi Film Pendek Terbaik FFI (Festival Film Indonesia) serta Light of Asia Competition di JAFF 2015. Karyanya yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY "Los Jogjakartoz" (2018) masuk seleksi JAFF 2018. Tahun 2020, Tata termausk dalam satu sutradara dalam film omnibus produksi BASE Entertainmet berjudul "Quarantine Tales" bersama Ifa Ifansyah, Jason Iskandar dan kawan-kawan.
· Eden Junjung. "Bunga dan Tembok" (2016) masuk seleksi Busan International Short competition, "Happy Family" (2017) masuk Valletta & Taipei Film Festival) dan "Bura" (2019) menang Jury Award Singapore Film Festival competition. Proyek film panjangnya "Mayday" menang Best Future Project di Jogja Future Project, Jogja-NETPAC Asian Film Festival.
· Luhki Herwanayogi. Mendirikan rumah produksinya sendiri Catchlight Pictures Indonesia dan juga cre8pictures yang berbasis komunitas sejak 2009. "Har" (2018) masuk nominasi FFI 2018 dan diputar di Busan International Short Film Festival 2019. Debut feature-nya "Our Son" menerima Purin Award for best Southeast Asian project di Busan Asian Film School (AFiS) Pitching Project 2019. "On Friday Noon" (2016) masuk Locarno Film Festival 2020.
·
Dirmawan Hatta. Mendapatkan nominasi dari
Festival Film Indonesia untuk skenario "Bulan di Atas Kuburan" (2015)
dan "May" (2008). Selain itu, Hatta juga mendapatkan nominasi dari
Deauville Asian Film Festival (2014), Pusan International Film Festival (2013),
dan Jogja-NETPAC Asian Film Festival (2013).
Dari
kategori fiksi saya merasa perlu menyebut dua filmmaker Jogja dan karyanya ini
secara khusus. Kedua film yang dibuat oleh dua sutradara berikut mencapai
kesuksesan dalam arti luas yakni tak cuma di festival. Bahkan dibanding karya
yang lain, dua film mereka pencapaian festivalnya tidak cukup megah (saya asumsikan
film yang menang festival luar negeri itu megah karena diapresiasi lintas
budaya dan bahasa). Akan tetapi saya mengamati bahwa dua film berikut ini cukup
berpengaruh bahkan kepada awam yang jarang mengapresiasi film. Film mereka
sering dibicarakan dan dibagikan dalam grup-grup Whatsapp. Ini artinya filmnya
begitu kontekstual dan terhubung (relate) dengan sanubari pemirsanya yang bukan
selalu orang melek literasi sinema.
· Bobby Prasetyo. "KTP" (2016) menjadi salah satu film yang cukup viral di kanal Youtube. Film ini mengangkat isu administrasi soal agama dengan genre komedi. Film KTP meraih penghargaan karya terbaik 1 kategori umum pada FVE (Festival Video Edukasi) yang diselenggarakan Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan (BPMTP) pada tahun 2016.
·
Wahyu Agung Prasetyo. "Tilik"
(2018) menjadi film pendek paling viral di internet pada tahun 2020. Film yang
dibuat dalam kerjasama dengan Dinas Kebudayaan DIY ini mengangkat kebiasaan
"rasan-rasan" (ghibah) di kalangan ibu-ibu dan dampak teknologi
komunikasi berbasis internet. Tilik memenangkan kategori Film Cerita Pendek
Terpilih pada gelaran Piala Maya ke-7 tahun 2018.
KTP
dan Tilik adalah salah satu tonggak pencapaian film pendek setelah 21 tahun
lewat reformasi.
Sementara
itu dari kategori dokumenter ada:
· Tony Trimarsanto. Tahun 1997 meraih penghargaan sebagai Best Art Director di Indonesian Cine Club Film Festival untuk film "Daun Di Atas Bantal" karya Garin Nugroho. Tahun 2002 memenangkan penghargaan Film Terbaik untuk film "Gerabah Plastik" di Festival Film Dokumenter Indonesia. Tahun 2010, film "Renita, Renita" memenangkan penghargaan sebagai Film Terbaik di Festival Film India.
· Wahyu Utami. Seniman video dan instalasi sejak 2009 yang kemudian jadi filmmaker dokumenter. “The Unseen Words” menjadi Pemenang Film Dokumenter Pendek Terbaik di FFI 2017 serta pada Piala Maya 2018.
JAWA
TIMUR, BALI DAN SEKITARNYA
Komunitas
Independen Film Surabaya (INFIS) berdiri pada 13 September 2000. Komunitas
bergerak dalam pemutaran dan edukasi film di Surabaya. Pelopornya adalah
I.G.A.K Satrya Wibawa, Don Aryadien, Sam Anindito, dan kawan-kawan yang
kemudian digerakkan oleh para anggota terutama mahasiswa. INFIS juga mempunyai
komunitas junior yang bernama STUFER (Student Film Make). Beberapa kegiatannya
antara lain Film Clinic, Festival Film Pelajar, Grobak Film, Film Rally yang
bekerja sama dengan Disperindag Jatim. INFIS juga rutin terlibat dengan
“Indonesia Raja” yang diinisiasi Minikino. Perwakilannya pernah berpartisipasi
di beberapa acara internasional. Salah satu ketuanya Fauzan Abdillah mewakil
Indonesia untuk bersekolah di International Film Business Academy di Busan Film
School pada bulan Maret-Oktober 2017.
Pabrik
Tjerita Studio adalah perkumpulan nirlaba yang beranggotakan para aktor teater,
pemusik, perupa, penari, penulis dan pembuat film indie di Surabaya.
Kegiatannya adalah memproduksi film cerita fiksi. Produksi perdananya pada
tahun 2003, dengan film "Killer’s Ballad" (Senandung Seorang
Pembunuh). Naskah ditulis dan disutradarai oleh Juslifar M. Junus, difilmkan
dengan Kamera Video Hi-8. Produksi film ini melibatkan mahasiswa sinematografi
Institut Kesenian Jakarta, Komunitas Teater Kumbang UNITOMO Surabaya, Komunitas
Teater Jaguar, Komunitas Teater SMADASA dan Mahasiswa STIKOM. Karya lain dari
sutradara Juslifar M. Junus adalah "Sirkus Kutu" yang menjadi Film
Terbaik dalam ajang Festival Film Pendek Jawa Timur 2011, dengan menyabet 3
Kategori (Sutradara Terbaik, Editor Terbaik, dan Penata Suara Terbaik) serta 3
Nominator (Skenario Terbaik, Tata Photography Terbaik, Tata Artistik Terbaik).
Filmmaker lain dari komunitas ini adalah Gatot Sunarya dengan film pendeknya
"Nur Dalam baskom" (2012).
Masih
di Surabaya, ada pula Komunitas Sinema Intensif yang menggelar pemutaran,
diskusi film dan juga membuat festival bernama Festcil (Festival Kecil) sejak
2016. Festcil berfokus pada film-film pendek komunitas se-Indonesia. Komunitas
ini digerakkan oleh Andi Budrah Sadam yang selain produser independen juga
pernah jadi juri di JAFF beserta kawan-kawan.
Di
Malang, sejak 2006 Arief Akhmad Yani dengan komunitas Lensa Mata sering
menggelar workshop, eksebisi, dan pemutaran film di Malang. Pada 2014 Yani dan
kawan-kawan pegiat lain menyelenggarakan Siar Sinema, sebuah parade pemutaran
film pendek, workshop film pelajar dan kompetisi film dokumenter. Siar Sinema
telah berkeliling ke berbagai kota di Jawa Timur, seperti Kediri, Gresik,
Lumajang, Jember, dan Malang. Selain itu Arief Akhmad Yani juga merupakan
inisiator Festival Film Kopi pada tahun 2017. Yani tergabung dalam susunan
manajemen JAFF sebagai koordinator forum komunitas.
Di
Blitar sejak 2009 berdiri komunitas pemuda dan kebudayaan bernama Sanggar
Saanane di Wlingi yang dipelopori Johan Argono dan Gugun Arief. Di komunitas
ini juga ada kegiatan produksi dan pemutaran film. Gugun Arief lalu mendirikan
komunitas Wlingiwood Filmmakers pada 2014 untuk lebih fokus pada perfilman.
Wlingiwood Filmmakers aktif dalam kegiatan produksi, pemutaran dan edukasi film
untuk pelajar dan masyarakat umum. Di kota yang sama ada juga komunitas Geber
yang bergerak dalam edukasi dan ekshibisi film.
Di
Ponorogo berdiri Komunitas Film Ponorogo Indie (KOFPI) sejak 2014. Komunitas
yang dipelopor oleh Gelora Yudhaswara ini melakukan kegiatan produksi,
pemutaran dan diskusi film.
Beberapa
nama yang bisa disebut dalam amatan kritis dari perfilman independen Jawa Timur
antara lain:
· Mahesa Desaga. "Jumprit Singit" (2012) menjadi Finalis Europe On Screen (2012), Festival Sinema Prancis (2012) dan XXI Short Film Festival (2013). "Nunggu Teka" (2017) menjadi Pemenang Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI 2017).
· Destian Rendra. Mendirikan rumah produksi Hisstory. "Acai Nakrim" menjadi The Best Non-English Short Film di My Rode Reel 2017 International Film Festival Singapura. "Ora Srawung, Mati Suwung" (2020) diputar di Bali International Film Festival dan SeaShorts Film Festival.
· Mochammad Dwi Cahya dengan "Lantun Rakyat" (2019) Nominator Film Pendek Terbaik FFI 2019 dan Pemenang Gajah Emas Award di Ganesha Film Festival.
· Wimar Herdanto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga. Gundah Gundala (2013) masuk dalam nominasi Film Terlaris Kineria pada ajang Piala Maya 2015. Mesin Tanah (Terra Machine) yang meraih penghargaan Gajah Emas dalam Ganesha Film Festival 2018 diputar dalam 28th Singapore Internasional Film Festival pada 2017. Film yang dirilis pada tahun 2016 tersebut juga diputar di Jogja-Netpac Asian Film Festival 2017 dan di Kriterion Filmheater, Amsterdam 2018.
·
M. Ainun Ridho, memproduksi dan
menyutradarai film lokal Surabaya berjudul “JACK” (2019). Film ini
didistribusikan di bioskop non reguler di Surabaya.
· Mohamad Sholikin yang terkenal dengan panggilan Cak Ikin. Menciptakan animasi pendek Suro Boyo pada 2007 yang membawakan komedi dewasa dan mengangkat umpatan khas Surabaya. Film itu diedarkan bergerilya di beberapa kampus sebagai bahan diskusi. Mulai 2010, Suro Boyo dikembangkan menjadi Culo Boyo dan diubah kontennya agar lebih sesuai untuk audiens anak-anak. Karakter tersebut kemudian menjadi populer di platform Youtube.
· Wiryadi Dharmawan yang terkenal dengan panggilan Cak Waw. Memulai karirnya sebagai animator serial kartun TV "Hela Heli Helo" yang pernah tayang di TPI. "Petualangan Penthil Penthol" jadi Animasi Terbaik HelloFest 2005. “Sang Suporter” (2013) memenangkan Piala Citra untuk Kategori Animasi FFI 2013. Itu untuk pertama kalinya FFI membuka kategori animasi, dan juga mendapat Special Mention di XXI Short Film Festival 2014 serta Animasi Terbaik di Piala Maya 2014. Cak Waw juga seorang komikus yang sudah menerbitkan 2 buku kompilasi komik, Trio Hantu cs series: “Hantu Nusantara”, “Hantu Dunia” (bersama Yudis dan Broky) dan “Gilanya Bola” (kompilasi 10 komikus).
· Gelora Yudhaswara. Mendirikan Komunitas Film Ponorogo Indie (KOFPI). "Subur Itu Jujur" masuk dalam seleksi Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2018 dan diputar keliling. "Omah Njero" masuk dalam daftar seleksi FFI 2020.
·
Gugun Arief. Mendirikan Sanggar Saanane
bersama Johan Argono sejak 2009, kemudian mendirikan komunitas Wlingiwood
Filmmakers bersama teman-teman sejak 2014. "Six Pack" (2015) meraih
Juara 2 Lomba Film Pendek Kementrian Kesehatan 2015, "Bid & Run"
Finalis di Festival Sinema Prancis 2015, "Anxietus Domicupus" masuk
Nominasi Film Terbaik Genflix Film Festival 2020, Nominasi Komedi Terbaik di
HelloFest 2020, Pemenang Film Cerita Pendek Terpilih Piala Maya ke-9
tahun 2021 dan meraih Penghargaan Gajah Emas Ganesha Film Festival tahun 2022. Gugun mengusung genre laga dan western lokal.
Sementara
itu dari kategori dokumenter ada:
·
Dandhy Dwi Laksono, kelahiran Lumajang.
Mantan jurnalis yang kemudian menjadi aktivis ini mendirikan rumah produksi
bernama WatchdoC Documentary bersama rekannya Andy Panca Kurniawan. Beberapa
dokumenternya yang kontroversial antara lain "Samin vs Semen" (2015)
dan "Sexy Killers" (2019). Karena vokalnya untuk permasalah Papua,
Dandhy sering berurusan dengan aparat hukum. WatchdoC menerapkan strategi dua
sisi. Ada karya yang didistribusikan secara komersial dan ada yang secara
independen.
Dari
pulau Jawa kita menyeberang ke Bali.
Minikino adalah organisasi pemutar film pendek dan penyelenggara festival yang berbasis di Bali. Organisasi ini digagas oleh 3 orang: Tintin Wulia, Kiki Muchtar dan Judith Guritno (ketiganya sudah tidak aktif di organisasi) sejak tahun 2002. Minikino menyelenggarakan beberapa kegiatan dan festival khusus untuk film pendek antara lain: Monthly Screening & Discussion (sejak 2002), Minikino Film Week, Bali International Short Film Festival (sejak 2015), Indonesia Raja (sejak 2015), S-Express (Regional Southeast Asia short programs exchange, sejak 2003) dan Begadang Filmmaking Competition (sejak 2017). Selain itu Minikino juga aktif bekerja sama dengan berbagai badan untuk memberikan seminar, presentasi dan lokakarya. Saat ini Minikino bernaung di bawah bentuk legal Yayasan Kino Media. Sebagian biaya operasional ditutup melalui bantuan banyak sumber, pendanaan swasta, sponsor, juga sesekali mendapat pendanaan pemerintah dari proyek-proyek khusus.
KALIMANTAN,
SULAWESI, PAPUA DAN SEKITARNYA
Gerakan
independen juga marak di luar Jawa dan Bali pasca 2010. Terutama di Kalimantan
dan Sulawesi (terutama Makassar). Di Kalimantan sifat perfilmannya cenderung
lokal, sedangkan di Makassar cenderung nasional dan global.
Di
Singkawang, sepasang suami istri Lo Abidin (sutradara) dan Terry Tjung (editor)
menggunakan kru dari pegawai usaha video shootingnya, merekrut talent dari
daerahnya, menggunakan dana sendiri untuk memproduksi film panjang berdurasi 2
jam. Film pertama mereka "Senja Di Pulau Simping" (2011) menggunakan
bahasa Khek, mengangkat isu kultural peranakan Tionghoa bergenre romance. Film
mereka diedarkan secara lokal dalam bentuk DVD. Mereka juga sempat menyewa
bioskop lokal untuk memutar film mereka selama 2 minggu penuh. Kisah ini juga
menunjukkan bahwa distribusi film indie tak hanya melewati perantara
(distributor maupun ruang exhibisi semacam festival) namun juga bisa langsung
ke calon audiens.
Kiprah
sepasang suami-istri tadi kemudian diikuti daerah lain di Kalimantan semisal
Sambas. "Kisah kampung Maklomlah" (2013) dan "Tullah"
(2015) kedua film berbahasa Melayu Sambas ini menjadi film yang diperbincangkan
masyarakat lokal. Film ini bahkan juga diulas jadi bahan skripsi salah satu
mahasiswa Universitas Tanjungpura Pontianak. Seperti rekannya di Singkawang,
film-film yang disutradarai Adri Addayuni lewat Equaly Production (nama
kelompoknya) tersebut juga menempuh jalan distribusi lokal. Promosi dilakukan
lewat pemutaran offline dan DVD-nya dijual. Sayangnya meski mendapatkan profit
yang lumayan, sistem industri kecil ini kemudian berhenti karena format DVD
sudah jarang diminati. Selain kedua kelompok ini kemudian bermunculan kelompok
lain di Kalimantan yang juga mencoba mengangkat lokalitas daerah masing-masing.
Sekarang
kita bicarakan Makassar.
Menurut
penuturan Arman Dewarti sutradara asal Makassar nominator film pendek terbaik
pada FFI 2016, Makassar pada 1970 pernah sangat aktif memproduksi film setelah
Jakarta. Makassar juga merupakan kampung kelahiran Riri Riza, salah satu
filmmaker yang terlibat di Kuldesak dan Yandy Laurens, sutradara pemenang FFI.
Jadi bisa saya katakan Makassar adalah pusat gerakan film paling terkemuka di
luar Jawa. Film "Uang Panai" (Sutradara Asril Sani dan Halim Gani,
2016) menjadi fenomenal karena berhasil beredar di bioskop nasional dan
mendapatkan sekitar 250.000 penonton. Film berbahasa daerah dan mengangkat
kultur lokal Bugis tersebut juga berhasil secara kritik dan menjadi bahan
diskusi akademik.
Pada
tahun 2008, sekitar 20 kelompok film berkumpul dan menggagas pembentukan Forum
Film (FOR FILM) Makassar. FOR FILM Makassar menggagas Antologi Film Pendek
untuk Makassar di tahun 2009 sebagai program pertamanya. Ada 6 film pendek (4
film fiksi dan 2 film dokumenter) yang termuat dalam antologi tersebut yakni 4
film fiksi, yakni "Cinta samadengan Cindolo na Tape" (Rusmin
Nuryadin), "Dobel Enam" (Ilham N. Bardiansyah), "Pamali"
(Rezkiani), dan "Field" (Muh. Asyraf). 2 film dokumenter, yakni
"Masalahta’ Cika’" (Iking Siahsia) dan "Dari Mulut Singa ke
Mulut Buaya" (Arman Dewarti).
Untuk
film tersebut FOR FILM membuat Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie
menjadi bioskop alternatif selama 3 hari dengan 3 kali penayangan setiap
harinya. Tersedia 285 kursi untuk sekali penayangan dan berbayar. Hampir di
setiap penayangan film tiket terjual habis. Penontonnya berasal dari kalangan
pelajar, mahasiswa hingga masyarakat umum. Film Cinta samadengan Cindolo na
Tape karya sutradara Rusmin Nuryadin menjadi film yang paling banyak menuai
apresiasi dari penonton. Setahun setelahnya, FOR FILM Makassar menggagas sebuah
produksi film panjang yang berjudul Aliguka. Konon merupakan film panjang
pertama yang 100 persen dikerjakan oleh pekerja film di Makassar. Sama seperti
sebelumnya, film tersebut diputar dengan membuat bioskop alternatif yang
berlokasi di Gedung Graha Pena. Setelahnya, roadshow disejumlah kampus di
Makassar juga di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Diperkirakan film
Aliguka diapresiasi sekira 2.000 orang dari berbagai segmen.
Sebagian
besar informasi tadi banyak saya dapatkan dari skripsi Muhammad Rifai Ramli
yang berjudul “DINAMIKA SINEAS DALAM PEMBUATAN FILM INDEPENDEN” (Studi Kasus
Sineas di Kota Makassar). Skripsi tersebut diajukan untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Meraih Gelar Sarjana Sosial Jurusan Jurnalistik Pada Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Alauddin Makassar tahun 2016.
Dari
Makassar ada beberapa individu yang kita kenal.
· Ichwan Persada, produser nominator FFI 2011, mendirikan Ichwan Persada Sinema. Setelah pindah ke Jakarta, Ichwan fokus pada penemuan bakat-bakat muda lewat jejaring online. Film-film yang ia produseri rata-rata adalah pendatang baru.
·
Yandy Laurens. Meraih Piala Citra kategori
film pendek terbaik FFI 2012 untuk film "Wan An". Film panjangnya,
"Keluarga Cemara" juga memenangkan Piala Citra pada FFI 2019 untuk
skenario adaptasi terbaik, serta Piala Maya ke-7 untuk film panjang terbaik.
Sementara
itu kita perlu sebut secara khusus,
·
Aditya Ahmad. Ia melangkah lebih jauh ke
level internasional. Film "Kado" yang ia sutradarai menjadi pemenang
Film Pendek Terbaik Orizzonti Award pada 75th Venice Internasional Film
Festival tahun 2018. Film tersebut juga masuk seleksi Sundance Film Festival
2019.
Dari
Palu ada Yusuf Radjamuda. Debut film panjangnya "Mountain Song"
(2019) mendapat world premiere dan berkompetisi di Asian New Talent Award
Shanghai International Film Festival 2019. Film tersebut diproduseri Eddie
Cahyono, Ifa Ifansyah dan kawan-kawan. Sebelumnya "Halaman Belakang"
(2013) menjadi film pendek terbaik di Apresiasi Film Indonesia 2013, Ladrang
Award di Festival Film Solo 2013, dan mendapatkan predikat sutradara terbaik
kategori Film Pendek Indonesia di Festival Sinema Perancis 2013.
Papua
memiliki Irham Acho Bahtiar, lulusan IKJ kelahiran Merauke yang merupakan
sutradara "Epen Cupen The Movie". Film independennya "Melody
Kota Rusa" (2010) terjual tak kurang dari 1000 keping dalam format
original DVD di Merauke dalam kurun waktu dua minggu. DVD itu juga dibajak
habis-habisan hingga membuat filmnya makin populer bahkan keluar Papua. Irham
mendirikan Komunitas Film Papua Selatan pada 2012. Ia aktif memberikan edukasi
pada pemuda-pemuda lokal Papua agar punya kemampuan bikin film. Irham dan
karya-karyanya dikenal dalam mengangkat "mop", komedi gaya Papua.
Sementara itu ada pula Papuan Voices. Papuan Voices adalah Komunitas Filmmaker Papua yang fokus memproduksi dokumenter berdurasi pendek tentang Manusia dan Tanah Papua. Komunitas ini juga menyelenggarakan festival film yakni Festival Film Papua (FFP). Contoh film-film dari festival ini antara lain (yang terpilih dalam FFP III): "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" (dari Wamena, Cristian G. Tigor Kogoya), "Perempuan di Tanahnya" (dari Keerom, Kristina Soge dan Dion Kafudji), "30 Tahun Su Lewat" (dari Keerom, Lidya Monaliza Upuya), "Keadilan di Tanah Sendiri" (dari Wamena, Nelson Lokobal), "Menembus Batas" (dari Jayapura, Naomy Wenda), "Daerah Hilang" (dari Timika, Helena Kobogau), "Moinyayo Hekhe Mokhonate" (dari Sentani, Alberth Yomo), "Sasi Ibu-ibu Kampung Kapatcol Misool Barat" (dari Raja Ampat, Wawan Mangile), "Mre Wenteh" (dari Jayapura, Nelius Wenda), "Agmai" (dari Sorong, Agus Kalalu). Festival Film Papua III berlangsung di Kota Sorong Papua Barat.
ACEH,
SUMATRA DAN SEKITARNYA
Informasi
mengenai pergerakan film independen di Aceh banyak saya dapat dari catatan
Akbar Rafsanjani, programer film di Aceh Documentary.
Dalam
catatan Akbar disebut bahwa produksi film di Aceh sudah dimulai sejak sebelum
bencana gempa dan tsunami melanda. Kebanyakan dilakukan para seniman teater.
Konflik bersenjata di Aceh telah mematikan pertunjukan-pertunjukan panggung
yang kebanyakan dilaksanakan pada malam hari. Seniman panggung survive dengan
berpindah haluan ke media audio-visual. Mereka membuat film-film komedi dan
mendistribusikannya melalui kaset VCD/DVD semisal "Apa Lambak"
(Mukhtaruddin Fatani), "Apa Gense" (Rusli Arafika), "Ma’e
Pong" (Irwan), "Bang Joni" (Abdul Hadi), "Mando Gapi"
(almarhum Sulaiman) dan lain-lain. Film-film komedi dan video klip yang mereka
buat berorientasi komersial dengan memanfaatkan medium VCD/DVD sebagai cara
distribusinya. Film yang berjudul "Angen Badee Ba" (2009) menjadi
film signifikan karena menyinggung tema militer di Aceh.
Pada
tahun 2013 era film komedi kaset VCD kemudian digantikan oleh film dokumenter
yang merupakan gerakan baru sinema di Aceh. Gerakan ini digagas oleh anak muda
yang belajar film secara otodidak kemudian berafiliasi dengan sineas-sineas
nasional Indonesia melalui festival-festival film. Mereka melakukan distribusi
dan ekshibisi melalui layar tancap ke desa-desa dan masjid melalui program
Gampong Film. Kegiatan ini kelak berujung pada lahirnya kelompok Aceh
Documentary pada 2013 yang fokus pada kegiatan edukasi dan exhibisi film. Aceh
Documentary yang dijalankan oleh Yayasan Aceh Dokumenter sejak 2013 ini
merupakan lembaga edukasi, produksi, apresiasi film dan riset pengembangan film
dokumenter. Kelompok ini pernah menggelar Borderless Film Festival yang
merupakan kolaborasi virtual antara Aceh-Jepang pada 7 hingga 15 November 2020.
Pada
2015 diadakan Aceh Film Festival untuk pertama kali. Menurut Akbar Rafsanjani,
Aceh Film Festival dimanfaatkan oleh komunitas-komunitas film sebagai ajang
silaturrahmi. Tetapi yang disayangkan, komunitas-komunitas film ini tidak
konsisten untuk terus memproduksi film-film. Sebagian komunitas film bubar dan
digantikan oleh yang lainnya. Sebagian yang lain berubah menjadi production
house yang mengerjakan wedding video atau company profile.
Masih
menurut Akbar, di Aceh setidaknya ada puluhan komunitas film sudah berdiri.
Kebanyakan dari mereka adalah kalangan mahasiswa. Salah satu komunitas film
yang ada di Aceh adalah Fisuar. Komunitas yang akhir tahun 2018 digagas salah satunya
oleh Arief Rachman Missuari mahasiswa Universitas Islam Negeri Ar-Raniry ini
pernah menyabet penghargaan dari KIP Aceh. Menurut Arief berdirinya komunitas
Fisuar awalnya dibawah kendali Fakultas Ilmu Politik (Fisip) UIN Ar-Raniry,
namun mereka mengalami banyak penolakan sehingga Arief dan beberapa temannya
memillih untuk membentuk komunitas secara Independen dengan mengganti Nama
Fisuar menjadi Fisuar Independent Film (FIF). Ada pula Komunitas Tikar Pandan
yang salah satu kegiatannya menggelar pemutaran dan diskusi film berkolaborasi
dengan Aceh Documentary.
Kegiatan
perfilman yang menonjol dari jejaring di Aceh antara lain adalah acara
"Aceh Menonton". Aceh Menonton dimulai pada Agustus 2018. Komunitas
bioskop alternatif ini diprakarsai Muhammad Hendri, mahasiswa Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta asal Aceh. Dikarenakan produksi film lokal Aceh
minim, Aceh Menonton bekerjasama dengan Aceh Documentary akhirnya turut memutar
film dari luar Aceh, misalnya film nasional Indonesia, Asia Tenggara, dan di
belahan benua lainnya. Bioskop alternatif ini tak hanya digelar di Kota Banda
Aceh, melainkan turut diputar di kampung-kampung di Aceh.
Di
Medan sempat saya amati ada komunitas bernama Rumah Film Independen (RUFI) yang
diprakarsai Muhammad Abrar sejak Oktober 2014. Dalam publikasinya RUFI
menyebutkan bahwa kegiatannya antara lain adalah produksi, pemutaran dan
diskusi film-film karya lokal. Komunitas ini kurang terdengar lagi sejak 2016.
Individu
yang bisa kita masukkan dalam amatan kritis antara lain:
· David Darmadi dari Kota Padang. Karyanya pernah masuk Europe On Screen (2010), Aarhus Kunstbygning Center Denmark (2010), Festival Film Dokumenter Jogjakarta (2010, 2016), OK.Video FLESH 5th Jakarta Internasional Video Festival (2011), Images Festival 24th Toronto Canada (2011), ReelOzInd Australia–Indonesia Short Film Competition and Festival (2016), ARKIPEL – social/kapital 4th – Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival (2016), The 50th Visions Du Reel–Festival International De Cinéma Nyon (2019) dan Sheffield Doc/Fest (2019). Proyek dokumenternya "Diary of Cattle" memenangkan hadiah dari Tribeca Film Institute dan distribusi oleh Docs By The Sea 2018.
· Rahung Nasution asal Tapanuli Selatan. Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang koki selebriti yang kemudian menekuni film dokumenter. "Pulau Buru Tanah Air Beta" (2016) diputar secara bergerilya di bawah pengawasan aparat keamanan. bersama 4 sutradara Indonesia yang lain (Andrianus “Oetjoe” Merdhi, Wahyu Utami Wati, Tunggul Banjaransari dan Bani Nasution) juga pernah terpilih dalam program "5 Pulau 5 Desa" dan mendapat kesempatan untuk membuat film dokumenter di Jerman. Program tersebut dikonsep dan dikerjakan oleh Goethe-Institut di Indonesia dan Universitas Seni Hamburg atau HFBK Hamburg (Hochschule for Bildende Kuste Hamburg). Lima karya film dokumenter yang dibuat di Jerman selama kurang lebih tiga minggu tersebut diputar di ARKIPEL – International Documentary and Experimental Film Festival 2017 di Jakarta. Karyanya yang lain adalah "Filosofi Kopi: Aroma Gayo" (2020).
·
Aria Kusumadewa, kelahiran Lampung. Dikenal
sebagai sutradara dari film “Beth” (2002) dan “Novel Tanpa Huruf R” (2003).
Filmnya “Identitas” mendapatkan 9 (sembilan) nominasi dalam ajang Festival Film
Indonesia 2009, memenangkan 4 (empat) di antaranya; termasuk Film Terbaik,
Sutradara Terbaik untuk Aria Kusumadewa dan Aktor Terbaik untuk Tio Pakusadewo.
Hal yang juga menarik untuk disebut adalah sebuah forum online yang bernama Digital Cinematography Indonesia (DCI). Berbeda dengan yang sudah disebut di atas, DCI tidak terlibat dalam penyelenggaraan festival maupun distribusi akan tetapi secara praktis menjadi jejaring antar pelaku perfilman, terutama yang berlatar teknis seperti kameramen, editor dan sinematografer. Beberapa anggota juga ada sutradara yang berangkat dari kru teknis. Forum online yang dibentuk oleh Audy Erel dan Indra Yogiswara sejak tahun 1998 ini awalnya bernama DSLR Cinematography Indonesia, beranggotakan para penggemar kamera DSLR model tertentu. Lambat laun DCI kemudian menjadi ajang bertukar pikiran tentang videografi dan sinematografi. Meski tidak memiliki struktur khusus secara organisasi, DCI juga berfungsi menjadi forum komunal yang sifatnya tidak terpusat. Benny Kadarhariarto, salah satu senior anggota DCI lebih suka menyebut istilah "keluarga" untuk para anggota. DCI telah diikuti setidaknya 2000an anggota di laman media sosialnya, Facebook, dan cukup sering menggelar perjumpaan offline. DCI menjadi jejaring yang cukup aktif mengenai perkembangan teknologi audio visual yang sesekali juga melakukan lokakarya offline. Film yang terlahir dari interaksi di forum ini antara lain adalah "Silent Heroes" (Ducko Chan, 2013) yang mengantarkan Nirina Zubir menjadi nominator The Best Supporting Actress di FFI 2015.
(Kembali ke Bagian VIII) (Bersambung ke Bagian X)
Post a Comment