SEJARAH RINGKAS FILM INDEPENDEN DI INDONESIA DAN DI KAMPUNG SAYA - BAGIAN VIII (dari 13 bagian)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================


 VIII. EXHIBISI FILM INDEPENDEN INDONESIA SEJAK TAHUN 1999 


FESTIVAL FILM

Pada tahun 1999 Departemen Penerangan dibubarkan oleh presiden Abdurrahman Wahid. Perfilman kemudian diawasi oleh Kementrian Negara Pariwisata dan Kebudayaan. Imbas dari hal ini adalah melonggarnya sensor negara berserta aturan birokratifnya. Maka otomatis ini dimanfaatkan para pegiat dan pemerhati film untuk bergerak. Yang profesional memproduksi film tanpa kekangan, sedangkan yang amatir mendirikan organisasi, komunitas dan ruang exhibisi film sebagai sarana edukasi alternatif.

Kita flashback sebentar ke masa orde baru. Bicara soal ruang ekshibisi film, di Indonesia didominasi oleh Festival Film Indonesia sejak tahun 1955. Pada tahun 1987 beberapa wartawan, pengamat film dan pemerhati Budaya mengorganisir Festival Film Bandung (FFB), yang kemudian diubah jadi Forum Film Bandung karena tekanan pemerintah. Kehadiran FFB menjadi wacana alternatif diluar FFI. FFI selama bertahun-tahun menjadi tolok ukur kemajuan perfilman Indonesia, yang mana digugat pada tahun 2006 karena skandal film "Ekskul" (Nayato Fio Nuala, 2006). Dengan demikian kehadiran wacana alternatif dirasa urgen demi perkembangan film nasional. Lantas siapakah yang paling awal menjawab kebutuhan ini?

Mulai tahun 1999, diadakanlah Festival Film Video Independen Indonesia (FFVII) yang kemudian berganti menjadi Festival Film Pendek Konfiden pada tahun 2006. Konfiden kemudian berbentuk Yayasan, membuka submisi untuk film-film independen yang diproduksi oleh siapapun di Indonesia, gratis dan diselenggarakan per tahun. Penyelenggaraan Konfiden tercatat pada tahun 1999, 2000, 2001, 2002, 2006, 2007, 2008, 2009 dan 2010. Sejak 2010 festival ini mengubah arah dari ekshibisi film menjadi pengarsipan yakni dengan dimulainya website Film Indonesia di filmindonesia.or.id

Di kurun awal pasca reformasi ini ada festival lain yang diselenggarakan oleh beragam pihak. Antara lain:

·         JiFFest (Jakarta International Film Festival) yang memutar film-film tak hanya dari Hollywood, tetapi juga negara asing lain, seperti Iran, Prancis, Belanda dan Jerman. JiFFest memfokuskan programnya untuk film-film alternatif. Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia (MMFI) meskipun pendanaannya tidak mandiri. JiFFest yang awalnya mendapat donatur dari asing ini terus terselenggara hingga berhenti pada tahun 2010 karena masalah dana. 

·         Europe on Screen oleh Pusat Budaya Eropa, Lembaga Eropa dan Kedutaan Besar Eropa. Festival ini pada awalnya bernama European Film Festival (1999 dan 2003) dan merupakan bagian dari JiFFest (2004, 2005 dan 2006). Kemudian festival tersebut menggunakan nama Europe on Screen sejak 2007 dan diselenggarakan secara mandiri dari JiFFest. Berbeda dengan Festival Film Pendek Konfiden, Europe on Screen mengadakan roadshow pemutaran di beberapa kota di Indonesia seperti Medan, Bandung, Jogja, Surabaya dan Denpasar. Festival ini diselenggarakan setiap tahun dan hingga kini masih berlangsung. 

·         OK. Video — Jakarta International Video Festival (sekarang bernama OK.Video: Jakarta International Video Festival) yang diselenggarakan oleh Ruang Rupa di Jakarta. OK. Video - Jakarta International Video Festival adalah festival seni video internasional pertama di Indonesia yang telah diselenggarakan sejak 2003 oleh Ruang Rupa, sebuah organisasi seni rupa kontemporer di Jakarta. OK. Video membuka ruang bagi karya-karya yang membahas fenomena sosial dan budaya di Indonesia dan mancanegara dalam format festival bertema spesifik. 

·         LA Indie Movie, sebuah festival yang disponsori perusahaan rokok. Dimulai pada 2007 dibawah manajemen pimpinan Garin Nugroho. Festival ini juga memunculkan para aktor dan aktris yang memulai debut sebagai sutradara film pendek misalnya Ringo Agus Rahman, Wulan Guritno dan lain-lain. 

Untuk kategori, fokus dan genre yang lebih spesifik ada beberapa festivalnya, antara lain: 

·         Festival Film Animasi Indonesia (FFAI) diselenggarakan sejak 2001. Sesuai namanya festival ini khusus untuk kategori animasi dan bertaraf internasional. 

·         Q! Film Festival Jakarta diselenggarakan sejak 2002. Festival ini mengangkat dan mengkampanyekan wacana lesbian, gay, bisexual, dan transgender (LGBT). Diselenggarakan di Jakarta oleh Q-Munity. Diklamim sebagai festival terbesar di Asia untuk area fokus kampanyenya namun diselenggarakan secara tertutup karena sering menuai kontroversi. 

·         Festival Film Dokumenter (FFD) Yogyakarta diselenggarakan sejak 2002. Sesuai namanya, festival ini hanya menerima kategori dokumenter. Festival ini diselenggarakan oleh Komunitas Dokumenter. 

·         HelloFest Jakarta diselenggarakan sejak 2004. Digagas oleh HelloMotion Academy, sebuah sekolah singkat animasi. Awalnya festival ini memfokuskan pada kategori animasi, namun belakangan juga mencakup film live action. HelloFest memfokuskan pada popular culture sehingga festival ini memiliki banyak pengunjung. 

·         Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) Jogjakarta diselenggarakan sejak 2006. JAFF bekerjasama dengan NETPAC (Network for The Promotion of Asian Cinema) yang berpusat di Srilanka. JAFF memfokuskan diri pada perkembangan film Asia. 

·         Indonesia International Fantastic Film Festival (iNAFFF) diselenggarakan sejak 2007. Awalnya bernama ScreamfestIndo. Festival ini mengkhususkan pada genre fantastic (horror, thriller, sci-fi, anime dan fantasy). Kegiatan iNAFFF mendapat dukungan penuh dari brand rokok, diselenggarakan setiap tahun dengan menggandeng bioskop BlitzMegaplex di Bandung dan Jakarta. iNAFFF sudah tak terselenggara sejak 2011. 

Selain festival besar di level nasional dan internasional tersebut, ada banyak pula festival atau pemutaran film yang diselenggarakan oleh komunitas daerah dan kampus. Misalnya Festival Film Purbalingga, Festival Film Solo, Sewon Screening, Malang Film Festival, Festival Film Ponorogo (FEFO), Bali Documentary Film Festival, Moviement Film Festival Mataram NTB, Festival Film Cianjur, Festival Film Pelajar, Festival Film Lampung, Festival Film Kalimantan Barat dan lain sebagainya. Pendanaan festival macam ini lebih swadaya daripada festival yang besar tadi.

Peran media televisi juga tak bisa dilupakan. SCTV menyelenggarakan Festival Film Independen Indonesia (FFII) pada 2002 dan juga Indonesian Short Film Festival (ISFF) pada 2015. Global TV menyelenggarakan Global Indie Film Festival (GIFF) pada 2005. Metro TV menyelenggarakan Eagle Awards juga pada 2005. Festival-festival tersebut baik yang bertaraf internasional, lokal, on air atau off air menjadi ajang exhibisi bagi komunitas pembuat film independen yang mulai tumbuh.

Mulai mapannya platform internet membuat iklim perfilman makin mudah. Bahkan kini dikenal istilah "Youtuber", yakni orang yang menggunakan platform Youtube untuk berkarya. Tak sedikit para Youtuber ini kelak ikut dalam arus perfilman. Memiliki jumlah subscriber yang signifikan, membuat sang Youtuber punya posisi tawar untuk go industrial. Ini belum terjadi sebelumnya di mana dulu proses menemukan talent hanya dilakukan oleh produser resmi dan agensi. Tak semua orang bisa atau boleh jadi bintang. Internet mendorong banyak orang membuat film sendiri dan melakukan distribusi mandiri. Beberapa filmmaker yang berangkat dari Youtube misalnya Chandra Liow yang memulai debut film panjangnya "Bucin" (2020) setelah bertahun-tahun berkarya di Youtube, M. Amrul Ummami yang populer dengan film pendek "Cinta Subuh" (2014) yang kemudian membuat film panjang pertamanya "Mengejar Halal" (2017), Bayu Eko Moektito yang dikenal dengan nama Bayu Skak yang lewat serangkaian vlognya di Youtube kemudian mewujudkan "Yo Wis Ben" (2018) dan lain-lain. Novelis populer Raditya Dika juga mendistribusikan "Malam Minggu Miko" (2012), serial independennya lewat kanal Youtube sebelum ditayangkan oleh Kompas TV.

Platform internet juga menjadi ruang baru untuk festival online. Yang terkemuka adalah Piala Maya yang dipelopori oleh Hafiz Husni dengan direktur festivalnya Rangga Wisesa. Meski awalnya hanya merupakan aktivtitas memberikan pilihan film terbaik di Twitter, acara ini kemudian menjadi acara resmi offline sejak 15 Desember 2012 di Jakarta (lalu terpaksa online pada 2021 karena pandemi Covid-19). Media lokal, Liputan6.com menjuluki Piala Maya sebagai "Indonesian Golden Globe" (dengan berasumsi bahwa FFI adalah Indonesian Academy Awards). Penjurian dilakukan secara independen melibatkan lebih dari 200 orang yang kompeten di industri, akademisi dan para jurnalis. Piala Maya memiliki kategori yang tidak diselenggarakan oleh FFI atau jarang ada di festival lainnya. Misalnya ada kategori untuk Disain Poster Terpilih.

 


RUANG EKSHIBISI FILM ALTERNATIF

Kali ini kita singgung sedikit soal ekshibisi selain festival dan bioskop. Lembaga afiliasi asing seperti Institute Francais d'Indonesie (IFI) sudah sejak lama menyediakan ruang pemutaran film yang kerap diisi dengan pemutaran film independen. Di Taman Ismail Marzuki juga ada Kine Forum yang memutar film-film non komersil dengan jumlah kursi tak sebanyak bioskop reguler. Bagaimana dengan ruang yang dikelola secara mandiri (non pemerintah atau bukan organisasi)?

Di Bandung, Kineruku didirikan pada 29 Maret 2003 oleh Ariani Darmawan bersama rekannya Oky Kusprianto. Awalnya bernama Rumah Buku Kineruku yang pada Januari 2012 berubah menjadi Kineruku saja. Kineruku adalah kafe yang dilengkapi perpustakaan yang berisi buku-buku, musik dan film. Tempat ini juga dipakai untuk pemutaran dan diskusi film.

Di Yogyakarta, Kedai Kebun Forum (KKF) didirikan oleh pasangan Yustina Neni dan Agung Kurniawan sejak September 1996 sebagai sebuah restoran dan galeri alternatif. KKF memiliki ruang pertunjukkan yang dapat digunakan sebagai tempat pemutaran film, diskusi dan teater. Sementara itu ada juga Kinoki, sebuah rumah makan yang juga menjadi ruang kolektif film didirikan oleh Elida Tamalagi pada 2005. Kinoki juga memiliki ruang putar film alternatif. Kritikus film Adrian Pasaribu, Windu Jusuf dan Makbul Mubarak pada masa awal belajarnya sering menjadikan Kinoki tempat berkumpul dan berdiskusi. Kelak mereka mendirikan Cinema Poetica, media kritik film yang independen. Elida Tamalagi meninggal pada 13 September 2011 sehingga kegiatan di sini tak berlanjut lagi. Adrian Pasaribu menyebut Elida sebagai mentor yang mengajarinya literasi film. 

Sedikit sorotan khusus untuk Elida. Patricia Elida Tamalagi pernah menjadi programmer di Konfiden sejak tahun 2007. Elida terlibat sebagai produser, penata artistik, dan penanggung jawab pemain pada film "Kuda Laut" (2009). Film itu sempat diikutkan kompetisi SEA Shorts Program Cinemanila International Film Festival 2009. Pada tahun 2010, Elida mengikuti Berlinale Talent Campus, di Berlin, Jerman.

Di Jakarta beberapa ruang putar alternatif juga didirikan. Misalnya Paviliun 28 yang dikelola personal oleh Eugene Panji sejak Juni 2015 di Jakarta. Ruang putar ini menyatu dengan restoran dan kafe, kapasitasnya sekitar 40 orang. Di sini diputar film-film non arus utama dan juga jadi tempat berdiskusi. Mirip dengan Paviliun 28, ada lagi ruang putar di Jakarta dengan konsep serupa yakni Kinosaurus yang berdiri sejak Desember 2015. Kapasitasnya lebih kecil, 30an orang. Lewat organisasi yang menaunginya, Yayasan Cipta Citra, Kinosaurus yang dipelopori 4 orang ini (Muhammad Zaidy, Meiske Taurisia, Edwin, dan Adinda Simanjuntak) tak hanya sebagai tempat memutar film tapi juga untuk menyelenggarakan banyak program pengembangan perfilman. Sayangnya karena terbatasnya pendanaan, Kinosaurus harus beralih online untuk sementara waktu.

Di Makassar ada Rumata’ Artspace yang didirikan oleh Riri Riza dan Lili Yulianti Farid pada 18 Februari 2011. Rumata dijalankan secara independen dengan pendanaan yang sebagian besar berasal dari sumbangan publik. Ruang budaya ini memiliki galeri dan ruang pemutaran film. Program unggulan Rumata antara lain Makassar International Writers Festival dan Makassar-South East Asian Film Academy, atau yang lebih dikenal dengan sebutan SEAScreen.

Ruang-ruang putar alternatif tersebut berfungsi salah satunya memperpanjang rantai distribusi film independen.

(Kembali ke Bagian VI - VII)                                        (Bersambung ke Bagian IX)

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved