SEJARAH RINGKAS FILM INDEPENDEN DI INDONESIA DAN DI KAMPUNG SAYA - BAGIAN XI (dari 13 bagian)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================

 

XI. RESPON TERHADAP GERAKAN FILM INDEPENDEN INDONESIA 

Respon atas ramainya pergerakan film independen direspon setidaknya oleh 4 pihak: Pemerintah, Lembaga Pendidikan (negeri dan swasta) beserta anggotanya, Industri dan Masyarakat. Saya mendapat banyak informasi dari buku seri wawasan sinema terbitan DKJ dan juga tulisan-tulisan di Cinema Poetica. 

PEMERINTAH

Yang paling jelas teramati adalah masalah perundang-undangan. Lembaga Sensor tak lagi seketat dulu, birokrasi izin produksi sudah tak lagi melewati departemen penerangan dan Pangkopkamtib. Pemerintah mengakomodir perkembangan gerakan film dengan pembukaan jurusan baru film di beberapa perguruan tinggi. Sebelum reformasi, jurusan film cukup langka. Institut Kesenian Jakarta menjadi lembaga yang paling terkemuka karena masih satu-satunya. Perlombaan seni yang diselenggarakan pemerintah lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan juga mulai membuka cabang film pendek, misalnya FLS2N (Festival Lomba Seni Siswa Nasional) yang berlangsung di tingkat kabupaten, propinsi hingga nasional.

Merespon maraknya perkembangan perfilman di masyarakat, Cinema Poetica mencatat bahwa negara mencoba hadir melalui Pusat Pengembangan Perfilman (Pusbangfilm). Unit dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu mengadakan sejumlah program dukungan bagi komunitas film, mulai dari pendanaan produksi, penyelenggaraan kegiatan, suplai film, hingga pengembangan kapasitas. Lembaga nonkementerian seperti Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut membuka pintu untuk komunitas film. BEKRAF bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengadakan forum pendanaan film bernama Akatara, yang menerima proposal film pendek dan festival film milik komunitas. Sementara KPK menyelenggarakan Anti-Corruption Film Festival (ACFF), yang salah satu programnya adalah penyediaan dana produksi film bertema antikorupsi bagi komunitas-komunitas film.

Sejumlah pemerintahan daerah juga mendukung dengan melibatkan komunitas film dalam perhelatan tingkat lokal atau regional, sebagaimana yang terjadi dalam penyelenggaraan Festival Film Malang dan Festival Film Jawa Barat. Pemerintah Provinsi Yogyakarta, berkat Dana Keistimewaan, bahkan menyediakan dana khusus untuk produksi film fiksi dan dokumenter pendek—pembuat film bisa mengajukan proyeknya melalui forum pitching yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2016. Contohnya film "Tilik" yang viral itu mendapatkan bantuan dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta.

Akan tetapi perkembangan di tiap daerah tak sama. Perkembangan film di Aceh agak menemui kesulitan karena beberapa faktor. Aceh menerapkan hukum berdasarkan syariat Islam yang membatasi pertemuan lelaki dan perempuan bukan muhrim dalam satu ruang tertutup. Dari sini akibatnya adalah ketiadaan bioskop. Meski begitu pada suatu kesempatan Walikota Kota Banda Aceh, Aminullah Usman mendukung penuh dunia perfilman Aceh. Dikatakan bahwa koordinasi terus dilakukan oleh pemerintah dengan pihak-pihak terkait agar bioskop dapat hadir dengan nuansa Islami. Aminullah mengatakan, pemerintah Banda Aceh akan mengadakan pembicaraan terkait pembuatan bioskop dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Rencananya bioskop Banda Aceh akan dibuat dalam konsep yang berbeda, sesuai syariat. Hingga tulisan ini dibuat, bioskop syariah yang dibicarakan tersebut tidak kunjung hadir karena belum ada qanun yang mengatur tentang itu.

Selain itu respon dari pemerintah tak selalu menggembirakan. Dalam amatan saya pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam melindungi kegiatan perfilman misalnya ketika pemutaran film diancam oleh organisasi masyarakat tertentu. Pemutaran film semacam "Jagal (The Act of Killing)" (Joshua Oppenheimer, 2012) dan "Pulau Buru Tanah Air Beta" (Rahung Nasution, 2016) selalu dibiarkan diintimidasi oleh kelompok tertentu. Beberapa acara festival seperti yang diselenggarakan CLC Purbalingga pun sering berurusan dengan aparat pemerintah. 

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) adalah salah satu lembaga yang dibentuk oleh masyarakat seniman dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta waktu itu, Ali Sadikin, pada tanggal 7 Juni 1968. Tugas dan fungsi DKJ adalah sebagai mitra kerja Gubernur Kepala Daerah Propinsi DKI Jakarta untuk mendukung pengembangan kesenian di wilayah Propinsi DKI Jakarta. Anggota Dewan Kesenian Jakarta diangkat oleh Akademi Jakarta (AJ) dan dikukuhkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Anggota DKJ terdiri dari para seniman, budayawan dan pemikir seni, yang terbagi dalam 6 komite: Komite Film, Komite Musik, Komite Sastra, Komite Seni Rupa, Komite Tari dan Komite Teater. Meski DKJ bekerjasama lembaga-lembaga nirlaba, perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap seni-budaya, dan dengan dewan kesenian kabupaten/kota/provinsi lainnya, namun pengelolaan organisasi dilakukan secara otonom. Kegiatan DKJ antara lain penelitian, pendokumentasian karya dan kegiatan, kajian seni-budaya, festival, penyediaan wahana apresiasi (pertunjukan seni, pemutaran film, pameran/gelar karya) dan lain-lain.

Sebagai ruang apresiasi film, di DKJ didirikan Kine Klub DKJ pada tahun 1969, tak lama setelah Ali Sadikin selaku gubernur DKI Jakarta meresmikan Taman Ismail Marzuki pada 10 November 1968. Dalam Cinema Poetica disebutkan bahwa di masa jayanya, Kine Klub DKJ rutin mengadakan acara pekan pemutaran film sekali dalam sebulan di Teater Tertutup TIM. Mereka bekerja sama dengan berbagai pusat kebudayaan dan juga sineas-sineas lokal dalam prosesnya. Usai pemutaran, para penonton bisa berinteraksi langsung dengan para tokoh dunia film tersebut. Menurut Marselli Sumarno, kritikus film sekaligus anggota Komite Film DKJ 2009-2015, Kine Klub DKJ bahkan pernah kedatangan dua sutradara besar dari Jerman, yaitu Wim Wenders dan Volker Schlöndorff.

Menurut Marselli, animo masyarakat terhadap Kine Klub DKJ mencapai puncaknya pada 1980an. Para penonton datang dari beragam latar belakang, entah mahasiswa, pekerja kantoran, hingga seniman. Mereka yang mendaftar jadi anggota hanya diwajibkan membayar setengah harga tiket masuk dalam sebuah pemutaran. Itu saja sudah cukup untuk menutupi biaya operasional sehari-hari.

Hingga tahun 1990, tumbuh banyak kine klub atau inisiatif sejenis di berbagai lembaga pendidikan dan kebudayaan. Dalam catatan Cinema Poetica, pertumbuhan kine klub lantas berujung pada penyelenggaraan Musyawarah Besar Kine Klub Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 19–22 September 1990. Difasilitasi oleh DKJ, musyawarah tersebut mempertemukan 42 kine klub dan berpuncak pada pembentukan Sekretariat Nasional Kine Klub Indonesia (SENAKKI) sebagai induk kegiatan kine klub di Indonesia. Selaras dengan kine-kine klub yang menghidupinya, kegiatan SENAKKI lebih banyak berkutat pada penayangan dan apresiasi film. Dalam beberapa kesempatan, SENAKKI bermitra dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti 21 Cineplex dan Fuji Film untuk mengadakan program-program pelatihan. Semangat kegiatannya: pembinaan masyarakat.

Menjelang akhir 1990an industri film nasional merosot. Ditambah dengan kemunculan beberapa televisi swasta, krisis moneter dan kekisruhan politik mengakibatkan aktivitas Kine Klub DKJ menurun dan akhirnya bubar. Apalagi pada awal 2000an, Teater Tertutup yang kerap jadi lokasi pemutaran harus disingkirkan untuk pembangunan dua gedung pertunjukan baru di TIM: Teater Besar dan Teater Kecil.

Gotot Prakosa (yang tadi kita singgung di segmen sejarah awal) menjabat sebagai Ketua Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2002-2006. Ia mencoba menggagas sebuah wadah bagi film-film independen yang ia istilahkan sebagai “film pinggiran”. Bersama dengan Ratna Sarumpaet, Ketua DKJ 2003-2006, dan beberapa kawan lainnya, Gotot melakukan negosiasi dengan pihak 21 Cineplex untuk memberi sebuah ruang bagi film-film non-komersial dalam bioskop mereka di kompleks Taman Ismail Marzuki. Permintaan itu disetujui. Mulai 29 Juni 2005, berdirilah Art Cinema yang rutin memutarkan film-film alternatif selama dua minggu tiap bulannya di studio 1 bioskop 21 Cineplex TIM dengan kapasitas 130 kursi. Pemutaran dilakukan sesuai program yang dirancang oleh Komite Film DKJ saat itu.

Setahun kemudian, terjadi pergantian kepengurusan di mana Marco Kusumawijaya diangkat sebagai Ketua DKJ dan untuk Ketua Komite Film ditunjuklah Farishad Latjuba. Sejak itu, Art Cinema berganti nama jadi Kineforum. Program pun tak lagi dirancang langsung oleh Komite Film. Lisabona Rahman (yang nanti akan kita sebut sebagai salah seorang yang aktif di filmindonesia.or.id) dijadikan Manajer Program pertama.

Dalam wawancara dengan Jurnal Footage pada Agustus 2008, Lisabona Rahman menyebut bahwa perbedaan antara Art Cinema dengan Kineforum adalah bahwa Art Cinema lebih mirip ke ruang pameran, dalam arti mereka memutar film-film yang dianggap kuratornya sebagai “film seni”. Sedangkan, Kineforum tidak membatasi diri pada film-film seni saja, melainkan film-film apapun selama ada keterkaitan dengan tema yang sudah diprogram. Dengan demikian Kineforum menjadi sebuah ruang pemutaran alternatif.

Perguruan tinggi memang lazim menjadi ruang tumbuhnya para mahasiswa pegiat film. Kegiatan film di kampus biasanya diorganisir dalam Lembaga Semi Otonom (LSO), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) atau oleh himpunan mahasiswa jurusan tertentu. Tak melulu dari jurusan film atau sejenis, kegiatan film dilakukan oleh mahasiswa jurusan apapun. Pasca reformasi fenomena menjamurnya kine klub menjalar ke seluruh Indonesia, baik di lembaga pendidikan negeri maupun swasta. Kiprah mereka ini mewarnai jejaring perfilman dengan terselenggaranya festival-festival film independent.

Di wilayah Jakarta misalnya ada UCIFEST - UMN Animation & Film Festival adalah sebuah festival film pendek yang diselenggarakan oleh Universitas Multimedia Nusantara sejak tahun 2010. Sasarannya adalah mahasiswa dan pelajar SMA/SMK se-Indonesia. UCIFEST juga menyelenggarakan program diskusi, pitching forum, hingga pemaparan materi dari filmmakers profesional.

Ada lagi UI Film Festival (UIFF) merupakan festival film yang dibesut oleh UKM Sinematografi UI. UIFF pertama kali diselenggarakan pada tahun 2014 dan berfokus pada literasi, apresiasi, kompetisi, juga diskusi film pendek mahasiswa dari seluruh Indonesia.

Bandung malah lebih awal lagi. Ganesha Film Festival, atau yang biasa disingkat Ganffest, merupakan sebuah festival film pendek independen yang diselenggarakan oleh Liga Film Mahasiswa (LFM) ITB sejak 2008. Acara ini diadakan setiap dua tahun sekali.

Kita coba telusuri kprah-kiprah kine klub sejenis di Jawa Tengah dan Jogja.

Kine Klub FISIP UNS sudah mengadakan pemutaran besar sejak akhir tahun 1990 – 2016. Sejak 2016, Pesta Film Solo digelar dengan menghadirkan tokoh-tokoh penting perfilman Indonesia sebagai pembicara untuk kegiatan diskusi usai pemutaran film. Pesta Film Solo selalu mengajak kurator di luar komunitas mereka untuk memilih film-film yang akan ditampilkan. Di kota yang sama, Solo Documentary Festival (SODOC) sejak 2015. Festival film khusus dokumenter ini diselenggarakan oleh para mahasiswa ISI Surakarta di kota Solo. Sesuai dengan namanya, festival film ini hanya menerima film dengan kategori dokumenter. Sodoc juga menjalankan program diskusi dan lokakarya film dokumenter.

Di Jogja kegiatan film di kampus tak selalu dari institut seni. Di UGM sejak awal tahun 2000an sudah ada program pemutaran film dan diskusi di Fakultas Teknik. Saat itu saya masih mahasiswa dan pernah menghadirinya. Namun sayangnya belum mencakup pemutaran film independen lokal. Di Fakultas Ilmu Budaya UGM kadang juga ada pemutaran film dari luar. Saya pernah menghadiri pemutaran film "Reinkarnasi" (Dede Yusuf, 1997). Mungkin yang cukup terkemuka di kalangan kampus adalah Sewon screening. Sewon Screening adalah salah satu program kerja himpunan Mahasiswa Jurusan Televisi dan Film Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang sudah dilaksanakan sejak tahun 2015, program ini berbentuk ekshibisi film. Festival ini mengusung semangat "Angin Segar dari selatan" (karena Sewon terletak di bagian selatan Yogyakarta) dengan sub tema yang berbeda setiap tahun.

Di Jawa Timur, misalnya. di Universitas Muhammadiyyah Malang berdiri Kine Klub UMM sejak tahun 1999. Kine Klub UMM memulai kegiatan produksinya sejak tahun 2003 dan merupakan penyelenggara Malang Film Festival (MAFI). Sementara itu di Universitas Brawijaya Malang, tepatnya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, pada tahun 2006 berdiri Societo Sineklub. Dari 2006 sampai 2011, Societo Sineklub sibuk dengan program-program produksi film pendek dan beberapa pemutaran untuk meluncurkan film-film produksi tersebut.

Di Makassar, gerakan film kampus dipelopori oleh para mahasiswa jurusan Komunikasi Universitas Hasanuddin yang kemudian diikuti oleh kampus lain seperti Universitas Muhammadiyah Makassar, Stikom Fajar Makassar dan lain-lain. Di tahun 2008, sekitar 20 kelompok film berkumpul dan menggagas pembentukan Forum Film (FOR FILM) Makassar. Secara rutin, mereka bertemu dan berdiskusi perihal perencanaan dan manajemen produksi film, bagaimana meningkatkan kualitas film, distribusi, penayangan dan lain-lain. FOR FILM Makassar menggagas Antologi Film Pendek untuk Makassar di tahun 2009 sebagai program pertamanya.

Di tahun 2008, Institut Kesenian Makassar (IKM) didirikan. Salah satu program studi yang dibentuk adalah Film dan Televisi. Kehadiran IKM beserta program studi Film dan Televisi-nya memberi angin sejuk bagi pekerja film di Makassar yang selama ini hanya mempelajari film secara otodidak, juga bagi mereka yang berminat menjadi pekerja film. Ada 2 film yang dikerjakan oleh mahasiswa-mahasiswa IKM yang mendapat apresiasi yang baik dari masyarakat, yaitu film "Memburu Harimau" dan "Jejak-jejak Kecil". Film Memburu Harimau diproduksi dan ditayangkan dengan swadaya. Sebuah ruang di Gedung Kesenian Sulsel Societeit de Harmonie diubah menjadi semirip mungkin dengan bioskop pada lazimnya. Bioskop tersebut hanya berkapasitas 20 kursi. Film Memburu Harimau mendapat sambutan yang luar biasa. Selama 5 hari penayangan sekira 700 penonton hadir. Film terakhir yang dikerjakan mahasiswa-mahasiswa IKM adalah "Jejak-Jejak Kecil" yang berdurasi 75 menit, diproduksi oleh Tetta Production bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Makassar. Film ini telah diproduksi dalam bentuk DVD dan terjual hingga 2.500 keping.

Di Lampung penggerak perfilman juga dari kalangan kampus. UKM Darmajaya Computer & Film Club (DCFC) yang merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Penalaran & Keilmuan di Institut Informatika & Bisnis Darmajaya serta bergerak di bidang komputer dan perfilman menyelenggarakan  Festival Film Indie Darmajaya (FFI Darmajaya) di tahun 2009. Di tahun 2015 FFI Damarjaya berganti nama menjadi FFI Lampung. Baru di tahun 2018 berganti nama menjadi Festival Film Lampung (FFL) hingga sekarang.

Setelah menjamur di kampus, klub film juga hadir di sekolah menengah. Di kota saya saja yang notabene cuma kecamatan, ada 2 sekolah yang memiliki kegiatan ekstra kurikuler film yakni di SMAN 1 Talun (sejak 2009) dan SMK PGRI Wlingi (sejak 2015). Saya dan komunitas membina dua klub tersebut. Mirip dengan pengalaman saya (dan saya menilainya istimewa) adalah sosok Aris Prasetyo. Dia adalah guru SMP Negeri 4 Satu Atap Karangmoncol Purbalingga. Mas Aris aktif mengajar ekstrakurikuler film dan muridnya banyak meraih penghargaan nasional. “Gendut” karya Eko Junianto, muridnya Mas Aris mengalahkan saya di Lomba Film Pendek HKN Kementrian Kesehatan 2015. Eko dapat juara 1, saya juara 2. Mas Aris dan timnya berkarya di tengah keterbatasan dan minimnya penghargaan dari lingkungan. Meski begitu muridnya banyak menjuarai lomba di luar lingkungannya. 

INDUSTRI

Banyaknya festival film yang melahirkan para sutradara baru memudahkan industri dalam merekrut bakat. Beberapa sutradara berawal dari jalur independen hingga masuk industri mayor. Hanung Bramantyo misalnya. Ia berangkat dari film pendek berjudul "Tlutur" (1998) yang dibuat saat ia masih kuliah di Institut Kesenian Jakarta. Tlutur berhasil menjadi juara pertama di Festival Film Alternatif Dewan Kesenian Jakarta 1998. Beberapa rumah produksi pun berawal dari komunitas independen, misalnya Fourcolours dan Studio Antelope. Rumah produksi ini saat ini sudah menjadi bagian dari industri film nasional.

Saat ini antara pelaku independen dan non independen menjadi berbaur di dalam industri. Inilah yang di bagian awal cukup merepotkan saya dalam memberikan batasan atau definisi. Sejauh pengamatan saya, setelah reformasi sebagian besar filmmaker pernah mengawali lewat jalur independen.

Sementara itu bersamaan dengan makin tenarnya platform layanan menonton Over The Top (OTT) terutama Netflix, banyak OTT serupa muncul di Asia dan Indonesia. Ada yang membuka peluang untuk mengajukan ide cerita misalnya oleh Viu yang berbasis di Hongkong. Viu Indonesia membuka acara Viu Pitching Forum dan serangkaian pelatihan. Akan tetapi menurut saya terobosan terbaru adalah ketika ada kategori film pendek secara khusus pada aplikasi berbayar. Goplay Indonesia (perusahaan milik Gojek) misalnya melakukan kerjasama dengan para filmmaker film pendek untuk memasang film mereka di bawah fitur “Goplay Indie”. Terbosan semacam ini juga diikuti dengan munculnya beberapa platform baru yang mengkhususkan pada film independen dan atau film pendek. Saya pribadi setidaknya dihubungi oleh 4 platform baru yang meminta film saya diunggah pada platform mereka.

MASYARAKAT

Maraknya film independen juga menumbuhkan golongan penonton baru. Mereka ini jadi melek film karena edukasi dari komunitas dan terselenggaranya pemutaran alternatif. Di platform online, istilah subscriber Youtube menjadi sebuah komoditas yang penting. Lalu muncul pula para penonton "khusus", saya sebut demikian karena mereka memang bukan masyarakat yang menonton film secara biasa. Mereka ini mengapresiasi secara kritis, memiliki metode dan juga menyebarkan gagasannya. Mereka adalah para kritikus film seperti JB Kristanto, Ekky Imanjaya, Hikmat Dharmawan, Eric Sasono, Adrian Jonathan Pasaribu dan lain-lain.

Sebelum reformasi rata-rata kritikus menulis untuk media yang sudah mapan, baru bisa dibaca masyarakat. Dengan berkembangnya ragam media misalnya blog di internet, kritikus bisa mempublikasikan tulisannya secara langsung dan independen. JB Kristanto, senior kritikus penulis buku Katalog Film Indonesia, yang berisi data tentang film Indonesia sepanjang masa yang diperbaharui secara berkala, turut memprakarsai berdirinya situs filmindonesia.or.id, pusat data mengenai film dan perfilman Indonesia. Kemudian ada Eric Sasono dan kawan-kawan yang memprakarsai rumahfilm.org (sudah tak bisa diakses). Eric juga menulis di website pribadinya ericsasono.com. Yang lebih muda ada Rasyid Rahman Harry yang mempublikasikan tulisannya di blog movreak.blogspot.com dan tulisannya pernah mendapat nominasi kritik terpilih Piala Maya 2018. Piala Maya sendiri yang konon disetarakan dengan Piala Citra FFI juga lahir dari interaksi online para kritikus film yakni Hafiz Husni yang mengawalinya di Twitter sebelum kemudian menjadi perayaan offline. Perkembangan teknologi media ini memang membuat para kritikus film bisa lebih independen.

Yang paling terkemuka pasca reformasi menurut saya adalah Cinema Poetica. Media kritik film ini bermula setelah Adrian Jonathan Pasaribu, Windu Jusuf dan Makbul Mubarak sering berdiskusi di Kinoki Jogjakarta. Kinoki adalah ruang putar alternatif terkemuka pada masa itu di Jogja. Cinema Poetica juga terlibat dalam proyek penulisan buku Seri Wacana Sinema yang disponsori oleh Dewan Kesenian Jakarta. Buku tersebut menjadi sumber penting saya dalam menulis tulisan ini.

Perkembangan berikutnya adalah kritikus yang memuat kritiknya dalam format lebih ringan yakni berbentuk video blog atau vlog. Misalnya kelompok Cine Crib yang mempunyai kanal di Youtube. Kehadiran mereka ini menjadikan kritik film terasa lebih tercerna untuk masyarakat yang malas membaca. Adapun soal kedalaman kritik yang mereka lontarkan bisa menjadi wilayah kritik tersendiri. Cine Crib juga memproduksi film, antara lain "Merangkul Jarak" (Gerry Fairus, 2020) berkolaborasi dengan Kinovia.

(Kembali ke Bagian X)                                        (Bersambung ke Bagian XII - XIII)

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved