(Bagian I - III) (Bagian IV - V) (Bagian VI - VII) (Bagian VIII)
(Bagian IX) (Bagian X) (Bagian XI) (Bagian XII - XIII)
==================================================================
IV. LATAR BELAKANG DI HINDIA BELANDA TAHUN 1900-AN
Industri perfilman di Nusantara dimulai sejak tahun 1900, oleh orang-orang Belanda yang mendistribusikan film-film impor untuk ditonton masyarakat elit di Hindia Belanda. Film "Loetoeng Kasaroeng" (L. Heuveldorp, 1926) dikatakan sebagai produksi film yang pertama dilakukan di bumi Nusantara oleh orang Belanda. Gelombang berikutnya, beberapa orang keturunan Cina mengambil peran dalam pengembangan perfilman di Nusantara yakni Nelson Wong dan kawan-kawan memproduksi film "Lily Van Java" (1928). Langkah ini disambung lagi oleh The Teng Chun yang memproduksi "Boenga Roes Dari Tjikembang" pada 1931 sehingga orang-orang keturunan Cina mendominasi perfilman nasional era itu. Kedatangan Jepang membuat situasi berubah karena perusahaan film dikuasai untuk memproduksi film propaganda perang. Orang Indonesia yang termasuk awal menjadi sutradara adalah Andjar Asmara dengan filmnya "Gadis Desa" (1949). Film tersebut menggunakan aktor dan tenaga lokal, termasuk di antaranya Usmar Ismail. Film Gadis Desa urung untuk disebut sebagai film nasional lantaran diproduksi oleh NICA (Nederlandsch-Indische Civiele Administratie) alias Belanda. Catatan menarik, istri Andjar bernama Ratna Asmara kelak menjadi sutradara perempuan pertama di Indonesia.
V.
USMAR ISMAIL DENGAN PERFINI TAHUN 1950-AN
HINGGA KINE KLUB TAHUN 1960-AN
Produksi
yang benar-benar diakui sebagai karya Indonesia sendiri adalah baru pada 1950
ketika Usmar Ismail memproduksi "Darah dan Doa" lewat perusahannya
sendiri, Perfini. Perfini adalah perusahaan asli Indonesia dibiayai secara
patungan oleh kawan-kawan dan relasi Usmar Ismail sendiri. Adanya perfilman
asli Indonesia mendapat sokongan dari rezim Sukarno karena jargon kebanggaan
nasionalisme. Di era ini, film karya Usmar Ismail juga berkesempatan diputar di
festival internasional. "Pedjuang" (1960), film yang ia sutradarai
terseleksi di 2nd Moscow International Film Festival dimana aktornya Bambang Hermanto
memenangkan Silver Prize untuk The Best Actor.
Usmar
Ismail menjadi ikon bapak film Indonesia dan tanggal syuting film Darah dan Doa
diperingati sebagai Hari Film Nasional setiap 30 Maret. Dalam konteks ini
terminologi independen boleh lah mengacu pada independensi kedaulatan negara.
Karena baru sejak era Perfini lah, Indonesia dikatakan mandiri dalam
memproduksi filmnya sendiri setelah sebelumnya didominasi oleh perusahaan
bermodal Belanda. Di tahun-tahun ini, setidaknya menurut apa yang tercatat,
mulai muncul komunitas film yang disebut dengan "Kine Klub".
Menurut
buku "Antarkota Antarlayar" terbitan Dewan Kesenian Jakarta, Adrian
Jonathan Pasaribu menuliskan bahwa Kine klub paling awal adalah Liga Film
Mahasiswa (LFM) di Universitas Indonesia (UI), Jakarta, pada 1950. Lima tahun
kemudian, berdiri LFM di Institut Teknologi Bandung (ITB) yang masih bertahan
sampai sekarang. Lalu pada 1969, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membentuk Kine
Klub Jakarta. Dengan sistem keanggotaan berbasis iuran, kegiatan Kine Klub
milik DKJ tak banyak berbeda dengan kegiatan LFM di kampus-kampus — penayangan
film lalu diskusi. Kine klub LFM ITB, nantinya turut merambah ke perekaman
video dan fotografi, umumnya untuk kebutuhan dokumentasi kegiatan kampus. Tidak
ada catatan terkait kegiatan produksi film di lingkar kine klub tersebut. Saat
itu produksi film masih mengandalkan pita seluloid yang harganya mahal dan
perangkat pengolahannya tidak tersedia umum. Satu dari sedikit lembaga yang
punya akses ke perangkat produksi film adalah Lembaga Pendidikan Kesenian
Jakarta (LPKJ) yang kelak akan menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
(Kembali ke Bagian I - III) (Bersambung ke Bagian VI - VII)
Post a Comment