(Bagian I - III) (Bagian IV - V) (Bagian VI - VII) (Bagian VIII)
(Bagian IX) (Bagian X) (Bagian XI) (Bagian XII - XIII)
==================================================================
X. SOROTAN KHUSUS: PENGARSIP FILM INDEPENDEN INDONESIA
Ekosistem
perfilman yang lengkap setidaknya memuat 10 jenis elemen: Kreator, Penonton,
Ruang putar/exhibisi, Distributor, Pendana, Pengiklan, Edukator, Kritikus,
Regulator, Pengarsip.
Akan
tetapi dalam gerakan independen banyak elemen yang hilang. Kreator, penonton
dan ruang putar adalah ekosistem paling dasar. Pendanaan kadang muncul dari
teman atau keluarga sendiri. Di beberapa kelompok produksi independen kadang
ada juga iklan yang datang dari UKM lokal, biasanya kenalan. Kelompok
independen, kalau tidak kenal sebuah kolektif mungkin juga mendistribusikan
sendiri. Komunitas sering berperan jadi edukator sekaligus kritikus. Regulator
adalah negara dan untuk produksi independen kadang ada dana hibah namun tak
selalu menjangkau semua kelompok.
Pengarsipan
adalah yang paling sering terabaikan. Pengarsipan film adalah wacana sejak lama
ketika stock film itu belum tentu diselamatkan oleh rumah produksinya, terlebih
jika mereka gulung tikar. Sedangkan untuk produksi komunitas, pengarsipan
secara metodik jarang dilakukan. Mengunggah ke platform online adalah cara yang
umum dilakukan agar filenya tidak hilang. Cara ini tentu memiliki kekurangan
teknis seperti penurunan resolusi, pembajakan dan yang terburuk kalau
perusahaan pemilik platform bubar.
Saya
merasa perlu menulis ini dalam sorotan khusus karena pengalaman pribadi.
Portable harddisk yang menyimpan banyak karya film saya selama satu tahun
pernah rusak dan saya tak memiliki cadangannya. Jadi pengarsipan adalah hal
yang sangat penting karena para kreator belum tentu sanggup merawat atau
menyimpan file mereka sendiri. Tiap tahun pasti kebutuhan ruang data makin
naik. Alangkah terbantunya jika ada lembaga kompeten yang menanganinya. Dalam
sejarah perfilman, pengarsip harusnya mendapat apresiasi tinggi.
Wacana
pengarsipan film nasional dimulai oleh Sinematek. Didirikan tahun 1975 oleh
Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani, Sinematek menyimpan lebih 2.750 film
seluloid, dan ribuan film lain dalam format pita analog, pita magnetik, dan
format digital, kebanyakan film Indonesia; baik film cerita, film dokumenter,
juga film-film pendek. Sinematek juga menyimpan karya referensi; seperti naskah
skenario dan dokumen perfilman, serta equipment film bernilai sejarah. Tahun
2008, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No:
PM.34/HM.001/MKP/2008, Sinematek ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional di
Bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Di
awal kelahirannya Sinematek dibantu oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin lewat dana
dari Kementerian Penerangan. Sebagian koleksinya adalah hasil sumbangan dan
sebagian lagi dari pembelian kepada produsernya atau pemilik bioskop. Sinematek
bergabung dengan Federasi Arsip Film Internasional (Fédération Internationale
des Archives du Film, atau FIAF) pada tahun 1977. Pada tahun 1995 Sinematek
menjadi bagian dari Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail. Tahun 2001,
pemerintah pusat melarang semua organisasi nirlaba, termasuk arsip, menerima
dana dari pemerintah, sedangkan dana dari luar negeri juga distop. Keputusan
ini membuat Sinematek sempat kekurangan dana dan keanggotaannya di FIAF
terancam. Arsip ini hanya mendapatkan Rp 17 juta setiap bulannya dari Yayasan
Pusat Perfilman H Usmar Ismail dan Dewan Film Nasional.
Hingga
2012, Sinematek terus kekurangan dana; dari Rp 320 juta yang dibutuhkan untuk
mengoperasikan arsip secara efisien, penerimaan per bulannya hanya Rp 48 juta.
Ketujuh belas pekerjanya digaji kurang dari Rp 1 juta per bulan. Akibatnya,
pengelolaan arsip tidak terlaksana dengan baik. Ruang penyimpanan di bawah
tanah memiliki penerangan yang tidak layak dan sejumlah tempat di sana sudah
berlumut. Sejak 2017 mulai ada pembenahan manajemen. Gaji karyawannya mencapai
batas UMR dengan fasilitas tunjangan kesehatan, tunjangan pensiun, dan
semacamnya. Sinematek merupakan lembaga pengarsip film pertama di Asia Tenggara
dan satu-satunya di Indonesia.
Pasca
reformasi mulai ada kegiatan pengarsipan nasional yang dijalankan oleh pihak
lain non pemerintah. Pada tahun 1999, terselenggara Festival Film Video
Independen Indonesia (FFVII) yang kemudian berganti menjadi Festival Film
Pendek Konfiden pada tahun 2006. Konfiden kemudian berbentuk Yayasan, membuka
submisi untuk film-film independen yang diproduksi oleh siapapun di Indonesia,
gratis dan diselenggarakan per tahun. dari video yang terkumpul muncul kegiatan
penyimpanan yang nantinya seperti Sinematek, mengarsipkan film-film pendek yang
masuk festival Konfiden. Sejak 2010 Konfiden fokus pada pengarsipan dengan
dimulainya website Film Indonesia di filmindonesia.or.id. Untuk menelusuri
sejarah situs ini, kita mundur dulu beberapa tahun untuk menilik latar
belakangnya. Info berikut ini saya ambil dari web site resminya.
Pada
tahun 1995, JB Kristanto (wartawan dan kritikus film senior) mempelopori
penerbitan secara utuh Katalog Film Indonesia 1926-1995 atas inisiatif pribadi
dibantu oleh SM Ardan (kurator film Sinematek Indonesia). Buku ini berisi data
film-film cerita panjang Indonesia yang diproduksi sejak tahun 1926 sampai
tahun 1994. Atas inisiatif JB Kristanto, Katalog Film Indonesia diterbitkan
kembali pada 2007 yang memuat data-data film produksi 1926-2007. Agar data film
Indonesia dalam bentuk katalog terus tersedia secara berkala, JB Kristanto
bersama Lisabona Rahman menerbitkan katalog film Indonesia (dalam bahasa
Indonesia dan Inggris) yang berjudul Indonesian Film Catalogue 2008 pada tahun
2008. Buku tersebut memuat data-data film yang diproduksi 2007 hingga awal
2008.
Penerbitan
buku Katalog Film Indonesia (edisi 2007 dan 2008) selalu mendapat tanggapan
yang baik dari kalangan pemerhati film Indonesia. Sayangnya, daya serap publik
atas buku Katalog Film Indonesia sangatlah rendah. Hal itu disebabkan salah
satunya oleh biaya produksi buku yang tinggi sehingga harga buku tersebut
menjadi terlalu mahal (mengingat daya beli masyarakat yang rendah) dan juga,
mekanisme distribusi buku yang berlaku di Indonesia menyulitkan jenis buku
seperti Katalog Film Indonesia untuk tetap tersedia di toko buku.
Oleh
karena itu, JB Kristanto beserta Lisabona Rahman dan Yayasan Konfiden
berinisiatif untuk membuat portal filmindonesia.or.id (FI). Situs web ini
menyajikan data dan informasi lengkap tentang perfilman Indonesia yang tersedia
dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pengubahan bentuk publikasi data film
Indonesia dari format buku ke bentuk online bertujuan agar informasi tentang
film Indonesia dapat diakses oleh publik secara lebih mudah, cepat, dan murah
dengan cakupan informasi yang lebih luas dan lengkap.
Para inisiator sepakat untuk menjadikan situs web filmindonesia.or.id sebagai program dari Yayasan Konfiden. Menurut website resminya, Yayasan Konfiden adalah sebuah yayasan nirlaba yang mengembangkan dan menyebarluaskan pengetahuan mengenai bidang audio visual dan manfaatnya bagi masyarakat sebagai wadah untuk sumber daya dan dukungan atas dasar inisiatif masyarakat sendiri. Sampai tahun 2010, program Yayasan Konfiden meliputi bidang Pendidikan (lokakarya, perpustakaan, penerbitan; riset, dan konsultasi produksi), Produksi (Visual Proposal dan Gerilya Sinema), dan Eksibisi (Festival Film Pendek Konfiden, Tawuran, dan pemutaran film). Namun mulai tahun 2010 Yayasan Konfiden memusatkan perhatian pada bidang database dan pengarsipan. Bermula dari koleksi film pendek dalam Videotek Konfiden, lalu berkembang ke situs web Film Indonesia.
Tim
kerja yang pernah terlibat di filmindonesia.or.id antara lain: JB Kristanto
(Editor), Lisabona Rahman (Editor), Totot Indrarto (Ko-Editor), Dedy Arnov
(Manajer Teknologi), Agus Mediarta (Manajer Program), Arie Kartikasari
(Administrasi Program), Adrian Jonathan Pasaribu (Penulis), Amalia Sekarjati
(Penulis), Deden Ramadani (Penulis dan Analis Data).
(Kembali ke Bagian IX) (Bersambung ke Bagian XI)
Post a Comment