Film dan Saya, Saya dan Film...Sebuah Kisah Cinta ha ha ha
Kegilaan pada film sudah saya mulai sejak kecil. Dahulu kala, di desa saya ada bioskop. Ya nggak ndeso banget, kota kecil di kabupaten lah. Sekarang mana ada bioskop di desa? Nah, tiap hari sepulang sekolah (saya masih SD tahun 80an) saya selalu lewat situ. Saya selalu mampir untuk melihat poster-poster film yang akan diputar. Waktu itu tiketnya seharga Rp. 400an. Pokoknya nggak sampai seribu lah. Jaman segitu Chiki rasa kaldu ayam (snack paling mewah untuk anak kere) harganya 200an seingat saya.
Film-film yang diputar variatif. Indonesia, Mandarin, Bollywood dan Hollywood juga ada. Film kelas B-nya Cynthia Rothrock juga ada. Selain papan poster, tempat favorit saya di bioskop itu adalah tempat sampah.
Ya, tempat sampah!
Kenapa?
Karena di situ saya sering mengais-ngais mencari potongan slide film buat koleksi. Pada saat itu projectionist sering memotong beberapa slide film. Entah apa tujuannya. Mungkin biar filmnya cepet selesai? Atau mungkin sensor buat adegan yang "rated"? Sayang saya nggak pernah nemu slide yang adegan rated.
Saya begitu terkenang dengan suasana bioskop ndeso. Kursi yang dari rotan, bau asap rokok, celetuk penonton yang kampungan. Pernah ada kasus penonton yang "meledakkan" telur busuk. Untung pas bukan saat saya nonton. Dari semua romantisisme bioskop ndeso, yang paling saya ingat adalah suara. Tata suara bioskop kampung pastilah tidak stereo. Speakernya "gembrebeg". Tapi itu yang bikin saya terkesan sampai sekarang.
Bertahun-tahun saya mengidamkan bisa membuat film seperti itu. Tapi yah itu cuma keinginan sampai kita tiba di masa teknologi memungkinkan film bisa dibikin dengan murah. Film pertama bikinan saya itu aneh bin lucu...
Judulnya "Alienosaurus".
Saya waktu itu bahkan tidak tahu ada istilah "Camera rolling and action!". Saya tak tahu apa itu "scene", "take" dan "shot". Pokoknya saya bilang aja ke yang pegang kamera, "Mas ambil gambar dari sini, gini dan nanti gini...bla bla bla..."
Abis syuting saya pun nggak bisa ngedit. Saya minta bantuan kawan. Saya bilang ke dia, "Ntar ini potong sini, ini taruh situ, itu stop sampe sini...bla bla bla..."
Film adalah bentuk seni yang paling komprehensif. Ia bisa mencakup banyak hal mulai dari seni rupa, musik, audio, teknologi, ekonomi, ideologi, politik, sosial dan lain-lain. Film merupakan medium yang tepat untuk mengekspresikan sebanyak mungkin jenis ide kita ke dalam sebuah media tunggal.
Bagi saya pribadi, film menjadi semacam miniatur kehidupan interaktif dalam sebuah simulasi estetis. Ckkk ngomong opo sih.... :p
Di dalam kegiatan bikin film saya bisa memiliki saat berinteraksi dengan orang (selama produksi) dan bisa juga menyendiri dari keramaian (saat paska produksi), maka media ini cocok untuk saya yang suka berkolaborasi tapi punya sedikit sindrom reklusif.
Filmmaking adalah alat saya untuk berhubungan dengan masyarakat. Karena seringkali saya tak selalu klop dan cocok dengan masyarakat. Misalnya tetangga sering ngajak nongkrong main kartu, ngobrol ngalor ngidul...itu hal yang cukup sulit bagi saya. Saya kan nggak bisa memaksakan diri untuk berpura-pura enjoy dengan sebuah kegiatan yang hati saya tak terlibat. Saya tak tertarik dengan tema obrolan mereka...jujur aja. Bukan saya merasa lebih pintar. Mirip rasanya ketika kita ini kaum laki-laki dipaksa ngedengerin obrolan ibu-ibu arisan. Namun sebagai makhluk sosial, sebaiknya kita juga tidak memisahkan diri. Sekarang ini untuk kegiatan sosial kampung yang pasti saya hadiri hanyalah gotong royong kematian hehehe
Akan tetapi pernah juga gini...suatu saat saya bikinkan orang kampung film untuk ditonton bersama. Kami pinjam proyektor, kami nongkrong di pinggir jalan kampung nonton film. Padahal itu cuma dokumentasi ketika jalan-jalan bareng bersama warga satu blok. Semua seneng lihat wajahnya nongol di layar gede-gede. Di situ saya baru punya bahan obrolan yang klop ama isi otak saya.
Jadi film bisa menjadi "social tools" bagi saya.
Pada tahap selanjutnya, film menjadi semacam wahana refleksi. Ia mengungkapkan ide-ide tersembunyi, ide-ide yang tak cocok sekadar dikotbahkan. Film menjadi ekspresi pribadi, komunikator gagasan dan kadang sebagai (namun saya tak terjebak hanya pada) pendidikan. Kalian bisa; mengenal saya, memahami cita-cita saya, mengetahui kesukaan saya, merasakan perasaan saya...semuanya lewat film yang saya bikin.
You watch not merely my work but also what inside me.
Kalo kalian bagaimana?
Kegilaan pada film sudah saya mulai sejak kecil. Dahulu kala, di desa saya ada bioskop. Ya nggak ndeso banget, kota kecil di kabupaten lah. Sekarang mana ada bioskop di desa? Nah, tiap hari sepulang sekolah (saya masih SD tahun 80an) saya selalu lewat situ. Saya selalu mampir untuk melihat poster-poster film yang akan diputar. Waktu itu tiketnya seharga Rp. 400an. Pokoknya nggak sampai seribu lah. Jaman segitu Chiki rasa kaldu ayam (snack paling mewah untuk anak kere) harganya 200an seingat saya.![]() |
SAUR SEPUH (karya Imam Tantowi) adalah salah satu film yang menginspirasi saya untuk jadi pembuat film. Poster ini saya bikin sewaktu masih SD. Bandingkan dengan aslinya he he he |
![]() |
BRAHMANA MANGGALA adalah film yang pertama saya tonton di bioskop. Semacam "mockbuster" dari kesuksesan SAUR SEPUH mungkin? Terlihat dari desain title yang sama. |
Film-film yang diputar variatif. Indonesia, Mandarin, Bollywood dan Hollywood juga ada. Film kelas B-nya Cynthia Rothrock juga ada. Selain papan poster, tempat favorit saya di bioskop itu adalah tempat sampah.
Ya, tempat sampah!
Kenapa?
Karena di situ saya sering mengais-ngais mencari potongan slide film buat koleksi. Pada saat itu projectionist sering memotong beberapa slide film. Entah apa tujuannya. Mungkin biar filmnya cepet selesai? Atau mungkin sensor buat adegan yang "rated"? Sayang saya nggak pernah nemu slide yang adegan rated.
Saya begitu terkenang dengan suasana bioskop ndeso. Kursi yang dari rotan, bau asap rokok, celetuk penonton yang kampungan. Pernah ada kasus penonton yang "meledakkan" telur busuk. Untung pas bukan saat saya nonton. Dari semua romantisisme bioskop ndeso, yang paling saya ingat adalah suara. Tata suara bioskop kampung pastilah tidak stereo. Speakernya "gembrebeg". Tapi itu yang bikin saya terkesan sampai sekarang.
![]() |
ALIENOSAURUS, film pertama saya |
Judulnya "Alienosaurus".
Saya waktu itu bahkan tidak tahu ada istilah "Camera rolling and action!". Saya tak tahu apa itu "scene", "take" dan "shot". Pokoknya saya bilang aja ke yang pegang kamera, "Mas ambil gambar dari sini, gini dan nanti gini...bla bla bla..."
Abis syuting saya pun nggak bisa ngedit. Saya minta bantuan kawan. Saya bilang ke dia, "Ntar ini potong sini, ini taruh situ, itu stop sampe sini...bla bla bla..."
![]() |
Adegan dari ALIENOSAURUS, terinspirasi dari Jurassic Park-nya Steven Spielberg, salah satu sutradara favorit saya |
Bagi saya pribadi, film menjadi semacam miniatur kehidupan interaktif dalam sebuah simulasi estetis. Ckkk ngomong opo sih.... :p
Di dalam kegiatan bikin film saya bisa memiliki saat berinteraksi dengan orang (selama produksi) dan bisa juga menyendiri dari keramaian (saat paska produksi), maka media ini cocok untuk saya yang suka berkolaborasi tapi punya sedikit sindrom reklusif.
Filmmaking adalah alat saya untuk berhubungan dengan masyarakat. Karena seringkali saya tak selalu klop dan cocok dengan masyarakat. Misalnya tetangga sering ngajak nongkrong main kartu, ngobrol ngalor ngidul...itu hal yang cukup sulit bagi saya. Saya kan nggak bisa memaksakan diri untuk berpura-pura enjoy dengan sebuah kegiatan yang hati saya tak terlibat. Saya tak tertarik dengan tema obrolan mereka...jujur aja. Bukan saya merasa lebih pintar. Mirip rasanya ketika kita ini kaum laki-laki dipaksa ngedengerin obrolan ibu-ibu arisan. Namun sebagai makhluk sosial, sebaiknya kita juga tidak memisahkan diri. Sekarang ini untuk kegiatan sosial kampung yang pasti saya hadiri hanyalah gotong royong kematian hehehe
Akan tetapi pernah juga gini...suatu saat saya bikinkan orang kampung film untuk ditonton bersama. Kami pinjam proyektor, kami nongkrong di pinggir jalan kampung nonton film. Padahal itu cuma dokumentasi ketika jalan-jalan bareng bersama warga satu blok. Semua seneng lihat wajahnya nongol di layar gede-gede. Di situ saya baru punya bahan obrolan yang klop ama isi otak saya.
Jadi film bisa menjadi "social tools" bagi saya.
Pada tahap selanjutnya, film menjadi semacam wahana refleksi. Ia mengungkapkan ide-ide tersembunyi, ide-ide yang tak cocok sekadar dikotbahkan. Film menjadi ekspresi pribadi, komunikator gagasan dan kadang sebagai (namun saya tak terjebak hanya pada) pendidikan. Kalian bisa; mengenal saya, memahami cita-cita saya, mengetahui kesukaan saya, merasakan perasaan saya...semuanya lewat film yang saya bikin.
You watch not merely my work but also what inside me.
Kalo kalian bagaimana?
![]() |
SAUR SEPUH (karya Imam Tantowi) adalah salah satu film yang menginspirasi saya untuk jadi pembuat film. Poster ini saya bikin sewaktu masih SD. Bandingkan dengan aslinya he he he |
![]() |
BRAHMANA MANGGALA adalah film yang pertama saya tonton di bioskop. Semacam "mockbuster" dari kesuksesan SAUR SEPUH mungkin? Terlihat dari desain title yang sama. |
Film-film yang diputar variatif. Indonesia, Mandarin, Bollywood dan Hollywood juga ada. Film kelas B-nya Cynthia Rothrock juga ada. Selain papan poster, tempat favorit saya di bioskop itu adalah tempat sampah.
Ya, tempat sampah!
Kenapa?
Karena di situ saya sering mengais-ngais mencari potongan slide film buat koleksi. Pada saat itu projectionist sering memotong beberapa slide film. Entah apa tujuannya. Mungkin biar filmnya cepet selesai? Atau mungkin sensor buat adegan yang "rated"? Sayang saya nggak pernah nemu slide yang adegan rated.
Saya begitu terkenang dengan suasana bioskop ndeso. Kursi yang dari rotan, bau asap rokok, celetuk penonton yang kampungan. Pernah ada kasus penonton yang "meledakkan" telur busuk. Untung pas bukan saat saya nonton. Dari semua romantisisme bioskop ndeso, yang paling saya ingat adalah suara. Tata suara bioskop kampung pastilah tidak stereo. Speakernya "gembrebeg". Tapi itu yang bikin saya terkesan sampai sekarang.
![]() |
ALIENOSAURUS, film pertama saya |
Judulnya "Alienosaurus".
Saya waktu itu bahkan tidak tahu ada istilah "Camera rolling and action!". Saya tak tahu apa itu "scene", "take" dan "shot". Pokoknya saya bilang aja ke yang pegang kamera, "Mas ambil gambar dari sini, gini dan nanti gini...bla bla bla..."
Abis syuting saya pun nggak bisa ngedit. Saya minta bantuan kawan. Saya bilang ke dia, "Ntar ini potong sini, ini taruh situ, itu stop sampe sini...bla bla bla..."
![]() |
Adegan dari ALIENOSAURUS, terinspirasi dari Jurassic Park-nya Steven Spielberg, salah satu sutradara favorit saya |
Bagi saya pribadi, film menjadi semacam miniatur kehidupan interaktif dalam sebuah simulasi estetis. Ckkk ngomong opo sih.... :p
Di dalam kegiatan bikin film saya bisa memiliki saat berinteraksi dengan orang (selama produksi) dan bisa juga menyendiri dari keramaian (saat paska produksi), maka media ini cocok untuk saya yang suka berkolaborasi tapi punya sedikit sindrom reklusif.
Filmmaking adalah alat saya untuk berhubungan dengan masyarakat. Karena seringkali saya tak selalu klop dan cocok dengan masyarakat. Misalnya tetangga sering ngajak nongkrong main kartu, ngobrol ngalor ngidul...itu hal yang cukup sulit bagi saya. Saya kan nggak bisa memaksakan diri untuk berpura-pura enjoy dengan sebuah kegiatan yang hati saya tak terlibat. Saya tak tertarik dengan tema obrolan mereka...jujur aja. Bukan saya merasa lebih pintar. Mirip rasanya ketika kita ini kaum laki-laki dipaksa ngedengerin obrolan ibu-ibu arisan. Namun sebagai makhluk sosial, sebaiknya kita juga tidak memisahkan diri. Sekarang ini untuk kegiatan sosial kampung yang pasti saya hadiri hanyalah gotong royong kematian hehehe
Akan tetapi pernah juga gini...suatu saat saya bikinkan orang kampung film untuk ditonton bersama. Kami pinjam proyektor, kami nongkrong di pinggir jalan kampung nonton film. Padahal itu cuma dokumentasi ketika jalan-jalan bareng bersama warga satu blok. Semua seneng lihat wajahnya nongol di layar gede-gede. Di situ saya baru punya bahan obrolan yang klop ama isi otak saya.
Jadi film bisa menjadi "social tools" bagi saya.
Pada tahap selanjutnya, film menjadi semacam wahana refleksi. Ia mengungkapkan ide-ide tersembunyi, ide-ide yang tak cocok sekadar dikotbahkan. Film menjadi ekspresi pribadi, komunikator gagasan dan kadang sebagai (namun saya tak terjebak hanya pada) pendidikan. Kalian bisa; mengenal saya, memahami cita-cita saya, mengetahui kesukaan saya, merasakan perasaan saya...semuanya lewat film yang saya bikin.
You watch not merely my work but also what inside me.
Kalo kalian bagaimana?