Apakah kekerasan itu adalah ketika kita jadi korban? Kalau orang lain korbannya mungkin bukan kekerasan?
Apakah kekerasan itu jika dilakukan golongan lain pada kita? Kalau kita pelakunya bukan kekerasan?
Pelajaran agama Islam yang saya terima sejak keci di antaranya tentang sejarah peperangan nabi. Itu kekerasan bukan?
Saya membaca kisah-kisah Yesus yang disalib tentara Romawi. Kekerasan bukan?
Baca sejarah pun isinya perang, pengkhianatan, pembunuhan....
Saya pun jadi bingung ketika ada film laga yang dituding sebagai media yang mengajarkan kekerasan. Jadi konsep kekerasan itu apa?
Mengutip artikel wikipedia...
Violence is defined by the World Health Organization as "the intentional use of physical force or power, threatened or actual, against oneself, another person, or against a group or community, which either results in or has a high likelihood of resulting in injury, death, psychological harm, maldevelopment, or deprivation", but acknowledges that the inclusion of "the use of power" in its definition expands on the conventional meaning of the word.[2] This definition involves intentionality with the committing of the act itself, irrespective of the outcome it produces. However, generally, anything that is excited in an injurious or damaging way may be described as violent even if not meant to be violence (by a person and against a person).
Oke bahasa Inggris...males ah nerjemahin. Baiklah...saya akan merumuskan teori saya sendiri...
Kehidupan kita selain kasih sayang dan persaudaraan pastinya juga mengandung unsur "kekerasan", konfrontasi fisik maupun psikologis, pembelaan diri, invasi dan lain-lain. Ada banyak manifestasi kekerasan. Jadi pada tahap ini saya menerima bahwa kekerasan dalam berbagai kadar dan manifestasinya adalah bagian dari kehidupan ras manusia. Anda makan binatang aja bisa disebut sebagai "kekerasan" menurut kaum vegan.
Karena itu kekerasan harus dikelola.
Kekerasan adalah tindakan merugikan secara fisik dan psikis yang dilakukan antar pihak (bisa individu atau kelompok) tanpa pembenaran moral dan hukum. Jika dikaitkan dengan nilai agama maka kata kekerasan akan menjadi ambigu karena patokan nilai yang dipegang tiap pihak berbeda. Di sini yang akan menyebut kekerasan adalah pihak korban. Di tahap ini kekerasan menjadi sesuatu yang subyektif. Kekerasan mungkin memang bukan sesuatu yang bisa dideskripsikan secara universal...itulah dancuknya.
Kalau kamu merasa kata-kata dan tindakanmu berpotensi menyakiti seseorang, mungkin kamu akan menggunakan cara lain dalam melakukannya.
Kalau kamu nyakitin hatiku, bagi aku itu kekerasan...bagi kamu mungkin biasa aja... (halah ngomong opooo to, mblo..)
Kekerasan tidak bisa dikerangkeng dalam pelabelan sepihak. Kekerasan selalu berada dalam konteks. Maka haruslah di-manage. Masalahnya juga nggak semua orang bijak dalam manajemen "kekerasan". Setiap kelompok selalu rentan melakukan atau terkena kekerasan. Antar umat beragama, antar fans kesebelasan sepak bola, antar instansi pejabat dll.
Nah, sekarang bagaimana tentang visualisasi kekerasan dalam media?
Saya sepakat itu dibatasi untuk anak kecil (atau orang tua dengan pikiran anak kecil), cuma ya jangan banget-banget lah...daripada menyensor adegan yang bikin kenikmatan nonton berkrang kenapa nggak juga nayangin "behind the scene". Jadi ada proses edukasi soal visualisasi kekerasan tadi. Anak-anak tahu kalau adegan itu rekayasa dan gak bisa ditiru. Makanya orangtua kalau bisa juga mendampingi. Tapi repot juga sih kalau orangtua si anak adalah anggota DPRD...kan sibuk menyusun anggaran demi kesejahteraan rakyat.
Perbanyak ekskul film di sekolah-sekolah...biar anak-anak tahu bahwa visualisasi kekerasan itu bukan nilai hidup yang bis adilakukan di dunia nyata. Kan itu juga bakal ngasih kerjaan buat filmmaker edukator desa kayak saya (heheheh)
Menurut saya sensor tidak selalu merupakan jawaban untuk membentengi moral. Wrong censorship spreads wrong messages.
Post a Comment