KENAPA KAMU DIBOHONGI FILM KOK MAU AJA?

Film yang sukses itu adalah film yang berhasil ngapusi. Lha kok bisa? Ngawur tenan mase iki. Film yang bener itu ya kudu pake logika lah. Nha justru itu. Film itu saking pinternya ngapusi, semuanya jadi nampak logis hehehe

Istilahnya itu “Suspension of Disbelief”, yakni seberapa jauh sebuah film ngapusi anda, tapi andanya fine-fine aja. Istilah ini bisa dipakai juga dalam bentuk karya fiksi yang lain; novel, cerpen dan lain-lain. Bagaimana kita diapusi tapi tetep fine? Itu karena cara bercerita yang maknyus.

"What do you know?! Haven't you heard of suspension of disbelief?" — Ed Wood
(movie directed by Tim Burton, 1994)

Misalnya Superman. Seperti kita tahu kostum standarnya adalah baju senam ketat warna biru, nggak pake topeng, jubah merah tersampir di punggung, logo S di dada dan pake sempak merah bersabuk kuning. Setidaknya itu gambaran Superman klasik. Versi Man of Steel-nya Zack Snyder emang bid’ah karena gak pake sempak lagi. Nah, alter ego Superman ini namanya Clark Kent, seorang jurnalis di perusahaan media. Sehari-harinya, Clark Kent ini Cuma pakai kacamata untuk menyamarkan identitas aslinya. Orang-orang satu kota tetep gak ngenalin dia. Apa ya mungkin? Tapi sejauh ini itu no problem. Karena kita udah cukup terhibur sama cerita Superman, maka kita nggak protes. Dalam keseharian tentu itu nggak realistis. Bisa dibayangin, misalnya anda yang biasanya pake kacamata dan kemeja, suatu hari demi menghindari debt collector terus anda Cuma pakai sempak dan nggak pake kacamata. Mungkinkah anda tidak dikenali? Itulah cara kerja suspension of disbelief dalam film.

Jadi gimana sih logika film itu?

Sebenarnya ya sama aja. Logika kan universal. Tapi kita musti sadar kalau istilah logika dalam filsafat berbeda maknanya dalam bahasa sehari-hari. Sehubungan dengan itu, kita harus membedakan dulu antara logis dan realistis. Logis kalo di filsafat kan ada kaidahnya sedangkan kalo realistis itu adalah soal peluang kemungkinan. Alien dari planet lain datang ke bumi, secara logis mungkin. Tapi secara realistis tidak. Seandainya secara realistis planet Krypton itu nyata, bisa repot kita. Bayangin aja misalnya Superman itu ke bumi dalam rangka dakwah agama asli Krypton gitu. Perang agama bisa jadi antar galaksi. Ceritanya bakal jadi Religious Star Wars.

Kalo film kartun udah beda lagi lho. Suspension of disbeliefnya bisa parah banget dan justru itu selling point-nya. Misal film-filmnya Tom and Jerry. Ditabok martil jadi gepeng, eh abis itu sehat kembali. Di universe kartun Walt Disney, Gufi itu anjing (bukan makian). Nah tapi ada Pluto yang juga anjing tapi dia beda ama Gufi. Gufi pake baju bisa ngomong, tapi Pluto enggak. Mungkin Gufi itu anjing sapiens yakni anjing yang telah makan buah khuldi. Jadi Gufi ini kelak bakal dimintai pertanggungjawaban atas amal dan perbuatannya, kalo Pluto tidak. 

Balik ke soal logika film. Misalnya dalam cerita berikut.

Gara-gara emaknya salah baca surat kontrak, Timun Mas menjadi korban perbudakan oleh Buto Terong. Demi menyelamatkan diri, Timun Mas pergi ke luar negeri (bukan ke masa lalu). Di sana ia bilang pada emaknya agar tidak bikin kontrak sama Buto Terong. Kemudian Timun Mas lahir setelah Buto Terong batal bikin kontra sama emaknya.

Anda bisa membaca bahwa cerita di atas superkacau. Kaitan peristiwanya jelas-jelas nggak logis. Tentu saja karena prinsip sebab akibat dilanggar di situ. Namun istilah “logis” yang berbeda juga sering dijumpai pada kalimat berikut ini:

“Pasangan nganu itu nggak logis. Yang cewek cantik dan cerdas, yang cowok jelek dan miskin. Ya mungkin si cewek kena pelet kali ya?”

Kalo logis di sini artinya kurang atau nggak realistis. Secara realistis (baca aja probabilitas statistik) bisa nggak cewek dengan karakter gitu dapat cowok dengan kondisi begitu?

Film, peristiwanya sering tidak realistis namun tetap logis. Prinsip kausalitas tak boleh dilanggar. Misal ada karakter mati di awal, maka nggak logis kalo dia hidup lagi tanpa ada penjelasan. Dalam membikin cerita yang nggak realistis si filmmaker bebas-bebas aja berimajinasi.

Yang repot ketika mbahas film genre sejarah. Emang ada film yang musti “setia” pada sejarah, tapi ada juga film yang berlatar sejarah “alternatif” alias ngarang. Misalnya film Inglourious Basterds (sutradara Quentin Tarantino). Di situ Adolf Hitler mati ditembak di bioskop. Tak ada yang protes sih. Mungkin karena Hitler bukan tokoh agama. Ada juga film Abraham Lincoln jadi tukang basmi vampir. Nha yang repot di sini. Kalo misal bikin film berlatar Majapahit, bisa diprotes kalo gak sesuai sejarah. Lho itu Gajah Madanya kok bukan Islam? (BTW udah fixed belum sih Gajah Mada agamanya apa?)

Genre religi juga sama repotnya. Di Hollywood, bikin karakter pendeta pervert, korup dll itu udah biasa. Nah di Indonesia, kita musti pakai suspension of disbelief demi stabilitas sosial. Jangan ada tokoh agama korup, perempuan berhijab jangan jadi antagonis dll. Jadi meski dalam kesehariannya beda ya musti pake suspensioan of disbelief lah kalo mau aman hehehe. Sudah belajar dari kasus pemenang festival film polisi dan video kampanye Ahok kemarin kan? Anda kasih satu aja karakter nggak bener di antara karakter seagama yang bener, pasti deh yang satu itu diributin.


Suspension of disbelief juga terjadi dalam sehari-hari. Berapa banyak kita percaya tentang sesuatu, bahwa itu oke, itu real hanya berdasarkan testimoni orang lain? Kita merasa fine karena itu enjoyable, apalagi kita tak merasa penasaran menyelidikinya secara mendalam. Film Matrix (sutradara Wachowski brothers) dan juga Truman Show (sutradara Peter Weir) adalah film yang mendalam mengenai suspension of disbelief dalam kehidupan nyata. Bagi yang belum nonton saya rekomendasikan deh. Film selain merupakan produk hiburan, juga bisa jadi media pembelajaran terasyik soal realitas hehehe.

Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved