NGOBROLIN BOLLYWOOD AMA MAHFUD IKHWAN

Apakah anda suka film Bollywood?

Apakah anda masih ngerasa film India tuh norak abis? Lihat aja tiap ketemu tiang musti njoged dan nyanyi. India dengan tari dan nyanyi nyaris identik kayak film Hongkong dengan Kungfu. Tapi kalo nggak mendalami satu hal ya semuanya akan tampak sama saja.

Saya nonton film Bollywood sejak SD, yakni di TPI. TPI (waktu itu Televisi Pendidikan Indonesia) merupakan TV pertama yang menayangkan film-film India. Kebanyakan durasi film India adalah 3 jam, maka ada yang khas dari cara TPI menayangkannya. Biasanya filmnya dipotong jadi 4 bagian dan ditayangkan seminggu sekali, seperti jadi miniseri.

Bintang Hollywood yang saya kenal pertama adalah Sanjay Dutt, Amitabh Bachchan dan Salman Khan. Kalo perempuan Madhuri Dixit dan Aishwarya Rai.

Aishwarya Rai, kecantikan yang tak tertolak

Tapi ada jenuhnya juga ketika nonton India temanya itu-itu aja. Sama kayak bosannya saya ama serial Kungfu Mandarin. Ketika nonton film-film Amir Khan yang terkini, saya seolah menemukan harapan dalam nonton film India. 3 Idiots, Taree Zamin Paar, PK dan saat saya nulis ini yang terbaru adalah Dangal. 3 Idiots adalah film pertama yang bikin saya berharap ada perkembangan baru di Bollywood.

Menyetir motor matic, ia adalah mimpi buruk. Menodongkan pistol apalagi... Madhuri Dixit

Kecantikan klasik Madhuri Dixit

Jujur aja selera musikal saya bukanlah musikal Bollywood. Tapi kalo ngelihat Katrina Kaif goyang....kok guilty pleasure banget ya? Atau sexynya Aishwarya Rai dalam Dhoom 2....owww gilti pleserrrrr!!!

Selera saya soal kecantikan fisik juga cenderung "orientalis" atau "manis pedesaan" atau "keimutan Syar'i"..."kebahenolan akrobatik" juga suka. India? Hmmm... sebenarnya not my type. Tapi ya ada kecualinya.

Kecantikan klasik Madhuri Dixit adalah sesuatu yang saya wow-kan, imut kekinian kayak Alia Bhatt juga sesuatu yang saya ahhh-kan. Belum lagi Katrina Kaif yang jelas oohhhh-istic.

Keseksian tak terelakkan...Katrina

A guilty pleasure....Katrina Kaif

Alternatif romance selain Korean Drama....Bollywood sweetness

Ada yang lebih manis dari Alia Bhatt?

Nah untuk mengenal (kenal aja dulu...paham belakangan haha) soal film India. Saya mau ngobrol ama pakarnya. Dia adalah satu-satunya (setahu saya) orang yang nulis referensi mendalam berbahasa Indonesia soal Bollywood.

Dapatkan bukunya.

MAHFUD IKHWAN, pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2014 ini adalah penulis buku “Aku dan Film India melawan Dunia” (penerbit EA Books 2017). Dia bisa saya bilang “Wikipedia berjalan soal Bollywood” dalam bahasa Indonesia.

Kita mulai obrolan ini.

===========

GUGUN: Pertama. Sebenarnya Bollywood itu istilah dari siapa? Mengacu ke industri film yang mana?

MAHFUD: Hahaha... itu sebenarnya baru muncul di awal 90-an. diberikan oleh jurnalis mereka. Jadi semacam nebeng tenar, biar naik kelas. Ini sebenarnya berbarengan dengan keterbukaan ekonomi pasca rejim (sok) sosialis Indira Gandhi.

MAHFUD: Bollywood hanya mengacu kepada industri film di Bombay (sekarang Mumbai). Tapi, istilah Bollywood segera dikopi oleh industri-industri film di bagian lain di India. macam di Kolkata, Chennai, Sochi, Hyderabad, dst.

GUGUN: Bahasa apa yang dipakai di film Bollywood?

MAHFUD: Bollywood memakai bahasa Hindi. Kira-kira mungkin ragam pasaran dari Urdu, bahasa resmi yang dulu dipakai oleh kesultanan Muslim yang jatuh bangun di India utara.

GUGUN: Kalau yang berbahasa Tamil?

MAHFUD: Industri film di India tersebar "merata" di setiap regionnya. dan mereka memakai bahasa masing-masing. Chennai pakai Tamil, Kolkata pakai Bengali, Kerala pakai Malayalam, Hyderabad pake Telugu, dst.

GUGUN: Jadi peta industrinya itu gimana? Berdasarkan daerahnya kah?

MAHFUD: Tentu saja. dan itu hebatnya. Cuma yang tak terhindarkan adalah dominasi Bollywood dengan bahasa Hindi-nya.


GUGUN: Nah jadi inikah bedanya India dengan Amerika ya? kalo Hollywood kan tidak ada pengelompokan berdasarkan daerah. Mereka berawal dari studio system. Begitu atau bagaimana?

MAHFUD: Studio system sebenarnya juga terjadi di India. Dan karena itu, beberapa pusat industri film lebih mendominasi dibanding yang lain. Cuma, diversitas bahasa menuntut industri untuk memberi penonton film yang berbahasa daerahnya. Sistem dubbing ditempuh, tapi itu sering dianggap nggak efektif. Makanya yang dilakukan akhirnya saling me-remake. Ini hal yang sangat khas India.

GUGUN: Jadi pengelompokan daerah tadi berdasarkan sasaran penonton atau lokasi industrinya?

MAHFUD:  Lokasi industri melayani daerahnya. Film-film Tamil tak akan ditonton di utara. Kalau ada yang bagus di selatan, maka yangg utara nge-dubb atau me-remake. Contoh hasil dubbing adalah Bahubali (yang aslinya berbahasa Telugu). Sementara film-film Hindi kadang butuh di-remake agar penonton di Bengal atau Kerala mau menonton. Tapi, Bollywood, karena kekuatan modal dan dominasi kulturalnya, tentu saja kadang melewati sekat-sekat yang kubilang itu.

GUGUN: Jadi kalo misalnya kalau mau bikin film yang mau ditonton di Bengal maka filmnya musti diproduksi di Bengal atau yang satu "rayon" kedaerahan?

MAHFUD:  Aku tak tahu. Tapi logisnya, untuk membuat film berbahasa Bengal, setidaknya kau butuh aktor-aktor Bengal dan keterjangkauan distribusinya. Maka ya bikinnya di Kolkatta. Tapi, mungkin yang belum aku sebut dari tadi sebenarnya adalah perbedaan karakter di masing-masing industri. Dan itu mempengaruhi di mana kau bikin film, dengan siapa kau minta dibikinin music score, dst. Tapi lagi-lagi, di luar desentralisasi itu, bagaimana pun, Bollywood adalah tempat uang dan tempat ketenaran. Jadi ia pada akhirnya tetap menjadi centre. Contoh menarik adalah sutradara Rituparno Gosh. Ia sangat Bengal. filmnya selalu tak lebih dari dua jam, nggak pakai nari-nari, seringnya pakai bahasa Bengal atau malah kadang pakai bahasa Inggris. Tapi untuk mengangkat filmnya, ia sering memakai bintang-bintang Bollywood. Jadinya adalah film-film seni yang ditonton relatif banyak orang.

GUGUN: Jadi dalam perindustrian film India, seberapa besar signifikansi kedaerahan tadi? Sebagai perbandingan di Indonesia, penonton film di daerah pun lebih mengapresiasi film nasional (bisa dibaca Jakarta). Kalau yang daerah murni, biasanya levelnya cuma film TV dan tayangnya di daerah pula. Dan di daerah ini jarang yang levelnya sampai jadi industri. Kalau pun ada dan bisa diitung mungkin cuma Makassar. Purbalingga yang gudangnya filmmaker daerah saja distribusi offline-nya cuma di festival.

MAHFUD:  Indonesia jelas bukan bandingan. Pusat-pusat film selain Mumbai, seperti Kolkatta atau Chenai, punya superstarnya sendiri-sendiri, komposer-komposer hebatnya sendiri, dan penyanyi-penyanyi joss-nya sendiri. dan mereka kadang memproduksi film-film yang lebih hebat, lebih mahal, dan lebih tenar dibanding Bollywood. Contohnya Bahubali. Contoh lain adalah sosok Rajinikant di film-film Tamil. Orang ini dipuja di India selatan lebih dari Shah Rukh atau Bahchchan di utara.

GUGUN: Oo jadi ternyata daerah saling jor-joran bikin film ya? Jadi selera mereka tidak sentral kayak di sini?

MAHFUD:  Jelas. Tapi kalau ngomong sentralisme ya masih Bollywood. Kau bisa gugling atau baca di Wikipedia soal daerah mana saja yang merupakan penghasil film terbesar. Juga siapa superstar di masing-masing daerah itu dan film apa yang paling terkenal dari sana.

GUGUN: Kalau film India yang beda apa? Yang nggak tipikal njoged dan nyanyi.

Karya Satyajit Ray, "The World of Apu" tahun 1959 (Courtesy of Janus Films). Jangan nyari orang njoged.

MAHFUD:  Kalo mau nyari yang arthouse, biasanya banyak ditemukan di film-film Bengal (tradisi seni tinggi mereka nggilani (luar biasa ngeri) soalnya, dan terutama pematronan mereka kepada realisme romantik ala Satyajit Ray. Tapi, arthouse juga ditemukan di film-film selatan, baik di Tamil maupun Malayalam, yang punya tradisi sinema kiri. Tapi, Bollywood juga banyak arthouse-nya.

GUGUN: Sekarang soal genre. Biasanya saya nontonnya drama. Kadang ada juga sci-fi kayak film Ra-One dan Enthiran. Baru-baru ini yang heboh adalah Bahubali. Gimana pendapatmu soal film itu? Sebenarnya sevariatif apa sih genre film di India/Bollywood?

MAHFUD:  Bahubali 1 wis nonton tapi yang 2 belum. CGI-nya mengagumkan. Tapi sebagai penonton film India level snob, kisah dan kesan yang kudapat sih biasa saja, hehehe... Bahubali kupikir adalah jawaban untuk 300-nya Hollywood. Itu saja, hahaha...
Dan ngomong soalgenre, yang pertama mesti disebut adalah Masala. Itu mengatasi semua genre di Bollywood. Dalam satu film ada drama, eksyen, komedi.

GUGUN: Jadi masala adalah film Bollywood dengan unsur drama, laga dan komedi?

MAHFUD:  Begitulah. Tapi masala bisa menampung lebih banyak hal lagi. Fiksi sains misalnya. Itu lah kenapa disebut masala. Masala itu kalau aku bayangkan kayak gado-gado di sini. Isinya macem-macem, rasanya macem-macem.  Meski begitu, beriring dengan mengglobalnya Bollywood, beberapa genre akhirnya menegaskan diri. Kini kita bisa ketemu film-film komedi slapstik, komedi romantis, komedi yang bertumpu pada dialog. Yang rame sejak tahun 2000-an adalah horror. Horror erotis terutama. Sport moviesekarang sedang jaya-jayanya. Puncaknya mungkin Dangal-nya Aamir Khan. Selain itu juga sedang marak bikin biopic.

GUGUN: Contoh film-film yang bergenre tadi apa saja? Misal khusus sci-fi, horror dll. kalo action sih jelas ada ya.

MAHFUD:  Fiksi sains contohnya pada Ra-One itu. Tapi, Ra-One sebenarnya kalah dulu dan kalah keren sama Robot (Enthiran), film Tamil yang mirip Bicentinal Man yang dibintangi Rajinikant. Film yang perlu kamu tonton untuk visual effect dengan sentuhan fiksi sains adalah Eaga. Lagi-lagi ini film selatan.

Kemudian francais-nya Krisshh adalah genre superhero. Dimulai dari tahun 1986, Mr.India, anak yatim piatu yang bisa menghilang. Belakangan di film-film Tamil banyak yang macam ini hehe....

GUGUN: Gimana dengan horror? kenapa jarang film horror India ya? Hanya satu judul film india horror yang saya ingat. Nagin. Itu aja juga gak pernah nonton. Hanya gara-gara posternya dipasang di bioskop kampung saya.

MAHFUD:  Horror Bollywood memang jarang muncul di Indonesia sih. Tapi belakangan ini dominan kok. Coba kamu gugling film “Ek Thi Dayan”.

GUGUN: Sekarang film-film yang arthouse. Yang baru terutama. Film apa yang dapat international acclaim?

MAHFUD:  Lha, ini yang biasanya kurang apdet. Soalnya arthouse ini biasanya juga gak rame-rame dibahas baik oleh koran-koran lokal sana apalagi oleh koran-koran di sini. Jadi seringnya telat. Tapi yang belum lama ini kutonton adalah “Visaranai”. Film dari Hyderabad. Ini thriller hukum yang menggigit dan bikin menggigil. Dapat perhatian di Venice. Tapi begini sih, bagaimana pun aku selalu lebih menyukai yang industrial namun tetap bagus. Film-film Bollywood yang keluar dari pakem film-film Bollywood, tapi tetap dimainkan para bintang. Ya film-film dengan nuansa gelap. Film-film gangster asyik-asyik tuh. Itu jauh lebih memuaskanku sebagai penonton film India. Sebab, rata-rata yang arthouse itu tampak seperti hanya ingin ditonton orang Eropa.

GUGUN:  Kenapa film india berdurasi 3 jam?

MAHFUD:  Karena mereka butuh menempatkan setidaknya sedikitnya 7 lagu yang mana masing-masing durasinya 7 menit. Film-film yang nggak pake lagu (atau yang OST-nya ditaruh sebagai bekgron biasanya ya sekitar 2 jam-an). Coba cek film-film Rituparno Gosh. Juga film Bollywood lain yang tidak mainstream.

GUGUN: Jadi mereka ini pakai “4 structure act narrative” yang mana satu act-nya adalah njoged ya? hahaha

MAHFUD:  Tentu saja, haha...

GUGUN: Sekarang tentang cast. Ini agak bau-bau rasial bahasannya. Yang saya lihat para aktor adalah yang berdarah "Arya". Sementara India yang "gelap" paling-paling jadi penjahat hehehe. Sebenarnya gimana petanya? Sebagai bandingan, di Hollywood ada isu “whitewashing”, dimana aktor-aktor Kaukasia memerankan karakter Asia. Di masa lalu tak banyak porsi untuk aktor kulit hitam. Sebenarnya etnografi aktor Bollywood itu gimana?

MAHFUD:  hahaha.. ini agak sulit aku ngejawabnya. Mungkin karena memang belum baca. Lagipula hal beginian tak terlalu menarik perhatianku. Sebab, sederhananya, industri film India itu rasis, paternalistik, klientalistik, dan tentu saja korup. Dan itu gak perlu kucari tahu.

GUGUN: Ya secara visual kan kita lihat aktor dan yang njoged di latar itu paras dan bodynya wow semua. Tapi kalo lihat profil masyarakat aslinya kok beda? Termasuk india lokal di sini. Sorry, bukan maksud merendahkan.

MAHFUD:  Penonton film India itu sama dengn penonton film Indonesia. Mereka butuh eskapisme dari hidup yang rumit. Mereka butuh mimpi. Mereka butuh realitas yg berbeda dengan realitas yang mereka alami. Mereka butuh melihat rumah megah, perempuan-perempuan bening dan bahenol, pahlawan gagah, dst. Makanya yang mendominasi adalah orang-orang dari utara. Kalo mau cari yang “gelap”, coba cek bosnya, sutradaranya, produsernya, hahaha.. soal yang aku bilang terakhir itu sudah jadi anekdot. Mihir Bose menulis, di studio-studio yang sumpek di Bollywood, bos-bos berkulit gelap dan berbaju putih, dengan ketek basah oleh keringat, membawa koper-koper penuh uang yang mungkin dipinjamnya dari para mafia Mumbai (yang berkulit lebih gelap lagi) hahaha…

Tapi kalo mau lihat diversiti ras, coba cek ke film-film selatan. Rajinikant itu nggak putih dan nggak tampan dalam “standar industri”. Di industri film Malayalam, aktor-aktor penguasanya sudah pada gendut dengan kumis segede singkong gosong. Mereka sudah pada tuwir menunggu pensiun. Biasanya mereka mulai mengorbitkan anak-anak atau menantunya. 

Sebagai bahanreferensi ini aku kasih contoh.  Salt N' Pepper. Ini adalah film komediromantik plus kuliner yang asyik. Bintang cowoknya amit-amit itemnya. dan diakeren. 

Lal, aktor tenar yang lebih mirip bapak kost-mu.... atau calon mertuamu

Kamu musti tahu bintang Malayalam satu ini. M. P. Michael yang tenar dengan nama panggungnya, Lal. Tidak terlalu item (seperti di filmnya) sih, tapi jelas ini bukan sosok idaman mbak-mbak penggemar serial India di Indonesia. 

Soal perbedaan orang India di film sama orang India di dunia nyata ini aku ada cerita. Seorang teman yang kerja di Malaysia mentah-mentah menolak untuk percaya bahwa Shah Rukh, Aamir, atau Salman itu orang India. Sebab sehari-hari ia bergaul dengan orang-orang India di Malaysia (yang disebutnya sebagai Bangla itu) itemnya minta ampun. "Mana ada org India putih?", begitu katanya hahaha..

============


Artikel dengan kata kunci terkait:

Bagikan artikel ini :

+ comments + 2 comments

July 22, 2017 at 12:27 PM

aku penggemar film2 India hahahaa....baca ini jadi nambah pengetahuan deh tentang industri film bollywood

June 10, 2019 at 3:58 PM

Saya penggemar film india. Dan sekarang lagi suka nonton film india selatan (tamil, telugu, malayalam). Harus diakui, film selatan untuk saat ini ide ceritanya lebih bagus daripada bollywood. Dan film bollywood banyak meremake film dari selatan. Untuk aktor film selatan, memang tidak dipungkiri lebih hitam, lebih tua kadang dari bollywood. Hanya saja, semakin kesini industri film selatan sudah mulai memunculkan wajah2 baru nan ganteng.. Hahaha...
Soal nepotisme, baik bollywood maupun industri film selatan tidak lepas nepotisme. Contoh saja di bollywood ada keluarga kapoor ( 3 keluarga berbeda dengan marga kapoor)
Di telugu ada keluarga akkineni dan daggubati..

Membaca ini, saya jadi namnag pengetahuan lagi tentang perfilman india..

Post a Comment

 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved