Yang Terbaru

APA BEDANYA DIGITAL TOOLS DENGAN AI?

 

Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya. 

Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.

Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.

Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?

Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.

AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?

Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.

#AIhatecinema

 

Digital tools hanyalah alat yg dikontrol oleh manusia. Proses eksekusi gagasan melewati si operator yakni manusia. Maka hasilnya pun tergantung taste si operator alias manusianya. 

Sedangkan proses eksekusi lewat AI, manusianya bukan lagi operator. Dia cuma memerintah (prompting) AI untuk menjadi operator yg mengeksekusi gagasan. Prompt itu bukan ketrampilan seni melainkan ketrampilan memerintah.

Makanya kalo kalian lihat taste visual dari AI itu keliatan mirip-mirip. Karena ia hasil meramu dari big data yang meski satuannya unik, ketika sudah diprompt, ia bercampur kayak jus ribuan ide. Nggak ada individualitasnya. Bagus tapi gak ada personality si artistnya. Sama kayak karya seniman medioker sih hahaha.

Gimana dengan digital tools yang ada AI-nya?

Nah ini perlu kita cermati. Jika AI bekerja di level non kreatif, semisal rotoscoping, audio cleaning, dll sih gak papa. Di level ini AI berfungsi sebagai alat yg cerdas namun nggak menggantikan operatornya.

AI bukan musuh kok. Yang musuh ya ignorance kita yg kasih kuasa ke dia untuk jadi agen eksekutor sekaligus. Kalo dibiarin, suatu saat AI bisa kok bikin film utuh pakai prompt dari mereka sendiri. Gila bukan?

Seni itu adalah keterlibatan kesadaran. Baik kesadaran pembuat maupun kesadaran menikmatinya. AI tidak berada di dua kubu itu kecuali jika entah suatu saat AI punya kesadaran. Namun seandainya jika itu sudah terjadi, maka itulah kiamat. Kesadaran organik digantikan oleh kesadaran mesin yang ironinya dibikin oleh kesadaran organik tadi.

#AIhatecinema

Baca

FAUST MAIN TIK TOK

Pernah baca legenda Doctor Faust?


Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi. 


Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.


Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.


Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.


Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan. 


Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.


Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia? 


Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"


Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?


Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:


Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!

Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.

Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?

Faust: Apa yang kau mau?

Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.

Faust: Ambilah semua! 

Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."



Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.

Pernah baca legenda Doctor Faust?


Faust adalah legenda Jerman yang menceritakan sosok bernama Doctor Faust. Doctor Faust adalah orang yang sangat pintar dan sukses namun ia merasa kurang dengan pencapaian itu. Ia lalu membuat perjanjian dengan iblis untuk menjadi semakin pintar dan semakin sukses. Sebagai pertukarannya, Doctor Faust menyerahkan jiwanya pada iblis. Beberapa waktu ini, saya gelisah dengan kemajuan Kecerdasan Buatan alias AI yang seakan dibiarkan tanpa edukasi dan pewacanaan filosofisnya. Saya lalu membayangkan fenomena ini dalam bingkai kisah Faust tadi. 


Jadi bayangkan bahwa AI ini adalah iblis yang menyaru menjadi solusi kemudahan digital. Manusia begitu antusias menyambutnya karena hal-hal yang dulunya nggak dibayangkan bisa dikerjain mesin, sekarang bisa. Misalnya bikin naskah, musik dan bahkan video dengan tingkat kehalusan tinggi. Banyak yang merayakannya karena seakan "kekuatan" yang dulunya dimiliki oleh para sastrawan, komposer dan filmmaker kini bisa diakses siapapun hanya bermodal sebuah prompt yang pas. Prompt ini sudah seperti mantra saja. Hanya dengan mantra beberapa baris, anda bisa mengijinkan AI mewujudkan gagasan anda. Proses ini dulunya rumit dan berdarah-darah. Seniman harus menjalani sedemikian penderitaan hidup untuk jadi basis ekspresi kreatif mereka. Lalu AI memungkinkan proses ini dipotong. Orang-rang yang tak pernah berlatih menajamkan rasa lewat ekspresi artistik, hanya modal prompt bisa membuat sebuah eksekusi yang mengagumkan.


Saya tidak anti sepenuhnya terhadap AI. AI bisa menjadi alat namun tidak boleh jadi agen. Dalam proses kreatif konvensional, manusia bisa gunakan alat apapun (termasuk teknologi tinggi) tapi keputusan organik hanya manusia yang ambil. Manusia adalah si agen. Masalahnya AI ini tak cuma menjadi alat tapi juga menjadi agen pengambil keputusan. Lihat saja bagaimana prompt yang cuma kata-kata itu kemudian tereksekusi secara otonom tanpa manusia mengontrol detailnya. Tahu-tahu jadi gitu aja.


Seni itu tak cuma perkara hasil namun juga koneksi antar pengalaman jiwa. Penikmat membeli seni untuk merasakan jejak koneksi jiwa ini. Lukisan Van Gogh, Jackson Pollock, Affandi dll diminati bukan karena semata tampilan visualnya. Namun koneksi yang ingin dirasakan mengenai sosok-sosok seniman ini. Makanya, definisi seni itu adalah bahwa itu dibuat oleh manusia karena pengalaman otentik dan organik itu. AI nggak bisa melangkah ke situ karena dia cuma mesin yang belajar dari data yang sangat besar.


Akan tetapi tak banyak orang punya kesadaran ini. Mereka cuma maunya merayakan hal-hal yang dulu merupakan privilege orang-orang tertentu. Sementara seniman perlu waktu bertahun-tahun menajamkan rasa untuk mengeksekusi gagasannya, manusia awam tanpa latihan kini bisa pakai prompt. Luar biasa mengerikan. Bahkan sekelompok orang ignorant bilang bahwa mereka ini "seniman AI". Wow. Beberapa bahkan menyerang orang yang gelisah soal AI dengan tuduhan anti kemajuan. 


Kita manusia tentu ingin kemudahan di segala aspek hidup. Namun banyak yang nggak sadar bahwa kemudahan itu juga ada harganya. Kemudahan-kemudahan di satu aspek membuat kerusakan di aspek lain. Teknologi yang saya pakai ini jelas sudah menggerogoti satu lingkungan di tempat lain. Kita tak bisa sepenuhnya menolak namun mungkin yang perlu kita pelajari sampai mampus adalah soal keseimbangan. Disrupsi AI ini begitu cepat tanpa kita sempat membicarakan soal keseimbangan dan etikanya. Orang-orang kadung eforia menjual jiwa mereka untuk kemudahan digital ini. Kita menikmatinya tanpa merasa berdosa. Jika nonton film bajakan yang dirugikan adalah industri yang memproduksinya, maka menggunakan AI ini kita nggak benar-benar merasa bahwa yang dirugikan sebenarnya adalah jiwa-jiwa kita. AI merampas kedaulatan kreatif kita yang ironisnya kita sukarela menyerahkannya padanya.


Dulu memang pernah saat revolusi industri kerjaan manusia digusur mesin. Namun setidaknya tetap dibutuhkan otak-otak manusia ahli, pekerja-pekerja pengurus mesin yang juga masih dioperasikan tenaga manusia. Di bidang seni setidaknya masih memerlukan 90% unsur manusia. Jika AI bisa jadi penulis, pemusik, penyanyi, aktor, sutradara dll. Apa lagi yang tersisa buat manusia? 


Kita ingin bisa jalan cepat, lalu kita mengamputasi kaki menggantinya dengan roda. Setelah itu kita ingin punya tangan kuat. Kita amputasi tangan itu, diganti dengan tangan robotik. Lalu kita malas mikir, ya sudah kita pakai komputer untuk mengolah gagasan dan pengetahuan. Lama-lama mesin jadi lebih cerdas dan mikir... "Ini otaknya kita ganti jadi mesin aja sekalian pa ya?"


Saat ini mungkin belum sampai ke sana karena masih ada batas pengetahuan soal kesadaran. Bisakah mesin suatu saat nanti jadi sadar? Sebagaimana kita senyawa kimia yang dulunya tanpa nyawa entah bagaimana bisa menjadi organisme sadar. Okeee...Jawaban paling strategis kita saat ini adalah Tuhan. Jawaban ini nggak butuh mikir dan cuma butuh iman saja. Sekarang gimana kalau para guru atau pemuka agama ini diganti AI? Lebih lugas, jujur, nggak korup. Apa kita rela?


Saya membayangkan dialog antara Doctor Faust dan Iblis itu jadi begini:


Iblis: Katakan apa yang kau inginkan!

Faust: Aku mau dengan mudah bikin film tanpa harus melewati proses produksi yang melelahkan. Aku nggak perlu deal dengan penulis naskah, talent, composer dll. Aku nggak mau capek-capek syuting, ngurus perijinan dll.

Iblis: Aku bisa mengabulkannya tapi apa yang kau tawarkan padaku?

Faust: Apa yang kau mau?

Iblis: Ijinkan aku masuk ke otakmu, mempelajari pengalamanmu, identitasmu, karaktermu dan juga punya orang-orang yang keahliannya dibutuhkan oleh imajinasimu.

Faust: Ambilah semua! 

Iblis: Faust. Setelah ini kamu bisa mewujudkan segala imajinasimu hanya dengan beberapa baris kata saja. Sekarang ucapkan sahadat.... "Aku bersaksi tiada kecerdasan selain AI."



Kemudian di saat Faust bersukacita dengan kekuatan barunya untuk bikin konten Tik Tok pakai prompt, Iblis telah menguasai jiwa Faust dan orang-orang lainnya. Tinggal menunggu waktu Iblis bisa membuat tubuh buatan yang nanti diprogram memakai jiwa-jiwa yang digadaikan oleh Faust. Iblis bisa bikin duplikasi Faust sebanyak-banyaknya karena jiwa Faust udah masuk big data.

Baca

XU HAOFENG, MASTER OF ARTHOUSE KUNGFU CINEMA

Jika para sinefil rata-rata mengidolakan Wong Kar Wai, saya yang besar dengan menonton karya Tsui Hark dan John Woo sepertinya lebih cocok dengan Johnnie To. Namun saat ini saya sedang tertarik dengan Xu Haofeng.

Xu Haofeng adalah seorang novelis, dosen dan juga pendekar. Dia belajar Kungfu sejak usia 14 tahun. FYI, bahasa Cina yang tepat untuk beladiri sebenarnya adalah Wushu. Sedangkan Kungfu sebenarnya adalah istilah pasaran yang dipopulerkan Hollywood sejak era Bruce Lee. Sayangnya istilah Wushu masih terlalu diasosiasikan dengan "Sport Wushu" yang dipromosikan pemerintah Cina sejak tahun 50an. Jadi ya, nampaknya pakai istilah Kungfu masih terdengar lebih bernuansa.

Xu Haofeng Film-filmnya mayoritas bertema Kungfu/Wushu yang memiliki gaya khas. Dia adalah seorang auteur. Yang membedakan filmnya dengan rata-rata film segenre di Cina adalah visual dan koreografinya. Bagi yang terbiasa dengan gaya fast cut mungkin agak nggrundel melihat gaya sinema tarung di film Xu Haofeng.

Xu Haofeng suka memakai longshot dan kamera yang cenderung established. Nggak kebanyakan gerak kayak ciri khas sinematografi film Hongkong tahun 90an yang pionernya adalah Tsui Hark. Gambar Xu Haofeng cenderung dingin namun berdarah. Dalam perkara koreografi, Xu suka memperlihatkan detail. Ia juga banyak mengeksplor pertarungan memakai bilah.

Detail dari teknik bilah ala kungfu di filmnya Xu ini cukup berbeda dengan gaya tarung yang flashy ala "Duilian Wushu" di film-film Kungfu Hongkong. Duilian adalah nomor seni tarung di cabang Sport Wushu. Kalau kita simak pertarungan di film The Final Master (2015) yang dibintangi Liao Fan, gerakan flashy yang lompat-lompat diminimalisir. Tekniknya langsung berupa sambutan dan serangan. Mirip pertarungan di film genre Chanbara klasik alias Samurai film. Tak ada belokan atau kelokan yang tak perlu kecuali me"redirect" sebuah bacokan. Di antara trend gaya bilah di sinema  yang akhir-akhir ini agaknya didominasi gaya Filipina (Arnis) dan Indonesia (Silat), teknik bilah ala Kungfu ini memberikan kebaruan sinematik.

Lewat pencapaiannya dengan karyanya yang diputar di festival internasional bergengsi macam Rotterdam International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Venice Film Festival, Xu Haofeng menjadi duta film genre gelut-gelutan yang biasanya nggak banyak bersliweran di festival "nyeni" dan ndakik-ndakik hehehe.

Jika para sinefil rata-rata mengidolakan Wong Kar Wai, saya yang besar dengan menonton karya Tsui Hark dan John Woo sepertinya lebih cocok dengan Johnnie To. Namun saat ini saya sedang tertarik dengan Xu Haofeng.

Xu Haofeng adalah seorang novelis, dosen dan juga pendekar. Dia belajar Kungfu sejak usia 14 tahun. FYI, bahasa Cina yang tepat untuk beladiri sebenarnya adalah Wushu. Sedangkan Kungfu sebenarnya adalah istilah pasaran yang dipopulerkan Hollywood sejak era Bruce Lee. Sayangnya istilah Wushu masih terlalu diasosiasikan dengan "Sport Wushu" yang dipromosikan pemerintah Cina sejak tahun 50an. Jadi ya, nampaknya pakai istilah Kungfu masih terdengar lebih bernuansa.

Xu Haofeng Film-filmnya mayoritas bertema Kungfu/Wushu yang memiliki gaya khas. Dia adalah seorang auteur. Yang membedakan filmnya dengan rata-rata film segenre di Cina adalah visual dan koreografinya. Bagi yang terbiasa dengan gaya fast cut mungkin agak nggrundel melihat gaya sinema tarung di film Xu Haofeng.

Xu Haofeng suka memakai longshot dan kamera yang cenderung established. Nggak kebanyakan gerak kayak ciri khas sinematografi film Hongkong tahun 90an yang pionernya adalah Tsui Hark. Gambar Xu Haofeng cenderung dingin namun berdarah. Dalam perkara koreografi, Xu suka memperlihatkan detail. Ia juga banyak mengeksplor pertarungan memakai bilah.

Detail dari teknik bilah ala kungfu di filmnya Xu ini cukup berbeda dengan gaya tarung yang flashy ala "Duilian Wushu" di film-film Kungfu Hongkong. Duilian adalah nomor seni tarung di cabang Sport Wushu. Kalau kita simak pertarungan di film The Final Master (2015) yang dibintangi Liao Fan, gerakan flashy yang lompat-lompat diminimalisir. Tekniknya langsung berupa sambutan dan serangan. Mirip pertarungan di film genre Chanbara klasik alias Samurai film. Tak ada belokan atau kelokan yang tak perlu kecuali me"redirect" sebuah bacokan. Di antara trend gaya bilah di sinema  yang akhir-akhir ini agaknya didominasi gaya Filipina (Arnis) dan Indonesia (Silat), teknik bilah ala Kungfu ini memberikan kebaruan sinematik.

Lewat pencapaiannya dengan karyanya yang diputar di festival internasional bergengsi macam Rotterdam International Film Festival, Toronto International Film Festival dan Venice Film Festival, Xu Haofeng menjadi duta film genre gelut-gelutan yang biasanya nggak banyak bersliweran di festival "nyeni" dan ndakik-ndakik hehehe.

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 3)

Bagaimana industri film bekerja dan masalahnya apa? 

Jika kamu paham ini, maka perjuanganmu meniti karir akan sedikit terbantu... Selama nggak kena sikut saingan atau kena sikat kebijakan pemerintah yg ngasal. 

Produk nyata dari industri ini adalah film namun sebenarnya tidak semuanya melulu tentang film. Industri selain tentang produk juga tentang value. 

Ada 7 value yg berhubungan dengan film yakni:

1. Hiburan. Ini nilai dasar yg tak akan ditolak orang. Film yg menghibur akan disukai orang. Masalahnya tiap orang terhibur dengan cara yg berbeda. Jika mau filmmu laku, ketahui orang-orang yg bisa terhibur dgn caramu. Martin Scorsese tak bisa menghibur penonton Woko Channel. 

2. Sosial. Banyak orang nonton bukan karena filmnya tapi karena dia ngajak siapa. Pentingnya membuat ruang pemutaran yg asik buat alasan ngajak gebetan. Jika kamu punya usaha kedai, kolaborasilah sama pemutar film. Yg dateng sungkan untuk tidak nonton, yg nonton sungkan untuk tidak pesen sesuatu, minimal es teh. Masalahnya apa? Tentu saja modal untuk membangun ruang nonton itu. 

3. Identitas. Film bisa jadi media perekat sekelompok orang yg merasa punya kesamaan. Buat film tentang kucing, kayaknya bakal banyak yg nonton. Sponsornya dari pet shop mungkin. Masalahnya adalah meyakinkan orang-orang dgn kesamaan identitas agar tertarik nonton. Belum lagi jika mereka tidak puas dgn tontonan itu. 

4. Sentimental. Beberapa film menjadi penanda masa tertentu. Ini investasi jangka panjang. Beberapa orang suka nonton film yg mengingatkan pada masa kecil, saat pacaran dll. Date movie saya: Avatar dan Barbie (nggak penting). Masalahnya kita nggak tahu film kita nanti sepenting apa. 

5. Informatif. Banyak hal bisa kita taruh di film biar jadi informasi. Paling sering adalah film jadi arsip mengenai suatu lokasi tertentu. Masalahnya film tidak bisa memuat info terlalu sering dan banyak. Nanti dianggap iklan atau malah tutorial. Sedikit yg bisa terhibur. 

6. Edukasi. Film bisa mempropagandakan hal tertentu. Masalahnya film propaganda rata-rata membosankan dan memuakkan. 

7. Transformatif. Film bisa mengubah seseorang. Film G30S misalnya bisa mempengaruhi jutaan orang Indonesia selama beberapa dekade. Masalahnya adalah sulit sekali kita dgn modal seadanya bisa bikin film yg begitu hebatnya bisa mengubah orang-orang. Punya modal gede pun belum tentu kemampuan kita segede itu. 

Film adalah produk yg harus dipasarkan dgn tepat. Jika value tersampaikan tepat sasaran, uang akan otomatis datang. Masalahnya serapan value tergantung oleh literasi dan apresiasi masyarakat. Bikin film bernilai tinggi akan gagal meraup untung jika belum ada penonton berkualitas tinggi. Diperparah dgn ketiadaan strategi kebudayaan dari pemerintah. 

Kunci ketahanan industri adalah tepatnya sasaran produk dan daya beli mereka. Filmnya sesuai target pasar dan mereka pun mau sisihkan uang untuk nonton. Masalahnya adalah mental gratisan warga negri kita. Mungkin yg mau nonton banyak, tapi yg mau bayar? 

Maka dari itu terciptalah ekosistem festival di mana pelaku perfilman membikin wahana seefektif mungkin untuk mempertemukan film dengan penonton. Jadi untuk kamu yg sedang berjuang untuk karyamu, masukilah circle festival. Temukan tipe-tipe penonton yg cocok untuk filmmu. 

Bagaimana dgn platform populer macam Youtube dan Tik Tok? 

Nah, mereka ini keunggulannya adalah lebih egaliter dan daya jangkauannya lebar. Akan tetapi karya yg bagus secara estetik cenderung tenggelam oleh unggahan video receh yg viral. Sasaran yg kamu tuju tidak jelas. Monetisasinya pun akan kalah besar sama yg viral itu. 

Jika kita pajang film kita ke OTT sayangnya jumlah penggunanya belum cukup signifikan di Indonesia saat ini. Selain itu manajemen platform lokal rata-rata kurang maksimal. 

Bagaimana industri film bekerja dan masalahnya apa? 

Jika kamu paham ini, maka perjuanganmu meniti karir akan sedikit terbantu... Selama nggak kena sikut saingan atau kena sikat kebijakan pemerintah yg ngasal. 

Produk nyata dari industri ini adalah film namun sebenarnya tidak semuanya melulu tentang film. Industri selain tentang produk juga tentang value. 

Ada 7 value yg berhubungan dengan film yakni:

1. Hiburan. Ini nilai dasar yg tak akan ditolak orang. Film yg menghibur akan disukai orang. Masalahnya tiap orang terhibur dengan cara yg berbeda. Jika mau filmmu laku, ketahui orang-orang yg bisa terhibur dgn caramu. Martin Scorsese tak bisa menghibur penonton Woko Channel. 

2. Sosial. Banyak orang nonton bukan karena filmnya tapi karena dia ngajak siapa. Pentingnya membuat ruang pemutaran yg asik buat alasan ngajak gebetan. Jika kamu punya usaha kedai, kolaborasilah sama pemutar film. Yg dateng sungkan untuk tidak nonton, yg nonton sungkan untuk tidak pesen sesuatu, minimal es teh. Masalahnya apa? Tentu saja modal untuk membangun ruang nonton itu. 

3. Identitas. Film bisa jadi media perekat sekelompok orang yg merasa punya kesamaan. Buat film tentang kucing, kayaknya bakal banyak yg nonton. Sponsornya dari pet shop mungkin. Masalahnya adalah meyakinkan orang-orang dgn kesamaan identitas agar tertarik nonton. Belum lagi jika mereka tidak puas dgn tontonan itu. 

4. Sentimental. Beberapa film menjadi penanda masa tertentu. Ini investasi jangka panjang. Beberapa orang suka nonton film yg mengingatkan pada masa kecil, saat pacaran dll. Date movie saya: Avatar dan Barbie (nggak penting). Masalahnya kita nggak tahu film kita nanti sepenting apa. 

5. Informatif. Banyak hal bisa kita taruh di film biar jadi informasi. Paling sering adalah film jadi arsip mengenai suatu lokasi tertentu. Masalahnya film tidak bisa memuat info terlalu sering dan banyak. Nanti dianggap iklan atau malah tutorial. Sedikit yg bisa terhibur. 

6. Edukasi. Film bisa mempropagandakan hal tertentu. Masalahnya film propaganda rata-rata membosankan dan memuakkan. 

7. Transformatif. Film bisa mengubah seseorang. Film G30S misalnya bisa mempengaruhi jutaan orang Indonesia selama beberapa dekade. Masalahnya adalah sulit sekali kita dgn modal seadanya bisa bikin film yg begitu hebatnya bisa mengubah orang-orang. Punya modal gede pun belum tentu kemampuan kita segede itu. 

Film adalah produk yg harus dipasarkan dgn tepat. Jika value tersampaikan tepat sasaran, uang akan otomatis datang. Masalahnya serapan value tergantung oleh literasi dan apresiasi masyarakat. Bikin film bernilai tinggi akan gagal meraup untung jika belum ada penonton berkualitas tinggi. Diperparah dgn ketiadaan strategi kebudayaan dari pemerintah. 

Kunci ketahanan industri adalah tepatnya sasaran produk dan daya beli mereka. Filmnya sesuai target pasar dan mereka pun mau sisihkan uang untuk nonton. Masalahnya adalah mental gratisan warga negri kita. Mungkin yg mau nonton banyak, tapi yg mau bayar? 

Maka dari itu terciptalah ekosistem festival di mana pelaku perfilman membikin wahana seefektif mungkin untuk mempertemukan film dengan penonton. Jadi untuk kamu yg sedang berjuang untuk karyamu, masukilah circle festival. Temukan tipe-tipe penonton yg cocok untuk filmmu. 

Bagaimana dgn platform populer macam Youtube dan Tik Tok? 

Nah, mereka ini keunggulannya adalah lebih egaliter dan daya jangkauannya lebar. Akan tetapi karya yg bagus secara estetik cenderung tenggelam oleh unggahan video receh yg viral. Sasaran yg kamu tuju tidak jelas. Monetisasinya pun akan kalah besar sama yg viral itu. 

Jika kita pajang film kita ke OTT sayangnya jumlah penggunanya belum cukup signifikan di Indonesia saat ini. Selain itu manajemen platform lokal rata-rata kurang maksimal. 

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 2)

Pertanyaan umum mengenai jenis karir apapun adalah duitnya cukup nggak buat biaya hidup? 

Karir industri seni berbeda dengan kerja kantoran. Orang film yg ngantor itu kebanyakan adalah pekerja yg urusannya administratif di sebuah production house. Produser ngantornya dikit, dia banyak wara-wiri. Sutradara kerja di lapangan. Penulis bisa rebahan. Bagi yg nggak ngantor kebanyakan kerjanya freelance. Yg ngantor dapet duit gaji bulanan sedangkan freelance adalah tiap projek. 

Skala industri film saat ini macem-macem. Yg skala "kolam kecil" kerjanya mulai dari berburu lomba dan dana hibah hingga terima jasa bikin video company profile. Duitnya receh sehingga harus sering nyari projekan. Saya dapat duit dari lomba, kasih pelatihan, revenue penayangan dan projek film pendek. 

Skala "kolam besar" agak lebih baik. Circle ini bisa terhubung dengan modal dari pihak non orang film juga. Aktor yg tenar bisa memperluas sumber pendapatan dgn jadi bintang iklan, brand ambassador, ngisi acara offline dll. Personal branding dan politik orang dalam kenceng di sini. Bisa nyambung ke politik praktis dan birokrasi juga. Banyak orang film pakai leverage ketenarannya terus terjun ke politik. Maka sesuai skalanya, persaingannya lebih keras karena duitnya lebih gede dan kesempatan yg muncul darinya juga gede. 

Jika kamu berada di kolam kecil, maka cari sumber pendapatan lain non film untuk jaga keseimbangan neraca. Rencanakan dari awal niat berkarir. Jika kamu mau pindah kolam, masuki circle yg tepat tapi kamu mungkin akan mengorbankan sesuatu untuk itu. 

Seperti yg saya sebut, kerja freelance itu tiap ada projek. Bisa lho kita berbulan-bulan gak ada projek. Keep in mind. Kerja film agak mirip dengan bertani. Proses nanam beberapa hari saja tapi hasil panennya untuk beberapa bulan berikutnya. Penghasilan satu bulan kerja film idealnya cukup untuk biaya hidup beberapa bulan. Ini hal yg cukup berat untuk kaum kolam kecil karena menabung itu susah. Jadi paham kan kenapa filmmaker sukses rata-rata berasal dari keluarga berkecukupan? Karena ada biaya belajar dan tabungan. Sementara itu distribusi kesempatan seringkali tidak merata. Hanya beredar di circle tertentu saja.

Pertanyaan umum mengenai jenis karir apapun adalah duitnya cukup nggak buat biaya hidup? 

Karir industri seni berbeda dengan kerja kantoran. Orang film yg ngantor itu kebanyakan adalah pekerja yg urusannya administratif di sebuah production house. Produser ngantornya dikit, dia banyak wara-wiri. Sutradara kerja di lapangan. Penulis bisa rebahan. Bagi yg nggak ngantor kebanyakan kerjanya freelance. Yg ngantor dapet duit gaji bulanan sedangkan freelance adalah tiap projek. 

Skala industri film saat ini macem-macem. Yg skala "kolam kecil" kerjanya mulai dari berburu lomba dan dana hibah hingga terima jasa bikin video company profile. Duitnya receh sehingga harus sering nyari projekan. Saya dapat duit dari lomba, kasih pelatihan, revenue penayangan dan projek film pendek. 

Skala "kolam besar" agak lebih baik. Circle ini bisa terhubung dengan modal dari pihak non orang film juga. Aktor yg tenar bisa memperluas sumber pendapatan dgn jadi bintang iklan, brand ambassador, ngisi acara offline dll. Personal branding dan politik orang dalam kenceng di sini. Bisa nyambung ke politik praktis dan birokrasi juga. Banyak orang film pakai leverage ketenarannya terus terjun ke politik. Maka sesuai skalanya, persaingannya lebih keras karena duitnya lebih gede dan kesempatan yg muncul darinya juga gede. 

Jika kamu berada di kolam kecil, maka cari sumber pendapatan lain non film untuk jaga keseimbangan neraca. Rencanakan dari awal niat berkarir. Jika kamu mau pindah kolam, masuki circle yg tepat tapi kamu mungkin akan mengorbankan sesuatu untuk itu. 

Seperti yg saya sebut, kerja freelance itu tiap ada projek. Bisa lho kita berbulan-bulan gak ada projek. Keep in mind. Kerja film agak mirip dengan bertani. Proses nanam beberapa hari saja tapi hasil panennya untuk beberapa bulan berikutnya. Penghasilan satu bulan kerja film idealnya cukup untuk biaya hidup beberapa bulan. Ini hal yg cukup berat untuk kaum kolam kecil karena menabung itu susah. Jadi paham kan kenapa filmmaker sukses rata-rata berasal dari keluarga berkecukupan? Karena ada biaya belajar dan tabungan. Sementara itu distribusi kesempatan seringkali tidak merata. Hanya beredar di circle tertentu saja.

Baca

KARIR FILM DARI NOL (part 1)

Perfilman, sebagaimana kesenian yg lain adalah sebuah ekosistem yg kompleks. Jika kamu ingin berkarir di dalamnya, sebaiknya pahami dulu bagaimana ekosistemnya bekerja. 

Ada setidaknya 12 kategori peran dalam ekosistem perfilman:

1. Filmmaker. Mencakup semua yg terlibat secara langsung dalam produksi film seperti produser, sutradara, aktor, kru dll. 

2. Audiens. Para penonton film. Ini bukan profesi melainkan pasar produk film. 

3. Exhibitor. Pihak pemutar film seperti pengelola bioskop, TV, OTT dll. Festival saya masukin ke kategori ini. 

4. Komunitas. Komunitas adalah tipe audiens yg terorganisir dan berliterasi lebih baik. Tujuannya biasanya non profit. 

5. Pendana. Pihak yg membiayai film entah bermotif komersial atau tidak. Investor termasuk yg komersial. 

6. Distributor. Pihak yg menyalurkan film ke pasar. Di Indonesia peran ini kurang terasa karena biasanya dirangkap dgn exhibitor. 

7. Edukator. Pihak yg mengadakan pendidikan dan pelatihan film baik secara formal maupun non formal. Beberapa komunitas jg melakukan peran ini. 

8. Pengulas. Kritikus atau reviewer yg membuat film terekspos di media. 

9. Peneliti. Biasanya berbasis di lembaga akademik utk meneliti tentang film. 

10. Produsen dan pengembang aplikasi. Korporasi yg bikin alat-alat produksi film.

11. Pengarsip. Lembaga pelestari arsip film. Penting utk edukasi dan sejarah. 

12. Regulator hukum dan perundang-undangan. Bagian dari pemerintah yg mengurusi legal formal industri film termasuk badan usaha pemerintah yg menyangkut film. 

Jadi dengan melihat 12 peran ini kamu bisa memilih mau berkarir di kategori mana. Misalnya sukanya cuma nonton, mungkin bisa jadi kritikus. 

Film adalah industri beresiko sangat tinggi. Berkarir di dalamnya tidak mudah apalagi mulai dari nol. Apa yg saya maksud nol? 

Nol dalam karir perfilman adalah:

1. Tidak sekolah film. 

2. Tidak kenal orang dalam. 

Untuk memulainya, kamu harus belajar setidaknya 1 atau 2 peran dalam ekosistem di atas. Misalnya mau jadi filmmaker. Filmmaker banyak cabangnya. Kita bisa bagi 2 yakni above the line dan below the line. Above the line isinya sutradara, produser, penulis, aktor. Below the line isinya kameramen, perias, kru dll. 

Untuk above the line dari nol. Cara masuknya:

Sutradara, penulis, produser: Mulai bikin film pendek, daftar festival, bangun jejaring, pahami cara kerjanya, dapatkan validasi, masuk industri. 

Aktor: Berperan di film pendek, bangun jejaring, bangun reputasi, ikut casting produksi yg lebih besar, masuk industri. 

Cara di atas tidak mudah. Sainganmu adalah circle-circle yg udah punya jejaring projekan dengan politik dan dramanya. 

Untuk below the line dari nol. Caranya: Daftar jadi kru mulai level paling bawah yakni runner, pelajari cara dan atitude kerja, bangun jejaring, bangun reputasi, masuk industri. Saingan terberat adalah dari anak sekolah film. Mereka sudah terbangun pertemanan dan ilmunya sistematis. 

Untuk semua karir bagusnya dimulai dari literasi film yg baik. Jadilah penonton film yg baik lalu pahami cara ekosistem bekerja.

Perfilman, sebagaimana kesenian yg lain adalah sebuah ekosistem yg kompleks. Jika kamu ingin berkarir di dalamnya, sebaiknya pahami dulu bagaimana ekosistemnya bekerja. 

Ada setidaknya 12 kategori peran dalam ekosistem perfilman:

1. Filmmaker. Mencakup semua yg terlibat secara langsung dalam produksi film seperti produser, sutradara, aktor, kru dll. 

2. Audiens. Para penonton film. Ini bukan profesi melainkan pasar produk film. 

3. Exhibitor. Pihak pemutar film seperti pengelola bioskop, TV, OTT dll. Festival saya masukin ke kategori ini. 

4. Komunitas. Komunitas adalah tipe audiens yg terorganisir dan berliterasi lebih baik. Tujuannya biasanya non profit. 

5. Pendana. Pihak yg membiayai film entah bermotif komersial atau tidak. Investor termasuk yg komersial. 

6. Distributor. Pihak yg menyalurkan film ke pasar. Di Indonesia peran ini kurang terasa karena biasanya dirangkap dgn exhibitor. 

7. Edukator. Pihak yg mengadakan pendidikan dan pelatihan film baik secara formal maupun non formal. Beberapa komunitas jg melakukan peran ini. 

8. Pengulas. Kritikus atau reviewer yg membuat film terekspos di media. 

9. Peneliti. Biasanya berbasis di lembaga akademik utk meneliti tentang film. 

10. Produsen dan pengembang aplikasi. Korporasi yg bikin alat-alat produksi film.

11. Pengarsip. Lembaga pelestari arsip film. Penting utk edukasi dan sejarah. 

12. Regulator hukum dan perundang-undangan. Bagian dari pemerintah yg mengurusi legal formal industri film termasuk badan usaha pemerintah yg menyangkut film. 

Jadi dengan melihat 12 peran ini kamu bisa memilih mau berkarir di kategori mana. Misalnya sukanya cuma nonton, mungkin bisa jadi kritikus. 

Film adalah industri beresiko sangat tinggi. Berkarir di dalamnya tidak mudah apalagi mulai dari nol. Apa yg saya maksud nol? 

Nol dalam karir perfilman adalah:

1. Tidak sekolah film. 

2. Tidak kenal orang dalam. 

Untuk memulainya, kamu harus belajar setidaknya 1 atau 2 peran dalam ekosistem di atas. Misalnya mau jadi filmmaker. Filmmaker banyak cabangnya. Kita bisa bagi 2 yakni above the line dan below the line. Above the line isinya sutradara, produser, penulis, aktor. Below the line isinya kameramen, perias, kru dll. 

Untuk above the line dari nol. Cara masuknya:

Sutradara, penulis, produser: Mulai bikin film pendek, daftar festival, bangun jejaring, pahami cara kerjanya, dapatkan validasi, masuk industri. 

Aktor: Berperan di film pendek, bangun jejaring, bangun reputasi, ikut casting produksi yg lebih besar, masuk industri. 

Cara di atas tidak mudah. Sainganmu adalah circle-circle yg udah punya jejaring projekan dengan politik dan dramanya. 

Untuk below the line dari nol. Caranya: Daftar jadi kru mulai level paling bawah yakni runner, pelajari cara dan atitude kerja, bangun jejaring, bangun reputasi, masuk industri. Saingan terberat adalah dari anak sekolah film. Mereka sudah terbangun pertemanan dan ilmunya sistematis. 

Untuk semua karir bagusnya dimulai dari literasi film yg baik. Jadilah penonton film yg baik lalu pahami cara ekosistem bekerja.

Baca

INDUSTRI, EKOSISTEM DAN KARIR PERFILMAN

 Saya baru membaca curhatan seorang rekan sesama pejuang di perfilman yg menyatakan bahwa karir perfilman membutuhkan backing keuangan dan relasi yg kuat. Dia berjuang selama 2,5 tahun dan merasa mau menyerah saja karena tanggungan finansial pribadi (sebagai generasi sandwich) yg terlalu besar untuk dikover oleh pendapatan lewat kerjaan film. Saya baca kerjaan film yg ia maksud adalah kerjaan "above the line" seperti aktor, penulis, sutradara dll. 

Saya berproses sekitar 19 tahun dan tidak tinggal di Jakarta. Saya pikir apa yg ia nyatakan ada benarnya juga. Film adalah model bisnis beresiko tinggi dan butuh skema pembiayaan yg gede. Artinya klo mau untung gede ya modalnya gede juga. Nggak bisa nanggung. Spektrum ekosistemnya juga lebar. Mulai dari filmmaker kelas paus hingga iwak wader kali cethek macem saya gini. 

Ada yg meragukan bahwa apakah industri film Indonesia itu ada. Patokannya mungkin Hollywood. Kalau saya melihat Indonesia ini model industrinya mungkin beda. Di sini yg saya sebut sebagai "industri" ini adalah aspek ekonomis dari ekosistem perfilman yg lebih luas. Industri ini juga levelnya macem-macem dilihat dari uang yg berputar. Ada film-film kelas kerupuk (yg saya bikin itu) dgn biaya di bawah 10 juta. Ada yg kelas bancakan dengan kisaran 10 - 50 juta dan yg di atasnya tentu kelas "fine dinning".

Idealnya industri tentu harus lebih sustainable. Ada asuransi kerja, ada investasi, ada perserikatan dan juga proteksi pemerintah. Namun tentu itu mau tak mau akan mengikuti sejarah dan kultur di suatu negara. Nah, Indonesia tentu tak sama dgn negara lain. Kita belum memiliki kerapihan dan kestabilan seperti di luar sono. Saya pikir, industri di sini seakan mengikuti angin berhembus. Apa yg lagi laku akan ditiru dan diperas untungnya. Itu wajar saja tapi sayangnya tak diikuti dgn merapikan "bangunan" sistemnya. Akibatnya kalau mau berkarir di bidang ini nggak ada kejelasan. Pertanyaan yg sering muncul adalah "bakal ada project lagi nggak ya?"

Karena film juga perkara kultural, tak semua orang yg main di film berfokus pada uang. Ada sebagian yg merupakan pegiat, kritikus, komunitas dan juga cuma enthusiast aja. Dalam hal ini di Indonesia memang hidup banget. Saya juga berkecimpung di aspek kultural ini lewat komunitas. Dari komunitas ini ada juga yg naik ke level industrial. Portofolio komunalnya jadi batu loncatan. 

Untuk bisa hidup beneran di film memang idealnya kita berada di kelas fine dinning tersebut. Di circle ini biayanya gede, jangkauan gede dan sikut-sikutannya juga lebih "hiakdhez". 

Untuk berkarir di perfilman jalurnya sekarang lebih variatif. Antara lain:


1. Sekolah film

2. Langsung nglamar lewat jalur audisi atau ngekru rendahan

3. Kenal sama orang dalam termasuk keturunan maupun diajak konco

4. Kompetisi termasuk festival. Kalo saya jadi "bounty hunter".

5. Jalur seleb seperti jadi influencer, komika, kreator konten dll. 


Karena tiap "kolam" ikannya nggak sama maka tak ada kepastian untuk karir di film ini. Tergantung masuk kolam yg mana. Jadi klo ada yg buru-buru ngomong "siapa bilang karir di film gak menjanjikan" ya lihat dulu deh jenis kolamnya dan juga circlenya. Ada kolam yg airnya ngalir dan yg berendem di situ orangnya bening-bening. Ikannya banyak dan bisa dijaring pake jala. Nongkrong di pinggirannya aja kebagian. Karena resource yg melimpah ini persaingannya jadi keras. 

Ada juga kolam yg airnya lumutan. Nggak cuma ada ikan tapi ada buaya. Ikannya kadang ada, kadang enggak. Ada satu gede jadi rebutan. Orang malas berendem atau klo ada ya mungkin karena gak tahan gerah. 

Saya memulai perjuangan di film dgn pengetahuan nol dan tanpa koneksi apa pun. Jika anda sempat lihat kemaren saya kenal ini dan itu ya karena saya berusaha bertahun-tahun untuk sampai diketahui mereka. Namun sehari-hari saya adalah wong ndeso yg menggangsir pasir sebelah sungai untuk bikin kolam sendiri dengan mencari iwak wader. Sesekali saya berburu hadiah, nongol di kolam lain namun ujungnya klo berendem ya di kolam bikinan sendiri. 

Apa bisa bertahan? Wah jujur udah mau nyerah berkali-kali. Namun klo berhenti, jalannya bisa lebih gelap daripada prospek Danantara. Ujung-ujungnya saya tetap menjalani demi iwak wader yg sudah kejaring beberapa. Atau mungkin memang di sinilah darma saya. Seperti aku yg mencintaimu seberapapun "mbesengut"mu itu.

 Saya baru membaca curhatan seorang rekan sesama pejuang di perfilman yg menyatakan bahwa karir perfilman membutuhkan backing keuangan dan relasi yg kuat. Dia berjuang selama 2,5 tahun dan merasa mau menyerah saja karena tanggungan finansial pribadi (sebagai generasi sandwich) yg terlalu besar untuk dikover oleh pendapatan lewat kerjaan film. Saya baca kerjaan film yg ia maksud adalah kerjaan "above the line" seperti aktor, penulis, sutradara dll. 

Saya berproses sekitar 19 tahun dan tidak tinggal di Jakarta. Saya pikir apa yg ia nyatakan ada benarnya juga. Film adalah model bisnis beresiko tinggi dan butuh skema pembiayaan yg gede. Artinya klo mau untung gede ya modalnya gede juga. Nggak bisa nanggung. Spektrum ekosistemnya juga lebar. Mulai dari filmmaker kelas paus hingga iwak wader kali cethek macem saya gini. 

Ada yg meragukan bahwa apakah industri film Indonesia itu ada. Patokannya mungkin Hollywood. Kalau saya melihat Indonesia ini model industrinya mungkin beda. Di sini yg saya sebut sebagai "industri" ini adalah aspek ekonomis dari ekosistem perfilman yg lebih luas. Industri ini juga levelnya macem-macem dilihat dari uang yg berputar. Ada film-film kelas kerupuk (yg saya bikin itu) dgn biaya di bawah 10 juta. Ada yg kelas bancakan dengan kisaran 10 - 50 juta dan yg di atasnya tentu kelas "fine dinning".

Idealnya industri tentu harus lebih sustainable. Ada asuransi kerja, ada investasi, ada perserikatan dan juga proteksi pemerintah. Namun tentu itu mau tak mau akan mengikuti sejarah dan kultur di suatu negara. Nah, Indonesia tentu tak sama dgn negara lain. Kita belum memiliki kerapihan dan kestabilan seperti di luar sono. Saya pikir, industri di sini seakan mengikuti angin berhembus. Apa yg lagi laku akan ditiru dan diperas untungnya. Itu wajar saja tapi sayangnya tak diikuti dgn merapikan "bangunan" sistemnya. Akibatnya kalau mau berkarir di bidang ini nggak ada kejelasan. Pertanyaan yg sering muncul adalah "bakal ada project lagi nggak ya?"

Karena film juga perkara kultural, tak semua orang yg main di film berfokus pada uang. Ada sebagian yg merupakan pegiat, kritikus, komunitas dan juga cuma enthusiast aja. Dalam hal ini di Indonesia memang hidup banget. Saya juga berkecimpung di aspek kultural ini lewat komunitas. Dari komunitas ini ada juga yg naik ke level industrial. Portofolio komunalnya jadi batu loncatan. 

Untuk bisa hidup beneran di film memang idealnya kita berada di kelas fine dinning tersebut. Di circle ini biayanya gede, jangkauan gede dan sikut-sikutannya juga lebih "hiakdhez". 

Untuk berkarir di perfilman jalurnya sekarang lebih variatif. Antara lain:


1. Sekolah film

2. Langsung nglamar lewat jalur audisi atau ngekru rendahan

3. Kenal sama orang dalam termasuk keturunan maupun diajak konco

4. Kompetisi termasuk festival. Kalo saya jadi "bounty hunter".

5. Jalur seleb seperti jadi influencer, komika, kreator konten dll. 


Karena tiap "kolam" ikannya nggak sama maka tak ada kepastian untuk karir di film ini. Tergantung masuk kolam yg mana. Jadi klo ada yg buru-buru ngomong "siapa bilang karir di film gak menjanjikan" ya lihat dulu deh jenis kolamnya dan juga circlenya. Ada kolam yg airnya ngalir dan yg berendem di situ orangnya bening-bening. Ikannya banyak dan bisa dijaring pake jala. Nongkrong di pinggirannya aja kebagian. Karena resource yg melimpah ini persaingannya jadi keras. 

Ada juga kolam yg airnya lumutan. Nggak cuma ada ikan tapi ada buaya. Ikannya kadang ada, kadang enggak. Ada satu gede jadi rebutan. Orang malas berendem atau klo ada ya mungkin karena gak tahan gerah. 

Saya memulai perjuangan di film dgn pengetahuan nol dan tanpa koneksi apa pun. Jika anda sempat lihat kemaren saya kenal ini dan itu ya karena saya berusaha bertahun-tahun untuk sampai diketahui mereka. Namun sehari-hari saya adalah wong ndeso yg menggangsir pasir sebelah sungai untuk bikin kolam sendiri dengan mencari iwak wader. Sesekali saya berburu hadiah, nongol di kolam lain namun ujungnya klo berendem ya di kolam bikinan sendiri. 

Apa bisa bertahan? Wah jujur udah mau nyerah berkali-kali. Namun klo berhenti, jalannya bisa lebih gelap daripada prospek Danantara. Ujung-ujungnya saya tetap menjalani demi iwak wader yg sudah kejaring beberapa. Atau mungkin memang di sinilah darma saya. Seperti aku yg mencintaimu seberapapun "mbesengut"mu itu.

Baca

MENGARAHKAN AKTOR

Dalam mengarahkan aktor saya memberi gambaran soal latar belakang karakter yang mereka perankan. Mereka musti paham motivasi si karakter, pandangan hidup, pemikiran dan lain-lain. Kepada aktor, saya selalu menganjurkan riset atau melihat referensi.



Pada tahap awal aktor pemula cenderung membaca naskah sebagai teks belum sebagai narasi. Saya adalah sutradara yang lebih suka membebaskan aktor untuk menggali dialog mereka, memilih diksi paling nyaman untuk bahasa lisan. Tentu saja sejauh tidak menyimpang dari naskah atau garis besar akting yang saya pesan.

Aktor harus membuat dialognya sangat nyaman untuk ia ucapkan. Dengan begini akan mudah menghayati. Saya juga mengingatkan mereka tentang gesture yang sesuai. Akting selain dialog, juga berisi gesture. Setiap lirikan mata, gerak kepala, posisi badan, gerak tangan, kaki harus menjadi satu dengan akting sang aktor. Teori saya tidak muluk-muluk, pokoknya jangan sampai penonton memuji "aktingnya bagus!"...kalo gitu artinya kami gagal. Akting yang berhasil membuat penonton masuk ke cerita.

Ini nggak mudah. Beberapa kali bikin film saya belum merasakan akting yang pas. Tapi ini adalah latihan terus-menerus.

(Post pertama di Facebook 22 Oktober 2014) 

Dalam mengarahkan aktor saya memberi gambaran soal latar belakang karakter yang mereka perankan. Mereka musti paham motivasi si karakter, pandangan hidup, pemikiran dan lain-lain. Kepada aktor, saya selalu menganjurkan riset atau melihat referensi.



Pada tahap awal aktor pemula cenderung membaca naskah sebagai teks belum sebagai narasi. Saya adalah sutradara yang lebih suka membebaskan aktor untuk menggali dialog mereka, memilih diksi paling nyaman untuk bahasa lisan. Tentu saja sejauh tidak menyimpang dari naskah atau garis besar akting yang saya pesan.

Aktor harus membuat dialognya sangat nyaman untuk ia ucapkan. Dengan begini akan mudah menghayati. Saya juga mengingatkan mereka tentang gesture yang sesuai. Akting selain dialog, juga berisi gesture. Setiap lirikan mata, gerak kepala, posisi badan, gerak tangan, kaki harus menjadi satu dengan akting sang aktor. Teori saya tidak muluk-muluk, pokoknya jangan sampai penonton memuji "aktingnya bagus!"...kalo gitu artinya kami gagal. Akting yang berhasil membuat penonton masuk ke cerita.

Ini nggak mudah. Beberapa kali bikin film saya belum merasakan akting yang pas. Tapi ini adalah latihan terus-menerus.

(Post pertama di Facebook 22 Oktober 2014) 

Baca

Pengkhianatan G 30 S PKI, Sebuah Film Horor Politik Kosmik

 

Generasi kelahiran tahun 80-90an adalah generasi terakhir yang dibesarkan oleh TVRI. Tiap akhir September, TVRI punya ritual: memaksa orang-orang nonton film propaganda rejim (Suharto) yang berjudul Pengkhianatan G 30S PKI. TV swasta yang mulai makin mendominasi tontonan publik saat itu juga diwajibkan bersama-sama memutar film yang diproduksi pada tahun 1984 tersebut. Walhasil tak ada tontonan alternatif pada malam 30 september selain itu. Kami yang saat itu masih SD, diwajibkan menonton dan menulis rangkuman isi filmnya. Tugas ini diberikan setiap tahun yang filmnya sama.

Hasilnya, film ini sukses memberikan versi tunggal sejarah di benak masyarakat yang sekaligus membawa trauma psikologis bagi pribadi saya. Di tempat lahir saya, Blitar yang juga salah satu basis komunis pada masanya, orang-orang tua masih mengingat peristiwa 1965 seakan baru terjadi beberapa bulan saja. Ibu saya masih lancar menceritakan detail peristiwa yang ia alami di masa-masa itu. Hingga beberapa dekade Film Pengkhianatan G 30S PKI menjadi referensi utama mengenai sejarah resmi peristiwa 1965 di masyarakat.

Yang menarik bagi saya, negara yang diwakili oleh PPFN dengan produser G. Dwipayana, sutradara Arifin C. Noer dan ko-penulis Nugroho Notosusanto memilih genre horor untuk media propaganda. Meski resminya adalah sebuah dokudrama, namun tanpa ragu bahwa ini adalah film horor dengan beberapa elemen lazimnya: adegan berdarah, kematian, teror dan hantu. Secara spesifik saya menyebutnya sebagai genre horor politik kosmik. Kenapa kosmik?

Selama era Orde Baru dan bahkan beberapa tahun setelahnya, keterlibatan dengan komunis akan membawa sial hingga keturunan. Konsekuensinya bisa meluas tak hanya pribadi tapi juga anak dan keturunannya. Lingkungannya juga bakal diawasi aparat negara. Menyebut nama PKI bahkan seakan menyebut hantu yang tak boleh disebut nama. Tak heran “PKI” juga menjadi salah satu umpatan tabu. “Dasar PKI!” waktu itu lazim digunakan di lingkungan masa kecil saya untuk menggambarkan orang tak bermoral dan jahat. Lingkungan yang merupakan basis PKI mendapat citra buruk, misalnya Blitar Selatan pada masa itu. Jadi kehadiran komunis bahkan hanya dalam lambang saja dianggap sebagai ancaman gaib. Komunisnya runtuh tapi ideologinya dianggap sebagai hantu, bergentayangan secara kosmik. Maka negara (rejim Orde Baru) masa itu perlu melanggengkan kesadaran akan hadirnya hantu yang disebut bahaya laten itu dalam media propaganda.

Film dimulai dimulai dengan adegan penggambaran merajalelanya intimidasi oleh PKI kepada lawan politiknya, krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat kecil dan rapuhnya pemerintahan Sukarno. Gambar-gambar yang mencekam dirajut dengan music score gubahan Embie C. Noer yang meneror secara subliminal. Adegan penyerbuan sebuah masjid pada subuh dan Al Quran yang dibacoki pakai celurit dan slideshow potongan koran yang memberitakan seorang dicangkul kepalanya menegaskan bahwa PKI adalah agen jahat yang meneror masyarakat. Awal-awal kemunculan karakter D.N. Aidit yang diperankan Syu’bah Asa disorot dengan teknik pencahayaan dari bawah, memperlihatkan pupil matanya seakan binatang buas nokturnal yang disorot senter. Adegan Sukarno yang diperankan Umar Kayam, tengah sakit disorot dengan pacing yang sangat lambat. Ia berdiri di depan jendela lalu menoleh dengan sangat lambat menyampaikan bahwa aura kematian semakin mendekat.

Puncak horornya tentu adegan subuh di Lubang Buaya. Adegan penyiksaan digambarkan seolah sekte pemuja iblis sedang mempersembahkan korban. Para jenderal diculik pada pagi buta, dibawa ke sebuah area terpencil untuk disiksa sebelum dibunuh. Di antara itu para PKI menari dan menyanyi dalam penerangan obor dan api unggun. Lagu “Genjer-Genjer” yang awalnya cuma lagu folk biasa seakan jadi lagu pemujaan setan, terlarang untuk diperdengarkan di publik seakan ditakutkan mengundang hantu komunis. Semua orkestrasi macabre itu pun ditandai dengan sebuah ungkapan paling ikonik dalam sejarah sinema Indonesia, “Darah itu merah, Jendral!”.

Horor tak lengkap rasanya tanpa comic relief. Ini ada juga dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Adegan ikonik close up shot mulut seorang bapak sedang bicara menampikan suasana yang lucu dan absurd. Sayangnya adegan ini dipotong pada versi VCD-nya. Adegan latihan baris berbaris di Lubang Buaya juga berisi dialog yang agak menggelitik. “Baris saja tidak becus kok mau mengganyang Nekolim?”

Tensi teror dan horor menurun pada babak akhir ketika angkatan bersenjata mulai bergerak menangkapi anggota PKI. Film ini sejenak berubah sedikit menjadi film action. Semesta yang suram oleh ancaman hantu komunisme mulai jadi cerah. Meski 7 jendral korban peristiwa itu diangkat sebagai pahlawan resmi negara, tumpasnya para hantu itu tidak dikatakan karena peran satu atau dua tokoh, bukan juga karena angkatan bersenjata (Angkatan Darat) melainkan karena Pancasila.

Meski ini film pesanan, tokoh Suharto (diperankan Amoroso Katamsi) sebagai pendiri Orde Baru tidak serta merta gamblang digambarkan sebagai pahlawan. Bukan juga Angkatan Darat di mana sentra konflik bermula. Jika musuh utama adalah bukan manusia yakni ideologi komunisme maka lawan sebandingnya harusnya juga sama-sama gaib. Film ini mengajukan satu entitas non-manusia dan non-organisasi yakni Pancasila. Sementara dalam alam pertarungan ideologi dunia lawan komunisme adalah kapitalisme, di Indonesia lawannya adalah Pancasila.

Pancasila (yang entah bagaimana cara implementasinya oleh para penguasa) seakan menjadi entitas kosmik penyelamat semesta. Para pahlawan revolusi menaruh percaya padanya dan seharusnya seluruh bangsa juga. Itulah yang disampaikan di akhir film. Namun tidak lantas film ini berubah jadi bernuansa heroisme. Sorotan patung pahlawan revolusi berlatar Garuda Pancasila alih-alih menimbulkan rasa nasionalisme malah terasa mencekam. Maka bisa dipahami jika bukan lagu “Garuda Pancasila” ciptaan Sudharnoto yang heroik nasionalis dipilih untuk membawa aura film ini melainkan “Gugur Bunga” karya Ismail Marzuki yang terasa pilu dan horor.

Pancasila digambarkan sebagai entitas kekuatan yang sakti telah menolong bangsa ini dari cekaman teror dan horor komunis di Indonesia. Bisa dibilang tanpa adanya film ini, propaganda anti komunisme tak akan sesukses itu hingga beberapa dekade. Mungkin itu prestasi (jika bisa diistilahkan demikian) tersukses yang bisa dicapai film Pengkhianatan G 30 S PKI jika dibandingkan dengan raihan Piala Citra atau film terlaris yang karena memang dipaksa. Ini sebuah film yang tak hanya horor dalam mise en scene-nya namun juga di realita.

 

Generasi kelahiran tahun 80-90an adalah generasi terakhir yang dibesarkan oleh TVRI. Tiap akhir September, TVRI punya ritual: memaksa orang-orang nonton film propaganda rejim (Suharto) yang berjudul Pengkhianatan G 30S PKI. TV swasta yang mulai makin mendominasi tontonan publik saat itu juga diwajibkan bersama-sama memutar film yang diproduksi pada tahun 1984 tersebut. Walhasil tak ada tontonan alternatif pada malam 30 september selain itu. Kami yang saat itu masih SD, diwajibkan menonton dan menulis rangkuman isi filmnya. Tugas ini diberikan setiap tahun yang filmnya sama.

Hasilnya, film ini sukses memberikan versi tunggal sejarah di benak masyarakat yang sekaligus membawa trauma psikologis bagi pribadi saya. Di tempat lahir saya, Blitar yang juga salah satu basis komunis pada masanya, orang-orang tua masih mengingat peristiwa 1965 seakan baru terjadi beberapa bulan saja. Ibu saya masih lancar menceritakan detail peristiwa yang ia alami di masa-masa itu. Hingga beberapa dekade Film Pengkhianatan G 30S PKI menjadi referensi utama mengenai sejarah resmi peristiwa 1965 di masyarakat.

Yang menarik bagi saya, negara yang diwakili oleh PPFN dengan produser G. Dwipayana, sutradara Arifin C. Noer dan ko-penulis Nugroho Notosusanto memilih genre horor untuk media propaganda. Meski resminya adalah sebuah dokudrama, namun tanpa ragu bahwa ini adalah film horor dengan beberapa elemen lazimnya: adegan berdarah, kematian, teror dan hantu. Secara spesifik saya menyebutnya sebagai genre horor politik kosmik. Kenapa kosmik?

Selama era Orde Baru dan bahkan beberapa tahun setelahnya, keterlibatan dengan komunis akan membawa sial hingga keturunan. Konsekuensinya bisa meluas tak hanya pribadi tapi juga anak dan keturunannya. Lingkungannya juga bakal diawasi aparat negara. Menyebut nama PKI bahkan seakan menyebut hantu yang tak boleh disebut nama. Tak heran “PKI” juga menjadi salah satu umpatan tabu. “Dasar PKI!” waktu itu lazim digunakan di lingkungan masa kecil saya untuk menggambarkan orang tak bermoral dan jahat. Lingkungan yang merupakan basis PKI mendapat citra buruk, misalnya Blitar Selatan pada masa itu. Jadi kehadiran komunis bahkan hanya dalam lambang saja dianggap sebagai ancaman gaib. Komunisnya runtuh tapi ideologinya dianggap sebagai hantu, bergentayangan secara kosmik. Maka negara (rejim Orde Baru) masa itu perlu melanggengkan kesadaran akan hadirnya hantu yang disebut bahaya laten itu dalam media propaganda.

Film dimulai dimulai dengan adegan penggambaran merajalelanya intimidasi oleh PKI kepada lawan politiknya, krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat kecil dan rapuhnya pemerintahan Sukarno. Gambar-gambar yang mencekam dirajut dengan music score gubahan Embie C. Noer yang meneror secara subliminal. Adegan penyerbuan sebuah masjid pada subuh dan Al Quran yang dibacoki pakai celurit dan slideshow potongan koran yang memberitakan seorang dicangkul kepalanya menegaskan bahwa PKI adalah agen jahat yang meneror masyarakat. Awal-awal kemunculan karakter D.N. Aidit yang diperankan Syu’bah Asa disorot dengan teknik pencahayaan dari bawah, memperlihatkan pupil matanya seakan binatang buas nokturnal yang disorot senter. Adegan Sukarno yang diperankan Umar Kayam, tengah sakit disorot dengan pacing yang sangat lambat. Ia berdiri di depan jendela lalu menoleh dengan sangat lambat menyampaikan bahwa aura kematian semakin mendekat.

Puncak horornya tentu adegan subuh di Lubang Buaya. Adegan penyiksaan digambarkan seolah sekte pemuja iblis sedang mempersembahkan korban. Para jenderal diculik pada pagi buta, dibawa ke sebuah area terpencil untuk disiksa sebelum dibunuh. Di antara itu para PKI menari dan menyanyi dalam penerangan obor dan api unggun. Lagu “Genjer-Genjer” yang awalnya cuma lagu folk biasa seakan jadi lagu pemujaan setan, terlarang untuk diperdengarkan di publik seakan ditakutkan mengundang hantu komunis. Semua orkestrasi macabre itu pun ditandai dengan sebuah ungkapan paling ikonik dalam sejarah sinema Indonesia, “Darah itu merah, Jendral!”.

Horor tak lengkap rasanya tanpa comic relief. Ini ada juga dalam film Pengkhianatan G 30 S PKI. Adegan ikonik close up shot mulut seorang bapak sedang bicara menampikan suasana yang lucu dan absurd. Sayangnya adegan ini dipotong pada versi VCD-nya. Adegan latihan baris berbaris di Lubang Buaya juga berisi dialog yang agak menggelitik. “Baris saja tidak becus kok mau mengganyang Nekolim?”

Tensi teror dan horor menurun pada babak akhir ketika angkatan bersenjata mulai bergerak menangkapi anggota PKI. Film ini sejenak berubah sedikit menjadi film action. Semesta yang suram oleh ancaman hantu komunisme mulai jadi cerah. Meski 7 jendral korban peristiwa itu diangkat sebagai pahlawan resmi negara, tumpasnya para hantu itu tidak dikatakan karena peran satu atau dua tokoh, bukan juga karena angkatan bersenjata (Angkatan Darat) melainkan karena Pancasila.

Meski ini film pesanan, tokoh Suharto (diperankan Amoroso Katamsi) sebagai pendiri Orde Baru tidak serta merta gamblang digambarkan sebagai pahlawan. Bukan juga Angkatan Darat di mana sentra konflik bermula. Jika musuh utama adalah bukan manusia yakni ideologi komunisme maka lawan sebandingnya harusnya juga sama-sama gaib. Film ini mengajukan satu entitas non-manusia dan non-organisasi yakni Pancasila. Sementara dalam alam pertarungan ideologi dunia lawan komunisme adalah kapitalisme, di Indonesia lawannya adalah Pancasila.

Pancasila (yang entah bagaimana cara implementasinya oleh para penguasa) seakan menjadi entitas kosmik penyelamat semesta. Para pahlawan revolusi menaruh percaya padanya dan seharusnya seluruh bangsa juga. Itulah yang disampaikan di akhir film. Namun tidak lantas film ini berubah jadi bernuansa heroisme. Sorotan patung pahlawan revolusi berlatar Garuda Pancasila alih-alih menimbulkan rasa nasionalisme malah terasa mencekam. Maka bisa dipahami jika bukan lagu “Garuda Pancasila” ciptaan Sudharnoto yang heroik nasionalis dipilih untuk membawa aura film ini melainkan “Gugur Bunga” karya Ismail Marzuki yang terasa pilu dan horor.

Pancasila digambarkan sebagai entitas kekuatan yang sakti telah menolong bangsa ini dari cekaman teror dan horor komunis di Indonesia. Bisa dibilang tanpa adanya film ini, propaganda anti komunisme tak akan sesukses itu hingga beberapa dekade. Mungkin itu prestasi (jika bisa diistilahkan demikian) tersukses yang bisa dicapai film Pengkhianatan G 30 S PKI jika dibandingkan dengan raihan Piala Citra atau film terlaris yang karena memang dipaksa. Ini sebuah film yang tak hanya horor dalam mise en scene-nya namun juga di realita.

Baca

MELACAK SEJARAH BIOSKOP DI BLITAR RAYA

Saat ini hanya ada 1 kompleks bioskop komersil yang ada di Blitar yakni CGV di Blitar Town Square. Selain itu hanya ada bioskop-bioskopan seperti yang dibikin oleh Nanocinema Wlingiwood. Namun sebenarnya pada tahun 70 hingga 80an, Blitar pernah semarak dengan wahana menonton film baik yang berupa bioskop atau layar tancap. Tak hanya di pusat kotanya namun juga di pelosoknya. Saat itu Blitar masih belum dipisah jadi Kota dan Kabupaten.

Catatan: Foto-foto berikut didapat secara anonim dari internet. Jika anda pemilik foto tersebut, kami mohon ijinnya untuk memasang.






Dari penelusuran jejak di media sosial dan diramu dengan ingatan masa kecil, inilah yang kami temukan. Berikut ini daftar bioskop yang pernah beroperasi di Blitar Raya.


KAWI

Terletak di Simpang Kawi, tepatnya di pojokan sisi timur dan utara. Ada yang bilang konon merupakan bioskop tertua di Blitar. Setelah tutup jadi lahan terbengkalai.


DIPAYANA

Terletak di jalan Merdeka Blitar. Merupakan bioskop paling populer di Kota Blitar. Kemudian hari lokasinya menjadi Bentar Swalayan yang kemudian jadi Blitar Town Square..


IRAMA

Terletak di jalan Mastrip. Termasuk kategori bioskop yang murah meriah terutama saat program “student show” setiap sabtu dan minggu sore. HTM saat itu seharga 500 rupiah. Sekarang lokasinya menjadi Hotel Patria.


CEPAKA

Terletak di jalan Cepaka Blitar. Harganya lebih murah dari yang lain namun kursinya banyak yang rusak. Lokasi ini kemudian menjadi Gereja Tiberias.


KARTIKA 21

Terletak di jalan Cepaka juga. Pada masanya merupakan gedung bioskop yang cukup elit di Blitar. Kartika 21 adalah bioskop yang terakhir tutup. Lokasi saat ini menjadi Bank BCA Blitar.


AMPERA

Sebenarnya ini nama perusahaan bioskop keliling yang menyewa gedung balai pertemuan Beru Wlingi. Beroperasi periodik terutama musim liburan. Setelah masa sewa habis mereka akan pindah ke tempat lain yang berprospek.


BIOSKOP MAJEKAN WLINGI

Tidak ingat apa nama bioskopnya. Pendowo? Pandowo? Saya tidak yakin. Bioskop ini terletak di Jalan Raya Tangkil, Majekan Wlingi. Beroperasi tahun 70-80an kemudian tutup. Sekarang jadi toko oleh-oleh khas Blitar.


BIOSKOP BABADAN WLINGI

Terletak di daerah Gurit, Babadan Wlingi dekat lokasi prasasti. Masa kecil saya pernah nonton di sini, duduk di balkon atas tempat projectionist. Bioskop ini beroperasi tahun 80an. Sekarang jadi kantor UPT kelurahan.


Ada yang tahu sejarah bioskop di Blitar atau bahkan punya foto-foto arsip? Boleh deh kontak Javora Institute biar diarsipkan juga hehehe.


Saat ini hanya ada 1 kompleks bioskop komersil yang ada di Blitar yakni CGV di Blitar Town Square. Selain itu hanya ada bioskop-bioskopan seperti yang dibikin oleh Nanocinema Wlingiwood. Namun sebenarnya pada tahun 70 hingga 80an, Blitar pernah semarak dengan wahana menonton film baik yang berupa bioskop atau layar tancap. Tak hanya di pusat kotanya namun juga di pelosoknya. Saat itu Blitar masih belum dipisah jadi Kota dan Kabupaten.

Catatan: Foto-foto berikut didapat secara anonim dari internet. Jika anda pemilik foto tersebut, kami mohon ijinnya untuk memasang.






Dari penelusuran jejak di media sosial dan diramu dengan ingatan masa kecil, inilah yang kami temukan. Berikut ini daftar bioskop yang pernah beroperasi di Blitar Raya.


KAWI

Terletak di Simpang Kawi, tepatnya di pojokan sisi timur dan utara. Ada yang bilang konon merupakan bioskop tertua di Blitar. Setelah tutup jadi lahan terbengkalai.


DIPAYANA

Terletak di jalan Merdeka Blitar. Merupakan bioskop paling populer di Kota Blitar. Kemudian hari lokasinya menjadi Bentar Swalayan yang kemudian jadi Blitar Town Square..


IRAMA

Terletak di jalan Mastrip. Termasuk kategori bioskop yang murah meriah terutama saat program “student show” setiap sabtu dan minggu sore. HTM saat itu seharga 500 rupiah. Sekarang lokasinya menjadi Hotel Patria.


CEPAKA

Terletak di jalan Cepaka Blitar. Harganya lebih murah dari yang lain namun kursinya banyak yang rusak. Lokasi ini kemudian menjadi Gereja Tiberias.


KARTIKA 21

Terletak di jalan Cepaka juga. Pada masanya merupakan gedung bioskop yang cukup elit di Blitar. Kartika 21 adalah bioskop yang terakhir tutup. Lokasi saat ini menjadi Bank BCA Blitar.


AMPERA

Sebenarnya ini nama perusahaan bioskop keliling yang menyewa gedung balai pertemuan Beru Wlingi. Beroperasi periodik terutama musim liburan. Setelah masa sewa habis mereka akan pindah ke tempat lain yang berprospek.


BIOSKOP MAJEKAN WLINGI

Tidak ingat apa nama bioskopnya. Pendowo? Pandowo? Saya tidak yakin. Bioskop ini terletak di Jalan Raya Tangkil, Majekan Wlingi. Beroperasi tahun 70-80an kemudian tutup. Sekarang jadi toko oleh-oleh khas Blitar.


BIOSKOP BABADAN WLINGI

Terletak di daerah Gurit, Babadan Wlingi dekat lokasi prasasti. Masa kecil saya pernah nonton di sini, duduk di balkon atas tempat projectionist. Bioskop ini beroperasi tahun 80an. Sekarang jadi kantor UPT kelurahan.


Ada yang tahu sejarah bioskop di Blitar atau bahkan punya foto-foto arsip? Boleh deh kontak Javora Institute biar diarsipkan juga hehehe.


Baca

HOW TO BE A KABUPATEN FILMMAKER: SEGRONJAL DEMI SEGRONJAL

Ini buat teman-teman yang tinggal di kabupaten yang ingin atau sedang berkarya film mungkin hal-hal berikut ini boleh jadi pertimbangan.



1. KONDISI PERFILMAN KABUPATEN
Dari pengamatan yang nggak metodis amat, biasanya perfilman di kabupaten itu dilakukan oleh amatir dan komunitas. Level kemajuan perfilman tiap kabupaten berbeda kondisi, tergantung pada kemajuan literasi orang-orangnya. Hal tipikal mengenai perfilman kabupaten biasanya:
- Mentok di jargon lokalitas. Tidak terbuka pada kemungkinan baru.
- Dibebani jargon menampilkan budaya dan kearifan lokal.
- Mandeg di distribusi. Abis diputar di komunitas, masuk harddisk selamanya.
Menurut saya, masalah perfilman kabupaten antara lain:
- Ketiadaan skema pendanaan eksternal yang konsisten. Biasanya filmmaker cenderung dibebani dengan hal-hal tipikal yang saya tulis di atas tadi.
- Ketersediaan talenta yang mumpuni. Meski banyak orang berbakat, nyatanya cukup sulit menemukan talent yang bersedia menyesuaikan dengan sistem kerja film yang standar. Dengan kata lain, maunya langsung syuting.
- Keberadaan skema distribusi yang minim. Belum ada entitas yang mengelola agar film diputar merata di wilayahnya sendiri. Kalau mau dibebankan di filmmaker, biasanya udah kecapekan duluan sehabis produksi.
- Banyak orang yang nggak ngerti soal ekosistem perfilman nasional dan pembuatnya nggak terhubung ke sana. Contohnya anak-anak SMA mentoknya ke FLS2N, jarang yang ke festival utama.
- Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai value budaya dari film. Pada nggak mau mbayar kalau dikasih tontonan. Ini mungkin sejak era Ken Arok adu pitik. Setahu saya nonton adu pitik jaman Ken Arok nggak bayar.
Dengan menyadari kondisi ini, maka anda bisa mengambil langkah-langkah yang perlu.
2. MELURUSKAN NIAT
Pertama-tama ketahui dulu tujuanmu berkarya, mau amatir apa profesional. Amatir artinya kamu cuman hobi aja, gak ada rencana terlalu jauh selain berkarya demi kepuasan batin. Profesional artinya kamu memiliki rencana bisnis yang diharapkan sustainable untuk pekerjaan jangka panjang. Kemungkinan kamu akan melibatkan banyak orang dengan kerjaan spesifik.
Untuk amatir. Jaman gini semua dimungkinkan dengan teknologi. Bikin film pakai HP doang juga udah dimungkinkan. Nggak ada kru? Bikin film yang dibintangi diri sendiri juga bisa. Untuk amatir namun lebih serius, ada baiknya membangun komunitas. Saya waktu pulang ke kabupaten dulu nggak ada teman bikin film. Lalu saya dan seorang teman membangun komunitas yang mengajari bikin film ke remaja-remaja SMA. Setelah karya pertama disusul lagi karya berikutnya yang membuat kita makin banyak belajar. Orang-orang yang dulu jadi murid lama-lama jadi kolaborator. Ko-Produser saya saat ini dulunya adalah murid saya.
Untuk profesional. Jangan dulu bayangin proyek-proyek besar di mana anda akan duduk di kursi sutradara dan peralatan syuting yang berat-berat. Jangan bayangin film anda diputer di bioskop-bioskop besar macam XXI atau CGV. Jika anda membayar kru dengan standar UMR, itu sudah langkah bagus menuju profesional. Juga ketika anda menghitung biaya makan saat syuting, transport dll.
Untuk jadi profesional di kabupaten sangat berat karena ekosistemnya belum ada. Makanya banyak orang kabupaten hijrah ke Jakarta. Kabar baiknya desentralisasi sekarang sedang berjalan. Aktivitas film mulai menyebar. Jogja adalah Mekkah baru untuk perfilman nasional. Purbalingga adalah the ndesopolitan of cinema. Makassar wah jangan ditanya ya. Banyak filmmaker hebat dari sana. Tapi gimana kalau kamu tinggal di kabupaten yang jalan propinsinya gronjal-gronjal kayak nasib percintaanku?
3. CARA JADI FILMMAKER KABUPATEN
Untuk masuk ke perfilman itu umumnya ada 3 cara:
- Sekolah film. Di sini kamu dapat privilege berupa jejaring. Kamu juga akan dapat akses ke teknologi standar industri. Lulus dari sini peluang kamu masuk industri agak lebih mudah karena modal jejaring itu. Kalaupun tidak lulus dan udah duluan diajak proyekan, kamu udah masuk circle.
- Orang dalam. Ada beberapa cerita orang yang gak sengaja masuk industri. Mungkin diajakin temennya, mungkin karena bapaknya produser atau jika kamu punya duit untuk masuk ke circle produksi tertentu.
- Festival. Ini cara merangkak dari bawah. Karyamu harus masuk festival sehingga mendapat kesempatan untuk masuk ke circle produksi. Festival adalah cara yang cukup fair namun sangat susah karena memilih yang terbaik di antara terbaik. Kamu bersaing dengan yang udah pro maupun orang-orang yang punya latar sekolah film.
Saya tidak sekolah film. Saya masuk ke perfilman lewat cara terakhir. Prosesnya ada selama 10 tahunan. Pertama bikin film 2006, masuk festival 2015, masuk profesional 2019.
4. MEMBENTUK EKOSISTEM DI KABUPATEN
Ekosistem artinya hadirnya sejumlah pihak yang berkepentingan dengan perfilman terutama kabupaten untuk bersinergi. Ekosistem yang sesungguhnya kompleks namun untuk level kabupaten kita bikin sederhana aja deh. 3 Ekosistem penting yang harus ada adalah:
1. Penonton. Penonton di sini idealnya yang juga sadar value dari film. Untuk itu perlu diedukasi. Edukasi bisa dilakukan oleh komunitas dengan menggelar diskusi selesai pemutaran.
2. Ruang putar. Idealnya ada pihak yang khusus menyediakan ruang putar entah di dalam ruang atau layar tancap keliling. Pembuat film tak selalu punya resource untuk ini. Kenyataannya sering dirangkap juga. Distribusi ideal kabupaten bisa dibagi berdasarkan satuan administratif. Jadi misal ketika film jadi, ada baiknya sudah direncanakan diputar di kecamatan mana saja.
3. Pembuat film. Ini meliputi sutradara, produser, talent dan kru. Di kabupaten biasanya hal ini dikerjakan secara komunal.
Kalau film cuma diputer di kabupaten, biasanya tipikalnya abis film diputer langsung ngendon di harddisk. Atau juga seringkali diupload di Yutub (ini ada plus minusnya). Bagaimana agar distribusi film hidup lebih lama?
Saatnya mikir sustainability.
5. SUSTAINABILITY DI KABUPATEN
Overview. Distribusi film independen saat ini masih berada pada tahap balita dan jumlah penonton film Indonesia belum cukup signifikan untuk membiayai balik modal yang dikeluarkan untuk produksi film independen. Untuk sustain di kabupaten nggak ada rumus pastinya. Tapi kalau mau ngeyel dengan tetap di kabupaten mungkin hal-hal ini bisa dipertimbangkan.
- Harus(nya) punya bisnis lain yang cukup buat hidup sehari-hari.
- Mengelola komunitas dan mengedukasinya.
- Berfestival dan berjejaring dengan filmmaker seindonesia.
- Mengkomersilkan intellectual property dari proyek film anda.
- Jadi bounty hunter. Ikut kompetisi film demi duit.
Ada juga hal-hal yang dilakukan beberapa orang untuk tetap berkarya namun saya tak menyarankan seperti mendekati pejabat yang mau nyaleg, terlalu bergantung pada kepedulian pemda dan semacamnya. Sebaiknya jangan berhutang untuk berkarya karena apa yang kita andalkan untuk membayarnya seringkali tidak pasti.

Ini buat teman-teman yang tinggal di kabupaten yang ingin atau sedang berkarya film mungkin hal-hal berikut ini boleh jadi pertimbangan.



1. KONDISI PERFILMAN KABUPATEN
Dari pengamatan yang nggak metodis amat, biasanya perfilman di kabupaten itu dilakukan oleh amatir dan komunitas. Level kemajuan perfilman tiap kabupaten berbeda kondisi, tergantung pada kemajuan literasi orang-orangnya. Hal tipikal mengenai perfilman kabupaten biasanya:
- Mentok di jargon lokalitas. Tidak terbuka pada kemungkinan baru.
- Dibebani jargon menampilkan budaya dan kearifan lokal.
- Mandeg di distribusi. Abis diputar di komunitas, masuk harddisk selamanya.
Menurut saya, masalah perfilman kabupaten antara lain:
- Ketiadaan skema pendanaan eksternal yang konsisten. Biasanya filmmaker cenderung dibebani dengan hal-hal tipikal yang saya tulis di atas tadi.
- Ketersediaan talenta yang mumpuni. Meski banyak orang berbakat, nyatanya cukup sulit menemukan talent yang bersedia menyesuaikan dengan sistem kerja film yang standar. Dengan kata lain, maunya langsung syuting.
- Keberadaan skema distribusi yang minim. Belum ada entitas yang mengelola agar film diputar merata di wilayahnya sendiri. Kalau mau dibebankan di filmmaker, biasanya udah kecapekan duluan sehabis produksi.
- Banyak orang yang nggak ngerti soal ekosistem perfilman nasional dan pembuatnya nggak terhubung ke sana. Contohnya anak-anak SMA mentoknya ke FLS2N, jarang yang ke festival utama.
- Rendahnya kesadaran masyarakat mengenai value budaya dari film. Pada nggak mau mbayar kalau dikasih tontonan. Ini mungkin sejak era Ken Arok adu pitik. Setahu saya nonton adu pitik jaman Ken Arok nggak bayar.
Dengan menyadari kondisi ini, maka anda bisa mengambil langkah-langkah yang perlu.
2. MELURUSKAN NIAT
Pertama-tama ketahui dulu tujuanmu berkarya, mau amatir apa profesional. Amatir artinya kamu cuman hobi aja, gak ada rencana terlalu jauh selain berkarya demi kepuasan batin. Profesional artinya kamu memiliki rencana bisnis yang diharapkan sustainable untuk pekerjaan jangka panjang. Kemungkinan kamu akan melibatkan banyak orang dengan kerjaan spesifik.
Untuk amatir. Jaman gini semua dimungkinkan dengan teknologi. Bikin film pakai HP doang juga udah dimungkinkan. Nggak ada kru? Bikin film yang dibintangi diri sendiri juga bisa. Untuk amatir namun lebih serius, ada baiknya membangun komunitas. Saya waktu pulang ke kabupaten dulu nggak ada teman bikin film. Lalu saya dan seorang teman membangun komunitas yang mengajari bikin film ke remaja-remaja SMA. Setelah karya pertama disusul lagi karya berikutnya yang membuat kita makin banyak belajar. Orang-orang yang dulu jadi murid lama-lama jadi kolaborator. Ko-Produser saya saat ini dulunya adalah murid saya.
Untuk profesional. Jangan dulu bayangin proyek-proyek besar di mana anda akan duduk di kursi sutradara dan peralatan syuting yang berat-berat. Jangan bayangin film anda diputer di bioskop-bioskop besar macam XXI atau CGV. Jika anda membayar kru dengan standar UMR, itu sudah langkah bagus menuju profesional. Juga ketika anda menghitung biaya makan saat syuting, transport dll.
Untuk jadi profesional di kabupaten sangat berat karena ekosistemnya belum ada. Makanya banyak orang kabupaten hijrah ke Jakarta. Kabar baiknya desentralisasi sekarang sedang berjalan. Aktivitas film mulai menyebar. Jogja adalah Mekkah baru untuk perfilman nasional. Purbalingga adalah the ndesopolitan of cinema. Makassar wah jangan ditanya ya. Banyak filmmaker hebat dari sana. Tapi gimana kalau kamu tinggal di kabupaten yang jalan propinsinya gronjal-gronjal kayak nasib percintaanku?
3. CARA JADI FILMMAKER KABUPATEN
Untuk masuk ke perfilman itu umumnya ada 3 cara:
- Sekolah film. Di sini kamu dapat privilege berupa jejaring. Kamu juga akan dapat akses ke teknologi standar industri. Lulus dari sini peluang kamu masuk industri agak lebih mudah karena modal jejaring itu. Kalaupun tidak lulus dan udah duluan diajak proyekan, kamu udah masuk circle.
- Orang dalam. Ada beberapa cerita orang yang gak sengaja masuk industri. Mungkin diajakin temennya, mungkin karena bapaknya produser atau jika kamu punya duit untuk masuk ke circle produksi tertentu.
- Festival. Ini cara merangkak dari bawah. Karyamu harus masuk festival sehingga mendapat kesempatan untuk masuk ke circle produksi. Festival adalah cara yang cukup fair namun sangat susah karena memilih yang terbaik di antara terbaik. Kamu bersaing dengan yang udah pro maupun orang-orang yang punya latar sekolah film.
Saya tidak sekolah film. Saya masuk ke perfilman lewat cara terakhir. Prosesnya ada selama 10 tahunan. Pertama bikin film 2006, masuk festival 2015, masuk profesional 2019.
4. MEMBENTUK EKOSISTEM DI KABUPATEN
Ekosistem artinya hadirnya sejumlah pihak yang berkepentingan dengan perfilman terutama kabupaten untuk bersinergi. Ekosistem yang sesungguhnya kompleks namun untuk level kabupaten kita bikin sederhana aja deh. 3 Ekosistem penting yang harus ada adalah:
1. Penonton. Penonton di sini idealnya yang juga sadar value dari film. Untuk itu perlu diedukasi. Edukasi bisa dilakukan oleh komunitas dengan menggelar diskusi selesai pemutaran.
2. Ruang putar. Idealnya ada pihak yang khusus menyediakan ruang putar entah di dalam ruang atau layar tancap keliling. Pembuat film tak selalu punya resource untuk ini. Kenyataannya sering dirangkap juga. Distribusi ideal kabupaten bisa dibagi berdasarkan satuan administratif. Jadi misal ketika film jadi, ada baiknya sudah direncanakan diputar di kecamatan mana saja.
3. Pembuat film. Ini meliputi sutradara, produser, talent dan kru. Di kabupaten biasanya hal ini dikerjakan secara komunal.
Kalau film cuma diputer di kabupaten, biasanya tipikalnya abis film diputer langsung ngendon di harddisk. Atau juga seringkali diupload di Yutub (ini ada plus minusnya). Bagaimana agar distribusi film hidup lebih lama?
Saatnya mikir sustainability.
5. SUSTAINABILITY DI KABUPATEN
Overview. Distribusi film independen saat ini masih berada pada tahap balita dan jumlah penonton film Indonesia belum cukup signifikan untuk membiayai balik modal yang dikeluarkan untuk produksi film independen. Untuk sustain di kabupaten nggak ada rumus pastinya. Tapi kalau mau ngeyel dengan tetap di kabupaten mungkin hal-hal ini bisa dipertimbangkan.
- Harus(nya) punya bisnis lain yang cukup buat hidup sehari-hari.
- Mengelola komunitas dan mengedukasinya.
- Berfestival dan berjejaring dengan filmmaker seindonesia.
- Mengkomersilkan intellectual property dari proyek film anda.
- Jadi bounty hunter. Ikut kompetisi film demi duit.
Ada juga hal-hal yang dilakukan beberapa orang untuk tetap berkarya namun saya tak menyarankan seperti mendekati pejabat yang mau nyaleg, terlalu bergantung pada kepedulian pemda dan semacamnya. Sebaiknya jangan berhutang untuk berkarya karena apa yang kita andalkan untuk membayarnya seringkali tidak pasti.
Baca

SEJARAH RINGKAS FILM INDEPENDEN DI INDONESIA DAN DI KAMPUNG SAYA - BAGIAN XII - XIII (dari 13 bagian)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================

 

XII. WLINGIWOOD, RIAK KECIL GELIAT PERFILMAN INDEPENDEN

DI KAMPUNG SAYA SENDIRI 

Mengikuti gairah rekan-rekannya di daerah lain, di sebuah kota kecamatan yang tak terkenal juga muncul gerakan perfilman indie. Wlingi adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah timur agak ke barat kabupaten Blitar. Bagi pengunjung dari kota lain, Wlingi mungkin paling mudah dicapai dengan kereta api. Kebetulan Stasiun Wlingi jadi tempat berhenti kereta api kelas eksekutif. Setiap dari Blitar ke Malang pasti lewat Wlingi. Dua kota besar terdekat dengan Wlingi adalah Kediri di sebelah barat dan Malang di sebelah timur (ingat, Wlingi masuk dalam kabupaten Blitar).

Wlingi tak pernah masuk dalam film hingga "Punk In Love" (Ody C. Harahap, 2009). Hanya satu shot (itu pun singkat) di mana karakternya naik mobil pickup melewetai gerbang Kota Wlingi. Sayang sekali padahal di Wlingi ada taman kota yang luas dengan arena bermain, ada pasar tradisional yang besar, pasar hewan juga ada, ada bendungan obyek wisata, bangunan-bangunan tua ada beberapa namun menunggu kehancuran. Meskipun produksi film sudah ada sejak 2009, mungkin baru mulai pada 2015 nama Wlingi lirih terdengar dalam jagad perfilman nasional. Itu karena aktivitas komunitas Wlingiwood Filmmakers.


Berawal dari SMAN 1 Talun, Kabupaten Blitar. Saya yang alumni dari sini mulai mengajari bikin film di ekskul Teater pada tahun 2009, yakni dengan produksi film pendek “Tanggal Merah” yang naskahnya ditulis murid dan saya membimbing murid untuk menyutradarai. Setelah itu saya selalu membagi kegiatan setahun jadi dua yakni semester pertama main teater, semester kedua bikin film. Ada dua film agak panjang yang pernah kami produksi yakni “Apyun” (2010) dan “Sakti” (2012). Nanti kegiatan film tersebut menjadi ekskul tersendiri sejak 2015. Akibatnya perfilman menjadi lumayan akrab di lingkungan SMA ini dan bahkan pada tiap acara Dies Natalies sekolah, ada program kompetisi film antar kelas. Alokasi bakat dari kegiatan film SMA ini antara lain adalah mengikuti FLS2N, sebuah event kesenian yang digelar Departemen Pendidikan Nasional tiap tahun. Film pendek adalah salah satu nomor yang dilombakan sejak tingkat kabupaten hingga nasional.

Aktivitas mentoring saya di SMAN 1 Talun ini kelak akan melahirkan komunitas lokal yang nanti dikenal dengan nama Wlingiwood Filmmakers. Wlingiwood Filmmakers bermula sejak tahun 2014 setelah saya membimbing tim sekolah untuk ikut FLS2N tahun itu. Pertemuan dengan aktor asal Blitar Betet Kunamsinam mendorong saya memproduksi film "Sandera" (2014) yang kemudian berkelanjutan menjadi pembentukan komunitas. Sandera adalah adalah film fiksi pertama yang dibikin dalam format Full HD di Wlingi. Film itu kami putar di beberapa titik di kota kami misalnya di halaman kantor Telkom Wlingi, di kelas, di UPT Bung Karno Blitar dan juga didiskusikan. Karena ini lalu saya mendapat permintaan membina perfilman di SMK PGRI Wlingi. Dalam membina sering saya ajak Wlingiwood Filmmakers terlibat. Dari sinilah kita makin jelas kegiatannya yakni antara lain memberikan mentoring produksi film di sekolah-sekolah dan kelompok kecil serta aktif mengikuti festival film di Indonesia.

Film yang diproduksi Wlingiwood bisa dikenali lewat posternya yang mencantumkan logo Wlingiwood di atasnya. Selain itu juga opening film akan menampakkan logo tersebut meskipun Wlingiwood sendiri bukanlah sebuah production house. Film yang mencantumkan logo ini berarti melibatkan Wlingiwood di aspek produksinya. Hingga tulisan ini dibuat, sistem produksi di Wlingiwood adalah 100% independen, yakni: 

·         Independen secara pendanaan, bukan dari badan pemerintah maupun swasta dan bukan juga donasi maupun investasi di luar anggota komunitas

·         Independen secara kreatif, tidak menyewa tenaga teknis maupun artistik di luar komunitas

·         Independen dari segi gagasan, tidak menuruti jargon-jargon atau idealisme di luar komunitas termasuk keharusan mengangkat isu terkini dan corak lokalitas

·         Independen dalam hal distribusi, tidak melewati jejaring bioskop atau industri yang mapan.

Komunitas Wlingiwood hingga kini terus aktif memberikan edukasi perfilman secara online maupun offline. Film dari komunitas ini misalnya "Bid & Run" (saya sutradaranya, 2015) finalis Festival Sinema Perancis 2015 dan "Anxietus Domicupus" (masih saya sutradaranya, 2020) Nominator Best Comedy di HelloFest #14, Nominator Film Terbaik di GenFlix Film Festival 2020 serta Pemenang Film Cerita Pendek Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021. 

Prestasi yang pernah diraih warga Wlingiwood Filmmakers dan binaannya antara lain: 

·         2014: EXAM SUICIDE juara 2 FLS2N tingkat propinsi Jawa Timur

·         2015: BID & RUN finalis Festival Sinema Prancis, SIX PACK juara 2 lomba film pendek Kementrian Kesehatan

·         2016: HOBI MINORITAS PARKOUR masuk SODOC (Solo Documentary Film Festival)

·         2019: THE FICTION MASTER finalis HelloFest 13 dan didistribusikan oleh GoPlay

·         2020: ANXIETUS DOMICUPUS nominator Best Comedy HelloFest 14, nominator Sinematografi Terbaik, nominator Film Terbaik dan Special Jury Mention di Genflix Film Festival, Bronze Deer Award di Moviement Film Festival

·         2021: ANXIETUS DOMICUPUS memanangkan Film Cerita Pendek Terpilih pada Piala Maya Ke-9 

Di Wlingiwood tidak dikenal jabatan ketua melainkan Koordinator Umum. Koordinator ini bertugas mengkoordinasi seluruh kegiatan di Wlingiwood juga menjadi juru bicara jika diperlukan. Di dalam Wlingiwood ada beberapa kelompok produksi baik yang sifatnya amatir maupun pra-profesional. Produksi yang saya jalankan misalnya, saya sebut sebagai pra-profesional: Kru dibayar mepet UMR sehari, volunteer dikasih kaos.

Pada tahun 30 Maret 2017, Wlingiwood Filmmakers juga pernah mencoba membuat festival film untuk pertama kali. Di dalamnya hendak kami putar sederetan film buatan kami plus film undangan dari komunitas luar. Perijinan diurus mulai dari Kelurahan, Kepolisian hingga Koramil. Kami mendapat bantuan terob, soundsystem, proyektor dan panggung dari Camat Wlingi waktu itu Bapak Totok Tri Wibisono. Kami bahkan sudah memasang baliho besar sekitar 4 x 3 meter di depan halaman kecamatan Wlingi. Layar tancap kurang lebih 6 x 3 meter sudah kami pasang sejak sore. Sayang acara ini digagalkan oleh hujan lebat dan banjir setinggi mata kaki pada sekitar isya’, padahal jam setengah delapan acara mau dimulai. Acara lalu dipindah ke dalam gedung kecamatan. Acara tetap kami langsungkan hingga selesai. Seingat saya ada 5 orang saja dari luar komunitas yang hadir, sedangkan sisanya kami sendiri sejumlah tak kurang dari 15 orang dengan makanan yang disediakan gratis dan melimpah.

 

XIII. PENUTUP: SEBUAH KESIMPULAN 

Jika kita tilik dari sejarahnya di Amerika, apa yang disebut sinema independen adalah dinamika industri yang terjadi di Hollywood. Indie bukan selalu berupa film dengan budget murah yang dibuat secara digital. Ada juga film indie dengan budget jutaan. Warner Bros, studio besar itu pun pernah punya label Warner Independent Pictures (2003 - 2008) yang merilis "Before Sunset" dan "Slumdog Millionaire". Gimana ceritanya studio gede kok menyebut diri independen? Rupanya independen ini tak bermakna literal sama sekali. Istilah independen lalu digunakan secara longgar mengikuti situasi yang ada.

Ada 3 hal yang menjadi latar kelahiran film independen di Amerika: Edison Trust, dominasi Studio System dan lahirnya teknologi digital. Sedangkan di Indonesia sendiri tidak ada studio system sebagaimana di Amerika. Dalam amatan saya, gerakan film independen di Indonesia setidaknya merespon 4 hal: Regulasi pemerintah beserta aturan dalam asosiasi, dominasi kelompok bermodal, terpuruknya film nasional dan keterbatasan aset produksi. Jadi kita bisa melihat perbedaan dan persamaan konteksnya dengan Amerika. Sama halnya dengan Amerika dan belahan dunia lain, independen adalah istilah yang dinamik. Akan terus diredefinisikan menurut kondisi yang dihadapi. Perubahan akan direspon secara terus menerus dan wajah sinema tak akan pernah sama.

Jalur independen merupakan keumuman untuk filmmaker yang hendak membangun awal karir. Ini sekaligus menjadi ironis karena gerakan independen hanya terpakai sebagai batu pijakan ke industri. Bisa dimaklumi karena karier di film memerlukan stabilitas ekosistem yang mana industri mayor pun kadang kesusahan. Menurut produser Lifelike Pictures Sheila Timothy, bisnis film itu beresiko tinggi. Independen adalah ketidakpastian yang ternyata terus hidup bagai virus dalam sejarah. Kita ingat lagi bahwa bangkitnya industri film nasional pun diawali oleh gerakan independen, tak hanya kalangan profesional namun juga komunitas amatir. Keberadaan kaum independen inilah yang menjaga perfilman nasional tetap hidup sejak awal reformasi hingga kini. 

 

DAFTAR BACAAN 

Referensi Buku, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan lain-lain: 

·         ANTARKOTA ANTARLAYAR Potret Komunitas Film di Indonesia oleh Adrian Jonathan Pasaribu, Deden Ramadani, Levriana Yustriani, Dewan Kesenian Jakarta 2019.

·         JIWA REFORMASI DAN HANTU MASA LALU Sinema Indonesia Pasca Orde Baru oleh Quirine Van Heeren, Dewan Kesenian Jakarta 2019.

·         DIREKTORI FESTIVAL FILM Dunia Dan Indonesia, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta & COFFIE (Coordination For Film Festival In Indonesia) 2019.

·         Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia oleh Idola P Putri, Jurnal Komunikasi Indonesia 2013.

·         PARADOKS DAN MANAJEMEN KREATIVITAS DALAM INDUSTRI FILM INDONESIA oleh Elvy Maria Manurung, Disertasi Program Doktoral Universitas Kristen Satya Wacana 2017.

·         DINAMIKA SINEAS DALAM PEMBUATAN FILM INDEPENDEN (Studi Kasus Sineas di Kota Makassar) oleh Muh. Rifai Ramli, Skripsi Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2016.

·         RESISTENSI PRODUKSI FILM INDIE DI INDONESIA 1970-2001 (Indonesian Indie Movie Resistens 1970-2001) oleh Donny Dellyar Noer, SH, Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jember -.

·         TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN KOMISIF DALAM FILM MAK KELAPON KARYA ADRI ADDAYUNI oleh Elize Wardany, Patriantoro, Nanang Heryana, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak -.

·         MELAWAN KUASA MEDIA DENGAN MEDIA Studi Eksplorasi Manajemen Media Watchdoc Documentary Maker Sebagai Media Alternatif oleh Permata Putri Ismah Ariani, Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang 2017.

 Referensi Situs dan Blog:

·         filmindonesia.or.id

·         cinemapoetica.com

·         ericsasono.com

·         acehtrend.com

·         tirto.id

·         lokadata.id

·         jaff-filmfest.org

·         arkipel.org

·         in-docs.org

·         boemboe.org

·         minikino.org

·         rumata.or.id

·         ciptacitra.id

·         pialamaya.com

·         mantrianimasi.blogspot.com

·         pabriktjerita.blogspot.com

·         wlingiwood.blogspot.com

·         komunita.id

·         imdb.com

·         wikipedia.org

 dan lain-lain.

     (Kembali ke Bagian XI)

(Bagian I - III)  (Bagian IV - V)  (Bagian VI - VII)  (Bagian VIII) 

(Bagian IX)  (Bagian X)  (Bagian XI)  (Bagian XII - XIII) 

==================================================================

 

XII. WLINGIWOOD, RIAK KECIL GELIAT PERFILMAN INDEPENDEN

DI KAMPUNG SAYA SENDIRI 

Mengikuti gairah rekan-rekannya di daerah lain, di sebuah kota kecamatan yang tak terkenal juga muncul gerakan perfilman indie. Wlingi adalah sebuah kota kecil yang terletak di sebelah timur agak ke barat kabupaten Blitar. Bagi pengunjung dari kota lain, Wlingi mungkin paling mudah dicapai dengan kereta api. Kebetulan Stasiun Wlingi jadi tempat berhenti kereta api kelas eksekutif. Setiap dari Blitar ke Malang pasti lewat Wlingi. Dua kota besar terdekat dengan Wlingi adalah Kediri di sebelah barat dan Malang di sebelah timur (ingat, Wlingi masuk dalam kabupaten Blitar).

Wlingi tak pernah masuk dalam film hingga "Punk In Love" (Ody C. Harahap, 2009). Hanya satu shot (itu pun singkat) di mana karakternya naik mobil pickup melewetai gerbang Kota Wlingi. Sayang sekali padahal di Wlingi ada taman kota yang luas dengan arena bermain, ada pasar tradisional yang besar, pasar hewan juga ada, ada bendungan obyek wisata, bangunan-bangunan tua ada beberapa namun menunggu kehancuran. Meskipun produksi film sudah ada sejak 2009, mungkin baru mulai pada 2015 nama Wlingi lirih terdengar dalam jagad perfilman nasional. Itu karena aktivitas komunitas Wlingiwood Filmmakers.


Berawal dari SMAN 1 Talun, Kabupaten Blitar. Saya yang alumni dari sini mulai mengajari bikin film di ekskul Teater pada tahun 2009, yakni dengan produksi film pendek “Tanggal Merah” yang naskahnya ditulis murid dan saya membimbing murid untuk menyutradarai. Setelah itu saya selalu membagi kegiatan setahun jadi dua yakni semester pertama main teater, semester kedua bikin film. Ada dua film agak panjang yang pernah kami produksi yakni “Apyun” (2010) dan “Sakti” (2012). Nanti kegiatan film tersebut menjadi ekskul tersendiri sejak 2015. Akibatnya perfilman menjadi lumayan akrab di lingkungan SMA ini dan bahkan pada tiap acara Dies Natalies sekolah, ada program kompetisi film antar kelas. Alokasi bakat dari kegiatan film SMA ini antara lain adalah mengikuti FLS2N, sebuah event kesenian yang digelar Departemen Pendidikan Nasional tiap tahun. Film pendek adalah salah satu nomor yang dilombakan sejak tingkat kabupaten hingga nasional.

Aktivitas mentoring saya di SMAN 1 Talun ini kelak akan melahirkan komunitas lokal yang nanti dikenal dengan nama Wlingiwood Filmmakers. Wlingiwood Filmmakers bermula sejak tahun 2014 setelah saya membimbing tim sekolah untuk ikut FLS2N tahun itu. Pertemuan dengan aktor asal Blitar Betet Kunamsinam mendorong saya memproduksi film "Sandera" (2014) yang kemudian berkelanjutan menjadi pembentukan komunitas. Sandera adalah adalah film fiksi pertama yang dibikin dalam format Full HD di Wlingi. Film itu kami putar di beberapa titik di kota kami misalnya di halaman kantor Telkom Wlingi, di kelas, di UPT Bung Karno Blitar dan juga didiskusikan. Karena ini lalu saya mendapat permintaan membina perfilman di SMK PGRI Wlingi. Dalam membina sering saya ajak Wlingiwood Filmmakers terlibat. Dari sinilah kita makin jelas kegiatannya yakni antara lain memberikan mentoring produksi film di sekolah-sekolah dan kelompok kecil serta aktif mengikuti festival film di Indonesia.

Film yang diproduksi Wlingiwood bisa dikenali lewat posternya yang mencantumkan logo Wlingiwood di atasnya. Selain itu juga opening film akan menampakkan logo tersebut meskipun Wlingiwood sendiri bukanlah sebuah production house. Film yang mencantumkan logo ini berarti melibatkan Wlingiwood di aspek produksinya. Hingga tulisan ini dibuat, sistem produksi di Wlingiwood adalah 100% independen, yakni: 

·         Independen secara pendanaan, bukan dari badan pemerintah maupun swasta dan bukan juga donasi maupun investasi di luar anggota komunitas

·         Independen secara kreatif, tidak menyewa tenaga teknis maupun artistik di luar komunitas

·         Independen dari segi gagasan, tidak menuruti jargon-jargon atau idealisme di luar komunitas termasuk keharusan mengangkat isu terkini dan corak lokalitas

·         Independen dalam hal distribusi, tidak melewati jejaring bioskop atau industri yang mapan.

Komunitas Wlingiwood hingga kini terus aktif memberikan edukasi perfilman secara online maupun offline. Film dari komunitas ini misalnya "Bid & Run" (saya sutradaranya, 2015) finalis Festival Sinema Perancis 2015 dan "Anxietus Domicupus" (masih saya sutradaranya, 2020) Nominator Best Comedy di HelloFest #14, Nominator Film Terbaik di GenFlix Film Festival 2020 serta Pemenang Film Cerita Pendek Terpilih Piala Maya ke-9 tahun 2021. 

Prestasi yang pernah diraih warga Wlingiwood Filmmakers dan binaannya antara lain: 

·         2014: EXAM SUICIDE juara 2 FLS2N tingkat propinsi Jawa Timur

·         2015: BID & RUN finalis Festival Sinema Prancis, SIX PACK juara 2 lomba film pendek Kementrian Kesehatan

·         2016: HOBI MINORITAS PARKOUR masuk SODOC (Solo Documentary Film Festival)

·         2019: THE FICTION MASTER finalis HelloFest 13 dan didistribusikan oleh GoPlay

·         2020: ANXIETUS DOMICUPUS nominator Best Comedy HelloFest 14, nominator Sinematografi Terbaik, nominator Film Terbaik dan Special Jury Mention di Genflix Film Festival, Bronze Deer Award di Moviement Film Festival

·         2021: ANXIETUS DOMICUPUS memanangkan Film Cerita Pendek Terpilih pada Piala Maya Ke-9 

Di Wlingiwood tidak dikenal jabatan ketua melainkan Koordinator Umum. Koordinator ini bertugas mengkoordinasi seluruh kegiatan di Wlingiwood juga menjadi juru bicara jika diperlukan. Di dalam Wlingiwood ada beberapa kelompok produksi baik yang sifatnya amatir maupun pra-profesional. Produksi yang saya jalankan misalnya, saya sebut sebagai pra-profesional: Kru dibayar mepet UMR sehari, volunteer dikasih kaos.

Pada tahun 30 Maret 2017, Wlingiwood Filmmakers juga pernah mencoba membuat festival film untuk pertama kali. Di dalamnya hendak kami putar sederetan film buatan kami plus film undangan dari komunitas luar. Perijinan diurus mulai dari Kelurahan, Kepolisian hingga Koramil. Kami mendapat bantuan terob, soundsystem, proyektor dan panggung dari Camat Wlingi waktu itu Bapak Totok Tri Wibisono. Kami bahkan sudah memasang baliho besar sekitar 4 x 3 meter di depan halaman kecamatan Wlingi. Layar tancap kurang lebih 6 x 3 meter sudah kami pasang sejak sore. Sayang acara ini digagalkan oleh hujan lebat dan banjir setinggi mata kaki pada sekitar isya’, padahal jam setengah delapan acara mau dimulai. Acara lalu dipindah ke dalam gedung kecamatan. Acara tetap kami langsungkan hingga selesai. Seingat saya ada 5 orang saja dari luar komunitas yang hadir, sedangkan sisanya kami sendiri sejumlah tak kurang dari 15 orang dengan makanan yang disediakan gratis dan melimpah.

 

XIII. PENUTUP: SEBUAH KESIMPULAN 

Jika kita tilik dari sejarahnya di Amerika, apa yang disebut sinema independen adalah dinamika industri yang terjadi di Hollywood. Indie bukan selalu berupa film dengan budget murah yang dibuat secara digital. Ada juga film indie dengan budget jutaan. Warner Bros, studio besar itu pun pernah punya label Warner Independent Pictures (2003 - 2008) yang merilis "Before Sunset" dan "Slumdog Millionaire". Gimana ceritanya studio gede kok menyebut diri independen? Rupanya independen ini tak bermakna literal sama sekali. Istilah independen lalu digunakan secara longgar mengikuti situasi yang ada.

Ada 3 hal yang menjadi latar kelahiran film independen di Amerika: Edison Trust, dominasi Studio System dan lahirnya teknologi digital. Sedangkan di Indonesia sendiri tidak ada studio system sebagaimana di Amerika. Dalam amatan saya, gerakan film independen di Indonesia setidaknya merespon 4 hal: Regulasi pemerintah beserta aturan dalam asosiasi, dominasi kelompok bermodal, terpuruknya film nasional dan keterbatasan aset produksi. Jadi kita bisa melihat perbedaan dan persamaan konteksnya dengan Amerika. Sama halnya dengan Amerika dan belahan dunia lain, independen adalah istilah yang dinamik. Akan terus diredefinisikan menurut kondisi yang dihadapi. Perubahan akan direspon secara terus menerus dan wajah sinema tak akan pernah sama.

Jalur independen merupakan keumuman untuk filmmaker yang hendak membangun awal karir. Ini sekaligus menjadi ironis karena gerakan independen hanya terpakai sebagai batu pijakan ke industri. Bisa dimaklumi karena karier di film memerlukan stabilitas ekosistem yang mana industri mayor pun kadang kesusahan. Menurut produser Lifelike Pictures Sheila Timothy, bisnis film itu beresiko tinggi. Independen adalah ketidakpastian yang ternyata terus hidup bagai virus dalam sejarah. Kita ingat lagi bahwa bangkitnya industri film nasional pun diawali oleh gerakan independen, tak hanya kalangan profesional namun juga komunitas amatir. Keberadaan kaum independen inilah yang menjaga perfilman nasional tetap hidup sejak awal reformasi hingga kini. 

 

DAFTAR BACAAN 

Referensi Buku, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan lain-lain: 

·         ANTARKOTA ANTARLAYAR Potret Komunitas Film di Indonesia oleh Adrian Jonathan Pasaribu, Deden Ramadani, Levriana Yustriani, Dewan Kesenian Jakarta 2019.

·         JIWA REFORMASI DAN HANTU MASA LALU Sinema Indonesia Pasca Orde Baru oleh Quirine Van Heeren, Dewan Kesenian Jakarta 2019.

·         DIREKTORI FESTIVAL FILM Dunia Dan Indonesia, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta & COFFIE (Coordination For Film Festival In Indonesia) 2019.

·         Mendefinisikan Ulang Film Indie: Deskripsi Perkembangan Sinema Independen Indonesia oleh Idola P Putri, Jurnal Komunikasi Indonesia 2013.

·         PARADOKS DAN MANAJEMEN KREATIVITAS DALAM INDUSTRI FILM INDONESIA oleh Elvy Maria Manurung, Disertasi Program Doktoral Universitas Kristen Satya Wacana 2017.

·         DINAMIKA SINEAS DALAM PEMBUATAN FILM INDEPENDEN (Studi Kasus Sineas di Kota Makassar) oleh Muh. Rifai Ramli, Skripsi Jurusan Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar 2016.

·         RESISTENSI PRODUKSI FILM INDIE DI INDONESIA 1970-2001 (Indonesian Indie Movie Resistens 1970-2001) oleh Donny Dellyar Noer, SH, Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Muhammadiyah Jember -.

·         TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN KOMISIF DALAM FILM MAK KELAPON KARYA ADRI ADDAYUNI oleh Elize Wardany, Patriantoro, Nanang Heryana, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Untan Pontianak -.

·         MELAWAN KUASA MEDIA DENGAN MEDIA Studi Eksplorasi Manajemen Media Watchdoc Documentary Maker Sebagai Media Alternatif oleh Permata Putri Ismah Ariani, Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang 2017.

 Referensi Situs dan Blog:

·         filmindonesia.or.id

·         cinemapoetica.com

·         ericsasono.com

·         acehtrend.com

·         tirto.id

·         lokadata.id

·         jaff-filmfest.org

·         arkipel.org

·         in-docs.org

·         boemboe.org

·         minikino.org

·         rumata.or.id

·         ciptacitra.id

·         pialamaya.com

·         mantrianimasi.blogspot.com

·         pabriktjerita.blogspot.com

·         wlingiwood.blogspot.com

·         komunita.id

·         imdb.com

·         wikipedia.org

 dan lain-lain.

     (Kembali ke Bagian XI)

Baca
 
Copyright © 2011.   JAVORA INSTITUTE - All Rights Reserved